Thursday, November 29, 2007

Lagi, Oposisi Tak Semestinya

Melihat perkembangan demokrasi kita, memang menimbulkan kebanggaan. Saya melihat, demokrasi kita saat ini, mungkin bisa dikatakan yang paling demokratis. Berbagai sendi praktik bernegara kita, tak bisa lepas dari pengawasan pihak lain, begitupun dengan pemerintah. PDI-P memproklamirkan diri sebagai oposisi, salah satu stakeholder yang wajib ada dalam tatanan demokrasi.

Mungkin yang menggelitik hati, apakah oposisi harus selalu berbeda?

Pertanyaan ini muncul dibenak saya tatkala PDIP kembali menolak usul Presiden yang meminta agar pengesahan RUU Perampasan Aset bisa dilakukan oleh DPR pada tahun 2008. Usulan presiden ini dianggap oleh PDIP hanya sebagai salah satu cara agar pemerintah kelihatan serius dalam pemberantasan korupsi. Yang lebih lucu, salah satu tokoh PDIP mengatakan yang penting political will. Ibarat kita mau ke Singapura dalam waktu 1 jam, mungkinkah kita bisa sampai disana tanpa menumpang pesawat? Atau dalam arti kata lain, mungkinkah kita dapat meberantas korupsi tanpa ada alat UU yang komprehensif?

Selama ini, penyidik kita tak punya kuasa untuk menyita aset-aset negara yang dikorupsi sebelum kasusnya mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun begitu inkracht, aset-aset negara yang telah dikorupsi sudah lenyap. Kemudian, hasil apa yang akan diperoleh lembaga peradilan jika semua kasus terjadi seperti ini? Jawabannya pasti, NIHIL.

Tentu, dengan adanya UU Perampasan Aset, penyidik tak lagi harus menunggu untuk menyita aset-aset negara yang diduga dikorupsi. Dengan adanya UU ini, jaminan aset negara yang dikorupsi bisa kembali menjadi sangat tinggi. Menjadi hal yang ganjil apabila usulan seperti ini disanggah. Padahal dinegara lain, UU semacam ini sudah menjadi kebutuhan wajib.

Kiranya, PDIP memposisikan diri sebagai oposisi jangan kemudian asal beda. Tidak bermaksud membela pemerintah, namun apa yang diupayakan oleh Presiden ini merupakan langkah baik untuk memberantas korupsi. Oleh karenanya, PDI-P harus bisa memilah-milah dalam posisi mana harus berbeda dan dalam situasi apa PDI-P harus bisa bekerja sama. Jika kondisinya demikian, sepertinya demikrasi kita akan berjalan lebih indah dengan berujung pada kebaikan masyarakat kita semua.

Baca Selengkapnya...

Hentikan Deforestasi!

Setiap tahun, empat kali luas pulau Bali, hutan kita lenyap dari permukaan bumi pertiwi! Begitulah data yang dikampanyekan oleh Walhi beberapa waktu terakhir. Melihat data ini, tentu hati kita menjadi miris, pilu dan ingin marah! Marah, karena pembabatan hutan ternyata sudah pada fase mengerikan. Celakanya, aksi ini hasilnya hanya bisa dinikmati oleh segelintir manusia yang tak bertanggung jawab. Yang lebih mengiris hati, pelaku pembalakan liar, bisa divonis bebas oleh pengadilan kita –seperti kasus Adelin Lis!

Pertanyaan kemudian muncul, sejauh manakah pemerintah serius menanggapi kasus deforestasi ini?

Menjawab pertanyaan ini, saat ini, kiranya pemerintah sedikit memberikan kesan serius. Pencanangan menanam 79 juta pohon, sedikit memberikan angin segar. Meski ada kesan program ini berjalan hanya guna menghadapi KTT di Bali tentang perubahan iklim global Desember 2007 mendatang, namun setidak-tidaknya langkah pemerintah ini sudah mengarah pada usaha dan ikhtiar yang benar.

Langkah lainnya yang juga patut diberikan penghargaan adalah keberanian SBY memberikan perintah larangan kepada Menteri Kehutanan (Menhut) untuk tidak memberikan izin pengelolaan hutan. Tentu hal ini merupakan langkah yang cukup berani, mengingat pendapatan negara tertinggi kita berasal dari hutan, selain dari Migas.

Namun yang perlu digarisbawahi, keseriusan pemerintah ini harus dijadikan momentum untuk benar-benar memerangi pembalakan liar. Seperti kita tahu, budaya kita sering anget-anget tahi ayam. Artinya, ketika ada momentum untuk melakukan program, semuanya antusias. Kelak dikemudian hari kala sudah hilang masanya, program yang baik inipun ikut tenggelam seiring beralihnya isu-isu panas nasional.

Tentu mental seperti ini sudah harus diakhiri. Lenyapnya hutan setiap tahun seluas empat kali pulau Bali perlu diberikan penglolaan hutan secara kontinyu atau menggunakan sistem sustanable forest management. Dengan dilakukannya pengelolaan hutan secara berkelanjutan, serta menjaga yang sudah ada, maka dipastikan hutan kita akan tetap menjadi andalan pendapatan negara, selain juga tetap menjadi penyanggah keseimbangan dunia.

Baca Selengkapnya...

Wednesday, November 21, 2007

Bila Satu Kapal Dua Nahkoda

Oleh : Abdul Hakim MS.

Sebuah kapal bernahkoda dua, kadang-kadang atau kalau sering terjadi, bisa merepotkan. Terutama kalau komunikasi antara kedua nahkoda itu tidak pakai riak gelombang yang sama, atau kalau yang satu sering lupa kasih tahu yang lain. Kapal bisa menabrak karang, akhirnya kandas atau salah arah. Kekuatan gaib yang ajaib masih bisa menyelamatkan perjalanannya, atau ditengah jalan pemilik kapal kasih perintah untuk menonaktifkan salah satu nahkodanya. (M. Sadli, 2002)

Perlambang yang ditulis M. Sadli dalam bukunya, Bila Kapal Punya Dua Nahkoda, nampaknya cukup apik mendiskripsikan dwi-tunggal kepemimpinan nasional kita saat ini. SBY-JK, kerapkali jalan berseberangan atau malah memilih jalannya sendiri-sendiri. Tak jarang, keputusan politik yang diambil keduanya sering menghujam dan menghenyakkan jagat perpolitikan nasional. Bukan masalah rakyat yang kemudian alot diperdebatkan, melainkan hanya masalah elit penguasa yang terus menjadi polemik media.

Kasus paling anyar ketidaksejalanan dwi tunggal ini, terekam dalam keputusan Partai Golkar ”menyunting” PDI-P dalam koalisi bersama membangun bangsa. Kedengarannya cukup elegan. Cuma, manuver yang dilakukan Partai Golkar ini tentunya banyak mengundang tanya. Apa makna dibalik ”perkawinan” ini?

Bukan Ideologis, tapi Politis

Ditegaskan, koalisi yang dilakukan oleh Partai Golkar dan PDI-P salah satunya karena kedua partai memiliki kesamaan ideologi. Secara faktual memang iya. Kedua partai sepakat mempertahankan NKRI, setia kepada Pancasila dan UUD ’45 serta tetap menjaga Bhineka Tunggal Ika dalam pluralisme.

