Wednesday, March 07, 2012

BLSM, Bukan Pencitraan SBY

Share on :

Oleh : Abdul Hakim MS

Jurnal Nasional, Senin, 5 Mar 2012


Kenaikkan harga BBM bersubsidi sepertinya tak bisa ditunda lagi oleh pemerintah. Disamping faktor harga minyak dunia yang terus melambung (rata-rata saat ini sudah mencapai US$ 115 per barel), subsidi BBM juga dianggap sangat membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahunnya. Seperti pada APBN tahun 2011 misalnya, pemerintah menyediakan dana subsidi BBM sebesar 129.7 triliun. Namun pada realisasinya, pemerintah harus merogoh uang subsidi BBM sebesar Rp. 165.2 triliun untuk menutup kekurangan harga akibat tingginya harga minyak global.

Alasan lain, subsidi yang sebenarnya ditujukan untuk rakyat miskin, ternyata tidak sepenuhnya tepat sasaran. Merujuk data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), hampir 50 persen orang kaya di indonesia yang sebenarnya menikmati 90 persen subsidi BBM. Sedangkan orang miskin yang menikmatinya hanya sekita 4 persen saja.

Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2012 yang diajukan pemerintah ke DPR, dua skenario akan diambil terkait rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bulan April mendatang. Skenario Pertama, pemerintah akan menaikkan harga premium dan solar sebesar Rp. 1.500 per liter. Kedua, pemerintah akan memberikan subsidi konstan (tetap) terhadap premium dan solar sebesar Rp. 2.000. Artinya, berapapun harga keekonomian BBM bersubsidi yang ada di pasaran, pemerintah tetap hanya akan memberikan subsidi sebesar Rp. 2.000 saja. Misalnya harga keekonomian BBM bersubsidi di pasaran sebesar Rp. 8000, maka di SPBU harganya menjadi sebesar Rp. 6000. Entah skenario mana yang akan disetujui oleh legislator di DPR.

Bantuan Sementara

Karena harga BBM bersubsidi pasti naik, pemerintah telah mempersiapkan langkah antisipasi terkait akan terkereknya inflasi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memperkirakan, kenaikan harga BBM akan memicu inflasi tahun ini di atas 6 persen. Sementara analisis BNP Paribas menyebutkan, kenaikan harga BBM akan menyebabkan peningkatan asumsi inflasi dari 5 persen menjadi 6.5 persen. Dengan asumsi inflasi sebesar itu, daya beli masyarakat akan turun dan akan ada penambahan masyarakat miskin sebanyak 450.000 berdasarkan hitungan Menko Kesra.

Itu sebabnya pemerintah akan menyiapkan dana sekitar Rp. 30 - 40 triliun sebagai kompensasi kenaikan harga BBM untuk rakyat miskin. Dana itu rencananya akan diberikan dalam bentuk Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Rencananya, BLSM akan diberikan sebesar Rp. 150.000 per keluarga miskin selama sembilan bulan sejak kenaikan harga BBM. Selain BLSM, program lain yang sudah disiapkan pemerintah adalah Bantuan Siswa Miskin (BSM), beras bagi masyarakat miskin, dan pemberian kupon transportasi bagi masyarakat miskin.

Hemat saya, program BLSM sebenarnya cukup baik untuk membantu imbas langsung yang dirasakan masyarakat terkait kenaikan harga BBM. Akan tetapi, ada catatan penting yang harus diperhatikan pemerintah. BLSM tidak boleh bocor lagi seperti pengalaman program Bantuan Langusng Tunai (BLT). BLSM harus tepat guna dan tepat sasaran. Karena dari hasil studi dan analisis LP3ES, program BLT sebelumnya bocor sampai sekitar 2.5 persen. Itu sebabnya, pemerintah hendaknya berhati-hati dan memakai data statistik yang konkrit seperti yang dimiliki Badan Pusat Statistik (BPS) untuk penyaluran BLSM. Sehingga subsidi untuk rakyat miskin benar-benar bisa diterima bagi mereka yang berhak menerima.

Pencitraan SBY?

Bagi sebagian kalangan, pemberian kompensasi kenaikan harga BBM yang rencananya akan diberikan dalam bentuk BLSM adalah pencitraan pemerintah SBY belaka untuk menghadapi pemilu 2014. Menurut kalangan ini, BLSM tak ada bedanya dengan program BLT menjelang pemilu 2009 lalu. BLSM diberikan agar masyarakat tak terlalu bereaksi terhadap kenaikan harga yang akan memicu kenaikan harga-harga kebutuhan lainnya.

Hemat penulis, analisis ini sepertinya kurang arif. Hal ini didasarkan pada dua faktor. Pertama, jika program ini dilakukan SBY untuk pencitraan menghadapi pemilu 2014, bukankah SBY sudah tak bisa lagi mencalonkan diri sebagai presiden karena dibatasi oleh konstitusi? Untuk apalagi SBY melakukan pencitraan semacam ini?

Kedua, seandainya BLSM dimaksudkan untuk mendongkrak popularitas Partai Demokrat yang sedang ambruk karena kasus korupsi yang Menimpa mantan bendahara umumnya, M. Nazaruddin, bukankah partai-partai lain saat ini juga ada dalam gerbong pemerintahan? Sehingga kalau Partai Demokrat bisa menuai “berkah BLSM”, partai-partai lain juga bisa mendapatkannya? Sebut saja, petinggi-petinggi partai politik saat ini ada dalam pos-pos strategis. Di Menko Kesra ada Agung Laksono dari Partai Golkar. Di Menkoperekonomian ada Hatta Rajasa yang merupakan Ketua Umum PAN. Pos-pos ini bukankah menjadi sorotan terkait BLSM dan yang menangani langsung program BLSM?

Oleh karena itu, mengatakan BLSM sebagai rekayasa pencitraan SBY sepertinya kurang bijak. Lebih baik energi politisi dihabiskan untuk membahas bagaimana skenario BLSM agar lebih tepat sasaran dan tidak bocor lagi. Politisi harus turun langsung kebasis-basis konstituennya untuk memantau agar BLSM benar-benar diterima masyarakat yang berhak menerimanya.

Dari pada sibuk berdebat apakah BLSM adalah pencitraan SBY, lebih baik pemikiran, tenaga, dan waktu para politisi senayan dicurahkan untuk mencari alternatif menaikkan harga BBM yang pas dan tak begitu memberatkan masyarakat. Daripada berdebat soal pencitraan, lebih baik politisi mencurahkan segala kekuatan untuk mencari solusi mengurangi kmiskinan akibat kenaikan harga BBM. Dengan begitu, kehidupan masyarakat miskin yang menerima dampak langsung kenaikan yang tak terelakkan ini tak semakin terpuruk.

No comments: