Tuesday, November 27, 2012

Mengurai Bottleneck Arus Investasi

Oleh ; Abdul Hakim MS


Di tengah stabilnya perekonomian Indonesia dalam kurun waktu enam tahun terakhir, Wakil Presiden Boediono tetap saja gelisah terkait masih sedikitnya jumlah entrepreneur (wirausahawan) yang kita punya. Seperti diketahui, jumlah wirausahawan yang dimiliki sebuah negara merupakan salah satu indikator untuk melihat baiknya pembangunan ekonomi yang dilakukan. Karena dengan banyaknya jumlah wirausahawan, akan berdampak pula pada derasnya arus investasi yang akan masuk kesebuah negara.

Merujuk data BPS pada Agustus 2012, jumlah penduduk Indonesia yang bisa diklasifikasikan sebagai wirausahawan, baru pada angka 1,6 persen (3.87 juta jiwa). Padahal, untuk dapat menggerakkan perekonomian secara baik, sebuah negara idealnya harus memiliki jumlah wirausahawan di atas 2 persen dari total jumlah penduduknya. Dalam konteks Indonesia, jumlah wirausahawan yang dibutuhkan sekitar 5 juta jiwa.

Jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia atau Singapura, Indonesia sedikit tertinggal. Saat ini, Malaysia telah memiliki jumlah wirausahawan sebesar 4.1 persen. Sementara Singapura memiliki jumlah wirausahawan lebih banyak lagi, yakni 7.2 persen. Bahkan jika dibandingkan dengan Negara maju seperti Amerika Serikat (AS), jumlah wirausahawan kita malah ketinggalan lebih jauh lagi, karena saat ini AS telah memiliki jumlah wirausahawan mencapai 11.5 persen dari total jumlah penduduknya.

Itu sebabnya, Wakil Presiden Boediono saat membuka Global Entrepreneurship Week (GEW) di Jakarta beberapa waktu lalu, sangat mewanti-wanti segenap kalangan untuk mewaspadai faktor-faktor yang bisa menjadi batu sandungan (bottlenect) berkembangnya jumlah usahawan di Indonesia. Boediono menyebut, setidaknya ada sekitar enam faktor yang menjadi penghambat laju perkembangan jumlah wirausahawan (baca arus investasi) di Indonesia. Pertama, ketidakjelasan law and order dibeberapa daerah yang masih rawan konflik. Kedua, kestabilan pertumbuhan ekonomi, baik secara makro maupun mikro. Ketiga, masih rendahnya penyediaan infrastruktur. Keempat, sinkronisasi regulasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam kerangka otonomi daerah. Kelima, faktor perbankan. Dan keenam, minimnya tenaga kerja yang terlatih dan memiliki skill yang baik.

Perbaikan Infrastruktur

Namun dari enam kendala yang menjadi penghambat perkembangan jumlah wirausahawan/arus investasi yang disebutkan Boediono, masalah perbaikan infrastruktur merupakan poin paling menarik untuk didiskusikan. Hal itu disebabkan, masalah penyediaan infrastruktur yang layak merupakan trigger utama untuk dapat menarik dana investor ke dalam negeri.

Saat ini, kita cukup gembira karena upaya memperbaiki infrastruktur sedang digalakkan pemerintah. Melalui program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), pemerintah berupaya keras untuk memperbaiki infrastruktur guna menciptakan konektivitas ekonomi di 33 Provinsi di Indonesia. Akan tetapi, upaya pembangunan konektivitas ini juga bukanlah perkara mudah. Indonesia yang merupakan negara archipelago dengan jumlah kurang lebih 17.500 pulau, masih harus dipisahkan oleh lautan seluas 3.3 juta km². Untuk membangun konektivitas, tentu kendala paling nyata yang harus dihadapi adalah besarnya dana yang dibutuhkan untuk merealisasikannya. Pemerintah sendiri memprediksi, dana yang diperlukan untuk bisa melaksanakan seluruh program MP3EI sebesar Rp 4.012 Triliun.

Program MP3EI sendiri merupakan perpaduan program-program dalam upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia. MP3EI berisi berbagai proyek perbaikan infrastruktur di segala bidang, meliputi pembangunan PLTU, pengembangan bandara, penambahan armada kapal ferry, pengembangan pelabuhan, pembangunan rel kereta api, serta proyek jalan tol.

Kabar buruknya, banyak kalangan menilai bahwa upaya perbaikan di sektor infrastruktur transportasi yang menjadi kunci keberhasilan program MP3EI masih jalan ditempat. Investasi yang masuk ke sektor ini dari pihak swasta dipandang masih minim akibat terkendala lemahnya pelayanan birokrasi dan jaminan keamanan penanaman modal. Dilain pihak, maraknya perilaku korup pejabat negara juga menjadi kendala yang terus membayangi.

Demo Buruh

Namun masalah yang tak kalah pentingnya terkait keinginan mengembangkan jumlah wirausahawan/arus investasi di tanah air adalah masalah perburuhan. Maraknya demonstrasi para pekerja yang berprilaku anarkis akhir-akhir ini, menyebabkan Menko Perekonomian Hatta Rajasa sangat khawatir akan berdampak pada iklim investasi di tanah air yang sedang membaik. Hatta mengaku, jika persoalan buruh tak dengan segera dicarikan solusi, hal ini akan menjadi batu sandungan terberat dalam upaya pembangunan ekonomi bangsa.

Itu sebanya, penyelesaian secara cepat persoalan buruh ini menjadi ujian berat pemerintah. Di tengah keinginan untuk menggalakkan pertumbuhan ekonomi dengan menjadikan arus investasi sebagai dayang dorong utama, pemerintah dituntut untuk dengan segera bisa menyelesaikan persoalan buruh ini. Karena jika hal itu bisa dilakukan, tentu Indonesia bisa membuktikan kepada dunia internasional bahwa negara ini memang layak menjadi tujuan investasi yang baik.

Seperti diketahui bersama, demo buruh yang terkadang dibarengi dengan prilaku kekerasan atau krimimal telah membuat beberapa pengusaha gerah. Sebagian bahkan telah mengancam akan memindahkan tempat produksi mereka ke negara lain. Sempat berhembus kabar bahwa PT. Bata Tbk. dan 9 perusahaan lainnya akan hengkang dan mencabut investasinya di tanah air.

Kita memang tak bisa menyalahkan para pekerja turun ke lapangan untuk memperjuangkan hak-hak mereka demi terpenuhinya standar kebutuhan hidup layak (KHL). Karena setiap manusia memang mengarapkan hal serupa. Cuma yang kita sayangkan, aksi-aksi menuntut KHL ini kerap diwarnai oleh kegiatan yang tak semestinya, seperti pemblokiran jalan tol, aksi sweeping, dan pengrusakan fasilitas-fasilitas umum. Bukankah itu akan merugikan kita semua?

Melihat kondisi di atas, kita semua tentu berharap dialog tripartit yang saat ini sedang digelar bisa menemukan titik terang. Pengusaha, pemerintah, dan buruh diharapkan bisa membahas kepentingan masing-masing dengan kepala dingin. Karena seperti dibahas sebelumnya, persoalan yang menjadi penghambat tak hanya masalah buruh, melainkan masih banyak persoalan lainnya.

Ibarat memasuki pintu putar, kendala mengembangkan jumlah wirausahawan/arus investasi ini memang tak akan pernah mudah. Karena ketika kita memasuki suatu masalah, didepan telah menunggu masalah lainnya. Itu sebabnya, pemerintah diharapkan bisa bertindak cepat dan arif dalam menyikapi berbagai permasalahan yang muncul. Karena jika tidak, upaya pembangunan dengan berbasis investasi akan menjadi jargon belaka. Dan rezim investasi yang disebut-sebut Presiden SBY untuk menamai pemerintahannya, hanya akan menjadi “lelucon” yang tak lucu.

Baca Selengkapnya...

BDF dan Masa Depan Demokrasi Kita

Oleh : Abdul Hakim MS


Pada 8 – 9 November 2012, Indonesia kembali menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bali Democracy Forum (BDF) di Nusa Dua, Bali. KTT ini merupakan yang kelima sejak pertama di helat pada 2008 silam atas inisiasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menariknya, jika pada awalnya KTT ini hanya difokuskan untuk membincangkan masalah pembangunan demokrasi di kawasan Asia, kini BDF sudah diperlebar cakupannya untuk membicarakan demokrasi di tingkat global. Hal itu tercermin dari negara-negara yang diundang, yakni negara-negara dari Asia, Timur Tengah, dan Pasifik.

Namun sejatinya, seperti dikemukakan oleh Presiden SBY tatkala membuka konferensi ini pertama kali pada tahun 2008 silam, BDF diselenggarakan bukan dimaksudkan untuk menghakimi penerapan demokrasi di negara-negara dunia. Forum ini hanya ditujukan untuk sharing discussion dalam rangka berbagi pengalaman terkait penerapan demokrasi dinegara-negara peserta konferensi.

Seperti diketahui, hingga saat ini, belum penafsiran yang ajeg terkait penerapan sistem demokrasi yang paling ideal. Demokrasi selalu diterapkan masing-masing negara dengan merujuk kesesuaian sejarah dan budayanya. Seperti halnya Indonesia, demokrasi telah dicoba berulang-ulang hingga menemukan bentuknya seperti yang sekarang. Indonesia pernah menjajal Demokrasi Parlementer pada masa 1945 – 1959. Kemudian mencicipi Demokrasi Terpimpin pada fase 1959 – 1965 yang kemudian berganti selera menjadi Demokrasi Pancasila ala Orde Baru pada masa 1965-1998. Sejak runtuhnya Orde Baru, Demokrasi Pancasila ala Era Reformasi pun diberlakukan sejak 1998 hingga sekarang.

