Oleh : Abdul Hakim MS
Harian Detik, 22 Maret 2012
Rencana pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minya (BBM) bersubsidi pada April 2012 mendatang tak henti-hentinya menuai kontroversi. Banyak kalangan yang mengatakan bahwa kenaikan harga BBM adalah sesuatu yang tak terelakkan. Namun tak sedikit pula yang menyebut bahwa kenaikan harga BBM adalah sesuatu yang masih bisa ditunda.
Argumentasi pemerintah dan kalangan yang mendukung kenaikan harga BBM adalah adanya fakta fluktuatifnya harga minyak dunia yang tak terkendali. Saat ini, harga minyak dunia sudah menembus US$ 120 per barel. Lonjakan tersebut membuat pemerintah kelimpungan mengencangkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012. Sebagai acuan, pada APBN tahun 2011 misalnya, pemerintah harus menyediakan dana subsidi BBM sebesar Rp. 165.2 triliun. Padahal, dalam rencana APBN 2011, alokasi dana untuk subsidi BBM hanya sebesar Rp. 129.7 triliun. Sementara pada APBN 2012, pemerintah telah mempersiapkan dana sebesar Rp 123,6 triliun. Namun akibat kenaikan harga minyak dunia, pemerintah diperkirakan harus mengeluarkan dana sebesar Rp 178,7 triliun.
Alasan lain, subsidi yang sebenarnya ditujukan untuk rakyat miskin, ternyata tidak sepenuhnya tepat sasaran. Merujuk data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), hampir 50 persen orang kaya di indonesia yang sebenarnya menikmati 90 persen subsidi BBM. Sedangkan orang miskin yang menikmatinya hanya sekita 4 persen saja.
Disudut yang lain, beberapa kelompok yang menolak kenaikan harga BBM berargumentasi bahwa sebetulnya RAPBN 2012 masih aman meskipun anggaran subsidi BBM membengkak. Dalam hitungan kalangan ini, pendapatan negara dari sektor lain pada 2012 mengalami peningkatan, misalnya dari sektor penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan Pajak Perdagangan Internasional. Pendapatan dari kedua sektor itu sebetulnya cukup untuk menutup lubang pembengkakan APBN 2012 akibat kenaikan harga BBM.
Ambivalen
Selain perdebatan di atas, hal menarik lainnya yang perlu dicermati terkait rencana kenaikan harga BBM adalah adanya sikap ambivalen dari kalangan partai politik, baik parpol yang tergabung dalam gerbong koalisi pendukung pemerintah maupun parpol yang “menggariskan” diri sebagai oposisi.
Dalam gerbong parpol pendukung pemerintah (Partai Demokrat, PKS, Partai Golkar, PAN, PKB, dan PPP), sikap terhadap kenaikan harga BBM terbelah dua. PKS menentang keras kebijakan pemerintah untuk menaikkan BBM. Sementara Partai Golkar dan PPP masih bersikap abu-abu. Hanya tiga partai koalisi (Partai Demokrat, PAN, dan PKB) yang bersikap bulat mendukung kenaikan harga BBM.
Yang menjadi persoalan, sikap PKS yang dengan keras menentang kebijakan pemerintah, hanya ditunjukkan oleh perilaku verbal di media massa. Sikap itu tak dibarengi dengan langkah konkrit, misalnya jika pemerintah tetap akan menaikkan harga BBM, maka PKS akan menarik semua menterinya di pemerintahan. Namun hal itu tak dilakukan. Sehingga langkah PKS ini bisa ditafsirkan sebagai bentuk ambivalensi. Disatu sisi PKS ingin merebut hati masyarakat dengan menyatakan menolak kenaikan harga BBM, disisi lain PKS tetap mau bergabung dalam koalisi pendukung pemerintah agar bisa terus mengumpulkan amunisi untuk menghadapi pemilu berikutnya.
Sementara sikap Partai Golkar dan PPP yang masih abu-abu juga merupakan bentuk ambivalensi. Disatu sisi keduanya tak mau menuai citra buruk akibat kenaikan harga BBM, namun disisi lainnya, meski tak mendukung kenaikan harga BBM, keduanya masih aman dalam gerbong pemerintahan.
Yang lebih unik lagi adalah sikap ambivalen dari partai yang menggariskan diri sebagai oposisi, PDI Perjuangan. Pada Januari 2012, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri mendorong pemerintah agar menaikkan harga BBM. Usul ini ia kemukakan berkaitan dengan ketegangan yang terjadi antara Iran dan Amerika Serikat di Selat Hormuz. Namun ketika pemerintah betul-betul akan menaikkan harga BBM, dengan lantang para politisi PDI Perjuangan menolak rencana ini. Alasan penentangan itu merujuk data bahwa pendapatan negara pada 2012 dari sektor lain terus meningkat, seperti sudah dibahas di awal tulisan ini.
Politisasi BBM
Sikap ambivalen yang ditunjukkan oleh partai politik ini tentu bisa dimaknai sebagai wujud politisasi kenaikan harga BBM. Khusus untuk partai yang tergabung dalam koalisi pendukung pemerintah, publik tentu patut tercengang melihat manuver mereka. Bukan membantu menyosialisasikan kenapa harga BBM harus naik, sejumlah partai koalisi justru melakukan serangan politik terhadap pemerintah.
Secara etika, apa yang dilakukan oleh parpol koalisi dengan menyerang pemerintah adalah perilaku yang tidak patut. Semestinya, ketika partai politik masih mau bergabung dengan gerbong koalisi pemerintah, mereka harus bersikap bulat mendukung kebijakan pemerintah. Akan tetapi ketika sudah tak sependapat lagi, seharusnya mereka rela hengkang dari koalisi sebagai bentuk ketagasan sikap.
Presiden SBY, yang menjadi kepala gerbong koalisi partai politik pendukung pemerintah, sebetulnya sudah kerap kali mengeluhkan dan menyentil kenakalan perilaku anggota koalisi. Saat memberi pembekalan dan arahan kepada para kader PD di kediamannya di Puri Cikeas beberapa waktu yang lalu, SBY pun kembali mengeluhkan sikap anggota koalisi yang tak pantas itu.
Sikap ambivalen dari anggota koalisi ini, tentunya hanya akan menimbulkan rusuh koalisi yang tidak sehat. Dalam jangka panjang, hal ini tentu akan sangat merugikan kehidupan demokrasi. Lebih jauh, masa depan sistem presidensial yang mendambakan adanya efektifitas pemerintahan akan lebih lama mewujud. Karena sikap ambivalen hanya akan melahirkan rusuh politik yang tak henti-henti.
Oleh karena itu, ada baiknya para politisi mulai belajar bersikap elegan. Sudah waktunya partai politik memunculkan diri sebagai wadah yang memiliki karakter. Sudah tidak zaman dua sikap yang bertentangan dipelihara, “esok dele sore tempe”.
No comments:
Post a Comment