Wednesday, July 23, 2008

Jurang Terjal Presiden 2009

Oleh: Abdul Hakim MS.

Harian Umum Pelita, 23 Juli 2008

Pada 7 Juli 2008, babak baru sejarah perpolitikan Indonesia kembali tergores. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengundangkan 34 partai politik nasional (dan 6 partai lokal di Aceh) sebagai peserta pemilu legislatif 9 April 2009. Jumlah ini tentu (tak) mengejutkan. Ekpektasi besar yang digadang untuk membentuk sistem kepartaian yang efektif (multi-partai sederhana) guna mendukung sistem presidensil, pupus. Kita kembali lagi kesiklus sistem kepartaian multi-partai ekstrim, meski jumlahnya tak sebanyak seperti pada pemilu 1955.

Euforia demokrasi kita memang belum berhenti. Pada 1955, jumlah parpol yang ikut pemilu sempat mencapai jumlah 172 partai. Pada 1971, menciut menjadi 10 partai. Pada 1977-1997, dengan paksaan melakukan fusi oleh pemerintah Orde Baru, partai politik peserta pemilu mewujud menjadi hanya 3 saja.

Namun setelah era reformasi menjelang, kembali semarak mendirikan partai yang sempat terbendung, membuncah. Pemilu 1999 diikuti 48 partai. Lima tahun berikutnya, menyempit menjadi 24 partai. Dan pada pemilu 2009 mendatang, sekali lagi, surat suara akan disesaki oleh gambar 34 partai yang berbeda. Apa implikasinya?

Potensi Golput Tinggi

Banyaknya jumlah parpol yang ada, secara eufinis mungkin bisa diinterpretasikan sebagai bentuk keragaman negeri ini. Namun ada pandangan skeptis bahwa lahirnya banyak parpol akhir-akhir ini, hanya dilandasi oleh kehausan elit memperoleh kekuasaan. Skeptisisme ini muncul, lantaran petinggi-petinggi parpol baru, masih didominasi oleh sempalan kader-kader partai lama. Sebut saja Wiranto dengan Hanura-nya, Prabowo dengan Gerindra-nya dan seterusnya.

Jika merujuk pada hasil survei, sikap skeptisisme ini seoalah mendapatkan legitimasi. Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis data, bahwa Jauh lebih sedikit dari publik yang yakin bahwa partai politik mewakili keinginan pemilih. Angkanya juga cukup tinggi, 72,9%. Publik begitu yakin bahwa parpol hanya memperjuangkan segelintir kelompok kecil.

Disamping itu, publik juga tak mampu membedakan parpol dalam tataran visi-misi dan program kerja yang jelas karena jumlahnya cukup banyak. Survei Indo Barometer (IB) pada Juni 2008 menyebut, 88,2% publik menyatakan jumlah partai politik saat ini terlalu banyak. Publik menjadi bingung. Dan kalau sudah begitu, banyak diantara mereka yang menginginkan untuk tidak memilih pada pemilu 2009 mendatang (golput).

Indikasi naiknya golput pada pemilu 2009, sebenarnya sudah bisa diprediksi sejak dini. Selain faktor di atas, kala kita mengacu sejarah kepemiluan Indonesia, dari Pemilu 1971 hingga ke Pemilu 2004, tren persentase pemilih yang menggunakan hak suaranya kian menyusut. Ironisnya, titik penurunan itu terjadi saat demokrasi dan kebebasan sangat terbuka, Pemilu 1999 dan 2004. Pada Pemilu 1999, pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya naik menjadi 7,2 persen dibandingkan Pemilu 1997 yang hanya 6,4 persen saja.

Lebih parah, penurunan partisipasi itu terjadi pada Pemilu 2004 lalu. Dalam tiga rangakaian pemilu yang diselenggarakan secara berurutan kala itu, sebanyak 16 persen dari pemilih terdaftar tidak menyumbangkan suaranya untuk pemilu legislatif. Kemudian, angka ini mengalami kenaikan menjadi 21,77 persen pada pilpres putaran pertama. Angka ini kembali naik pada pilpres putaran kedua menjadi 23,37 persen. Padahal, dalam Pemilu 2004, sistem pemilu sudah berubah menjadi pemilihan secara langsung dan euforia demokrasi sedang marak-maraknya.

Untuk pemilu 2009, sepertinya kita tak banyak bisa berharap. Selain kejengahan masyarakat terhadap sepak-terjang partai politik, publik juga telah pandai menganalisa mana partai yang benar memberikan manfaat pada mereka dan mana partai yang hanya menjadi ”pecundang”.

Tentu Indikasi ini tak begitu baik bagi perkembangan demokrasi kita. Institusi publik yang dipilih melalui lembaga pemilu, menjadi tereduksi legitimasinya, baik legislatif maupun eksekutif.

Borgol Presiden

Implikasi lain yang hadir tatkala jumlah partai politik mewabah, adalah kesulitan eksekutif melakukan konsolidasi pemerintahan. Seperti kita tahu, sistem pemerintahan kita saat ini adalah presidensialisme. Sistem presidensial, bisa berjalan efektif apabila didukung oleh sistem kepartaian multipartai sederhana. Saat ini, sistem kepartaian kita multi partai ekstrim dengan jumlah peserta pemilu mencapai 34 partai politik.

Coba kita berandai-andai hasil pemilu 2009 berdasarkan hasil survei Indo Barometer (IB) pada Juni 2008. Kira-kira bagaimana susunan kabinetnya dan apa persoalan utama yang dihadapi oleh presiden.

Berdasarkan data Indo Barometer Juni 2008, PDIP memenangkan pemilu legislatif dengan 23%. Sedangkan pemenang pemilihan presiden juga digamit oleh Megawati dengan 30,9%. Jika kondisi ini yang terjadi, PDIP dan Megawati bisa menghasilkan unified government (pemerintahan yang satu) karena pemenang pemilu legislatif dan presiden berasal dari partai yang sama. Namun, kondisi ini tak menjamin pemerintahan Mega bisa berjalan efektif. Karena di DPR, 77% kekuatan diisi oleh partai lain. Mau tak mau, Mega tetap harus mengakomodasi kekuatan besar ini, sehingga kabinetnya akan menjadi pelangi. Kondisi ini tentu menjadi ”borgol” tersendiri bagi Ketua Umum PDIP ini. Berdasarkan pengalaman, menteri yang notabene berasal dari perwakilan partai politik DPR, kerap berbuat dualisme. Satu sisi membela kebijakan pemerintah, namun di DPR, partainya mengkritik habis kebijakan yang telah disepakati.

Skenario kedua, pemilu legislatif dimenangkan oleh PDIP dengan 23% dan pemilihan presiden dimenangkan SBY. Skenario ini terjadi bila PDIP survive sebagai parpol pemenang pemilu 2009 dan SBY berhasil memulihkan popularitas dirinya yang sekarang anjlok. Meskipun sekarang mungkin lebih berat, data survei tahun 2005-2006 menunjukkan SBY pernah melakukan ”recovery” popularitas dirinya. Pasca kenaikan BBM tahun 2005, kepuasan terhadap pemerintahan SBY turun. Namun bisa merangkak naik kembali pada tahun 2006.

Jika hal ini yang terjadi, SBY tetap seperti posisinya sekarang. Kesulitan mengendalikan kabinetnya karena ia harus membentuknya dari komposisi berbagai macam parpol. Dan jika kabinetnya bentuknya seperti ini, situasi pemerintahan 2004-2009 kembali akan terulang. SBY akan dikepung dualisme kepentingan pembantunya, sebagai bawahan dan juga sebagai politisi partai.

Kondisi yang sama juga akan terjadi apabila pemenang pemilihan presiden digenggam oleh kandidat lain, misalnya Wiranto, Prabowo, Sutiyoso, Sultan HB X atau siapa saja, sedangkan pemenang pemilu di rengkuh PDIP atau Golkar. Mereka akan tetap dihadapkan pada biasnya kekuatan parpol di DPR, yang secara tidak langsung akan membuat sulit presiden untuk mengeluarkan kebijakan secara sempurna. Jika kondisinya seperti ini, siapapun presiden yang terpilih pada pemilu 2009, jurang terjal telah menghadang didepan mata.

Masihkan kita optimis dengan hasil pemilu 2009 untuk menyembulkan pemimpin yang bisa membawa kita keluar dari multikrisis yang masih mendera bangsa ini hingga kini? Biarlah waktu yang menjawab.

Baca Selengkapnya...

Tuesday, July 22, 2008

Soliloquy Penutupan Kasus HAM TimTim

Oleh : Abdul Hakim MS.

Suara Karya, 22 Juli 2008

“Kami menyampaikan penyesalan yang amat dalam atas apa yang terjadi dimasa lalu yang menimbulkan banyak korban jiwa. ...hasil rekomendasi KKP menjadi proses penyembuhan luka lama dan menjamin agar kejadian serupa tak terulang lagi...”

Kasus panjang pelanggaran HAM sebelum dan sesudah jajak pendapat di Timor-Timur (Timtim), usai sudah. Kesepakatan dua negara, antara Indonesia dan Timor Leste pada 15/7 di Grand Hyatt Nusa Dua, Bali, menjadi penutup episode. Hasil rekomendasi KKP (berisi 12 butir), yang salah satunya mengakui adanya pelanggaran HAM disana, hanya dijadikan sebagai prasasti, tanpa diikuti proses meja hijau.

Kedua negara berbesar hati. Presiden SBY, Presiden Ramos Horta dan Perdana Menteri Xanana Gusmao telah legowo. Kutipan di atas adalah sepenggal isi sambutan SBY. Namun kalangan LSM menjerit. Ketua Setara Institut Hendardi, misalnya, menilai kesepakatan RI-Timor Leste yang hanya menyesal dan sepakat tidak meneruskan pelanggaran berat HAM menjelang dan sesudah jajak pendapat ke ranah hukum, adalah prestasi terburuk SBY dalam bidang penegakan HAM.

Cukup kontroversial memang. Namun yang menggelitik untuk dicermati, jika dikaitkan dengan dekatnya konstelasi pemilu 2009, kenapa SBY malah menutup kasus ini? Bukankah yang gencar “dihantam” dalam kasus ini adalah Wiranto (saat itu menjadi Panglima TNI) dan Prabowo (disinyalir menggerakkan milisi prointegrasi pada 1998)? Padahal dua-duanya akan menjadi kompetitor kuat SBY pada pemilu 2009?

Citra Internasional

Seperti kita faham, Wiranto keluar dari Golkar dan mencoba peruntungan maju menjadi capres 2009 dengan menunggang perahu baru bernama Partai Hanura. Prabowo pun serupa. Ia bergeming dari Golkar dan mendayung Partai Gerindra. Hanura, dalam prediksi beberapa lembaga survei juga telah bergigi. Indo Barometer dalam survei Juni 2008, misalnya, memberi indikasi angka dukungan sekitar 2,5%. Dengan masa kampanye mencapai 9 bulan, sangat mungkin Hanura akan meraup suara pemilih lebih besar. Pun dengan Gerindra. Indikasi bahwa partai ini bisa melampaui angka parliamentary trheshold juga cukup menjanjikan. Artinya, kesempatan buat Wiranto dan Prabowo menjadi pesaing SBY di 2009 sangat terbuka.

Naif. Sebagai politisi, sharusnya SBY bisa menjadikan kasus pelanggaran berat TimTim ini sebagai kartu truf. Besarnya kans Wiranto dan Prabowo menjadi pesaingdi pemilu 2009, bisa dipotong jika kasus ini terus berjalan. Dan cara yang paling mungkin, mendorong kasus ini agar menginternasionalisasi. Tapi kenapa tak dilakukan? Bahkan SBY malah terkesan ”membela” Wiranto dan prabowo?

Diluar pro-kontra yang mengiringi, setidaknya ada dua tafsir politik yang bisa dimunculkan terkait mengapa SBY memilih langkah ini. Pertama, SBY (mungkin) ingin menunjukkan bahwa Indonesia bisa bersikap mandiri dalam menyelesaikan persoalan dalam negeri. Dalam kasus pelanggaran HAM di TimTim, cukup diakhiri dengan kesepakatan dua negara, tanpa melibatkan kepentingan asing untuk bermain didalamnya. Karena jika asing sudah turun tangan, kita seolah ”tanpa daya” menghadapinya.

Kedua, SBY (mungkin) mengambil resiko, lebih baik menghadapi Wiranto dan Prabowo dalam pemilu 2009, daripada harus berhadapan dengan dunia internasional berlabel citra buruk menjadi negara pelanggar HAM berat. Selama ini, SBY dikenal sebagai pemimpin paling dipercaya dapat menyelesaikan persoalan dunia. World Public Opinion (WPO), misalnya, menempatkan SBY dalam urutan paling atas pemimpin Asia Pasifik yang paling bisa menyelesaikan persoalan dunia. Dalam data yang dilansir pada 16 Juni 2008, melibatkan 19.751 responden dari 20 negara yang total penduduknya meliputi 60 persen populasi dunia, dengan margins of error antara 2-4 persen itu, SBY (51%) mengungguli PM Jepang Yasuo Fukuda (32 persen), PM Australia Kevin Rudd (31 persen), Presiden Korut Kim Jong-il (28 persen), PM India Manmohan Singh (21 persen) dan Presiden Filipina Gloria Macapagal Arroyo (19 persen). Tentu menjadi pertaruhan besar bagi SBY apabila ia harus berhadapan dengan dunia internasional dalam kasus pelanggaran HAM TimTim. Citra baik yang disandang selama ini, bisa tergores.

Pertaruhan 2009

Dengan penutupan kasus HAM TimTim, tentu tak ada hadangan berarti lagi buat Wiranto dan Prabowo meretas jalan menuju kursi RI-1. Satu-satunya ganjalan bagi keduanya hanyalah perahu politik. Namun dengan kekuatan ”materi” yang ada, rasanya tak cukup susah buat mereka untuk menggamit kendaraan politik dengan jalan koalisi.

Namun, bukan menjadi persoalan besar (mungkin) bagi SBY untuk meredam keduanya. Hingga kini, berdasar pada hasil beberapa lembaga survei, suara Wiranto dan Prabowo masih (relatif) kecil. Survei terbaru Indo Barometer (IB) pada Juni 2008 lalu, misalnya, masih menempatkan Wiranto dikisaran angka 7,8%. Sedangkan Prabowo lebih kecil lagi 1,5%. Memang, popularitas SBY (19%) kini sedang disalip Mega (26,1%). Meskipun mungkin lebih berat, data survei tahun 2005-2006 menunjukkan SBY pernah melakukan ”recovery” popularitas dirinya. Pasca kenaikan BBM tahun 2005, kepuasan terhadap pemerintahan SBY turun, namun bisa merangkak naik kembali pada tahun 2006.

Yang mungkin mengusik SBY, justeru counter attack terkait kasus penutupan pelanggaran HAM TimTim. Kedepan, bisa saja SBY ”dihajar” dengan citra sebagai sosok pemimpin yang gagal dalam penegakan HAM. Arah panah yang tadinya tertunjuk ke Wiranto dan Prabowo, bisa menjadi boomerang dan menghantam balik. Jika sudah begitu, rasanya medan SBY semakin terjal dan pertaruhan SBY pada pemilu 2009 terlalu berisiko. Alih-alih memenangkan pilpres, SBY malah bisa jadi rontok oleh Wiranto atau bahkan Prabowo.

Meski pertaruhannya cukup besar, namun langkah SBY patut diapreseasi positif. Bisa jadi, dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM TimTim ini, SBY terinspirasi langkah Nelson Mandela. Hubungan Indonesia-Timor Leste tak akan pernah bisa berkembang baik jika terus dihantui kasus pelanggaran HAM. Sama halnya dengan Mandela, ia tak akan bisa bergerak luas dalam masa transisi demokrasi di Afrika Selatan, apabila ia terus digelayuti kasus pelanggaran HAM mantan petinggi-petinggi rezim apartheid. Langkah pemberian imunitas terhadap petinggi-petinggi rezim apartheid seperti Mantan Presiden VW De Clerk, Wapres PW Botha, Kepala Angkatan Bersenjata Magnus Malan serta bekas petinggi rezim apartheid lainnya, terbukti manjur mengantarkan rekonsiliasi Afsel menuju tatanan demokrasi yang lebih baik.