Padahal kalau kita jeli, terjadi perbedaan yang cukup ekstrim diantara kedua partai ini. Pertama, Golkar merupakan partai yang berdiri dibawah besutan tokoh-tokoh Angkatan Darat sebelum peristiwa G. 30 S untuk menentang politik Presiden Sukarno dan mengimbangi PKI –yang merupakan gabungan kekuatan besar anti-imperialis (terutama AS). Sedangkan PDI-P dilahirkan justru sebagai manifestasi perlawanan terhadap Orde Baru (yang intinya adalah TNI-AD dan Golkar), dipersonifikasikan melalui sosok Megawati. Karenanya, banyak dari anggota-anggota keluarga orang-orang yang mendukung politik Bung Karno -- baik yang nasionalis, komunis atau yang dari kalangan agama –menaruh simpati kepada PDI-P hanya karena melihat sosok Megawati Sukarnoputri sebagai putri sang proklamator.

Kedua, masih sangat jelas teringat dibenak kita bagaimana Orba (termasuk Golkar) ”mengangkangi” Pancasila sebagai alat legitimasi kekuasaan. Orba menjadi penafsir tunggal Pancasila dan melakukan ”vermaak” mutlak melalui P-4-nya. Dalam prakteknya, nyatanya Pancasila telah dilecehkan atau diinjak-injak selama 32 tahun.

Ketiga, Mengenai Bhinneka Tunggal Ika dan menjaga pluralisme, Golkar selama puluhan tahun telah menutup pluralisme di Indonesia. Golkar menjadi dominan dalam berbagai sendi kehidupan bernegara dan menutup hadirnya persaingan politik masyarakat. Perlu kita catat, selama masa Orba, sekitar 70% suara pemilu dan 2/3 kursi parlemen dikuasai Golkar dan tidak mengizinkan kekuatan kiri, apalagi kekuatan golongan komunis untuk ikut meramaikan kancah perpolitikan nasional.

Berdasarkan fakta-fakta di atas, tentu perkawinan antara Partai Golkar dan PDI-P ini hanya didsasarkan kepentingan politik jangka pendek, yakni bersandingnya antara JK-Mega pada pemilu 2009 nanti. Itu artinya, JK sudah bersiap diri untuk ”meninggalkan” atau ”ditinggalkan” SBY, padahal pemerintahan masih harus berjalan 2 tahun lagi.

SBY-JK di Mata Media

Ketidaksejalanan antara SBY-JK, sebenarnya sudah menjadi rumor sejak pertama kali keduanya mengemban amanat menahkodai negeri ini. ”Kekuasaan” JK yang ”berlebih”, dipandang sebagai pemicunya. Sempat kita dengar, JK merasa tersinggung akibat teleconfrence yang dilakukan SBY guna memimpin rapat kabinet pada September 2005 lalu. Seharusnya ketika Presiden berhalangan memimpin rapat, tugas itu dilimpahkan kepada Wakil Presiden.

Keretakan kembali muncul kala ada silang pendapat mengenai pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Kebijakan dan Reformasi (UKP3R) pada November 2006. Dan yang pasti sangat kelihatan, keretakan ini muncul kala ada dua kali drama perombakan kabinet yang dilakukan pada akhir 2005 dan petengahan Mei 2007 lalu.

Rumor disparitas ini kembali dijumpai penulis melalui analisis media yang dilakukan pada bulan Mei dan Juni 2007. Dari 9 (sembilan) media cetak nasional yang dijadikan sampel penelitian berdasarkan kepemilikan dan segmentasi redearship, ada temuan menarik. Secara kwantitas, jumlah artikel SBY dan JK terjadi perbedaan yang cukup drastis. Pada bulan Mei misalnya, jumlah artikel SBY mencapai 668 artikel. Sedangkan JK hanya 190 artikel saja. Sedangkan pada bulan Juni, perbandingan artikel SBY-JK adalah 588 : 219.

Yang lebih menarik lagi adalah temuan seputar isu artikel kedua tokoh ini. Pada bulan Mei, banyaknya artikel SBY dilatarbelakangi drama reshuffle kabinet yang mencekam. Isu ini mendominasi dengan dulangan angka 30% dari seluruh artikel SBY. Uniknya, isu reshuffle yang banyak menghujam SBY, hanya menjadi topik nomor 4 JK dengan 11% dari seluruh artikel JK. Pun pada bulan Juni, terjadi disparitas isu yang cukup mencolok. Pada bulan ini, SBY diguyur artikel seputar interpelasi Iran mencapai 38%. Padahal, isu ini kembali menjadi topik nomor 4 JK dengan dulangan hanya 7% dari seluruh artikel JK.

Dari sini bisa dibaca, terkait isu-isu politik nasional yang panas, SBY-JK memang terkesan mencari aman masing-masing, terutama JK. Isu-isu negatif yang banyak menyorot SBY, ternyata tidak serta-merta juga menyorot JK. Seharusnya, kebijakan-kebijakan politik seperti reshuffle kabinet atau interpelasi, aktif diklarifikasi oleh keduanya. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Itu artinya, memang ada semacam gab yang cukup jelas diantara kedua pemimpin bangsa ini. Kalau sudah begitu, kapan mereka akan berembug bareng guna memperbaiki kehidupan bangsa? Padahal kepemimpinan mereka hanya tinggal dua tahun lagi.

Baca Selengkapnya...

Membuka Penjara Open List System

Oleh : Abdul Hakim MS.

Cukup menarik apabila kita meninjau sejarah kepemiluan kita, khususnya meninjau masalah sistem pemilihan umum yang pernah dipakai. Ibarat bayi yang sedang belajar berjalan, begitulah upaya kita mencari format sistem pemilu yang sesuai. Kadang terjatuh, kemudian bangun lagi, dan terjatuh lagi. Tanpa henti, upaya “coba-coba” itu terus dilakukan. Bahkan hingga kini, proses trial and error masih berada dalam area abu-abu (grey area). Belum nampak jelas terlihat sistem pemilu seperti apa yang dapat mengantarkan Indonesia bisa mendayung demokrasi secara sempurna.

Pada Pemilu 1955, kita pernah memakai sistem proporsional dengan stelsel daftar terbuka (open list system). Para pemilih, secara teoritis diberi kesempatan untuk memilih tanda gambar, atau orang yang ada dalam daftar calon dari orsospol peserta pemilu dan perorangan. Tetapi dalam praktiknya, hal itu tidak dilaksanakan oleh orsospol peserta pemilu, sehingga sistem itu hanya berlaku untuk calon perseorangan saja.

Pada pemilu-pemilu Orde Baru (1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997), kita memakai sistem proporsional (suara berimbang) dengan kombinasi sistem stelsel daftar mengikat (Closed list system). Para pemilih hanya diberi kesempatan untuk memilih tanda gambar partai saja tanpa mengetahui siapa calon-calon yang akan mereka pilih. Sistem ini pun masih berlanjut hingga era reformasi, yakni pada pemilu 1999. Pemilih tetap “hanya” diberi kesempatan untuk memilih tanda gambar partai, tanpa mengetahui calon-calon yang mereka pilih.

Pada Pemilu 2004, angin segar sempat berhembus terkait sistem proporsional dengan kombinasi sistem stelsel daftar ini. Banyak kalangan yang mengiginkan perubahan terkait dengan sistem stelsel daftar –dari closed list system menjadi open list system. Partai-partai politik pun akhirnya sepakat untuk menggunakan sistem ini dalam percaturan Pemilu 2004.

Akan tetapi sayang, dalam pelaksanaannya, ternyata open list system yang dipakai pada pemilu kedua era reformasi ini banyak mengalami reduksi dari arti esensialnya. Sistem ini tidak diterapkan secara sempurna sehingga banyak mengalami pembiasan. Tidak heran apabila kemudian banyak pengamat menyebutnya sebagai sistem proporsional dengan kombinasi sistem stelsel daftar terbuka “setengah hati”. Atau mungkin bisa saya katakan dengan lebih ektrim, sistem pemilu kala itu merupakan sistem “manipulasi demokrasi”.

