Monday, March 19, 2012

Ekonomi dalam Jerat “Bising Politik”

Share on :

Oleh : Abdul Hakim MS


Republika, 19 Maret 2012

Presiden SBY pernah mengatakan, pertumbuhan ekonomi yang sudah menyentuh angka 6,5 persen saat ini, belumlah cukup untuk menjadikan Indonesia sebagai negara industri di tahun 2025. Untuk menuju ke sana, Indonesia mesti mampu menggenjot pertumbuhan ekonomi hingga 7-8 persen. Itu sebabnya, semua komponen yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi harus dibangun, dikembangkan, dan ditingkatkan.

Mimpi Presiden SBY tersebut sebetulnya tak berlebihan jika merujuk tren positif ekonomi makro Indonesia saat ini. Pada 2010, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6.1 persen. Kemudian naik menjadi 6.5 persen pada 2011. Tak mengherankan bila kemudian pemerintah optimis pertumbuhan ekonomi dalam 5–10 tahun mendatang bisa menembus angka tujuh sampai delapan persen. Sehingga target menjadi developed country pada 2025 bisa direalisasikan. Pertanyaannya, mampukah itu diwujudkan?

Jika hanya berkaca pada angka statistik seperti disebutkan di atas, target pemerintah sepertinya mudah dilakukan. Akan tetapi, saat ini banyak tantangan berat yang menghadang. Salah satunya muncul dari adanya kecenderungan tidak kondusifnya situasi politik nasional.

Padahal, untuk menaikkan laju pertumbuhan ekonomi, pembangunan dibidang politik mutlak dilakukan. Sekjen PBB untuk program tujuan pembangunan Milenium, Jeffrey D sachs, mengatakan, maju tidaknya ekonomi sebuah negara tergantung iklim politik. Jika iklim politiknya stabil, maka pembangunan ekonomi akan berjalan baik. Dalam teori politik, pendahuluan pembangunan politik dari pada ekonomi diistilahkan “Politik Sebagai Panglima”.

Naasnya, makin dekatnya pemilu 2014, kondisi politik nasional saat ini kurang kondusif. “Pertikaian” strategi pemenangan antar elit partai politik guna meraih kekuasaan kerap terjadi. Tentu jika hal itu terus berlanjut tanpa kontrol, akan berimplikasi pada terjadinya “bising politik” yang berujung pada terganggunya proses pembangunan ekonomi.

Rentetan “bising politik” di tanah air telah muncul sejak akhir 2009 lalu. Kasus skandal Bank Century menjadi konsumsi politik yang cukup sengit di DPR. Ending polemik saat itu adalah opsi menyalahkan kebijakan pemerintah. Meski melalui perdebatan dramatis yang cukup panjang bak sinetron, namun kasus Bank Century akhirnya melempen di tengah jalan. Kasus ini hanya berhasil ”mengusir” mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani dari tanah air.

Tak berselang lama, muncul kebisingan politik lain, yakni deklarasi tokoh lintas agama terkait ”kebohongan rezim Presiden SBY”. Gaduh ini kemudian disambung kasus Gayus H. Tambunan. ”Nyanyian” Gayus bahwa yang merekayasa kasusnya adalah tiga anggota Satgas Mafia Hukum, mendapat sambutan langkah politik kalangan DPR dengan pengajuan hak angket, meski kemudian tak sempat memanas.

Puncak kebisingan kemudian muncul dari kasus mantan bendahara Umum Partai Demokrat, M. Nazaruddin. Hingga kini, kasus ini masih menjadi “menu hangat” politisi untuk saling serang dan menjadi polemik hebat di media massa. Bahkan menjadi laporan berseri.

Celakanya, deretan daftar “bising politik” yang telah disebut di atas tak akan berhenti dalam waktu dekat. Rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi serta program kompensasi kenaikan BBM dalam bentuk Bantauan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), saat ini telah menjadi “arena baru pertempuran” para pemburu kuasa. Para politisi silih-berganti tampil untuk memoles citra. Tujuannya jelas, menggamit suara pemilih pada pemilu 2014.

Kita memang tak bisa menyalahkan adanya “perang strategi” yang dilakukan para politisi. Hal ini muncul sebagai implikasi pilihan kita menggunakan model pemerintahan demokrasi langsung. Mau tak mau, jika ingin mendapatkan suara, partai politik harus berdagang. Namun setidaknya kita bisa berharap dan menghimbau, konsep dagang yang diusung bukan strategi penggerogotan lawan yang bisa menuai “bising politik” yang lebih besar. Karena jika merujuk pada pandangan jeffrey, politik adalah panglima dalam pembangunan sebuah negara.

Jika kebisingan politik ini terus berlanjut, harga yang harus kita bayar cukup jelas. Investor menjadi tak nyaman berusaha di negeri ini. Laju perekonomian menjadi terhambat. Hal ini tentu dapat mengerem tren positif ekonomi yang sudah berjalan dengan baik, sehingga mimpim menjadi negara maju pada 2025 hanya angan-angan belaka.

No comments: