Tuesday, May 29, 2012

Relevansi Primordialisme dalam Pilpres 2014

Oleh : Abdul Hakim MS


Di era demokrasi langsung seperti yang dianut Indonesia saat ini, topik primordialisme akan selalu hangat diperbincangkan menjelang pemilihan presiden. Maklum, mitos bahwa pemimpin Indonesia harus berasal dari etnis jawa masih cukup kuat disebagian besar kalangan masyarakat kita. 

Kita tentu masih ingat dengan ramalan joyoboyo yang mengatakan bahwa pemimpin Indonesia nantinya adalah mereka yang memiliki inisial ‘notonegoro’. Inisial ini memang identik dengan nama-nama dari suku Jawa. Untuk inisial ‘no’ dan ‘to’ telah menjadi kenyataan, yakni munculnya presiden pertama dan kedua, Soekar’no’ dan Soehar’to’. Akan tetapi, untuk presiden ketiga dan seterusnya, ramalan Joyoboyo ini meleset. 

Presiden ketiga Indonesia adalah BJ Habibie. Ia tak memiliki inisial yang tersangkut-paut dengan ramalan di atas. Kemudian menyusul presiden berikutnya adalah Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Ketiganya juga tak memiliki tautan dengan inisial ramalan tersebut. Merujuk hal ini, muncul pertanyaan yang cukup menarik, yakni masih relevankah menggunakan variabel primordialisme sebagai indikator utama untuk mengkalkulasi peluang keterpilihan seorang presiden saat ini?

Memudar 

Ketika masa awal-awal republik ini berdiri, hubungan antara primordialisme dengan keterpilihan seseorang dalam jabatan politik memang cukup kental. Setidaknya, itu yang ditemukan oleh seorang antropolog asal Amerika yang fokus mengkaji Indonesia, Clifford Geertz (1973). Menurut hasil penelitian tokoh yang mempopulerkan istilah priyayi, abangan, dan santri ini, pada awal-awal kemerdekaan, masalah etnik menjadi problematik serius. Tak jarang, adanya persaingan politik antar elit yang memliki perbedaan asal suku kerap berujung pada konflik. Kala itu, Geertz menuding bahwa kompetisi politik antar elit yang berbeda suku inilah yang menjadi faktor utama munculnya konflik antar etnik. 

Dalam konteks pemilihan presiden, hasil studi Geertz empat puluh tahun yang lalu ini, hingga sekarang masih menjadi rujukan tunggal terkait hubungan primordialisme dengan keterpilihan tokoh politik. Minimnya literatur yang tak memperbarui temuan Geertz, membuat banyak elit kita yang masih meyakini bahwa primordialisme tetap menjadi variabel dominan dalam menentukan keterpilihan seorang presiden. 

Padahal, pasca reformasi bergulir, isu primordial sebetulnya sudah tak lagi menjadi variabel utama dalam menentukan keterpilihan seorang presiden. Keterpilihan SBY pada pemilu 2004 dan 2009, misalnya, lebih dipengaruhi oleh kecemerlangan prestasi lulusan terbaik Akabri angkatan 1973 ini. Selain itu, faktor dinamika politik yang menempatkan SBY sebagai “pihak teraniaya” oleh penguasa, juga menjadi unsur dominan keterpilihannya. 

Menjelang pemilu 2014, faktor primordial malah sepertinya akan menjadi variabel terakhir dalam menentukan keterpilihan tokoh politik. Merujuk temuan hasil survei nasional Skala Survei Indonesia (SSI) pada Oktober 2011, mayoritas publik Indonesia ternyata sudah tak mempersoalkan asal suku kala menentukan pilihan presidennya. Saat ditanya dalam menentukan kriteria calon presiden/wakil presiden apakah harus dari keturunan jawa atau keturunan luar jawa, hanya 22.8% yang masih menganut sentimen kesukuan (primordial). Sementara 73.3% menjawab tak penting pemimpin berasal dari suku mana. Bagi masyarakat, yang paling penting adalah pemimpin yang konkrit berbuat untuk rakyat. 

Meski masih membutuhkan penelitian lebih dalam, setidaknya temuan SSI dalam survei nasional tersebut bisa ditafsirkan sebagai telah pudarnya sikap primordialisme masyarakat dalam menentukan calon pemimpinnya. Membincangkan asal suku dalam menentukan kriteria pemimpin bangsa sudah tak begitu relevan. Sehingga ke depan, calon pemimpin tak harus terbebani oleh asal suku yang memang sudah given dari Tuhan. Yang paling penting adalah membuat program konkrit bagi kesejahteraan rakyat. 

Peluang non-Jawa 

Lunturnya sikap primordialisme ini tentu menjadi kabar baik bagi calon presiden yang memiliki asal suku selain Jawa. Seperti banyak diprediksi oleh lembaga survei nasional, selain nama Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto, nama yang memiliki elektabilitas baik di mata publik adalah Jusuf Kalla (JK), Aburizal Bakrie (Ical), dan Hatta Rajasa. Ketiganya merupakan tokoh bersuku non-jawa. JK berdarah Bugis, Makassar, Aburizal Bakrie bersuku Lampung, dan Hatta Rajasa berasal dari Sumatera Selatan. Pertanyaannya, bagaimana kans nama-nama dari luar jawa ini untuk bisa memenangi pemilu 2014? 

Jika merujuk hasil survei, tiga nama yang telah disebutkan di atas memiliki kans memenangi pemilu yang sama besar. Merujuk hasil survei nasional Skala Survei Indonesia (SSI) pada Oktober 2011, perbedaan tingkat elektabilitas ketiganya masih berada pada area margin of error. Elektabilitas JK ada di angka sembilan persen-an, Ical di angka enam persen-an, dan Hatta Rajasa di angka mendekati enam persen-an. Dengan selisih angka elektabilitas seperti itu, sementara pemilu masih dua tahun lagi, ketiganya masih bisa saling mengalahkan karena waktu sosialisasi masih cukup lama. 

Untuk menjadi kandidat capres, ketiganya juga sepertinya tak memiliki kendala serius. JK yang memiliki tingkat elektabilitas baik sepertinya tak akan memiliki kesulitan mencari kendaraan politik untuk pencapresannya. Sedangkan Ical tinggal menunggu waktu untuk dicalonkan Partai Golkar. Sementara Hatta Rajasa telah digadang-gadang Partai Amanat Nasional (PAN) untuk melaju pada pilpres 2014. 

Meski demikian, ada beberapa kendala yang bisa mengurangi tingkat kempetitif ketiganya melawan Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto. JK memiliki kelemahan tak memiliki partai politik serta usianya yang sudah uzur (72 tahun pada pemilu 2014). Sedangkan Ical memiliki catatan buram terkait masih terkatung-katungnya masalah lumpur lapindo dan skandal tunggakan pajak yang dilakukan kelompok usaha Bakrie, yaitu PT Kaltim Prima Coal, PT Bumi Resources, dan PT Arutmin. Sementara Hatta Rajasa diusung oleh PAN yang suaranya terus stagnan di angka 6 – 7 persen saja, selain riak-riak kecil kasus hibah KRL Jepang. 

Diluar kekurangannya, capres non-jawa masih memiliki peluang tinggi untuk bisa memimpin Indonesia di masa datang. Lunturnya sikap primordialisme di sebagian besar kalangan masyarakat Indonesia, menjadikan pintu keterpilihan semakin terbuka. Dan mungkin saja, hal itu akan bisa terjadi pada pemilu 2014 yang dua tahun lagi akan dihelat di negeri ini. 

Yang diperlukan oleh calon pemimpin non-jawa saat ini adalah membuat program yang betul-betul bisa menyasar ke hati pemilih. Dengan begitu, kompetisi pada pemilu 2014 nanti akan semakin sengit, sehat, dan beragam seberagam etnik dan kultur yang dipunyai Indonesia.

Baca Selengkapnya...

Thursday, May 10, 2012

Partai Golkar di Tengah Geliat Akbar

Oleh : Abdul Hakim MS

Harian Detik, Kamis, 10 Mei 2012

Lama tak terdengar, nama Akbar Tandjung tiba-tiba menyeruak kembali ke pentas politik nasional. Musababnya sederhana, ia tak setuju dengan agenda tunggal Rapimnasus Partai Golkar yang dipercepat pada bulan Juli 2012 mendatang, yakni penetapan Aburizal Bakrie sebagai satu-satunya bakal capres dari partai beringin pada pemilu 2014. 

Alih-alih mendukung pencapresan Ical dalam Rapimnasus, Akbar malah memberikan nasehat melalui surat bernomor K-03/DP/Golkar/IV/2012 tertanggal 25 April 2012. Menurut politisi gaek yang saat ini menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar ini, dari pada menetapkan capres secara dini, Rapimnasus sebaiknya diarahkan untuk melakukan evaluasi internal partai guna menghadapi pemilu 2014. Itu dikarenakan pemilu 2014 akan makin sulit dilalui, mengingat banyaknya kader yang menyempal dan mendirikan partai sendiri. 

Setidaknya ada lima poin penting dalam surat Akbar. Pertama, ia menyoroti konsolidasi partai yang belum berjalan efektif. Kedua, ia mengungkit kaderisasi yang belum maksimal. Ketiga, mengenai keanggotaan partai yang masih mandek. Keempat, mengingatkan bahwa Golkar menargetkan suara 33 persen pada pemilu 2014. Kelima, yang merupakan inti surat Akbar, adalah menyangkut penetatapan capres. Akbar menyarankan, Rapimnasus lebih ideal jika diarahkan untuk membahas mengenai tata cara penetapan capres dari Partai Golkar, bukan menetapkan Ical sebagi capres tunggal. 

Efek Pembelahan 

Jika menilik kondisi Partai Golkar di dua pemilu legislatif terakhir, galau Akbar dalam menyikapi pencapresan dini Ical sebetulnya cukup rasional. Tantangan yang akan dihadapi partai kuning pada pemilu 2014 akan semakin terjal. Suara partai bekas penyangga Orde Baru ini terancam kembali melorot akibat banyaknya kader yang menyempal atau mendirikan partai sendiri. 

Jika disimulasikan secara sederhana, penyempalan kader Partai Golkar yang kemudian mendirikan partai sendiri sudah berefek cukup ekstrim pada pemilu 2009 lalu. Seperti kita tahu, pada pemilu 2004 Partai Golkar menjadi pemenang pemilu dengan jumlah suara sebesar 24 juta pemilih. Akan tetapi, jumlah suara ini kemudian turun drastis pada pemilu 2009 menjadi hanya 15 juta pemilih. Pertanyaannya, kemana pindahnya 9 juta suara pemilih Golkar pada pemilu 2009? 

Jika ditelusuri, pada pemilu 2009, setidaknya ada tiga partai peserta pemilu yang lahir dari rahim Partai Golkar. Ketiganya adalah Partai Gerindra, Partai Hanura, dan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB). Ketiganya berhasil meraup suara cukup signifikan. Partai Gerindra menggenggam 4,6 juta suara pemilih, Partai Hanura menggamit 3,9 juta suara pemilih, dan PKPB merengkuh 1,4 juta suara pemilih. Jika digabungkan, jumlah suara ketiga partai yang berembrio dari Partai Golkar ini mencapai 9 juta suara pemilih. Jumlah ini sesuai dengan jumlah hilangnya suara Partai Golkar pada pemilu 2009 lalu. Dari hitungan sederhana ini bisa ditafsirkan, bahwa ancaman terbesar partai Golkar bukan berasal dari partai lain yang tak memiliki hubungan histroris, melainkan muncul dari partai-partai yang memiliki tautan sejarah dengan Partai Golkar sendiri. 

Celakanya, pada pemilu 2014, Partai Golkar yang suaranya sudah tereduksi oleh tiga partai di awal, harus kembali terbelah. Kekalahan Surya Paloh dalam kontestasi pemilihan Ketua Umum Partai Golkar oleh Ical, menyebabkan lahirnya Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Saat ini, menurut kajian Lembaga Survei Indonesia (LSI), Partai Nasdem sudah meraup dukungan publik sekitar 5 persen. Tentu kondisi ini akan semakin menyudutkan posisi Partai Golkar. Karena hemat saya, sebagian besar suara Partai Nasdem sepertinya akan berasal dari pemilih Golkar. Sebabnya, Surya Paloh ketika mendirikan Partai Nasdem membawa serta gerbongnya di Partai Golkar. 

Nilai Minus Ical 

Disaat ancaman yang akan dihadapi oleh Partai Golkar kian besar pada pemilu 2014, cukup wajar apabila Akbar Tandjung kemudian menjadi galau. Dalam situasi seperti ini, seharunya internal partai lebih fokus mencari strategi untuk bisa memenangi pemilu legislatif terlebih dahulu daripada ribut memperbincangkan pencapresan Ical secara dini. 

Akbar sepertinya faham betul dengan situasi ini. Itu sebabnya, ia tak kemudian legowo mendukung Ical untuk menjadi capres, mengingat Ical memiliki catatan minus yang mungkin bisa saja makin menenggelamkan suara Partai Golkar. Seperti kita tahu, ada dua catatan hitam yang siap menjadi faktor resisten Ical dalam pilpres 2014 mendatang. 

Pertama, bencana luapan Lumpur Lapindo. Bencana luapan lumpur yang menimpa Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, itu terjadi akibat kesalahan pengeboran yang dilakukan PT Lapindo Brantas. Bencana ini telah menyebabkan lebih dari ratusan hektare wilayah pemukiman warga tenggelam. Tak hanya itu, puluhan ribu orang terpaksa mengungsi. Sudah tak terhitung lagi nilai kerugian material maupun nonmaterial yang timbul akibat bencana tersebut. Namun, meski sudah lima tahun berlalu, mekanisme penyerahan ganti rugi lahan masih terkatung-katung. Naasnya, kejadian ini berada di Pulau Jawa yang jumlah pemilihnya mencapai 60 persen. 

PT Lapindo Brantas sendiri merupakan salah satu perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang ditunjuk oleh BP Migas untuk melakukan proses pengeboran minyak dan gas bumi. Saham PT Lapindo Brantas dimiliki secara penuh atau 100 persen oleh PT Energi Mega Persada. PT Energi Mega Persada sendiri sebagai pemilik saham mayoritas PT Lapindo Brantas merupakan anak perusahaan kelompok usaha Bakrie. 

Kedua, kasus skandal tunggakan pajak. Selain bencana luapan lumpur Lapindo, Ical juga berpotensi tersandung skandal tunggakan pajak yang dilakukan kelompok usaha Bakrie, yaitu PT Kaltim Prima Coal, PT Bumi Resources, dan PT Arutmin. Di berbagai kesempatan persidangan, terdakwa Gayus H. Tambunan berulang kali mengungkapkan bahwa kelompok usaha Bakrie memberikan uang senilai Rp100 miliar kepada dirinya guna memperlancar urusan tunggakan pajak. 

Merujuk kondisi di atas, tentu yang harus dilakukan Partai Golkar saat ini adalah melakukan konsolidasi total demi menjaga asa menjadi pemenang pada pemilu 2014. Pencapresan dini Ical pada Rapimnasus bulan Juli mendatang, hemat saya, adalah langkah yang kurang arif jika merujuk catatan-catatan minusnya. Akan lebih bijak apabila Ical memenuhi janjinya bahwa Partai Golkar akan mencapreskan sosok yang menurut survei paling diterima publik. Saat ini, Ical masih kalah moncer dengan tokoh-tokoh lain di Golkar, seperti Jusuf Kalla. 

Sepertinya, untuk bisa memperbaiki posisi, pintu pencapresan Partai Golkar akan lebih baik jika ditempuh dengan cara konvensi, seperti yang dilakukan Akbar pada pemilu 1999. Cara itu terbukti cukup mujarab dalam mengerek suara beringin menjadi pemenang. Seandainya Ical nanti tetap ditunjuk menjadi capres tunggal secara dini, sepertinya Partai Golkar harus rela menelan pil pahit pada pemilu 2014 nanti.

Baca Selengkapnya...

May Day dan Komitmen SBY

Oleh : Abdul Hakim MS 

Jurnal Nasional, 10 Mei 2012 

Kabar baik kembali menyambangi kaum buruh. Tuntutan agar tanggal 1 Mei dijadikan hari libur nasional, sepertinya akan menjadi nyata. Menteri Tenaga Kerja (Menakertrans), Muhaimin Iskandar, mengatakan, pemerintah saat ini sedang serius menggodok May Day sebagai hari libur nasional. Komisi IX DPR RI yang salah satunya membidangi masalah tenaga kerja pun mendukung penuh. 

Bermula dari perjuangan panjang kelas pekerja di Eropa Barat dan Amerika Serikat pada abad 19 untuk mempertahankan hak-haknya, May Day mewujud sebagai simbol perlawanan kaum buruh untuk bisa memperbaiki taraf hidup mereka. Maklum, pesatnya perkembangan kapitalisme industri pada abad itu, membuat posisi pekerja sangat terjepit. Pemberlakuan jam kerja diluar waktu semestinya, minimnya upah, serta buruknya fasilitas pabrik adalah kenyataan pahit yang harus diterima kala itu. 

Dua ratus tahun berselang, kondisi yang dihadapi kaum pekerja belum juga berubah. Masih cukup kerap dijumpai masalah kesewenang-wenangan kaum pemilik modal terkait pemberian upah, pemberlakuan jam kerja, kepastian jaminan kerja, serta perlakuan fisik yang semena-mena. Dengan kondisi seperti itu, tak heran jika kemudian solidaritas kaum buruh menguat. Dan momen may day 1 Mei selalu menjadi hari penting untuk mengingatkan kaum borju dan pemerintah akan keadaan mereka. 

Derita TKI 

Untuk konteks Indonesia, keberadaan kaum pekerja sebetulnya belum sepenuhnya mendapat prioritas utama. Beberapa kali masih terdengar perlakuan tak baik, terutama yang mendera TKI di luar negeri. Padahal, merekalah pahlawan devisa sesungguhnya. 

Tentu kita masih ingat nasib malang yang menimpa Sumiati, TKW asal Dompu, Nusa Tenggara Barat, yang dengan sadis digunting bibirnya oleh tuannya. Kita juga masih mengenang nama Kikim Komalasari yang dianiaya hingga tewas oleh majikannnya. Yang terbaru, tentu kematian tiga TKI asal Pringgasela Selatan, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Herman, Abdul Kadir Jaelani, Mad Noon tewas akibat ditembak Polisi Diraja Malaysia. Kasus ini sempat mencuatkan dugaan adanya perdagangan organ manusia. 

Tiga kasus di atas, mungkin hanya sebagian kecil kasus yang terungkap terkait kejadian miris yang menimpa TKI kita. Sepertinya masih banyak lagi yang tersembunyi jika merujuk Data BNP2TKI. Saat ini, ada sekitar 5.5 juta TKI yang menyambung hidup diluar negeri. 4.2 juta diantaranya bekerja dengan cara legal, sementara sisanya, 1.3 juta dengan cara ilegal. Dengan jumlah TKI sebanyak itu, mustahil kejadian seperti yang dialami oleh Sumiati, Kikim Komlasari, Herman, Abdul Kadir Jaelani, dan Mad Noon berjalan sendirian. 

Jika mengacu data Migrant Care, setiap tahunnya, jumlah TKI yang terjerat masalah di luar negeri sebetulnya cukup menghawatirkan. Pada tahun 2008 ada sebanyak 45.626 TKI yang terbelit persoalan. Tahun 2009 sekitar 44.569 TKI. Dan selama rentang Januari-Oktober 2010 mencapai 25.064 orang. Korban terbanyak bekerja di Arab Saudi, yakni berkisar 48,29 persen sampai 54,10 persen. Mereka menderita beragam masalah, seperti gaji tidak dibayar, kekerasan seksual, dianiaya sampai tewas, serta dianiaya hingga mengalami cacat fisik. Catatannya, itu data persoalan yang terinventarisasi secara baik. Bagaimana dengan mereka yang tak melaporkan masalahnya karena menjadi buruh ilegal? 

