Wednesday, May 18, 2011

Ingin Kembali ke Orba?

Oleh: Abdul Hakim MS

Suara Pembaruan - Rabu 18 Mei 2011

Temuan menarik diperoleh Indo Barometer kala melakukan survei nasional pada Mei 2011 dalam rangka evaluasi 13 tahun Reformasi. Temuan menarik itu adalah adanya persepsi miring terhadap situasi dan kondisi Orde Reformasi. Bahkan kala dibandingkan dengan kondisi sebelum tiga belas tahun yang lalu, publik menganggap bahwa masa Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto, secara umum dipandang lebih baik.

Seperti telah dirilis sebelumnya oleh Indo Barometer, survei yang dilakukan terhadap 1.200 orang responden diseluruh Indonesia dengan tingkat keprcayaan 95% dan margin of error 3% tersebut, ternyata kepuasan masyarakat Indonesia terhadap Orde Reformasi secara umum ada diangka 29.7%. itu artinya, hanya 1 diantara 3 orang responden yang mengatakan puas terhadap Orde Reformasi. Mayortitas, 55.5% menyatakan tidak puas terhadap perubahan yang terjadi pada tahun 1998 yang lalu itu.

Ada yang berpendapat, secara aple to aple, membandingkan Orde Reformasi, Orde Baru, dan Orde Lama sebetulnya kurang memadai. Hal ini didasarkan pada argumentasi pertama, rentang waktu. Orde Lama telah berjalan selama 20 tahun, yakni 1945 – 1965. Kemudian era Orde Baru malah lebih lama lagi, yakni 32 tahun sejak 1966 – 1998. Sementara Orde Reformasi baru berjalan 13 tahun. Artinya, Orde Reformasi baru berjalan selama 40%-nya Orde baru dan 65%-nya Orde Lama.

Kedua, ketiga Orde yang diperbandingkan berada dalam sitauasi ruang dan waktu yang cukup berbeda. Orde Lama terjadi pada masa Soekarno dalam rentang waktu 65 hingga 45 tahun silam. Kemungkinan besar, responden yang terpilih menjadi sampel tidak pernah merasakan periode itu. Mereka tahu Orde Lama dari bentangan sejarah yang menurut banyak kalangan telah “dimanipulasi” oleh Orde berikutnya, Orde Baru. Sementara ruang dan waktu Orde Baru juga sangat berbeda dengan kondisi Orde Reformasi dan Orde Lama. Banyak dari kita yang mengetahui bahwa pada fase itu, kebebasan infromasi adalah sebuah barang mahal. Tidak ada kebebasan pers yang dapat menginformasikan betapa buruknya sistem pemerintahan yang terkerangkeng KKN. Apabila ada media massa yang kritis, pembredelan adalah akibatnya. Demikian pula dengan Orde Reformasi. Fase ini dipenuhi dengan euforia kebebasan. Yang paling nyata adalah kebebasan pers. “Buruk rupa” pemerintahan dalam arti luas (Legislatif, eksekutif dan yudikatif) bisa diekspose sedemikian rupa secara “telanjang” tanpa sensor, kecuali sensor pribadi media bersangkutan. Jadi, membandingkan ketiganya secara aple to aple sebetulnya kurang tepat.

Namun demikian, argumentasi di atas tidak kemudian menghalangi riset yang dilakukan. Pertimbangan itu dikesampingkan dikarenakan saat ini kehidupan bernegara kita sangat ditentukan oleh persepsi masyarakat. Semua unsur pemimpin politik yang ada di Indonesia, baik presiden, gubernur, bupati hingga kepala desa bisa terpilih, sangat dipengaruhi oleh persepsi masyarakat. Hal ini sebagai implikasi dari pilihan kita menggunakan metode demokrasi yang mengadopsi sistem pemilihan pemimpin politik secara langsung. Mengingat pentingnya persepsi dalam konteks saat ini, melihat opini masyarakat Indonesia secara umum terhadap ketiga Orde yang ada dibutuhkan sebagai cerminan kondisi masyarakat saat ini.

Ironi

Setelah usia reformasi menapak angka 13 tahun, cukup mencengangkan memang ketika penilaian publik tidak begitu baik terhadap jalannya perubahan. Padahal, lahirnya Orde Reformasi dimaksudkan untuk mengkoreksi kesalahan-kesalahan pada Orde sebelumnya, khsusnya Orde Baru, yang dipenuhi oleh KKN. Tentu hal ini menjadi sebuah ironi, satu sisi Orde Reformasi muncul untuk mengkoreksi Orde sebelumnya, sementara hingga saat ini, Orde Reformasi sendiri malah dinilai lebih buruk dari Orde Baru yang ingin dikritisinya.

Hasil temuan ini tentu menjadi alarm sekaligus tamparan serius bagi para penggiat gerakan Reformasi. Apa yang diperjuangkan dengan tetes darah dan air mata tiga belas tahun yang lalu, ternyata belum juga menuai hasil positif sebagaimana diekspektasikan kala itu. Tujuh tuntutan reformasi masih belum tercapai. Tuntutan turunan Reformasi lainnya pun masih jauh dari harapan. Naasnya, publik pun masih dibuat pesimis melihat kondisi reformasi kedepan jika bercermin dari hasil temuan ini. Kenapa bisa demikian?

Tentu kondisi ini menjadi tantangan bagi semua stakeholder untuk kembali mencari solusi. Para penggiat reformasi yang dahulu menjadi garda depan, diingatkan kembali bahwa agenda yang ditorehkan melalui “tinta darah” itu belum selesai. Masih banyak persoalan yang menggunduk dan tak kunjung bisa diratakan. Masih banyak kerikil-kerikil tajam yang menyebar disegala sendi kehidupan bernegara, baik dibidang hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Hasil ini, menurut hemat saya, publik bukannya ingin kembali ke masa Orde Baru yang dijejali oleh keburukan dan kemunafikan. Itu terbukti, dari perolehan suara partai politik yang punya hubungan langsung dengan Soeharto, PKPB, yang tidak begitu direspon secara baik oleh masyarakat. Dalam dua pemilu, 2004 dan 2009, PKBP gagal menyedot perhatian publik, meskipun nama putri kesayangan Soeharto, Mbak Tutut, didaulat menjadi capresnya. Akan tetapi publik ingin menegaskan menegaskan bahwa Reformasi sampai detik ini gagal memberi perubahan ke arah yang lebih baik. Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat menjadi semakin sulit. Harga sembako mahal. Tingkat kemiskinan tak kunjung teratasi. Pengangguran terus merajalela. Hingga persoalan pemberantasan korupsi pun masih menjadi tanda tanya.

Menyalahkan sepenuhnya kegagalan Reformasi saat ini hanya kepada pemerintah dalam arti sempit (eksekutif) saja bukanlah sikap bijaksana. Kegagalan Reformasi ini adalah tanggung jawab pemerintah dalam arti luas (legislatif, eksekutif dan yudikatif). Namun lagi-lagi, persepsi publik berkata lain. Asumsi kegagalan Reformasi cenderung dibebankan kepada eksekutif saja. Hal ini terekam dalam survei yang menunjukkan bahwa mereka yang menganggap reformasi gagal, juga memiliki tingkat kepuasan yang minim terhadap eksekutif, dalam hal ini SBY sebagai representasinya. Sementara yang beranggapan Reformasi telah berhasil, cenderung memiliki tingkat kepuasan yang memadai terhadap SBY.

Tentu, persepsi masyarakat ini tak bisa disalahkan. Yang mereka tahu saat ini adalah kebutuhan dasar masih sulit. Jauh berbeda dengan masa Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto. Pada waktu itu, Bulog menjadi lokomotif kebutuhan dasar makanan masyarakat hingga bisa swasembada pangan. Kondisi keamanan terjaga. Pengelolaan terhadap asa publik pun tetap disemai dengan baik melalui program pembangunan Repelita. Tak mengherankan apabila kemudian saat ini Soeharto dipersepsikan oleh publik sebagai presiden yang paling disuaki dan paling berhasil diantara presiden lain yang pernah memimpin Indonesia, diluar kekurangannya yang memang masih minim diketahui masyarakat luas.

