Thursday, July 27, 2006

Gagalnya Komunikasi Politik Cendana

Oleh Abdul Hakim MS
Suara Karya Rabu, 12 Juli 2006

Cendana telah "habis". Saat "sang maestro" Soeharto lengser keprabon 21 Mei 2001 dari posisi presiden, orang berpikir Cendana telah "habis". Pak Harto hendak diseret ke pengadilan, tapi prosesnya masih berlarut-larut sampai saat ini. Anak-anaknya juga bernasib serupa. Bahkan, Tommy pun harus meringkuk di dalam jeruji besi hingga kini.

Namun, Cendana tetaplah Cendana. Ia memiliki sejuta jurus untuk terus memperbaiki citranya. Pada mulanya, Mbak Tutut yang selalu diplot menjadi juru bicara. Dengan kerudung yang tak pernah lepas dan senyum yang selalu mengembang, istri Indra Rukmana ini selalu lekat di mata masyarakat.

Belum lama ini, gebrakan baru dibuat oleh Cendana. Strategi baru, dirancang oleh keluarga "Orde Baru" ini untuk kembali bersentuhan dengan publik. Sosok yang ditampilkan ke masyarakat, bukan lagi Bbak Tutut, melainkan Siti Hediati Hariadi atau yang lebih akrab disapa Mbak Titik Soeharto.

Selama ini, mungkin masyarakat awam tidak sadar akan skenario ini. Namun ketika secara tiba-tiba Mbak Titik muncul di layar SCTV --dengan menjadi host tayangan Piala Dunia-- publik pun mulai menerka-nerka. Masyarakat terkaget-kaget dan banyak yang tidak mengenalnya. Mungkin yang ada di benak mereka, sebuah pertanyaan, "Siapa wanita yang tidak bisa memandu acara Piala Dunia ini?"

Padahal, sebenarnya sosok Titik Soeharto sudah menjadi representasi Cendana beberapa bulan terakhir ini. Ia pertama kali muncul ke kalangan masyarakat ketika menyambangi para pengungsi Merapi di Desa Tanjung, Kecamatan Muntilan, Magelang, 20 Mei 2006 lalu. Saat ayahnya masih terkulai lemas di rumah sakit Pertamina, Mbak Titik meminta masyarakat untuk dapat memaafkan Soeharto. Bersama itu pula, Titik menyerahkan bantuan Rp 100 juta atas nama sang ayah melalui Yayasan Gotong Royong Kemanusiaan.

Tidak hanya itu, putri keempat Soeharto itu kembali tampil ke publik ketika gempa Yogyakarta dan Jawa Tengah melanda. Ia menyerahkan bantuan sebesar Rp 1 miliar kepada Sri Sultan Hamengkubuwono X untuk para korban bencana, 2 Juni 2006 lalu.

Tidak berselang lama, ia pun muncul kembali ke permukaan. Kali ini lebih dahsyat dari yang sebelumnya: ia langsung menjadi pemandu program pembukaan Piala Dunia yang mempertemukan tim tuan rumah Jerman melawan Kostarika (9/06/2006).

Mungkin, seandainya ia terampil, tidak akan menjadi persoalan yang besar. Publik pun akan menaruh simpati. Sialnya, Mbak Titik malah gagap dan hambar memberi informasi sekitar si kulit bundar itu.

Sebenarnya, misi yang diemban oleh Titik Soeharto dengan tampil di kalangan publik sudah bisa di terka dengan logika awam: ingin mengembalikan kejayaan Cendana di ranah publik. Titik seolah-olah ingin mengatakan bahwa Cendana "belum habis". Namun kenapa harus dengan sepak bola?

Memang, sah-sah saja jika Titik Soeharto menjadi host acara televisi. Apalagi, Titik punya saham mayoritas di televisi yang digawangi oleh Wisnu Hadi ini. Cuma persoalannya, apakah Titik harus menjadi host acara seperti Piala Dunia? Padahal, seperti yang bisa kita lihat, ia tidak mempunyai kapabilitas di bidang tersebut. Mungkin ia bisa menggelar acara nonton bareng, atau hal yang masih terkait dengan masalah bola?

Jika ditilik dari sisi komunikasi publik, memang acara sekaliber Piala Dunia bisa dengan cepat membuat orang populer. Olah raga yang sudah menjadi "candu" bagi penduduk bumi ini, bisa dengan mudah mengenalkan seseorang kepada khalayak ramai. Dan, sepertinya, inilah yang ingin digaet oleh Titik Soeharto. Menjadi tersohor dalam waktu yang singkat, menjadi tujuan utamanya.

Naasnya, Titik tidak bisa menjadi demagog yang ulung. Ia tidak bisa memilih sarana yang pas untuk mengembangkan potensi dirinya. Ia tidak bisa menempatkan di mana dia harus bicara dan di mana dia harus tidak bicara. Hasilnya, seperti yang terjadi sekarang, cemoohan di kalangan masyarakat. Dan ia pun harus rela "mundur" dari cercaan publik dengan menghentikan siarannya di SCTV.

Menurut pakar komunikasi politik dari UI Efendi Ghozali, komunikasi yang coba dilakukan Titik Soeharto adalah langkah yang salah dalam menggunakan media komunikasi. Seharusnya ia bisa memilah-milah media apa yang tepat untuk menjalin keakraban dengan grass root.

Kegagalan Titik Soeharto, masih dalam kaca mata Efendi, terletak pada media sarana yang digunakan. Titik yang tidak excellence perihal olah raga kulit bundar malah menjadi gunjingan masyarakat. Ketika pembawa acaranya tidak mengerti bola, acara itu jadi hambar.

Mungkin, yang ada di benak Titik Soeharto ketika pertama kali memutuskan untuk menjadi host di ajang Piala Dunia, adalah logika pasar. Logika pasar yang dimaksud di sini adalah langkah Titik "menjual" dirinya ke kalangan publik. Sarana promosi yang paling tepat tentulah media yang mempunyai daya jangkau luas di tengah masyarakat.

Saat ini, berita tentang ranah politik sudah menjadi hal yang membosankan bagi masyarakat. Berita politik harus bersaing dengan program-program lain yang tidak kalah menariknya, seperti program hiburan, olahraga, infotainment, selebriti, mode, dan life style.

Bentuk-bentuk jurnalisme seperti ini semakin dikemas secara menarik sehingga jurnalisme politik harus sedikit "minggir" dari arena publik. Dan, tentunya, Titik tahu betul situasi ini. Media apa yang sedang digandrungi publik saat ini? Jawabannya Piala Dunia.

Itulah alasan kenapa Titik memilih untuk menjadi host di Piala Dunia. Jaringan yang ada, posisi yang menguntungkan, dan pengaruh yang luas di SCTV, membuatnya dengan mudah menggelindingkan kebijakan keredaksian. Dan, tidak sulit bagi Titik untuk "meminta jatah" untuk menjadi (hanya) seorang pemandu acara TV.

Namun, logika pasar Titik ternyata tidak sesuai dengan harapan. Hak publik untuk menerima informasi mendalam tentang ulasan bola, diterabas oleh Titik yang berpengatahuan minim masalah bola. Dampaknya, bukan elu-eluan yang ia terima, malah ejekan dan bahkan makian yang harus ditanggungnya.

Sepertinya, Titik Soeharto harus belajar lebih baik lagi untuk menjadi seorang demagog yang baik. Karena jika tidak, misinya untuk "mengembalikan kejayaan rezim Cendana" hanya akan menjadi impian.***

Baca Selengkapnya...