Merujuk kondisi di atas, menjadi cukup relevan apabila Indonesia kemudian memprakarsai sebuah forum yang khusus mendialogkan demokrasi. Disamping pengalaman panjang menggeluti demokrasi, Indonesia juga merupakan negara terbesar ketiga didunia yang menerapkan demokrasi. Pertanyaanya, kenapa harus sistem politik demokrasi?

Pemerataan Kesejahteraan

Sejak kelahirannya, demokrasi memang selalu memunculkan perdebatan serius, baik dalam tataran teoritis maupun praktis. Dari sisi teori, telah mengemuka ratusan atau bahkan ribuan pandangan tentang model demokrasi ideal. Sementara disudut praktis, puluhan negara rela mengalami jatuh-bangun dalam upaya trial and error penerapannya, termasuk Indonesia.

Kerelaan negara-negara dunia untuk trial and error dalam penerapan demokrasi ini, hemat saya, karena didasari oleh nilai yang terkandung didalamnya. Demokrasi diyakini bisa memberikan pemerataan kesejahteraan bagi semua warga negara, baik dibidang politik maupun ekonomi.

Hal itu seperti dikemukakan seorang warga negara Inggris berketurunan India yang meraih nobel bidang ekonomi, Amartya Sen (2001). Melalui penelitiannya, ia menujukkan bahwa pengawasan dalam sistem demokrasi atas kekuasaan politik dan ekonomi bisa mengantarkan pencapaian kemakmuran sebuah negara. Dan hanya dalam pengawasan sistem demokrasi pula, pemerataan peluang bagi semua warga negara untuk mendapatkan bagiannya dari distribusi kemakmuran yang dicapai negara bisa tercipta. Tanpa pengawasan sistem demokrasi, peluang distribusi kemakmuran secara adil dan merata ia pandang sangatlah kecil.

Itu sebabnya, sistem demokrasi menjadi sangat familiar. Dari sekian banyak sistem politik yang pernah hadir dan dijalankan dalam sejarah bangsa-bangsa di bumi, demokrasi dianggap sebagai sistem politik yang relatif lebih baik dari sistem-sistem lainnya. Sebagaimana dikemukakan oleh S.I. Benn dan R.S. Peters dalam Principles of Political Thought (1964), pasca Perang Dunia II, demokrasi menjadi sistem politik primadona yang dianut oleh sebagian besar negara-negara di dunia. Unesco pun kemudian mempertegas temuan itu dalam hasil penelitiannya pada 1945 dengan mengatakan bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah, demokrasi dinyatakan sebagai sistem yang paling baik dan wajar (rasional) untuk semua bentuk organisasi politik maupun sosial yang diperjuangkan para pendukungnya.

Secara sederhana, demokrasi bisa didefinisikan sebagai sistem politik yang kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas, yang dilakukan oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat melalui pemilihan umum secara berkala, dimana pemilihan umum tersebut harus didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan kebebasan politik (Henry B. Mayo 1960).

Di luar sistem demokrasi, distribusi pemerataan pembangunan, baik politik maupun ekonomi sangatlah mustahil. Dalam sistem di luar demokrasi, khususnya dibidang politik, sangat tidak mungkin anak seorang petani bisa menjadi pemimpin politik tertinggi (presiden/perdana menteri). Diluar sistem demokrasi, sangat tidak mungkin pula ada kebebasan berorganisasi, berpendapat, dan menentukan nasib diri sendiri. Itu sebabnya, demokrasi banyak didukung, diluar kelebihan dan kekurangannya.

Menjaga Konsolidasi Politik

Dalam konteks Indonesia, perjalanan demokrasi belumlah usai. Masa transisi dari kepemimpinan otoriter era Orde Baru ke Era Reformasi saat ini masih banyak mengalami batu sandungan. Konflik masih banyak bermunculan dan pemaksaan kepentingan sekelompok elit politik masih mendominasi. Kondisi ini harus terus dijaga agar arah menuju fase konsolidasi demokrasi bisa cepat dilakukan.

Penjagaan ini sangat penting agar era transisi yang kita lalui tidak berbelok arah. Sebagaimana dikemukakan oleh Guillermo O'Donnell, fase transisi demokrasi ke fase konsolidasi demokrasi kerap memunculkan banyak kemungkinan negatif. Menurutnya, masa transisi bisa saja membentuk sistem otoriter dalam wajah yang baru, atau menyembulkan revolusi sosial yang disebabkan menajamnya konflik–konflik kepentingan di tengah masyarakat, dan atau terjadinya liberalisasi sistem otoriter yang dilakukan oleh penguasa pasca masa transisi. Tentu hal tersebut tidak kita inginkan. Yang kita harapkan adalah era transisi ini bisa dilaui dengan baik dan mengantarkan kita ke sebuah era yang betul-betul demokratis.

Saat ini, era konsolidasi politik sepertinya tinggal selangkah lagi. Meski masih ada kekurangan di sana-sini terkait konsolidasi kelembagaan politik kita, namun arah yang kita tempuh sudah on the track. Itu sebanya, forum demokrasi seperti Bali Democracy Forum ini harus dimanfaatkan secara maksimal. Indonesia sebagai tuan rumah dan pemrakarsa, harus mampu menyerap dan memanffaatkan moment ini untuk terus belajar. Karena dengan banyak belajar, masa depan demokrasi kita sepertinya akan cerah.

Baca Selengkapnya...

SBY dan “Knight Grand Cross of the Order of Bath”

Oleh : Abdul Hakim MS


Wajah Indonesia kembali bersemi di luar negeri. Di saat media lokal terus menghujani kritik terhadap pemerintahan Yudhoyono, di luar negeri, peran Presiden SBY dalam membangun bangsa malah terus menuai apreseasi positif. Berbagai penghargaan datang silih berganti, mulai dari penghargaan dari PBB, Majalah Time, Avatar, Newsweek maupun dari Global Microcredit Summit Campaign. Yang terbaru dan cukup membanggakan adalah penghargaan yang diberikan oleh Ratu Inggris, Queen Elizabeth II.

Penghargaan yang diterima Presiden SBY dari Kerajaan Inggris ini terbilang cukup istimewa, yakni ”Knight Grand Cross of the Order of Bath”. Hal ini disebabkan, hanya segelintir pemimpin dunia saja yang pernah mendapatkannya. Mereka adalah Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan, Presiden Perancis Jaques Chirac, dan Presiden Turki Abdullah Gul.

Dalam tradisi Inggris, anugerah “Knight Grand Cross of the Order of Bath” diberikan kepada seseorang yang memiliki prestasi luar biasa. Pada awalnya, gelar tersebut hanya disematkan kepada sosok yang berjasa di bidang kemiliteran Inggris. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, penghargaan ini kemudian juga di berikan kepada sipil yang turut berperan dalam perubahan dunia. Pertama kali penghargaan ini diberikan oleh Raga George I pada tahun 1725. Pertanyaannya, pantaskah Presiden SBY menggamit penghargaan ini?

Laju Demokrasi dan Ekonomi

Jika merujuk alasan kenapa penghargaan ini diberikan, sepertinya cukup wajar jika Presiden SBY menerima penghargaan ini. Seperti dikemukakan oleh Duta Besar Inggris untuk Indonesia Mark Canning, ada dua alasan utama sehingga “Knight Grand Cross of the Order of Bath” jatuh kepangkuan SBY. Alasan pertama adalah berkat perkembangan demokratisasi di Indonesia yang sangat pesat. Berbeda dengan negara lain, waktu yang dibutuhkan dalam mengarungi masa transisi dari negara diktator menjadi negara demokrasi relatif sangat cepat.

Atas capaian fenomenal ini, Indonesia kini menjadi contoh bagi model transisi demokrasi di dunia ketiga. Banyak negara yang ingin belajar melalui Bali Democracy Forum (BDF) yang setiap tahunnya digelar di Indonesia. Forum ini bukan media kerjasama program antar-negara, melainkan hanya sharing session mengenai pelaksanaan demokrasi di sejumlah kawasan. Itu sebabnya, kegiatan ini selalu dihadiri oleh delegasi dari puluhan negara, kelompok masyarakat, NGO, dan pihak-pihak yang mendukung penguatan hak-hak sipil.

Selain laju demokrasi, alasan kedua mengapa penghargaan tersebut diberikan adalah karena kemajuan perekonomian Indonesia yang luar biasa. Ratu Inggris sangat terkesan atas capaian pertumbuhan ekonomi yang dulu sempat luluh-lantah akibat krisis ekonomi 1998. Tak dinyana, Indonesia mampu bangkit dan menjadi salah satu negara anggota G-20 yang memiliki perkembangan pembangunan ekonomi cukup pesat.

Seperti di ketahui, Indonesia memang menjadi negara yang memiliki daya tahan cukup kuat saat krisis melanda dunia pada 2008 dan 2012. Alih-alih ikut tergerus, Indonesia malah mencatatkan pertumbuhan yang sangat positif. Lihat saja data pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak 2006. Di saat beberapa negara dunia sedang tiarap, Indonesia pada tahun itu mengalami pertumbuhan sebesar 5,5 persen. Demikian halnya di tahun-tahun berikutnya, pada 2007 pertumbuhan mencapai 6,3 persen, 2008 mencapai 6 persen, 2009 mencapai 4,6 persen, 2010 mencapai 6,1 persen, dan pada 2011 mencapai 6,5 persen.

Pada tahun ini, pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2012 bisa menembus angka 6,4 persen atau naik dibandingkan dengan triwulan yang sama pada tahun 2011 yang sebesar 6,3 persen. Itu sebabnya pemerintah cuku optimis pertumbuhaan tahun ini bisa berada di angka 6.3 – 6.5 persen. Bahkan pemerintah sangat optimis pada tahun 2013 pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada diangka 6.8 persen.

Melihat paparan ini, penghargaan yang diterima Presiden SBY menjadi sangat relevan. Kinerja baik dalam menumbuhkembangkan demokrasi, plus kinerja ekonomi yang cukup mengesankan, menjadikan “Knight Grand Cross of the Order of Bath” sangat layak disematkan pada Menantu Sarwo Edhi Wibowo ini.

Mengatasi Bottleneck

Penghargaan yang diterima oleh Presiden SBY ini harus dimanfaatkan dengan baik. Hal ini bisa dijadikan modal utama untuk terus meningkatkan kerja sama bilateral kedua negara. Selama ini, Inggris merupakan mitra dagang terbesar kedua Indonesia setelah Singapura.

Pada tahun 2011, total nilai ekspor Indonesia ke Inggris mencapai US$ 1,72 miliar. Angka ini sebetulnya naik sedikit dibandingkan tahun sebelumnya senilai US$1,7 miliar. Ekspor Indonesia ke Inggris didominasi oleh produk alas kaki, furnitur, mesin cetak, karet alam, serta beberapa jenis pakaian. Sementara total nilai impor Indonesia dari Inggris pada tahun 2011 mencapai US$1,17 miliar, atau naik jika dibandingkan tahun sebelumnya sebesar US$938 juta. Impor Indonesia dari Inggris didominasi oleh produk daur ulang kertas dan karton, otomotif, baja dalam bentuk waste dan scrap, serta peralatan kapal pesiar, perahu dayung, dan kano.

Melihat baiknya hubungan dagang kedua negara, sudah sepatutnya Indonesia bisa memanfaatkan momentum ini. Indonesia bisa meminta bantuan terutama untuk menyingkirkan bottleneck aturan REACH atau Registration, Evaluation, Authorization and Restrictions of Chemicals. Selama ini, REACH telah menjadi penghambat terbesar masuknya produk-produk Indonesia ke Inggris dan Uni Eropa.

Selain itu, Indonesia juga bisa bekerja sama dengan Inggris untuk mendorong Eropa agar segera memberikan pengakuan atas Sistem Verifikasi Legalitas Kayu Indonesia (SVLK). Belum diakuinya SVLK, menyebabkan ekpor kayu kita menjadi terhambat. Padahal, kayu merupakan salah satu produk andalan komoditi ekspor Indonesia.

Yang tak boleh dilupakan, momentum baik penerimaan penghargaan Presiden SBY ini harus bisa dimanfaatkan untuk dapat menggaet investor sebanyak-banyaknya. Indonesia yang saat ini sedang menggenjot upaya konektivitas melalui program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), sedang membutuhkan modal besar. Tidak mudah menyambungkan negara kepulauan (Archipelago State) yang memiliki kurang lebih 17.508 pulau yang dipisahkan oleh lautan seluas 3.257.357 km². Akan mustahil hal itu bisa diwujudkan apabila hanya mengandalkan pembiayaan dari APBN.

Baca Selengkapnya...

Membangun Tanpa Utang

Oleh : Abdul Hakim MS


Dalam pidatonya mewakili delegasi Indonesia pada kegiatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Cooperation Dialogue (ACD) di Kuwait (16/10/2012) yang lalu, Menko Perekonomian Hatta Rajasa mempromosikan pentingnya konektivitas disemua negara Asia. Konektivitas ini dibutuhkan untuk mempermudah terhubungnya jalur sumber bahan baku dengan sentra produksi agar daya tahan ekonomi Asia makin kokoh.

Seperti diketahui, benua Asia merupakan kawasan yang relatif tahan terhadap hantaman krisis ekonomi akhir-akhir ini. Disaat dunia sedang terbelit krisis berat, beberapa negara di Asia malah mencatat pertumbuhan ekonomi yang cukup mengesankan, salah satunya adalah Indonesia.

Berdasarkan laporan terbaru Asian Development Outlook, pertumbuhan Produk Domestik Bruto di Asia pada tahun 2012 ini akan mencapai 6,9 persen. Angka ini diprediksi akan terus meningkat menjadi 7,3 persen pada 2013. Pertumbuhan PDB Asia ini jauh di atas pertumbuhan PDB dunia yang hanya sebesar 2,5 persen pada 2012. Diperkirakan oleh Bank Dunia, pada tahun 2013, pertumbuhan PDB dunia hanya akan meningkat menjadi 3 persen.

Hemat saya, kampanye konektivitas yang digaungkan Hatta Rajasa di kawasan Asia bukanlah tanpa alasan. Indonesia yang menjadi salah satu negara Asia dengan pembangunan ekonomi yang cukup mengesankan, telah dari awal melakukan upaya konektivitas melalui program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Jika program ini berhasil, tentu akan bisa menjadi rule model Asia untuk menerapkannya. Pertanyaannya, sanggupkah pembangunan konektivitas Indonesia diwujudkan melalui program MP3EI?