Kondisi ini tentu menjadi paradoks jika melihat sumbangsih pemerintah TKI kepada negara. Pada tahun 2009, misalnya, sumbangan devisa TKI menduduki urutan nomor 2 setelah sektor migas. Ia menyumbang angka 82 trilliun. Itu pun hanya dihitung dari pengiriman remitansi ke Tanah Air. Jika jumlah itu ditambahkan dengan gaji pekerja yang dibawa secara langsung saat pulang maupun yang dititipkan kepada kerabat dekatnya ke tanah air, mungkin angkanya bisa menjadi di atas 100 triliun. Angka ini mengalahkan pemasukan negara dari sektor migas. 

Komitmen SBY 

enyadari kondisi pelik yang dihadapi kaum pekerja, kita cukup bersukur karena presiden SBY masih mau menunjukkan itikad baik untuk meringankan beban mereka. Menghadapi peringatan May Day 1 Mei yang lalu, serentetan program diluncurkan pemerintah, mulai dari program tak akan memungut pajak bagi pekerja berpenghasikan rendah hingga pembangunan rumah susun sewa (rusunawa) murah untuk para pekerja (Jurnas, 1/5/2012). 

Seperti kita tahu, Presiden SBY memberikan empat hadiah menjelang peringatan May Day 2012. Pertama, pemerintah akan menaikkan ambang batas PTKP (penghasilan tidak kena pajak) dari sebelumnya 1.3 juta menjadi 2 juta. Langkah pemerintah ini hemat saya cukup berani, karena dengan kebijakan ini, resiko penerimaan negara dari sektor pajak akan berkurang. Seperti telah diungkapkan oleh Menteri Keuangan Agus Martowardojo, rencana pemerintah untuk meningkatkan batas PTKP dari 1.3 juta menjadi 2 juta dapat mengurangi penerimaan pajak hingga Rp12 triliun per tahun. 

Selain menaikkan batas PTKP, tiga hadiah lain yang diberikan SBY menjelang peringatan May Day 2012 adalah akan dibangunnya rumah sakit khusus buruh. Rencananya, rumah sakit ini akan didirikan di tiga titik, yakni Tangerang, Bekasi, dan Sidoarjo. Hadian lainnya adalah upaya penyediaan transportasi murah untuk buruh di kawasan industri. Menurut Menakertrans Muhaimin Iskandar, pada tahap awal, pemerintah akan menyediakan sebanyak 200 bus untuk buruh di Tangerang, Bekasi, Jawa Timur dan Batam. Dengan adanya transportasi murah untuk buruh ini, pengeluaran buruh disektor ini bisa ditekan sehingga dapat menaikkan tingakt taraf hidup mereka. 

Selain itu, permasalahan pelik buruh lainnya adalah adanya kebutuhan akan rumah tinggal. Menanggapi hal ini, pemerintah berencana membangun rumah susun sewa (rusunawa) murah untuk buruh. Dengan penyediaan rusunawa, yang salah satunya sudah diresmikan oleh Presiden SBY di Batam beberapa waktu lalu, lagi-lagi diharapkan dapat membantu perbaikan kesejahteraan pekerja. 

Empat hadiah Presiden SBY ini hemat saya cukup baik dalam membantu kondisi buruh. Meski nanti tak sepenuhnya semua buruh bisa terbantu, namun setidak-tidaknya program yang diluncurkan ini dapat meringankan beban ekonomi buruh yang selama ini selalu menjadi kelompok marginal. Ditambah dengan akan diberlakukannya 1 Mei sebagai hari libur nasional, langkah ini merupakan komitmen baik presiden dalam membela kepentingan kaum buruh. 

Akan tetapi yang menjadi catatan penting, empat hadiah Presiden SBY ini tak boleh mandek ditingkat retorika. Para pembantu presiden harus cepat merespon untuk segera mengimplemantasikannya. Jangan sampai karena persoalan birokrasi, niat baik presiden menjadi terkendala dan akan menjadi “angin surga” belaka. Sudah sepatutnya para menteri mengawal hadiah ini agar betul-betul dapat menyasar pada tujuannya, yakni membantu kesejahteraan buruh. Karena kerap kali kita lihat, instruksi-instruksi tak berjalan baik karena lambannya birokrasi dalam menerjemahkan keinginan-keinginan presiden.

Baca Selengkapnya...