Akhirnya saya bersoliloqui. Apakah dengan penghapusan kasus pelanggaran HAM TimTim akan mengantarkan hubungan Indonesia-Timor Leste menjadi lebih baik seperti di Afsel? Dan apakah nantinya nama SBY, Ramos Horta dan Xanana Gusmao akan tercatat harum sebagai tokoh rekonsiliator kedua negara laksana Mandela di Asel? Biar sejarah yang akan mencatatnya.

Baca Selengkapnya...

Tuesday, July 01, 2008

Cerita Kawan Lama

Lama nomor itu tak muncul dilayar handphoneku. Lama juga suara itu tak hinggap ditelingaku.


“Politik lagi panas” suara seorang wanita diseberang sana.

”Panas?”

”Ya panas. Hasil survei terakhir membuat kelojotan banyak orang. Hahahaha....”

MEMANG, beberapa hari yang lalu, tepatnya hari minggu, 29 Juni 2008, sebuah lembaga survei nasional, INDO BAROMETER, mengeluarkan hasil riset terbarunya. Indo Barometer adalah sebuah lembaga survei yang diketuai oleh M. Qodari. Ia dulu pernah di LSI, baik Lembaga maupun Lingkaran Survei Indonesia. Ia dulu juga pernah menjadi peneliti CSIS dan ISAI.

Diluar dugaan, orang yang selama ini mendominasi perolehan angka survei, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dibuat lemas. Ia harus kalah dari pesaing utamanya, Megawati. Duh...

Data itu melansir, Elektabilitas SBY menurun dibanding survei-survei yang ada sebelumnya. Anjloknya tajam. Dari 38,1% pada Desember 2007, menjadi 20,7% pada Juni 2008. Cukup telak. Reduksinya hingga 18%. Oooowwwww.....

Sementara Megawati, sedikit membusungkan dada. Ia yang kalah dalam ronde-ronde sebelumnya, bisa menekuk tangannya di atas pinggang. Angkanya menyalip SBY. Elektabilitasnya menanjak dari 27,4% pada Desember 2007, menjadi 30,4% pada Juni 2008. Plak..plak..plak.. bagi para pendukung Mega.

“Faktor utama kenapa tingkat elektabilitas SBY menurun, karena kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Ada juga faktor lain. Cuma tak signifikan” isi analisis laporan itu.

“Masyarakat pasti akan segera mencapai titik jenuh dan menyadari semua ini Cuma politicking (permainan politik)” bela Wakil Ketua Partai Demokrat keesokan harinya di Koran Indo Pos.

“Dalam enam bulan kedepan, popularitas SBY akan tumbuh kembali. Karena ekonomi juga akan tumbuh. Masyarakat bisa menilai mana yang lebih baik” bela pendukung SBY yang lain, Syarif Hasan di Koran Tempo pada hari yang sama.

Bagaimana dengan pendukung Mega?

”kita yakin pada September popularitas Bu Mega bakal naik lagi dengan melalkukan kampanye dan sosialisasi di Pilkada yang diikuti oleh calon-calon dari PDIP” Ungkap Direktur Pro Mega Centre, Muchtar Muhammad di koran Rakyat Merdeka.

”hasil survei ini memberi sinyal pada PDIP agar semakin berhati-hati dan makin konsisten dalam berjuang. Itu spirit untuk lebih keras bekerja. Jangan sampai terlena dengan angka” sambung Sekretaris Fraksi PDIP, Ganjar Pranowo di koran yang sama.

Bagiaman dengan yang lain?

”Mega belum tentu terpilih menjadi presiden 2009 meski tingkat elektibilitasnya di atas SBY. Jika terjadi putaran kedua di Pilpres 2009, maka calon-calon yang kalah kemungkinan akan mendukung SBY untuk melawan Mega. Jadi, kita masih harus menunggu ronde kedua” tutut pengamat ekonomi, Faisal Basri.

”Biarkan saja. Fakta kadang-kadang bisa bikin geger” kataku kepada wanita diseberang telepon sana.

Hehehehe....

Baca Selengkapnya...