Persepsi masyarakat ini adalah peringatan (alarm) bagi pemerintah dalam arti luas (legislatif, eksekutif dan yudikatif). Namun, kecenderungan persepsi publik yang hanya membebankan kegagalan reformasi kepada eksekutif saja, haruslah ditanggapi secara elegan. Saatnya eksekutif (baca SBY) harus menjadi lokomotif baru untuk kembali mengawal agenda reformasi yang belum tuntas. Karena jika tidak, bisa jadi SBY akan ditulis oleh sejarah, bukan dengan tinta emas, melainkan dengan tinta lumpur lapindo, dengan tinta skandal bank century, dengan tinta skandal pajak, atau dengan tinta korupsi yang melibatkan petinggi partai yang ia bidani sendiri.

Baca Selengkapnya...

Korupsi Parpol dan Komitmen SBY

Oleh : Abdul Hakim MS

Jurnal Nasional | Rabu, 18 May 2011

LANCE Castles pernah mengatakan, dunia modern, selain disebut sebagai The Age of Nation-State (Zaman Negara-Bangsa), bisa juga dijuluki sebagai The Age of Parties (Zaman Partai Politik) [Castles:1999]. Hal ini mengacu pada geliat sistem politik yang diberlakukan oleh semua negara di dunia yang tak bisa lepas dari partai politik sebagai salah satu unsur utama penyanggah jalannya pemerintahan. Ada yang menggunakan sistem dua partai, multipartai, partai tunggal, atau partai dominan.

Dalam konteks Indonesia, pernyataan Castles mendapatkan penegasan. Peran parpol di Indonesia pascareformasi mencengkeram amat kuat. Segala bentuk kegiatan politik, mulai dari pemilihan presiden, pemilihan kepala daerah, pemilihan pejabat publik, hingga pembuatan kebijakan-kebijakan strategis lainnya, tak bisa lepas dari keterlibatan parpol. Bahkan dalam urusan bisnis pun, parpol memiliki pengaruh dominan dalam menguasai sumber ekonomi.

Melihat dominasi peranan parpol di segala sendi, tak mengherankan apabila kemudian banyak penyelewengan (korupsi) yang diperbuat oknum parpol. Ada adagium populer: power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutley. Dan isu akhir-akhir ini, yang menyeret nama Bendahara Umum Partai Demokrat, M Nazaruddin, dalam kasus suap pembangunan sarana SEA Games di Palembang, adalah gambaran permukaan tentang kebenaran adagium tersebut. Seperti kita tahu, Partai Demokrat adalah rulling party yang memiliki kekuasaan cukup mapan.

Lembaga Terkorup

Di Indonesia, korelasi antara parpol dan korupsi bisa diibaratkan dua sisi koin. Keduanya memiliki hubungan cukup erat. Setidaknya, hal itu tercermin dari hasil survei Barometer Korupsi Global Transparansi Indonesia. Selama empat tahun (2003, 2004, 2007, dan 2008), survei tersebut menempatkan partai politik sebagai lembaga terkorup dalam persepsi publik di Indonesia.

Data Transparency International menunjukkan, pada survei tahun 2003, partai politik tercatat sebagai lembaga terkorup setelah lembaga peradilan. Setahun berikutnya, 2004, partai politik dan parlemen menempati posisi pertama. Bahkan, pada tahun yang sama, Transparency International mengumumkan, 36 dari total 62 negara sepakat menyatakan bahwa partai politik adalah lembaga terkorup.

Dalam konteks Indonesia, hasil survei tersebut teramini kala KPK aktif melakukan upaya pemberantasan korupsi. Banyak petinggi parpol harus berurusan dengan lembaga ini karena terindikasi korup. Kita tentu masih ingat kasus Al Amin Nasution, Bachtiar Chamzah, kasus Miranda Gultom yang kemudian menyeret 19 politisi dari berbagai parpol. Dan tentu, yang terbaru adalah kasus yang melibatkan nama Bendahara Umum Partai Demokrat, M Nazaruddin, terkait kasus suap pembangunan sarana SEA Games di Palembang. Kenapa ini bisa terjadi?

Salah satu analisis yang bisa dimunculkan terkait korupnya lembaga parpol bisa ditelusuri dari sumber pendanaannya. Saat ini, parpol masih sangat tergantung pada sumbangan perusahaan atau perorangan dalam menjalankan kegiatannya. Bisa dipahami, makin besar sumbangan seseorang atau perusahaan terhadap parpol tertentu, sejalan dengan itu kekuasaan dan pengaruh penyumbang menjadi cukup besar di parpol bersangkutan. Artinya, ia bisa dengan mudah menggunakan parpol sebagai alat untuk kepentingan sang penyumbang.

Naasnya, UU Parpol yang baru malah memberi ruang cukup lebar terhadap para penyumbang untuk makin menegaskan posisinya. Batas dana sumbangan dari perusahaan yang awalnya hanya dibatasi maksimal Rp4 miliar pada Pemilu 2004, kini jumlahnya dinaikkan menjadi Rp7,5 miliar pada Pemilu 2014. Untuk sumbangan perseorangan, kini boleh menyetor ke rekening partai hingga Rp1 miliar. Dengan ketentuan ini, parpol akan didominasi oleh mereka yang memiliki kapital besar. Sejalan dengan itu, tentu pengaruh mereka juga makin kuat terhadap parpol untuk memuluskan segala keinginan. Salah satunya: menguasai sumber ekonomi.

Ekeses negatif lain dari besarnya sumbangan yang diperbolehkan oleh UU Parpol bisa menjadi tempat cukup aman bagi para "pencari suaka keadilan" dengan catatan mau memberi sumbangan. Mereka yang bermasalah dengan hukum bersembunyi di balik tameng parpol agar aman dari kejaran pengadilan. Tentu, kondisi ini makin memperburuk lagi citra parpol. Bagaimana langkah preventifnya?

Momentum

Cara terbaik untuk menanggulangi makin maraknya penyelewengan (baca korupsi) dalam lembaga parpol adalah dengan menjalankan mekanisme hukum secara tegas, tidak tebang pilih dan memberikan hukuman yang dapat memberi efek jera. Hanya dengan langkah ini, benang kusut korupsi di tubuh lembaga parpol dapat direduksi, jika tidak mungkin dieliminasi.

Momentum penegakan hukum secara tegas itu kini ada di depan mata. Kasus penyuapan yang menyeret nama Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin adalah tonggaknya. Meski berasal dari the rulling party, KPK tak boleh sungkan dan enggan mengusut tuntas kasus ini.

Apalagi SBY sebagai Dewan Pembina partai ini telah mengeluarkan statement yang menyejukkan. Ia tidak akan melindungi orang-orang yang bermasalah dengan hukum, meski ia menduduki jabatan strategis dalam struktur partai yang ia bidani itu. Jaminan ini harus digunakan KPK dengan baik sebagai pintu masuk utama untuk mengusut korupsi di tubuh lembaga partai politik.

Komitmen SBY ini bisa dimaknai dua arah. Pertama, komitmen ini menjadi bahan cukup menyegarkan bagi KPK sebagai bentuk dukungan untuk terus melakukan pemberantasan di bidang korupsi. Jika momen ini tidak diambil alih segera oleh KPK, maka dikhawatirkan proses pengusutan korupsi di lembaga parpol akan kembali lagi ke titik nol.

Kedua, komitmen SBY ini menjadi bukti bahwa ia adalah presiden yang memang tegas melawan kasus korupsi. Tentu masih hangat dalam ingatan bagaimana SBY tak melakukan intervensi terhadap kasus besannya, Aulia Pohan. Kasarnya, Aulia Pohan saja tidak mendapat campur tangan SBY, apalagi hanya sosok seperti M Nazaruddin --jika memang betul ia terlibat korupsi.

Karena itu, ini momen penting dalam pemberantasan korupsi di tubuh lembaga parpol. Agar pesismisme masyarakat terhadap lembaga ini, seperti terekam dari survei Transparansi Indonesia, bisa diperbaiki. Karena, sekali lagi, jika momentum ini lewat, pemulihan citra lembaga parpol akan menunggu lagi hingga waktu yang belum diketahui: kapan akan datang lagi momen yang sama.

Baca Selengkapnya...

Instropeksi Perbaiki Kinerja

Surabaya Post
Rabu, 18/05/2011 | 11:53 WIB

Hasil survei lebih baik dinilai sebagai bahan untuk perbaiki kondisi yang ada

JAKARTA-Hasil survei Indo Barometer yang menunjukkan Orde Baru lebih baik dibandingkan dengan Orde Lama dan Orde Reformasi tidaklah penting. Lebih baik bila mencermati hasilnya untuk bekerja bersama memperbaikinya.

Peneliti Indo Barometer Abdul Hakim menegaskan, hasil survei tersebut tidak bisa diartikan adanya keinginan rakyat untuk kembali ke masa lalu. Ia mengatakan, kalau diibaratkan pasangan suami-istri yang sedang berselisih seperti mengucapkan kata cerai atau berpisah namun sesungguhnya masih cinta. “Jadi bukan berarti mau balik lagi ke Orde Baru,” ujar Abdul Hakim, Rabu (18/5).

Menurutnya, apa yang dilakukan Indo Barometer hanya ingin mengangkat persepsi masyarakat terkait dengan pemerintahan. “Karena saat ini kehidupan negara ditentukan berdasarkan persepsi. Dimana SBY menang dari JK, Wiranto, Mega juga berdasarkan persepsi masyarakat,” ujarnya.

Indo Barometer hanya mengambarkan selama 13 tahun reformasi tapi pengganguran, kemiskinan, korupsi masih tinggi. “Saat ini keburukan yudikatif, legislatif dan eksekutif kita lihat dengan mata telanjang,” ujarnya.

Diberitakan sebelumnya, dari hasil survei ditemukan mayoritas publik menyatakan kondisi saat Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto lebih baik dibandingkan dengan era Reformasi. Padahal responden itu antara lain berusia 17 tahun yang tidak mengalami hidup di era Orde Baru ketika Soeharto berjaya atau memulai kekuasaannya.

Abdul Hakim juga membantah kalau, survey yang dilakukannya merupakan pesanan pihak tertentu, terutama dari keluarga Cendana.

Pengamat sosial dan politik Ava Larasati mengatakan, sebaiknya hasil survei tersebut

bukan bahan untuk menunjuk hidung siapa yang salah. “Hasil suvei itu sebenarnya tidak terlalu mengejutkan,” ujar Ava seperti dikutip dari situs inilah.com.

“Keseharian kita dengan gampang menangkap suara-suara yang condong kepada kerinduan akan kondisi di masa Orba. Jangan segera gusar, karena biasanya dengan gampang melihat urusan yang dirindukan itu semata kondisi perekonomian,” ujarnya.

Menurut Ava, rakyat di kalangan bawah, biasanya menisbahkannya pada kondisi dimana sembilan bahan kebutuhan pokok relatif gampang ditemui dengan harga lebih terjangkau.

Kalau mencermati hasil survei Indo, menurut Ava, persepsi ketidakpuasan masyarakat yang paling besar adalah terhadap kinerja pemerintah di bidang ekonomi. “Aspek yang paling mencolok terutama soal pengangguran dan kemiskinan,” ujarnya.

Karena itu, kata Ava, pemerintah sebaiknya menjadikan hasil survei itu sebagai acuan, bahkan tantangan. Satu hal yang pasti, pemerintah saat ini sudah mampu mencapai target pertumbuhan yang mengesankan.

Wajar bila pemerintah bahkan sempat membahas soal pertumbuhan ekonomi tujuh sampai delapan persen, serta target Produk Domestik Bruto mencapai 1 triliun dolar AS dalam 5-10 tahun mendatang.

Persoalannya masih pada sisi pemerataan. Pada soal kemakmuran yang kurang menetes ke bawah. Menetes, karena rakyat pun sadar dan tak memimpikan gelontoran kemakmuran. Pada sisi itulah kelemahan pemerintah saat ini, dan sebenarnya juga kelemahan pemerintahan Orde Baru hingga membulkan rasa ketidakadilan yang berujung pada penggulingan Orba di 1998.

Hal senada juga diungkapkan anggota DPD RI, AM Fatwa.

Fatwa yang pernah disiksa dan dipenjarakan selama 18 tahun selama rezim Orde Baru itu menilai, dalam hal pembangunan fisik dan ekonomi, Soeharto mungkin memiliki catatan baik. Namun dalam kehidupan berdemokrasi dan perlakuan terhadap hak asasi manusia, rezim Orde Baru memiliki cacat.

“Rezim Orde Baru justru menindas prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri. Mereka turut menindas demokrasi dan HAM,” kata Fatwa. ini, tmp

Baca Selengkapnya...

Tuesday, May 17, 2011

Indo Barometer: Ibarat Mau Cerai Tapi Masih Cinta

Selasa, 17 Mei 2011 | 21:08 WIB

INILAH.COM, Jakarta - Indo Barometer menegaskan hasil surveinya yang menunjukkan Orde Baru lebih baik dibandingkan dengan Orde Lama dan Orde Reformasi bukan berarti ingin kembali memutar jarum jam.

"Hasil survei Indo Barometer bukan berarti kembali ke masa lalu," kata peneliti Indo Barometer Abdul Hakim saat berbincang dengan INILAH.COM, Jakarta, Selasa (17/5/2011).

Ibarat sebuah keluarga yang sedang berselisih mengucapkan kata cerai atau berpisah namun sesungguhnya masih cinta. "Jadi bukan berarti mau balik lagi ke Orde Baru," ujarnya.

Menurutnya, apa yang dilakukan Indo Barometer hanya ingin mengangkat persepsi masyarakat terkait dengan pemerintahan. Jadi bukan untuk kembali ke Orde Baru. "Karena saat ini kehidupan negara ditentukan berdasarkan persepsi. Dimana SBY menang dari JK, Wiranto, Mega juga berdasarkan persepsi masyarakat," ujarnya.

Indo Barometer hanya mengambarkan selama 13 tahun reformasi tapi pengganguran, kemiskinan, korupsi masih tinggi. "Saat ini keburukan yudikatif, legislatif dan eksekutif kita lihat dengan mata telanjang," pungkasnya.

Sebelumnya diberitakan, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Indo Barometer, ditemukan mayoritas publik menyatakan bahwa kondisi saat Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto lebih baik dibandingkan dengan era Reformasi.

Padahal responden itu antara lain berusia 17 tahun yang tidak mengalami hidup di era Orde Baru ketika Soeharto berjaya atau memulai kekuasaannya. [mah]

Baca Selengkapnya...

Siapakah Pemberi Order Survei Indo Barometer?

Selasa, 17 Mei 2011 | 15:38 WIB

INILAH.COM, Jakarta - Hasil survei Indo Barometer yang menunjukkan, 40,9 persen responden mempersepsikan bahwa Orde Baru (Orba) lebih baik daripada era Reformasi menimbulkan kecurigaan.

Muncul dugaan, survei pesanan keluarga Cendana atau pihak yang ingin membangkitkan kejayaan Orba sepertia Partai Nasional Republik (Nasrep) besutan Tommy Soeharto.

Namun hal tersebut langsung dibantah oleh peneliti Indo Barometer Abdul Hakim saat berbincang dengan INILAH.COM, Jakarta, Selasa (17/5/2011). "Ada juga yang mengaitkan hasil survei ini berkaitan dengan partai Tommy Soeharto, kami tegaskan sama sekali tidak. Kami juga tidak kenal," ujar Abdul Hakim.

Menurutnya, Indo Barometer setiap melakukan survei nasional selalu independen. Dan tema yang selalu diangkat bukanlah pesanan. "Ini clear ide Indo Barometer," ujarnya.

Abdul Hakim mengaku walaupun banyak kritikan terkait survei nasional yang dikeluarkan Indo Barometer, namun Indo Barometer menerimanya dengan tangan terbuka. "Kritikan kami anggap masukan. Prokontra terkait survei biasa terjadi," ujarnya.

Ia juga menegaskan bahwa hasil survei tidak selalu menyenangkan semua pihak dan juga akan menyenangkan sebagian pihak lainnya. "Itu semua wajar," terangnya. [mah]

Baca Selengkapnya...

Thursday, April 28, 2011

Demokrasi Prosedural atau Substansial?

Oleh : Abdul Hakim MS

Okezone Selasa, 26 April 2011 10:24 wib

Salah satu instrumen guna mengukur kualitas demokrasi sebuah bangsa, apakah hanya prosedural atau substansial, variabel terpenting yang harus dilihat adalah bagaimana pelaksanaan pemilu yang dilangsungkan di negara bersangkutan. Pemilu menjadi indikator utama, karena dalam proses inilah pelaksanaan demokrasi secara nyata bisa dilihat. Melalui pemilu berkala, sirkulasi kekuasaan politik dapat terdistribusi secara teratur. Dengan keteraturan ini, kekuasaan politik yang ada tidak kemudian menjadi absolut karena terus berganti dalam jangka waktu tertentu. Kekuasaan politik absolut merupakan musuh bersama dari semua negara demokrasi. Itu disebabkan oleh adanya adagium populer yang dikeluarkan oleh Lord Acton “power tend to corrupt and absolute power corrupt absolutly”. Kekuasaan memberikan kencenderungan untuk disalahgunakan. Dan kekuasaan absolut, sudah pasti akan diselewengkan.

Jika indikator di atas yang dipakai untuk mengukur kualitas demokrasi, Indonesia boleh berbahagia. Hingga usia reformasi menginjak angka 12 tahun, sirkulasi kekuasaan politik, baik dari tingkat nasional hingga ke daerah, telah berjalan sesuai mekanisme demokrasi. Akan tetapi, pada proses sirkulasi kekuasaan politik nasional yang akan dilaksanakan pada tahun 2014, khususnya dalam pemilu untuk memilih anggota legislatif, kini sedikit mendapat ancaman serius. Suara rakyat akan semakin terabaikan seiring dengan wacana revisi UU NO. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Dalam draft revisi Undang-undang ini, penetapan Parliamentary Threshold (PT) yang pada pemilu 2009 hanya berlaku di tingkat nasional, akan diberlakukan flat secara nasional.

19 Juta Suara

Kebijakan penetapan PT dalam UU Pemilu, sebetulnya dimaksudkan untuk mereduksi menjamurnya jumlah partai politik yang ada. Banyaknya jumlah partai politik, dipandang menyulitkan sistem pemerintahan kita yang menganut model presidensial. Dalam model ini, presiden kerap kali kesulitan menelurkan keputusan politik karena berbelit-belitnya urusan di DPR. Hal itu disebabkan banyaknya kepentingan seiring banyaknya jumlah perwakilan partai politik di DPR. Itu sebabnya, penyederhanaan jumlah partai politik, diyakini akan mendukung pemberlakukan model presidensial yang kita anut secara efektif.

Akan tetapi, formula yang dipakai untuk penyederhanaan partai melalui kebijakan PT pada pemilu 2009 yang lalu, sebetulnya telah menyembulkan protes serius. Dengan pemberlakuan PT sebesar 2,5% untuk pengisian kursi DPR-RI, telah mengorbankan sebanyak 19 juta suara yang tidak terkonversi menjadi kursi. Jika dipersentasi, jumlahnya mencapai 18,3% dari jumlah suara sah yang ada. Angka ini menempati posisi kedua dalam perolehan suara nasional partai-partai. Jumlah ini hanya kalah dengan Partai Demokrat yang memperoleh suara 20,8% dan mengalahkan suara Partai Golkar dan PDI-P sebesar 14%. Itu artinya, 19 juta suara yang telah memilih wakilnya melalui partai yang cicoblos, tidak terwakili di DPR. Kemudian siapa yang mewakili mereka? Jawabannya, suara mereka “dibajak” oleh partai yang lolos PT.

Coba bayangkan seandainya peraturan PT ini dinaikkan. Berapa banyak lagi suara rakyat yang akan dinistakan? Belum lagi seandainya draft yang sekarang sedang dibahas betul-betul memberlakukan ketentuan PT secara flat nasional dan angkanya kembali dinaikkan. Akan semakin banyak lagi aspirasi masyarakat, baik nasional maupun daerah yang akan terbuang sia-sia.

Sebagai ilustrasi, di Provinsi Banten misalnya. Pada pemilu 2009, ada 85 kursi yang disediakan untuk wakil partai politik di DPRD berdasarkan populasi penduduknya. Setelah suara 9 partai yang lolos PT dihitung, baru menghasilkan 75 kursi. Itu artinya masih ada 10 kursi lagi yang belum terisi. Saat ini, 10 kursi tersebut diisi oleh partai-partai yang tak lolos ketentuan PT. Jika peraturan PT diterapkan secara flat nasional, berarti 10 kursi yang tersisa akan didistribusikan terhadap 9 partai yang lolos PT. Tentu hal ini akan mencederai asas keterwakilan dalam demokrasi. 10 kursi yang diisi oleh wakil-wakil dari partai yang lolos PT, merupakan wakil yang ditunjuk bukan atas dasar kehendak suara masyarakat, melainkan atas dasar “manipulasi” Undang-undang. Sementara suara yang telah memilih partai yang tidak lolos ketentuan PT, akan terbuang sia-sia. Jika secara nasional telah ada 19 juta suara yang sia-sia, berapa lagi suara yang akan dinistakan seandainya ketentuan PT diberlakukan flat secara nasional?

Berjenjang

Melihat ilustrasi yang ada di atas, tentu ketentuan pemberlakuan PT sebetulnya perlu dikaji ulang. Harus dicari formula baru dalam sistem pemilu kita yang dapat memecahkan dua masalah utama, menyederhanakan jumlah partai politik agar model presidensial bisa berjalan efektif di satu sisi, dan di sisi lain suara masyarakat juga jangan terlalu dinistakan secara berlebihan. Memang tidak mudah, namun kita bisa belajar dari pengalaman demokrasi di negara-negara lain.

Namun seandainya memang betul-betul ketentuan PT tetap akan diberlakukan karena menjadi “kesepakatan politisi senayan”, pembelajaran banyaknya suara yang terbuang dalam pelaksanaan PT untuk pengisian kursi DPR-RI pada pemilu 2009 harus dipertimbangkan. Jangan malah peluang pemberlakuan PT ini digunakan untuk memperkokoh kekuasaan partai politik besar hingga ke tingkat daerah dengan cara pemberlakuan PT flat secara nasional. Karena jika demikian, pemilu nantinya hanya akan menjadi legitimasi kekuasaan partai politik besar. Substansi pemilu sebagai variabel penting untuk mengukur kualitas demokrasi menjadi dipertanyakan. Karena wakil-wakil di DPRD tidak lagi ditentukan berdasarkan suara masyarakat di daerah bersangkutan, melainkan berdasarkan perolehan suara partai politik secara nasional.

Padahal kita semua faham, aspirasi masyarakat di daerah tidak selalu sejalan dengan aspirasi partai politik besar. Bagi daerah yang secara afiliasi politik tidak berpihak pada parpol besar, tentu mereka akan selalu dirugikan karena mereka tidak akan pernah punya wakil di DPRD. Mereka juga harus menurut pada “paksaan” kemauan partai politik besar. Unsur keragaman yang menjadi motto dalam Bhineka tunggal Ika menjadi tercederai.

Merujuk hal tersebut, sebaiknya politisi senayan berpikir ulang. Seandainya Pemberlakuan PT juga dilakukan hingga tingkat provinsi dan kabupaten/kota, sebaiknya dilakukan secara berjenjang. Rujukannya bukan perolehan suara partai politik secara nasional, melainkan berdasarkan perolehan suara partai-partai yang ada di provinsi dan kabupaten/kota. Namun PT berjenjang ini juga bukan tanpa masalah. Karena dengan pemberlakuan PT, berapapun besarannya, mau tidak mau akan tetap ada suara masyarakat yang dinihilkan.

Saat ini, pemilu kita telah menjadi pemilu tersulit di antara negara demokrasi lainnya. Ada pencoblosan 4 tahap (DPR-RI, dua DPRD, dan Presiden). Kemudian daftar calon yang ada sangat banyak sehingga surat suara menjadi sangat lebar. Tak heran jika suara yang tidak sah pada pemilu 2009 lalu mencapai angka 17 juta suara. Belum lagi kerumitan dalam menkonversi suara menjadi kursi. Ditambah lagi, pemilu kita termasuk kategori pemilu termahal di dunia.

Dengan berbagai kelemahan yang ada, seyogyanya politisi di senayan bersama pemerintah merumuskan ulang sistem pemilu kita. Karena kita tahu, sistem pemilu kita tidak pernah mapan. Setiap lima tahun selalu mengalami revisi. Bukankan itu merugikan kita sendiri? Baik waktu, tenaga dan pikiran. Yang tentu lagi tidak ketinggalan adalah kerugian biaya pembahasan RUU yang tiap tahun yang jumlahnya tidak sedikit.

Baca Selengkapnya...

Friday, March 11, 2011

Perang Strategi Menuju pemilu 2014

Oleh: Abdul Hakim MS

Jurnal Nasional, 10 Maret 2011


Konstelasi dan kontestasi menuju pemilu 2014 telah dimulai. Meski masih tiga tahun lagi, semua stakeholder yang memiliki kepentingan telah memasang kuda-kuda. Ada yang mencoba tes pasar dengan medeklarasikan calon presidennya secara dini. Ada pula yang sibuk mereduksi popularitas tokoh yang sangat berpengaruh.

Upaya tes pasar, telah dicoba oleh beberapa kalangan. Partai Golkar, misalnya, melalui DPD-nya diseluruh Indonesia telah menggaungkan nama Aburizal Bakrie untuk diplot sebagai kandidat presiden. Ada pula riak-riak kecil seperti yang digulirkan oleh tokoh di luar partai, seperti Sri Mulyani. Tokoh ekonomi yang harus ”tersingkir” dari urusan dalam negeri akibat skandal Bank Century ini, telah meluncurkan situs pemikirannya di www.srimulyani.net. Banyak kalangan menduga, peluncuran ini adalah langkah awal penjajakan menuju pemilu 2014. Ada pula tes yang dikeluarkan oleh politisi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, dengan mengatakan Ibu Ani Yudhoyono adalah figur yang pas melanjutkan tampuk kepemimpinan SBY.

Namun yang agak marak untuk saat ini adalah upaya beberapa kalangan mereduksi popularitas tokoh yang sangat berpengaruh, SBY. Kenapa demikian? Meski sudah tak bisa lagi mencalonkan diri menjadi presiden pada 2014, ketokohan SBY masih menjadi kunci kebesaran partai Demokrat. Seperti kita tahu, SBY hingga tahun 2015 masih memegang jabatan sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Keberadaannya di Partai Demokrat, tentu akan membawa pengaruh terhadap pemilih jika dipenghujung kepemimpinannya dinilai positif oleh masyarakat. Dan hingga detik ini, merujuk hasil polling Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dirilis awal Januari 2011 lalu, SBY masih yang terbaik di hati masyarakat. Kepuasan terhadap SBY masih dikisaran 63%. Angka ini tetap lebih tinggi dari keterpilihan SBY pada pemilu 2009 lalu, 60.8%. Implikasinya, tokoh yang didukung SBY akan ikut kena imbas positif.

Arus Kritik

Langkah beberapa kalangan untuk mereduksi popularitas SBY, sebetulnya telah menggelinding sejak akhir 2009 lalu. Melalui pengajuan hak angket skandal Bank Century, opsi menyalahkan pemerintah dalam kasus ini diharapkan akan memangkas ketokohan SBY di benak masyarakat. Melalui perdebatan dramatis yang cukup panjang bak sinetron, hak angket Bank Century melempen di tengah jalan. Kasus ini hanya berhasil ”mengusir” Sri Mulyani dari tanah air. Sementara kasus ini ternyata tak begitu menyerang SBY. Berdasarkan polling Indo Barometer pada awal Januari 2010, publik menilai SBY tak ada kaitannya dengan skandal tersebut. Yang bertanggung jawab adalah Menteri Keuangan saat itu, Sri Mulyani, dan Gubernur BI saat itu, Boediono yang saat ini menjabat sebagai wapres. Selaras dengan itu, kepuasan masyarakat terhadap SBY masih diangka 74.5%.

Setalah lama tak terdengar kritik keras terhadap SBY, tiba-tiba beberapa pekan lalu, sembilan tokoh lintas agama berkumpul di kantor PP Muhammadiyah. Mereka medeklarasikan sebuah maklumat tentang ”kebohongan rezim Presiden SBY”. Tokoh-tokoh agama ini mengidentifikasi setidaknya ada 18 kebohongan yang dilakukan, 9 diantaranya kebohongan lama dan 9 yang lain adalah kebohongan baru. Tindakan ini direspon SBY dengan mengundang mereka ke Istana negara untuk melakukan dialog klarifikasi. Tak puas dengan hasil dialog, tokoh lintas agama ini kemudian mendeklarasikan gerakan anti kebohongan dengan membuka rumah pengaduan masyarakat terhadap kebohongan-kebongan rezim SBY.

Tak berselang lama, SBY kembali dihujani kritik terkait perkara Gayus Tambunan. Arahnya memang tak langsung ke SBY, melainkan ke Satgas Mafia pemberantasan Mafia Hukum. Gayus beberapa saat setelah divonis 7 tahun penjara, memberikan keterangan pers bahwa yang merekayasa kasusnya adalah tiga anggota Satgas Mafia Hukum. ”nyanyian” Gayus ini pun mendapat sambutan langkah politik kalangan DPR dengan pengajuan hak angket. Intinya mempersoalkan keberadaan Satgas dalam kasus-kasus hukum. Satgas sendiri merupakan lembaga bentukan presiden untuk memberantas keberadaan mafia hukum. Namun karena Satgas dibentuk bukan dengan Undang-undang, keberadaannya dipersoalkan banyak kalangan. Kritik terhadap Satgas Mafia Hukum yang digelindingkan oleh DPR melalui hak angket, bisa saja diharapkan beberapa kalangan akan menyasar ke SBY sebagai rahim yang melahirkannya.

Musuh Bersama

Masifnya hujan kritik terhadap SBY seperti diuraikan di atas, secara politis tak bisa dilepaskan dari perjalanan kontestasi menuju 2014. Meski tak bisa kembali mencalonkan diri pada pemilu 2014, SBY saat ini masih menjadi figur terkuat dalam pentas nasional. Keberadaannya di Partai Demokrat, tentu akan membawa dampak signifikan bagi perolehan suara partainya. Disamping itu, ”titahnya” pada sosok yang akan didukung pada pemilu 2014, tentu akan memberikan referensi positif bagi para pengikut SBY untuk menjatuhkan pilihan. Itulah sebabnya, SBY saat ini bisa dikatakan menjadi ”musuh bersama” semua kalangan yang memiliki kepentingan menuju pemilu 3 tahun mendatang.

Setidaknya ada dua faktor yang memunculkan analisa kenapa SBY menjadi ”musuh bersama” sehingga popularitasnya perlu direduksi. Pertama, kalangan-kalangan ini memerlukan situasi balance of pawer untuk bertarung di pemilu 2014. Dengan jeleknya citra SBY di mata publik, maka ”pertempuran” pada pileg dan pilpres menjadi seimbang diantara para kontestan. Seperti kita tahu, semua partai politik saat ini tidak memiliki tokoh sentral sekaliber SBY. Yang ada hanyalah tokoh yang ”telah usang”. Dengan ketidakhadiran pengaruh kuat SBY, maka para kontestan tinggal berpikiran memunculkan tokoh yang bercitra baik dan melakukan start yang bersamaan. Tidak ada pole position berlebihan diantara para kandidat.

Kedua, para kontestan saat ini berharap dapat memenangkan peperangan pada pemilu sebelum pertempuran itu sendiri berlangsung di 2014. seandainya upaya melemahnya popularitas SBY berhasil, hal itu tentu sebuah kemenangan kalangan-kalangan ini untuk bertarung pada pemilu 2014. Partai Demokrat diharapkan akan mengempes. Dan partai-partai yang bertarung tentu bisa ”berbagi” kue limpahan suara SBY. Karena berdasarkan survei Indo Barometer, suara SBY memang banyak dari kalangan floating mass (massa mengambang). Ciri-ciri pemilih pada jenis ini dalam memutuskan pilihannya adalah menunggu situasi politik kontemporer.

Menilik hal tersebut, bisa dipastikan bahwa situasi politik nasional dalam tahun-tahun mendatang akan terus disibukkan oleh ”peperangan strategi” para politisi partai politik. Kita semua akan dijejaki dan disuguhi tontonan-tontonan hal semacam ini tanpa henti. Entah gerakan apalagi yang akan muncul. Meski demikian, diharapkan pemerintah tetap fokus dan tidak melupakan tugas utamanya untuk mengurusi kesejahteraan masyarakat. Jangan sampai pemerintah kemudian lalai akibat banyaknya kritik yang terus menghujani tanpa henti.

Baca Selengkapnya...

Thursday, March 10, 2011

Isu Reshuffle Bakal Terulang

surabayapost.co.id
Kamis, 10 Maret 2011 | 11:44 WIB

SEMARANG – Pengamat politik Universitas Diponegoro Fitriyah mengatakan, beredarnya isu reshuffle atau perombakan kabinet dalam koalisi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan menjadi pola berulang dan rentan muncul semakin sering mendekati Pemilu 2014.

"Karena koalisi hubungannya transaksional maka permasalahan yang sama kemungkinan akan muncul lagi," kata Fitriyah, Kamis (10/3).

Ia mengatakan setelah semakin pasti keputusan Partai Golkar tetap bertahan dalam koalisi, tidak ada jaminan ke depan koalisi akan solid karena partai memiliki kepentingan sendiri-sendiri.

Masih bertahannya Partai Golkar dalam koalisi, menurut Fitriyah, sesuai dengan perkiraan awal banyak pihak bahwa Presiden masih membutuhkan Partai Golkar.

"Suara 60 persen lebih Partai Demokrat di legislatif tidak cukup melakukan back up sehingga membutuhkan dukungan dari Partai Golkar. Sementara Partai Golkar sadar sebagai kekuatan kedua setelah Partai Demokrat," kata pengajar Ilmu Pemerintahan FISIP Undip itu.

Sementara jika Partai Golkar disingkirkan, lanjut Fitriyah, terlalu riskan.

Menurut Fitriyah koalisi saat ini lebih pada kuantitas, tidak ada kesamaan ideologi dan tidak jelas platform serta tidak ada ciri khas partai politik.

Senada tapi tak seirama juga diungkapkan Pengamat Politik IndoBarometer Abdul Hakim. Ia mengatakan, sebagai seorang negarawan, SBY akan memilih untuk menjaga keharmonisan antara partai koalisi dengan cara mencari titik persamaan daripada perbedaan.

"SBY dikenal memiliki karakter kepemimpinan Jawa yang kuat. Salah satu karakter utama kepemimpinan Jawa adalah mengumpulkan kekuasaan bukan mendeferensiasi kekuasaan," ujar.

Meski mempertahankan, bukan berarti SBY tidak akan memberikan sanksi politik kepada PKS atas perbedaan sikap mengenai hak angket Century dan pajak.

"Reshuffle terhadap menteri PKS mungkin tetap dilakukan, tapi tidak membabi buta bukan karena perbedaan sikap melainkan karena kinerjanya yang memang tidak memuaskan. Artinya obyektif, kalau bagus tetap dipertahankan," ujarnya.

Menurut Abdul Hakim, keberadaan PKS di dalam barisan koalisi dibutuhkan untuk internal check and balances. Hanya saja, sambungnya, ke depan kritik yang disampaikan PKS tak perlu sampai mengusung hak angket di DPR.

Sementara itu, hingga saat ini, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga saat ini masih belum memberi kepastian Partai Gerindra bergabung dengan koalisi. Peluang Gerindra masuk dalam koalisi makin kecil menyusul batalnya Golkar dan PKS didepak dari koalisi.

"Masih belum selesai, masih dalam proses. Nanti juga ada keputusannya," kata anggota Dewan Pembina PD Ahmad Mubarok.

Sementara itu, terkait rencana pertemuan SBY dengan perwakilan PKS, Mubarok juga belum bisa memastikan. Padahal sebelumnya dengan Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie secara pribadi sudah bertemu dan menemukan kata sepakat.

"Sampai saat ini belum, saya tidak tahu kapan jadwalnya. Dulu pas di Bandung PKS datang pas injury time. Mungkin juga dipanggil menit terakhir. Tunggu saja," ungkapnya.

Sejumlah pimpinan partai pendukung pemerintahan SBY justru menanggapi dingin isu reshuffle. Menurut Ketua Umum PPP yang juga Menteri Agama, Suryadharma Ali (SDA), isu tersebut tidak datang dari Presiden SBY selaku kepala pemerintahan, melainkan dari elit-elit tertentu.

"Isu reshuffle dibangun bukan atas dasar sinyal dari SBY. Tapi sengaja dihembuskan oleh pihak-pihak tertentu," ujar SDA usai raker dengan Komisi VIII DPR.

Menurut SDA, isu akan adanya reshuffle bukan kali ini saja berhembus. Sejak 100 hari pemerintahan SBY, lalu dilanjutkan pada setahun periode kedua pemerintahan SBY berjalan kembali berhembus isu yang meresahkan tersebut.

"Dan sekarang berhembus lagi setelah usulan hak angket mafia pajak. Tapi Pak SBY sendiri tidak ada apa-apa dan sampai hari ini tidak ada (reshuffle). Jadi ini sengaja dihembuskan," terangnya. dtc, ant

Baca Selengkapnya...

Pertahankan PKS Yes, Reshuffle Kabinet Yes

Oleh: MA Hailuki
Nasional - Kamis, 10 Maret 2011 | 07:01 WIB

INILAH.COM, Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diyakini akan tetap mempertahankan PKS di dalam barisan koalisi.

Sebagai seorang negarawan, SBY akan memilih untuk menjaga keharmonisan antara partai koalisi dengan cara mencari titik persamaan daripada perbedaan.

"SBY dikenal memiliki karakter kepemimpinan Jawa yang kuat. Salah satu karakter utama kepemimpinan Jawa adalah mengumpulkan kekuasaan bukan mendeferensiasi kekuasaan," ujar Pengamat politik IndoBarometer Abdul Hakim, kepada INILAH.COM, Rabu (9/3/2011) malam.

Meskipun mempertahankan, bukan berarti SBY tidak akan memberikan sanksi politik kepada PKS atas perbedaan sikap mengenai hak angket Century dan pajak.

"Reshuffle terhadap menteri PKS mungkin tetap dilakukan, tapi tidak membabi buta bukan karena perbedaan sikap melainkan karena kinerjanya yang memang tidak memuaskan. Artinya obyektif, kalau bagus tetap dipertahankan," ujarnya.

Menurut Abdul Hakim, keberadaan PKS di dalam barisan koalisi dibutuhkan untuk internal check and balances. Hanya saja sambungnya, ke depan kritik yang disampaikan PKS tak perlu sampai mengusung hak angket di DPR. [mah]

Baca Selengkapnya...

Demokrat & Golkar Benci Tapi Rindu

Oleh: MA Hailuki
Nasional - Kamis, 10 Maret 2011 | 05:08 WIB


INILAH.COM, Jakarta - Langkah Presiden SBY mempertahankan Golkar dalam koalisi sangatlah tepat. Sebab jika Golkar sampai keluar koalisi pemerintah bisa kewalahan di DPR.

Pengamat politik IndoBarometer Abdul Hakim mengatakan, SBY sangat membutuhkan Golkar untuk mewujudkan pemerintahan yang stabil dan efektif. Tanpa Golkar, dipastikan Partai Demokrat kesulitan menjalankan roda pemerintahan.

"Mengeluarkan Golkar dari partai koalisi memiliki resiko cukup tinggi. Golkar adalah partai yang diisi oleh politisi-politisi handal yang setiap saat bisa melakukan manuver untuk menggerogoti pemerintah," ujarnya kepada INILAH.COM, Rabu (9/3/2011) malam.

Menurut Abdul Hakim, hubungan Demokrat dan Golkar ibarat tokoh kartun 'Tom & Jerry', Meski benci namun sesungguhnya saling merindukan.

"Dengan maksud untuk tetap menjaga dominasi partai pendukung pemerintah di parlemen, cukup rasional apabila SBY tetap mempertahankan Golkar dalam jajaran partai yang berada dibarisan Setgab. Boleh dianalogikan, hubungan PD dan Golkar ibarat Tom & Jerry, benci tapi rindu," terangnya. [mah]

Baca Selengkapnya...

Monday, March 07, 2011

Hatta Rajasa paling banyak diberitakan media

Oleh: Abdul Hakim MS

Mengetahui popularitas tokoh-tokoh yang memiliki peluang maju menjadi pemimpin di negeri ini selalu menarik dilakukan. Berbagai lembaga survey secara berkala rutin melakukannya melalui sarana survey (polling) persepsi publik. Mereka lantas mempublikasikannya melalui media untuk konsumsi publik. Popularitas ini dijadikan tolak ukur seberapa besar peluang sang kandidat dapat terpilih pada pemilihan langsung di pemilu 2014. semakin populer sang tokoh, semakin besar pula peluangnya dapat menduduki kursi RI-1.

Selain polling persepsi publik, sarana lain untuk mengetahui popularitas kandidat, juga dapat diketahui melalui instrumen analisis isi media. Jika polling persepsi publik diarahkan untuk mengetahui seberapa populer tokoh dikalangan masyarakat awam, maka popularitas di media menjadi ukuran seberapa kuat posisi sang tokoh di kalangan elit. Singkatnya, popularitas melalui polling persepsi publik ditujukan untuk menyasar popularitas tokoh dikalangan pemilih menengah bawah (below the line) sementara analisis isi media massa untuk mengukur popularitas dikalangan pemilih menengah atas (above the line).

Nah, jika kita telah banyak mengetahui popularitas tokoh-tokoh nasional melalui survei persepsi publik, maka postingan berikut adalah hasil analisis isi media terhadap tokoh-tokoh nasional yang memiliki peluang untuk menjadi pemimpin negeri ini.

Analisis dilakukan terhadap sembilan tokoh yang memiliki peluang besar maju menjadi presiden. Mereka adalah Anas Anas Urbaningrum (Ketua Umum Partai demokrat), Aburizal Bakrie (Ketua Umum Partai Golkar), Hatta Rajasa (Ketua Umum PAN), Ani Yudhoyono (Istri Presiden SBY), Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum PDI-P), Surya Paloh (Penggagas Nasional Demokrat), Prabowo Subianto (Ketua Dewan pembina Partai Gerindra), Sri Mulyani (World Bank), dan Sultan HB X (Penggagas Nasional demokrat dan Gubernur DIY).

Analisis isi media difokuskan terhadap tujuh media nasional, antara lain: Kompas, Media Indonesia, Indo Pos, Republika, Rakyat Merdeka, Suara Pembaruan dan Seputar Indonesia.

Bagaimana hasilnya?

Dalam rentang waktu dua bulan, 1 januari – 28 Februari 2011, ternyata yang paling populer adalah Hatta Rajasa. Dari sekitar 1.345 artikel yang dianalisis, artikel Hatta lebih unggul dibandingkan yang lainnya. Hatta memperoleh pemberitaan di media sebanyak 32.8%, disusul Megawati 17.4%, dan Aburizal bakrie 13.4%. Hasil lengkapnya Anda bisa lihat dalam grafik.

Baca Selengkapnya...

Friday, March 04, 2011

Patgulipat Koalisi Pasca-Angket Pajak

Abdul Hakim MS

Detik.com
Kamis, 03/03/2011 16:09 WIB

Isu reshuffle terhadap komposisi kabinet Indonesia bersatu (KIB) jilid II kembali menguat. Penguatan isu ini muncul pasca-penolakan penggunaan hak angket pajak oleh DPR. Sebanyak 266 anggota DPR menolak sementara 264 anggota lainnya menerima. Diantara yang menolak adalah Partai Demokrat, PAN, PPP, PKB, dan Gerindra. Sementara yang menerima adalah Partai Golkar, PDI-P, PKS, dan Hanura. Diantara partai-partai yang menerima, dua diantaranya adalah partai yang tergabung dalam koalisi pendukung pemerintah di Setgab, yakni partai Golkar dan PKS.

Perbedaan sikap politik yang terjadi diantara partai koalisi pendukung pemerintah, membuat elit Partai Demokrat gerah. Sebagai motor Setgab, Partai demokrat “mendesak” presiden untuk mengevaluasi kabinet. Partai-partai yang sikap politiknya tak sejalan lagi dengan rel pemerintah diminta dicabut porsinya dalam kabinet. Seperti diketahui sebelumnya, Partai Golkar dan PKS juga berseberangan sikap dengan sikap pemerintah terkait hak angket Bank Century. Terkait kegelisahan ini, Ketua DPR yang juga elit penting Partai Demokrat, Marzuki Ali, telah melaporkannya kepada SBY.

Mungkin untuk PKS, tak sulit bagi SBY untuk mengambil keputusan mengeluarkannya dari gerbong kabinet. Namun untuk Partai Golkar, beranikah SBY mendepak menteri-menteri dari partai beringin dari kabinet?

Seandainya SBY betul-betul melakukan reshuffle dan menjadikan komposisi partai pendukung pemerintah berdasarkan hasil angket pajak, maka sebetulnya struktur partai-partai dalam kabinet masih sedikit lebih unggul dibandingkan dengan partai-partai non-kabinet. Berdasarkan perolahan kursi, maka kursi gabungan partai yang menolak angket pajak (PD, PAN, PPP, PKB dan Gerindra) sebanyak 283 kursi atau 50.5%. Sementara kursi yang menerima sebanyak 277 kursi atau 49.5%. Komposisi ini sebetulnya sangat ideal dalam pelaksanaan pemerintahan karena akan terjadi proses check and balanece. Komposisi antara yang pro dan pengkritik pemerintah cukup seimbang di DPR.

Namun sepertinya, SBY tidak akan gegabah dengan menjadikan hak angket pajak sebagai satu-satunya pertimbangan melakukan reshuffle kabinet. Selama ini, SBY dikenal memiliki karakter kepemimpinan Jawa yang kuat. Salah satu karakter utama kepemimpinan Jawa adalah “mengumpulkan kekuasaan” bukan “mendeferensiasi kekuasaan”. Merujuk hal tersebut, maka yang sangat dimungkinkan akan diambil oleh SBY adalah melakukan reshuffle dengan tetap mempertahankan komposisi dominan dalam struktur partai pendukung pemerintah.

Jika skenario ini yang akan diambil, siapa yang akan terdepak dan siapa yang akan masuk di kabinet?

Plus Minus Golkar-PDIP

Dengan pertimbangan akan tetap menjadikan gerbong partai pendukung pemerintah lebih dominan di DPR, maka posisi Partai Golkar menjadi kunci dalam rencana reshuffle SBY. Seandainya SBY betul-betul harus mengeluarkan Golkar dan PKS dengan pertimbangan selalu berbeda sikap politik di DPR mengenai isu-isu strategis pemerintah, maka SBY harus menggamit partai berkursi besar lainnya, PDI-P. Namun untuk mengajak gabung PDI-P juga bukan perkara mudah.

Memang, kedekatan hubungan antara PD dan PDIP telah terjalin lama. PDIP melalui Taufik Kiemas kerap menyiratkan keinginan untuk bergabung dengan pemerintah. Kondisi internal PDIP yang juga tengah bermasalah dengan banyaknya politisi yang terjerat hukum di KPK, memberikan peluang bagi PD untuk mengajak kerja sama partai banteng itu untuk bergabung. Dengan masuk dijajaran kabinet, tentu persoalan-persoalan yang tengah membelit PDIP bisa sedikit direduksi. Namun kendala utamanya adalah keberadaan megawati. Seperti diketahui, putri Bung karno ini memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan SBY.