Saya sebut dengan “sistem manipulasi demokrasi” karena open list system yang dipergunakan ini sudah jauh melenceng dari arti hakiki yang terkandung didalamnya. Seharusnya, jika memang sistem daftar calon terbuka ini dilakukan dengan murni, maka tidak ada lagi “penutup” yang membuat open list system kehilangan jati dirinya.

Saya melihat, setidaknya ada tiga katup yang menutup kembali open list system pada pemilu 2004 lalu, sehingga menjadikannya lebih mirip closed list system. Pertama, open list ini ditutup kembali dari dimensi tatacara pencalonan anggota legislatif yang memakai nomor urut sebagai cerminan dari ranking. Partai politik berhak mengajukan calon dan menempatkan calon tersebut pada nomor urut keberapa. Bagi calon yang berada pada nomor urut pertama, besar kemungkinan dirinya bisa melenggang ke Senayan. Dengan model seperti ini, maka kekuatan partai politik menjadi sangat dominan. Calon legislatif pun akan lebih loyal kepada partai politik yang mencalonkannya ketimbang kepada basis konstituennya.

Kedua, sistem ini ditutup kembali dari tatacara proses pemberian suara. Pemilih, suaranya akan dianggap sah apabila mencoblos tanda gambar saja, atau mencoblos tanda gambar dan calon. Akan tetapi, suara pemilih dianggap tidak sah apabila hanya mencoblos calon saja. Padahal, calon yang dipilih juga berasal dari partai yang bersangkutan. Tentu, proses seperti ini “melanggar” asas open list system. Seharusnya, apabila pemilih mencoblos tanda gambar sah, mencoblos gambar dan calon sah, maka mencoblos calon saja juga seharusnya sah. Karena calon bersangkutan, pastilah datang dari parpol bersangkutan, bukan dari parpol lain.

Ketiga, sistem ini ditutup kembali pada tatacara penetapan calon terpilih. Seperti kita tahu, patokan untuk memperoleh kursi, calon-calon harus memenuhi batas angka Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP). Akan tetapi jika tidak ada yang mencapai BPP, dan partai yang bersangkutan mendapatkan jatah kursi disebuah dapil, maka calon yang akan mewakili partai bersangkutan adalah kandidat yang berada pada nomor urut 1. Tentu, kondisi ini juga “melanggar” asas open list system. Seharusnya, jika sistem ini diterapkan secara konsisten, partai yang mendapatkan kursi, akan diserahkan pada calon yang memperoleh suara paling besar, berapapun jumlah perolehan suaranya.
Saat pembahasan paket UU Politik yang sedang berjalan saat ini, persoalan-persoalan di atas harus mendapatkan perhatian serius. Dalam UU Pemilu yang baru, katup-katup penghalang penerapan open list system ini harus dieliminasi. Karena jika tidak, pemilu yang diharapkan menjadi ajang demokratisasi, hanya akan menjadi ajang pesta rakyat tanpa arti.

Niat baik untuk menghilangkan berbagai macam penyumbat ini memang sudah mulai berdatangan. Salah satu keinginan itu datang langsung dari Presiden SBY dengan menggulirkan wacana tentang sistem proporsional dengan kombinasi stelsel daftar terbuka “tanpa nomor urut”. Keinginan kuat pemerintah tercermin dalam draf yang diajukan ke DPR. Dalam draf usulan pemerintah itu, sistem nomor urut yang mencerminkan ranking, akan diganti dengan nomor urut berdasarkan abjad. Selain itu, angka Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP) sebagai prasyarat seorang calon dapat melenggang ke Senayan, juga dieliminasi.

Sudah barang tentu, keberanian pemerintah ini adalah sebuah langkah maju untuk mendukung bergulirnya demokrasi secara benar. Akan tetapi, apakah konsep ini akan mendapatkan persetujuan dari gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)? Disinilah letak persoalannya.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa terjadinya pembiasan open list system pada pemilu 2004 lalu, tidak lebih disebabkan oleh “akal-akalan” para elit partai yang “ketakutan” tidak dapat lagi berkantor di Senayan. Kurang dekatnya para wakil rakyat yang ada sekarang dengan para konstituen merekalah yang mengakibatkan munculnya berbagai upaya “penjegalan” penerapan open list system secara konsekwen.

Meski begitu, kita hanya patut berharap agar para wakil rakyat ini dapat membuka mata terhadap gejala kemajuan demokrasi kita. Sudah saatnya mereka menujukkan komitmen terhadap masyarakat, bukan lagi melulu kepada partai politik. Dari cara seperti inilah citra DPR yang selama ini “terbenam” dapat dikembalikan. Dengan tidak menyetujui konsep open list system dijalankan secara konsisten, itu artinya mereka telah menghambat laju demokrasi yang sudah berjalan di atas relnya. Sudah barang tentu, hal ini akan menambah panjang daftar “keculasan” wakil rakyat untuk “memanipulasi demokrasi”.

Baca Selengkapnya...

Disuka, Politik Aniaya

Negeri ini memang paling suka dengan drama politik aniaya. Karena jalan inilah yang dipandang menjadi rute cepat guna merengkuh kekuasaan. Sejarah membuktikan, tokoh-tokoh yang “terkesan” dizalimi oleh penguasa, kerap menuai keuntungan guna menarik simpati masyarakat. Implikasinya jelas, menjadi pemimpin negeri ini.

Kita tentu masih ingat pemilu 1999 yang lalu. Megawati saat itu yang tercitrakan sebagai tokoh penolak regim Orde Baru, menuai berkah dengan menggolkan PDIP sebagai partai pemenang pemilu. Meski harus dijegal MPR untuk jadi presiden, namun Mega pun akhirnya tetap menjadi presiden menggantikan Gus Dur yang di Impeachment MPR pada 2001.

Jika babak pertama politik aniaya Mega menjadi primadona, babak kedua politik aniaya malah sebalik. Gara-gara kelakuannya mengucilkan SBY dipemerintahannya, saat itu SBY menjabat Menkopolkam, karena dipandang sebagai calon pesaing kuat, Mega harus kehilangan popularitasnya di kalangan masyarakat. Ujungnya, PDIP harus keok pada pemilu legislatif digeser oleh Golkar. Lebih parah, Mega harus keok juga dalam pilpres putaran dua dengan angka cukup telak, 60% : 30%. Babak ini, SBY diuntungkan dengan politik aniaya.

Kini, politik aniaya babak ketiga coba digulirkan. Pemerannya masih orang yang sama, yakni Megawati. Sadar bahwa charisma SBY cukup sulit direduksi, Mega mengesankan dirinya sebagai pihak yang dizalimi pemerintahan SBY dengan menuding dirinya telah dijegal untuk dekat dengan korban bencana. Argumennya, pihaknya tidak boleh menggunakan helicopter TNI AU.

Saya berfikir, apa yang dilakukan oleh pihak Mega saat ini, tidak lagi seperti posisinya pada 1999 yang lampau. Kondisi dan konteksnya cukup berbeda. Karena dari penilaian yang kasat mata saja, tidak ada sedikitpun kesan yang tercipta bahwa pemerintahan SBY menjegalnya untuk terbang ke para korban bencana. Ini tak lain, helicopter TNI hanya diperuntukkan oleh pejabat setikat menteri. Sedangkan Mega bukanlah pejabat public. Seharusnya kalau mau netral, Mega tak usah mencarter helicopter TNI, melainkan helicopter swasta saja.

Nah, seandainya Mega menggunakan helicopter swasta dan ada upaya penggagalan dari pemerintah, mungkin kesan teraniaya akan kasat mata. Sekali lagi, maneuver Mega dan PDIP kurang cantik dan terkesan jorok.

Baca Selengkapnya...