Kendala Pembiayaan

Upaya pembangunan konektivitas dalam negeri bukanlah perkara mudah. Indonesia yang terdiri atas banyak pulau (Archipelago State) dengan jumlah kurang lebih 17.508 pulau, masih harus dipisahkan oleh lautan seluas 3.257.357 km². Untuk membangun konektivitas, tentu kendala paling nyata yang harus dihadapi adalah besarnya dana yang dibutuhkan untuk merealisasikannya, khususnya dalam membangun sarana infrastruktur.

Pemerintah sendiri memprediksi, dana yang dibutuhkan untuk bisa melaksanakan seluruh program MP3EI sebesar Rp 4.012 Triliun. Jika hanya mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tentu akan sangat mustahil bisa diwujudkan dalam waktu cepat. Itu sebabnya, untuk mendanai proyek-proyek MP3EI, pemerintah mengatur porsi pembiayaan terbesar dari swasta. Pemerintah hanya dibebani pembiayaan 10 persen dan BUMN sebesar 18 persen.

Program MP3EI sendiri diluncurkan pemerintah guna mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia. MP3EI berisi berbagai proyek percepatan dan perluasan pembangunan di segala bidang, meliputi pembangunan PLTU, pengembangan bandara, penambahan armada kapal ferry, pengembangan pelabuhan, pembangunan rel kereta api, serta proyek jalan tol.

Meski demikian, hingga detik ini, banyak kalangan menilai bahwa upaya perbaikan di sektor infrastruktur yang menjadi kunci keberhasilan program MP3EI masih jalan ditempat. Investasi yang masuk ke sektor ini dari pihak swasta dipandang masih minim akibat terkendala lemahnya pelayanan birokrasi dan jaminan keamanan penanaman modal di negeri ini. Dilain pihak, maraknya perilaku korup pejabat negara juga menjadi kendala yang terus membayangi.

Melihat kondisi ini, tentu pemerintah harus gerak cepat. Lambannya birokrasi dan masih was-wasnya para investor terkait keamanan menanamkan dananya di Indonesia harus segera dicarikan solusi. Memang, pemerintah sudah berupaya keras melakukan reformasi birokrasi. Akan tetapi, hingga kini belum menampakkan hasil yang memuaskan. Demikian halnya dengan pemberantasan korupsi. Seringnya terjadi tumpang-tindih penanganan kasus korupsi menyebabkan adanya ketidakpastian terkait usaha mereduksi praktik rasuah di tanah air. Poin-poin ini harus menjadi perhatian serius pemerintah. Karena jika tidak, harapan pendanaan proyek-proyek dalam program MP3EI dari sektor swasta yang mencapai 70 persen hanya akan menjadi mimpi belaka.

Modal Investment Grade

Akan tetapi, optimisme pemerintah bisa menarik pendanaan hingga 70 persen dari sektor swasta guna membiayai proyek-proyek dalam program MP3EI sebetulnya cukup beralasan. Karena selama sepuluh tahun terakhir, kinerja ekonomi Indonesia memang cukup baik. Ini bisa dijadikan modal untuk meyakinkan investor agar mau berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi dalam negeri, khsusunya di bidang infrastruktur.

Seperti diketahui, saat ini ekonomi Indonesia tumbuh dengan meyakinkan dan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara. PDB Indonesia pada tahun 2011 telah bernilai US$ 846 miliar dengan tingkat pertumbuhan PDB sebesar 6,5 persen. Tak heran jika kemudian Moody’s and Fitch Ratings menempatkan status Indonesia sebagai negara yang sangat layak untuk investasi (investment grade).

Tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia juga sangat positif. Indonesia menjadi satu diantara tiga negara (setelah China dan India) yang tetap mampu menjaga pertumbuhan ekonomi di tengah ancaman krisis global sejak 2008. Indonesia juga menjadi satu-satunya negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang tergabung dalam kelompok 20 negara dengan status ekonomi maju dan ekonomi sedang bangkit (G20).

Tak sampai disitu, Goldman Sachs Asset Management bahkan memberi predikat Indonesia sebagai satu diantara 4 negara yang memiliki prospek sebagai poros baru ekonomi dunia. Empat negara itu antara lain Meksiko, Indonesia, South Korea (Korea selatan), dan Turki (MIST). Goldman Sachs menyebut, perkembangan di negara MIST telah berhasil menggeser perkembangan di negara-negara yang tergabung dalam BRICs (Brazil, Russia, India, dan China).

Dengan catatan sebaik itu, tak begitu mengherankan apabila kemudian Menko Perekonomian Hatta Rajasa cukup pede dengan target pemerintah terkait pendanaan proyek-proyek MP3EI dari sektor swasta. Bahkan berkali-kali, tawaran pinjaman lunak dari luar negeri kerap di tolak. Misalnya, Hatta saat berkunjung ke Jepang mendapat tawaran pinjaman dana dari negeri samurai melalui Japan Bank for International Cooperation (JBIC) untuk membiayai proyek jembatan selat sunda (JSS). Akan tetapi, tawaran itu tidak diterima. Yang terbaru, Hatta juga melakukan penolakan terhadap tawaran dana pinjaman lunak dari pemerintah Kuwait untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur.

Merujuk kondisi di atas, sudah sepatutnya Indonesia tak mengandalkan utang lagi guna membiayai proyek-proyek dalam negeri. Akan sangat baik apabila pemerintah memaksimalkan promosi pembiayaan melalui jalur investasi. Dan kita cukup gembira karena pilihan itu yang saat ini di ambil oleh pemerintah. Hatta Rajasa berkali-kali mengatakan, kita tak tertarik berhutang, namun terus berusaha menarik dana investasi. Dan itu yang dilakukan Hatta kala melakukan kunjungan ke New York, Azerbaijan, Jepang, Korea Selatan, dan Kuwait dalam dua bulan terakhir.

Baca Selengkapnya...

Apresiasi Atas Sikap Presiden

Oleh : Abdul Hakim MS


Banyak orang tak mengira, Presiden SBY berani mengambil tindakan tegas terkait konflik yang sedang membelit dua lembaga penegak hukum kita, KPK vs Polri. Di saat perseteruan dua lembaga ini berada dititik puncak, Presiden SBY berhasil meredakan situasi dengan “turun gunung” menengahi pertikaian yang semakin memanas.

Seperti diketahui, seteru KPK-Polri berada dititik didih kala polisi menggeruduk Gedung KPK untuk membawa paksa Kompol Novel Baswedan pada 5 Agustus lalu. Saat menjabat sebagai Kasatreskrim Polres Bengkulu pada 2004, Novel dituduh terlibat tindak pidana kekerasan yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang dalam kasus pencurian sarang burung walet. Novel sendiri merupakan tim penyidik KPK yang menangani kasus simulator SIM Korlantas Polri. Dalam kasus ini, nama salah satu jenderal di kepolisian, Djoko Susilo, masuk dalam daftar tersangka.

Syahdan, ulah Polri ini menuai reaksi keras dari masyarakat. Berbagai kalangan menilai, tindakan yang dilakukan korps berseragam coklat ini sebagai tindak kesewenang-wenangan. Bahkan salah satu pimpinan KPK, Bambang Widjayanto, menyebut, upaya yang dilakukan Polri merupakan bentuk kriminalisasi yang dilakukan terhadap salah satu penyidiknya.

Atas konflik yang semakin meruncing ini, Presiden pun turun tangan. Dalam keterangan pers di Istana Negara pada 8 agustus lalu, presiden mengambil empat kebijakan penting. Pertama, kewenangan penanganan kasus simulator SIM yang sebelumnya menjadi perebutan dua institusi ini diserahkan kepada KPK. Kedua, keinginan Polri untuk melakukan proses hukum terhadap Kompol Novel Baswedan dinilai presiden tidak tepat dari segi waktu dan caranya. Ketiga, masa penugasan penyidik Polri di KPK akan diatur ulang dalam peraturan pemerintah (PP). Dan keempat, upaya DPR-RI untuk melakukan revisi UU KPK sangat tidak tepat dilakukan saat ini.

Menjaga Komitmen Polri

Substansi empat kebijakan penting yang dikeluarkan Presiden SBY ini tentu menjadi kabar baik bagi masyarakat yang mengharapkan adanya penguatan terhadap kelembagaan KPK. Di saat lembaga hukum lain masih dipertanyakan komitmennya dalam upaya pemberantasan korupsi, KPK saat ini masih merupakan satu-satunya lembaga yang paling bisa diharapkan untuk menggerus praktik rasuah di tanah air.

Terhadap sikap presiden ini, kita tentu patut memberikan apreseasi. Dugaan banyak kalangan bahwa presiden SBY akan bersikap normatif terhadap konflik KPK-Polri ternyata tidak terbukti. Bahkan, apa yang disampaikan presiden ini merupakan upaya yang bisa dibilang semakin memperkokoh kedudukan KPK dalam menjalankan tugasnya. Meski demikian, para pegiat antikorupsi tak boleh terlalu terlena. Tugas pengawalan terhadap penguatan KPK belum selesai, khususnya terkait poin penanganan kasus simulator SIM yang sudah diserahkan presiden kepada KPK, dan proses hukum terhadap Kompol Novel Baswedan.

Pentingnya pengawasan tersebut merujuk pada fakta bahwa institusi Polri kerap “membangkang” instruksi yang sudah diberikan presiden. Indikasi tersebut terlihat dari masih ngototnya Polri untuk tetap melanjutkan proses hukum terhadap Kompol Novel Baswedan. Padahal, jelas-jelas Presiden SBY mengatakan bahwa proses hukum yang dikenakan kepada Novel saat ini sangat tidak tepat, baik dari sisi waktu maupun caranya.

Selain indikasi pembangkanan di atas, kasus pembangkangan lain juga kerap dilakukan Polri. Tentu kita masih ingat terkait kasus rekening gendut para perwira tinggi Polri yang menghebohkan pada tahun 2011. Untuk menepis kecurigaan masyarakat, Presiden SBY memerintahkan agar kasus rekening gendut mantan jenderal-jenderal Polri dituntaskan. Bahkan perintah presiden untuk membuka data rekening gendut tersebut juga diperkuat dengan putusan Komisi Informasi Pusat yang mengabulkan gugatan ICW pada 8 Februari 2011. Dalam gugatannya, ICW meminta agar data rekening jumbo tujuh belas perwira Polri dibuka. Akan tetapi, hingga kini belum terlihat itikad baik pihak Polri untuk melakukan hal tersebut.

Kasus lain terkait perintah presiden yang tak dengan segera ditindaklanjuti Polri adalah investigasi terhadap kasus penganiayaan yang menimpa aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama S Langkun. Pada Juli 2010, tama yang baru pulang nonton sepak bola dari Kemang, tiba-tiba diserang sejumlah pria tak dikenal sampai luka di bagian kepala sehingga membutuhkan 29 jahitan. Penganiayaan itu sendiri diduga, karena Tama merupakan pelapor ‘rekening gendut’ perwira tinggi Polri ke KPK.

Beberapa indikasi di atas menunjukkan bahwa Polri sering lambat menangani kasus-kasus yang memiliki keterkaitan langsung dengan institusinya. Untuk itu, dalam kasus simulatir SIM yang melibatkan perwira tingginya, tentu perlu dilakukan pengawalan berbagai pihak agar perintah Presiden SBY betul-betul bisa dilaksanakan.

Political will DPR-RI

Selain poin perintah penyerahan penanganan kasus simulator SIM ke KPK, poin krusial lain yang perlu ditindaklanjuti adalah himbauan presiden terkait tak tepatnya DPR-RI melakukan reivisi UU KPK saat ini. Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dinilai sudah cukup mumpuni untuk menindak para koruptor. Proses revisi yang diantaranya mengusulkan hilangnya wewenang penuntutan oleh KPK dan kewenangan penyadapan yang dilakukan KPK harus mendapat izin pengadilan, dipandang hanya sebagai upaya politisi di Senayan untuk melemahkan keberadaan KPK.

Padahal, korupsi dinegeri ini sudah seperti tumor stadium empat yang sangat sulit untuk diangkat. Apabila kewenangan penuntutan dan penyadapan dihilangkan, lantas apalagi kewenangan yang dipunyai KPK? Itu sebabnya, political will DPR-RI saat ini sangat dibutuhkan guna mendukung gerakan KPK yang saat ini sedang melakukan bersih-bersih di tubuh Polri.

Pekerjaan bersih-bersih di tubuh Polri bukanlah perkara mudah. Lembaga korps Bhayangkara ini merupakan institusi yang seolah “tak terjamah hukum” selama ini. Padahal, bersih-bersih di tubuh Polri ini sangat penting dilakukan, jika merujuk keberhasilan pembentukan Independent Commission Against Corruption (ICAC) di Hongkong tahun 1973.

ICAC saat ini banyak menjadi rujukan berbagai negara untuk membentuk model lembaga anti korupsi. Keberhasilan utama ICAC adalah gebrakannya dalam memberantas korupsi. Tidak tanggung-tanggung, sosok yang pertama ditangkap adalah Peter Godber, Kepala Kepolisian Hongkong. Ia memiliki kekayaannya yang dinilai tidak masuk akal jika dilihat dari pendapatan resminya. Gebrakan ICAC ini menggetarkan seluruh jajaran kepolisian yang selama kurun waktu 1960 hingga awal 1970 seolah kebal terhadap hukum. Hasilnya, kepolisian Hongkong dikenal sebagai yang paling efektif dan tidak korup di Asia (Klitgaard, 1998).

Merujuk pengalaman tersebut, kebijakan antikorupsi akan efektif jika ditopang oleh kuatnya kewenangan lembaga antikorupsi yang ada. Karena sangat mustahil ICAC mampu dan berani menangkap Kepala kepolisian Hongkong jika tak disertai kewenangan yang memadai dari undang-undang. Itu sebabnya, patut kita himbau, hendaknya DPR memiliki kemauan politik yang kuat untuk memberantas korupsi. Sehingga usulan revisi UU KPK tak dimaksudkan untuk melemahkan, namun sebaliknya untuk memperkuat KPK. Telah tiba saatnya, momentum perseteruan KPK-Polri ini dijadikan papan loncatan utama dalam upaya gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Baca Selengkapnya...