Thursday, May 10, 2012

May Day dan Komitmen SBY

Share on :

Oleh : Abdul Hakim MS 

Jurnal Nasional, 10 Mei 2012 

Kabar baik kembali menyambangi kaum buruh. Tuntutan agar tanggal 1 Mei dijadikan hari libur nasional, sepertinya akan menjadi nyata. Menteri Tenaga Kerja (Menakertrans), Muhaimin Iskandar, mengatakan, pemerintah saat ini sedang serius menggodok May Day sebagai hari libur nasional. Komisi IX DPR RI yang salah satunya membidangi masalah tenaga kerja pun mendukung penuh. 

Bermula dari perjuangan panjang kelas pekerja di Eropa Barat dan Amerika Serikat pada abad 19 untuk mempertahankan hak-haknya, May Day mewujud sebagai simbol perlawanan kaum buruh untuk bisa memperbaiki taraf hidup mereka. Maklum, pesatnya perkembangan kapitalisme industri pada abad itu, membuat posisi pekerja sangat terjepit. Pemberlakuan jam kerja diluar waktu semestinya, minimnya upah, serta buruknya fasilitas pabrik adalah kenyataan pahit yang harus diterima kala itu. 

Dua ratus tahun berselang, kondisi yang dihadapi kaum pekerja belum juga berubah. Masih cukup kerap dijumpai masalah kesewenang-wenangan kaum pemilik modal terkait pemberian upah, pemberlakuan jam kerja, kepastian jaminan kerja, serta perlakuan fisik yang semena-mena. Dengan kondisi seperti itu, tak heran jika kemudian solidaritas kaum buruh menguat. Dan momen may day 1 Mei selalu menjadi hari penting untuk mengingatkan kaum borju dan pemerintah akan keadaan mereka. 

Derita TKI 

Untuk konteks Indonesia, keberadaan kaum pekerja sebetulnya belum sepenuhnya mendapat prioritas utama. Beberapa kali masih terdengar perlakuan tak baik, terutama yang mendera TKI di luar negeri. Padahal, merekalah pahlawan devisa sesungguhnya. 

Tentu kita masih ingat nasib malang yang menimpa Sumiati, TKW asal Dompu, Nusa Tenggara Barat, yang dengan sadis digunting bibirnya oleh tuannya. Kita juga masih mengenang nama Kikim Komalasari yang dianiaya hingga tewas oleh majikannnya. Yang terbaru, tentu kematian tiga TKI asal Pringgasela Selatan, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Herman, Abdul Kadir Jaelani, Mad Noon tewas akibat ditembak Polisi Diraja Malaysia. Kasus ini sempat mencuatkan dugaan adanya perdagangan organ manusia. 

Tiga kasus di atas, mungkin hanya sebagian kecil kasus yang terungkap terkait kejadian miris yang menimpa TKI kita. Sepertinya masih banyak lagi yang tersembunyi jika merujuk Data BNP2TKI. Saat ini, ada sekitar 5.5 juta TKI yang menyambung hidup diluar negeri. 4.2 juta diantaranya bekerja dengan cara legal, sementara sisanya, 1.3 juta dengan cara ilegal. Dengan jumlah TKI sebanyak itu, mustahil kejadian seperti yang dialami oleh Sumiati, Kikim Komlasari, Herman, Abdul Kadir Jaelani, dan Mad Noon berjalan sendirian. 

Jika mengacu data Migrant Care, setiap tahunnya, jumlah TKI yang terjerat masalah di luar negeri sebetulnya cukup menghawatirkan. Pada tahun 2008 ada sebanyak 45.626 TKI yang terbelit persoalan. Tahun 2009 sekitar 44.569 TKI. Dan selama rentang Januari-Oktober 2010 mencapai 25.064 orang. Korban terbanyak bekerja di Arab Saudi, yakni berkisar 48,29 persen sampai 54,10 persen. Mereka menderita beragam masalah, seperti gaji tidak dibayar, kekerasan seksual, dianiaya sampai tewas, serta dianiaya hingga mengalami cacat fisik. Catatannya, itu data persoalan yang terinventarisasi secara baik. Bagaimana dengan mereka yang tak melaporkan masalahnya karena menjadi buruh ilegal? 

Kondisi ini tentu menjadi paradoks jika melihat sumbangsih pemerintah TKI kepada negara. Pada tahun 2009, misalnya, sumbangan devisa TKI menduduki urutan nomor 2 setelah sektor migas. Ia menyumbang angka 82 trilliun. Itu pun hanya dihitung dari pengiriman remitansi ke Tanah Air. Jika jumlah itu ditambahkan dengan gaji pekerja yang dibawa secara langsung saat pulang maupun yang dititipkan kepada kerabat dekatnya ke tanah air, mungkin angkanya bisa menjadi di atas 100 triliun. Angka ini mengalahkan pemasukan negara dari sektor migas. 

Komitmen SBY 

enyadari kondisi pelik yang dihadapi kaum pekerja, kita cukup bersukur karena presiden SBY masih mau menunjukkan itikad baik untuk meringankan beban mereka. Menghadapi peringatan May Day 1 Mei yang lalu, serentetan program diluncurkan pemerintah, mulai dari program tak akan memungut pajak bagi pekerja berpenghasikan rendah hingga pembangunan rumah susun sewa (rusunawa) murah untuk para pekerja (Jurnas, 1/5/2012). 

Seperti kita tahu, Presiden SBY memberikan empat hadiah menjelang peringatan May Day 2012. Pertama, pemerintah akan menaikkan ambang batas PTKP (penghasilan tidak kena pajak) dari sebelumnya 1.3 juta menjadi 2 juta. Langkah pemerintah ini hemat saya cukup berani, karena dengan kebijakan ini, resiko penerimaan negara dari sektor pajak akan berkurang. Seperti telah diungkapkan oleh Menteri Keuangan Agus Martowardojo, rencana pemerintah untuk meningkatkan batas PTKP dari 1.3 juta menjadi 2 juta dapat mengurangi penerimaan pajak hingga Rp12 triliun per tahun. 

Selain menaikkan batas PTKP, tiga hadiah lain yang diberikan SBY menjelang peringatan May Day 2012 adalah akan dibangunnya rumah sakit khusus buruh. Rencananya, rumah sakit ini akan didirikan di tiga titik, yakni Tangerang, Bekasi, dan Sidoarjo. Hadian lainnya adalah upaya penyediaan transportasi murah untuk buruh di kawasan industri. Menurut Menakertrans Muhaimin Iskandar, pada tahap awal, pemerintah akan menyediakan sebanyak 200 bus untuk buruh di Tangerang, Bekasi, Jawa Timur dan Batam. Dengan adanya transportasi murah untuk buruh ini, pengeluaran buruh disektor ini bisa ditekan sehingga dapat menaikkan tingakt taraf hidup mereka. 

Selain itu, permasalahan pelik buruh lainnya adalah adanya kebutuhan akan rumah tinggal. Menanggapi hal ini, pemerintah berencana membangun rumah susun sewa (rusunawa) murah untuk buruh. Dengan penyediaan rusunawa, yang salah satunya sudah diresmikan oleh Presiden SBY di Batam beberapa waktu lalu, lagi-lagi diharapkan dapat membantu perbaikan kesejahteraan pekerja. 

Empat hadiah Presiden SBY ini hemat saya cukup baik dalam membantu kondisi buruh. Meski nanti tak sepenuhnya semua buruh bisa terbantu, namun setidak-tidaknya program yang diluncurkan ini dapat meringankan beban ekonomi buruh yang selama ini selalu menjadi kelompok marginal. Ditambah dengan akan diberlakukannya 1 Mei sebagai hari libur nasional, langkah ini merupakan komitmen baik presiden dalam membela kepentingan kaum buruh. 

Akan tetapi yang menjadi catatan penting, empat hadiah Presiden SBY ini tak boleh mandek ditingkat retorika. Para pembantu presiden harus cepat merespon untuk segera mengimplemantasikannya. Jangan sampai karena persoalan birokrasi, niat baik presiden menjadi terkendala dan akan menjadi “angin surga” belaka. Sudah sepatutnya para menteri mengawal hadiah ini agar betul-betul dapat menyasar pada tujuannya, yakni membantu kesejahteraan buruh. Karena kerap kali kita lihat, instruksi-instruksi tak berjalan baik karena lambannya birokrasi dalam menerjemahkan keinginan-keinginan presiden.

No comments: