Friday, January 28, 2011

Kemanakah Ending-nya Gayus?

Oleh: Abdul Hakim MS

Okezone.com, 28 Januari 2011

Pasca putusan Gayus Tambunan dengan vonis 7 tahun penjara, situasi politik nasional makin panas. Itu karena Gayus langsung “bernyayi” dengan lirik “Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang dibentuk presiden SBY adalah biang kerok rekayasa kasusnya”. Sontak, semua kelabakan. Bahkan presiden sendiri mengaku kaget dengan “lantunan syair baru” Gayus Tambunan. SBY mengultimatum Satgas untuk memberikan laporan tertulis dalam waktu 1 x 24 jam terkait pernyataan Gayus.

Dari awal, kasus Gayus ini terbilang aneh bin ajaib. Pengakuan Gayus bahwa dirinya menerima suap dari tiga perusahaan milik kelompok Grup Bakrie, hingga kini belum ada tindak lanjut dari penegak hukum. Gayus justeru hanya dijerat pada kasus PT SAT yang notabene diperkirakan merugikan keuangan negara hanya 570 juta. Sedangkan kekayaan Gayus yang diperoleh antara lain dari hasil penyuapan 3 perusahaan besar milik keluarga Bakrie luput dari dakwaan. Seperti dikemukaan oleh anggota Satgas Mafia Hukum, Mas Ahmad Santosa, sekitar 70 miliar uang Gayus diterima dari ketiga perusahaan tersebut.

Setelah Gayus divonis berkaitan dengan skandal pajak PT SAT, arah pengusutan kasus ”mafia pajak” ini semakin tidak jelas. Kini yang menjadi polemik malah Gayus berhadapan dengan Satgas Mafia Hukum. Substansi hukum Gayus yang semestinya menelusuri rentetan mafia pajak menjadi kabur dan berbelok arah. Pertanyaannya, kenapa Gayus meluapkan amarahnya malah ke Satgas?

Lingkaran Setan

Kasus Gayus ini memang bukanlah kasus biasa. Banyak pihak terlibat dan memiliki kepentingan didalamnya. Celakanya, yang terlibat dan memiliki kepentingan adalah mereka yang mempunyai akses kekuasaan. Tak mengherankan apabila kemudian proses pemeriksaan kasus mafia pajak ini terkesan lambat dan hanya tertuju ke mereka yang sebetulnya ”kelas teri” seperti diungkapkan Gayus sendiri. ”Big fish” yang sebenarnya menjadi dalang, hingga sekarang belum terjamah hukum sama sekali. Padahal, Gayus sendiri sudah sangat terbuka terkait kasus yang membelitnya. Nama-nama yang ia anggap terkait telah disebut. Namun nama-nama yang disebut oleh Gayus menguap begitu saja. Malah yang menjadi polemik saat ini, justeru bukan substansi kasus hukumnya, melainkan perseteruan Gayus vs Satgas Pemberantasan Mafia Pajak.

Tidak seriusnya lembaga hukum dalam menangani kasus Gayus, dikarenakan ada konflik kepentingan yang kuat dalam penanganannya. Kepolisian dan kejaksaan yang nama oknum-oknum didalamnya telah disebut Gayus, tidak ditelusuri secara tuntas oleh aparat. KPK pun hingga kini tidak ”berani” mengambil alih kasus ini. KPK hanya berkoordinasi dengan kepolisian dan kejaksaan. Tentunya, jika KPK yang akan menangani kasus ini, konflik kepentingan itu bisa sedikit direduksi.

Buntunya kasus mafia pajak ini tak lain karena adanya lingkaran setan yang serius. Pihak-pihak yang diduga terkait, seperti jaksa Cirrus Sinaga, tidak didalami secara baik karena ada ancaman akan membongkar rekayasa kasus Antasari Azhar. Asumsi saya, tidak hanya Cirrus Sinaga yang melakukan mekanisme pertahanan seperti itu. Oknum-oknum lain sepertinya juga sama. Sehingga, cukup sulit untuk membongkar kasus ini secara tuntas akibat adanya lingkaran yang saling sandera. Maka tak heran jika kemudian kasus ini menjadi bias dan lari dari substansi sebenarnya.

Politisasi

Selain adanya lingkaran setan, kasus mafia pajak ini juga rawan politisasi. Semakin dekatnya pemilu 2014, memaksa pihak-pihak yang berkepentingan untuk mereduksi popularitas SBY yang hingga saat ini masih menjadi yang terdepan. Survei LSI yang dirilis awal Januari 2011 lalu, masih menempatkan kepuasan masyarakat terhadap SBY pada angka 63%. Angka ini masih lebih tinggi dari keterpilihan SBY pada pemilu 2009. Maka tak heran jika yang menjadi bidikan kasus Gayus adalah Satgas Mafia Pajak yang merupakan bentukan presiden. Oleh karena itu, opini diarahkan bahwa sebetulnya yang menjadi mafia adalah Satgas pemberantasan korupsi.

Cukup aneh memang. Opini dan perdebatan yang terbentuk saat ini malah semakin jauh dari tujuan awal, pemberantasan mafia pajak. Saat ini yang menjadi polemik justeru mengarah pada ”mafia sebetulnya adalah Satgas pemberantasan korupsi” seperti yang disuarakan Gayus. Tentu hal ini tidak datang secara tiba-tiba. Gayus melontarkan hal ini dengan cara membaca. Artinya, jauh sebelum putusan vonis dilakukan, rencana konferensi pers Gayus itu telah disiapkan. Hal itu secara implisit mengatakan bahwa apa yang dilakukan Gayus sebetulnya telah didesain dengan rapi sebelumnya.

Melihat kondisi seperti sekarang, sepertinya kita hanya bisa mengelus dada. Ekspektasi publik agar kasus kasus Gayus dapat dituntaskan hingga keakar-akarnya akan jauh panggang dari api. Artinya, keseriusan aparat penegak hukum untuk menuntaskannya, sepertinya hanya akan menjadi harapan yang tak pernah sampai.

Baca Selengkapnya...

Tuesday, January 25, 2011

Membaca Peluang Tokoh Parpol Pada Pemilu 2014

Oleh: Abdul Hakim MS

Mengilik siapa kandidat capres 2014 untuk saat ini memang masih dini. Itu karena pemilu masih lumayan jauh di ujung sana, 4 tahun mendatang. Namun, dalam era demokrasi langsung seperti sekarang, membuat proyeksi siapa jago partai-partai –khususnya 9 partai yang lolos parliamentary threshold—menarik untuk disimak. Kenapa? Karena berdasarkan proyeksi Indo Barometer, kekuatan politik 2014 masih berkisar disembilan parpol tersebut. Selain itu, gerak-gerik parpol-parpol ini telah terbaca untuk memasang kuda-kuda.

Sebut saja Partai Golkar. Aburizal Bakrie, telah sejak dini ditetapkan sebagai capres oleh DPD Partai Golkar dibanyak daerah. Meski Ical sendiri masih berkilah menunggu hasil survei untuk memilih capresnya di pemilu 2014, namun indikasi kuat bahwa Ical-lah yang akan “manggung” mewakili partai beringin telah nyata terlihat. Begitu pula dengan PDI-P. Megawati masih menjadi tokoh kuat yang bisa jadi akan kembali bertarung setelah gagal di pilpres 2004 dan 2009. Seandainya bukan dirinya, kandidat capres banteng mulut putih ini sepertinya juga tak akan jauh dari trah Bung Karno. Sangat mungkin jika orang tersebut adalah Puan Maharani, yang menurut kabar telah ditetapkan oleh DPP PDI-P untuk dikawal menjadi orang nomor satu di negeri ini pada pemilu mendatang. Bahkan karena penetapan ini, kabarnya kandang moncong putih sempat “bergolak”.

Partai lain seperti PAN, Hanura dan Gerindra sepertinya juga telah memiliki kandidat kuat yang akan mewakili mereka. PAN memiliki tokoh kuat sekaliber Hatta Rajasa. Dengan kemampuan diplomasi dan komunikasi yang cukup baik, partai berpendukung mayoritas kalangan Muhammadiyah ini tak akan segan mengusung pria beramut perak ini. Begitu pula dengan Hanura yang tetap mengadalkan figur Wiranto dan Gerindra dengan sosok Prabowo Subianto. Sementara PKB, PKS dan PPP akan melihat peta politik berjalan. PKB bisa saja mengusung Muhaimin Iskandar yang dalam survei terkhir Indo Barometer namanya telah muncul sebagai kandidat capres. Sementara PKS dan PPP, sepertinya akan mengikuti arus karena hingga kini belum ada figur kuat dari kedua partai berbasis pemilih Islam ini.

Yang sangat menarik untuk diraba adalah, siapa kira-kira duta partai pemenang pemilu 2009, Partai Demokrat?

Bubble Politik

Dalam diskusi dengan beberapa kalangan, banyak dari mereka yang menyebut dan memprediksi besarnya Partai Demokrat sepertinya hanya akan menjadi fenomena bubble politik. Ia menggelembung dengan cepat pada dua pemilu terakhir—pemilu 2004 dan 2009—namun diperkirakan akan mengempes pada pemilu-pemilu berikutnya. Hal itu dilatari oleh argumentasi bahwa Partai Bintang Segi Tiga ini sangat bergantung pada ketokohan SBY.

Merujuk pada data yang ada, ketergantungan Demokrat dengan SBY memang ibarat dua sisi mata koin yang tak terpisahkan. Hasil survei Indo Barometer sejak 2007 menunjukkan, fluktuasi dukungan terhadap Partai Demokrat memang sangat bergantung pada bagaimana persepsi masyarakat terhadap menantu Sarwo Edhie Wibowo ini. Dikala citranya baik, maka perolehan suara Demokrat turut membaik. Namun sebaliknya, dikala SBY dicitrakan buruk oleh masyarakat—seperti kala menaikkan harga BBM pada Juni 2008 lalu—perolehan suara Demokrat pun ikut menyurut. Untungnya SBY bisa cepat kembali membaikkan citranya sehingga Demokrat bisa menang pada pemilu 2009.

Celakanya, SBY pada pemilu 2014 sudah tak lagi bisa ikut berkompetisi menduduki istana negara. Ia terbatasi oleh Undang-undang yang hanya membolehkan seseorang menjabat sebagai presiden sebanyak dua kali. Melihat fakta ini, pertanyaan yang menarik untuk dicari jawabannya adalah “siapa kira-kira sosok yang akan didorong oleh SBY untuk mengggantikan dirinya? Akankah dengan sosok baru itu PD tetap bisa pada posisi juara di pemilu 2014? Atau apakah prediksi bubble politik Demokrat akan betul-betul terjadi karena PD tak lagi bisa mendapatkan figur yang sepadan dengan SBY?

Duo AA

Untuk mencari penggantinya, setidaknya ada tiga arah yang kemungkinan akan ditempuh SBY guna mencari sosok yang tepat. Pertama, ia bisa memilih dari dalam lingkaran istana atau lingkaran dalam Partai Demokrat sendiri. Kedua, mencari sosok di luar lingkaran tersebut, bisa dari kalangan parpol, profesional atau kalangan politisi tua. Ketiga, ia bisa menggabungkannya dengan memilih capres dari internal dan wapres dari ekternal, atau sebaliknya.

Jika skenario pertama yang dipilih oleh SBY, ia menghadapi problem serius. Tokoh-tokoh yang dekat dengan SBY di Istana atau tokoh-tokoh internal PD, hingga saat ini belum ada yang mumpuni untuk menggantikannya. Namun seandainya SBY kekeh dengan skenario ini, maka ia kemungkinan akan menjatuhkan pilihan terhadap duo AA, yakni Ani Yudhoyono dan Anas Urbaningrum. Karena hanya kedunyalah yang saat ini punya modal cukup potensial untuk menggantikannya.

Dalam survei nasional Indo Barometer pada Agustus 2010 lalu, sebetulnya belum ada tokoh nasioal satupun yang dapat megalahkan SBY. Ia masih menjadi pilihan yang terbaik menurut masyarakat, meski angkanya di bawah 50%. Selebihnya, tokoh-tokoh tua masih mendominasi pilihan masyarakat, seperti Megawati, Prabowo Subianto, dan Wiranto. Namun karena SBY tak bisa lagi menjadi capres pada 2014, maka dilakukan simulasi untuk menggantikannya dengan duo AA. Ketika digantikan dengan Ani Yudhoyono, ternyata pilihan masyarakat terhadap Ani masih rendah. Ia saat ini berada pada angka keterpilihan dikisaran 3-4%. Begitu pula jika posisi SBY digantikan oleh Anas Urbaningrum. Angka ketua umum PD ini masih di bawah 3%. Menggabungkan keduanya adalah pilihan terbaik seandainya SBY masih menginginkan skenario yang pertama. Karena dengan telah munculnya nama keduanya sebagai kandidat capres, dan pemilu yang masih empat tahun lagi, masih sangat cukup waktu untuk menaikkan popularitas dan keterpilihan.

Namun seandainya skenario kedua yang akan dipilih SBY, maka pilihan tepat mungkin saja jatuh bukan pada tokoh dari kekuatan parpol-parpol besar, seperti Golkar dan PDI-P. Menunjuk capres dari kalangan parpol medioker sepertinya lebih masuk akal. Karena partai-partai medioker inilah yang sangat loyal terhadap SBY. Tokoh dari kalangan ini seperti Hatta Rajasa. Namun mungkin juga SBY akan menyimak tokoh profesional seperti Sri Mulyani yang saat ini masih bertugas untuk Bank Dunia.

Tapi melihat tingkat popularitas dari tokoh kalangan dalam istana dan PD, maka yang paling mungkin dilakukan SBY adalah mencari kandidat capres gabungan atau skenario ketiga. SBY bisa memilih salah satu diantara duo AA dan menyandingkannya dengan tokoh diluar PD. Seperti kemungkinan mengajukan Ani Yudhoyono yang berpasangan dengan tokoh partai medioker seperti Hatta Rajasa. Atau bisa juga dipasangkannya Anas Urbaningrum dengan kalangan profesional seperti Sri Mulyani. Namun yang pasti, duo AA untuk saat ini yang mempunyai kans kuat untuk menggantikan pamor SBY.

Baca Selengkapnya...