Namun seandainya PD berhasil mengajak gabung PDIP, tentu mengeluarkan Partai Golkar dan PKS dari gerbong pemerintah menjadi tidak teralalu riskan buat SBY. Karena komposisi partai diparlemen jika Golkar dan PKS dikeluarkan sementara PDIP dan Gerindra masuk, perbandingannya menjadi 67.5% : 32.5% untuk partai pendukung pemerintah. Golkar, PKS dan Hanura menjadi partai yang berada diluar garis pemerintah.

Namun seandainya PDIP tidak berhasil diajak bergabung, tentu amat riskan apabila SBY mengeluarkan Golkar dari Setgab. Karena perbedaan suaranya menjadi sangat imbang. Jika ada satu atau dua orang anggota DPR yang membelot dari garis partai, seperti kasus Lily Wahid dan Gus Choi di PKB pada angket pajak, maka pemerintah pasti akan kalah dalam pengambilan keputusan voting di DPR.

Oleh karena itu, meskipun Golkar kerap berbeda pendapat yang berujung pada perbedaan sikap politik, SBY tentu tetap akan melanggengkan Golkar distruktur partai pendukung pemerintah. Hal ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Pertama, sudah menjadi rahasia umum jikalau SBY memiliki hubungan yang sangat erat dengan Aburizal bakrie. Kedua, mengeluarkan Golkar dari partai koalisi memiliki resiko cukup tinggi. Golkar adalah partai yang diisi oleh politisi-politisi handal yang setiap saat bisa melakukan manuver untuk “menggerogoti” pemerintah. Selain itu, Golkar juga memiliki sumber daya yang cukup dalam hal finansial untuk melakukan gerakan politik apapun. Ditambah lagi, Golkar adalah partai yang memiliki jaringan sangat rapi dari tingkat pusat hingga tingkat daerah.

Melihat pertimbangan nilai positif Golkar, ditambah dengan maksud untuk tetap menjaga dominasi partai pendukung pemerintah di parlemen, cukup rasional apabila SBY tetap akan mempertahankan Golkar dalam jajaran partai yang berada dibarisan Setgab. Boleh dianalogikan, hubungan PD – Partai Golkar ibarat Tom & Jerry, benci tapi rindu.

Sinyal ini diakui oleh beberapa petinggi Partai Dermokrat. Wacana yang digulirkan dalam melakukan reshuffle adalah mengeluarkan PKS dari kabinet, mempertahankan Golkar dan memasukkan Gerindra dalam struktur yang baru. Bahkan kabarnya, kursi kabinet Golkar akan ditambah satu lagi untuk mengikat Golkar. Dimaksudkan, penambahan ini agar perbedaan pendapat yang terjadi di Setgab tidak berbuntut menjadi perbdaan sikap politik di DPR.

Jika pertimbangan-pertimbangan di atas yang akan diambil oleh SBY, maka struktur baru Setgab tetap akan dominan di DPR. Setgab akan diisi oleh Partai Demokrat, Golkar, PAN, PPP, PKB dan Gerindra. Sementara partai diluar Setgab tinggal PDIP, PKS dan hanura. Komposisinya di DPR menjadi 69.6% berbadning 30.4% untuk partai pendukung pemerintah. Tentu hal ini akan menjadi sangat baik dalam mengamankan semua program pemerintah hingga 2014. dan pilihan inilah sepertinya yang akan diambil oleh SBY seandainya reshuffle betul-betul dilakukan.

Baca Selengkapnya...

Thursday, March 03, 2011

Sebar Kader Serbu Facebook dan Twitter, PKS Incar Kalangan Menengah

Selasa, 01/03/2011 03:14 WIB
Detik.com

Jakarta - Partai Keadilan Sejahtera berencana mengerahkan 500 ribu kadernya untuk aktif menggunakan situs jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter. Upaya ini dalam rangka persiapan menuju Pemilu 2014. Ada apa gerangan?

"Ini bukti PKS mengalami perubahan paradigma cukup drastis. Dulu lebih menggarap konstituen di bawah, sekarang lebih menggarap kalangan menegah ke atas. Saya pikir itu perubahan yang cenderung negatif," ujar pengamat politik dari Indobarometer, Abdul Hakim MS kepada detikcom melalui sambungan telepon, Senin (28/02/11).

Hakim pun mencontohkan, dulu PKS lebih gencar melakukan gerakan di kalangan menengah ke bawah melalui gerakan sosialnya. Namun kini lebih cenderung menggarap kalangan menengah ke atas.

"Dulu itu PKS sangat luar biasa menggarap masyarakat menengah kebawah. Contohnya di mana ada bencana, bendera PKS yang pertama berkibar. Tapi sekarang mereka cenderung menggarap kalangan elit," imbuhnya.

Bagi Hakim, mungkin PKS beranggapan bahwa jika menggelindingkan isu melalui media sosial seperti twitter yang selalu diakses masyarakat menengah keatas maka akan mempengaruhi opini publik termasuk masyarakat menengah ke bawah. Media sosial, sebagai sarana untuk mengangkat isu politik memang efektif, namun untuk menggaet pemilih itu persoalan lain.

"Jangan lupa pemilih terbanyak itu adalah dari masyarakat menegah ke bawah. Untuk menimbulkan isu politik itu efektif, kalau mempengaruhi pemilih, itu belum tentu," ujar pria yang akrab disapa Aab ini.

Sebelumnya, PKS mewajibkan kader dan pengurus partai untuk menguasai dan menyebarkan informasi di ranah sosial media.Gerakan 'menguasai' informasi di sosial media ini sudah diluncurkan di Mukernas PKS Yogyakarta. Saat itu disampaikan agar kader PKS dan pengurus harus punya akun twitter, blog,
Facebook, dan website pribadi.

"Insya Allah ada 500 ribu kader PKS yang masuk sosial media dalam waktu dekat. Ini diarahkan untuk kepentingan menuju Pemilu 2014, sebagai bentuk kampanye untuk mensukseskan partai mencapai target 3 besar dalam Pemilu 2014," kata Sekjen PKS Anis Matta di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (28/2/2011).

(adi/ape)

Baca Selengkapnya...

Friday, January 28, 2011

Kemanakah Ending-nya Gayus?

Oleh: Abdul Hakim MS

Okezone.com, 28 Januari 2011

Pasca putusan Gayus Tambunan dengan vonis 7 tahun penjara, situasi politik nasional makin panas. Itu karena Gayus langsung “bernyayi” dengan lirik “Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang dibentuk presiden SBY adalah biang kerok rekayasa kasusnya”. Sontak, semua kelabakan. Bahkan presiden sendiri mengaku kaget dengan “lantunan syair baru” Gayus Tambunan. SBY mengultimatum Satgas untuk memberikan laporan tertulis dalam waktu 1 x 24 jam terkait pernyataan Gayus.

Dari awal, kasus Gayus ini terbilang aneh bin ajaib. Pengakuan Gayus bahwa dirinya menerima suap dari tiga perusahaan milik kelompok Grup Bakrie, hingga kini belum ada tindak lanjut dari penegak hukum. Gayus justeru hanya dijerat pada kasus PT SAT yang notabene diperkirakan merugikan keuangan negara hanya 570 juta. Sedangkan kekayaan Gayus yang diperoleh antara lain dari hasil penyuapan 3 perusahaan besar milik keluarga Bakrie luput dari dakwaan. Seperti dikemukaan oleh anggota Satgas Mafia Hukum, Mas Ahmad Santosa, sekitar 70 miliar uang Gayus diterima dari ketiga perusahaan tersebut.

Setelah Gayus divonis berkaitan dengan skandal pajak PT SAT, arah pengusutan kasus ”mafia pajak” ini semakin tidak jelas. Kini yang menjadi polemik malah Gayus berhadapan dengan Satgas Mafia Hukum. Substansi hukum Gayus yang semestinya menelusuri rentetan mafia pajak menjadi kabur dan berbelok arah. Pertanyaannya, kenapa Gayus meluapkan amarahnya malah ke Satgas?

Lingkaran Setan

Kasus Gayus ini memang bukanlah kasus biasa. Banyak pihak terlibat dan memiliki kepentingan didalamnya. Celakanya, yang terlibat dan memiliki kepentingan adalah mereka yang mempunyai akses kekuasaan. Tak mengherankan apabila kemudian proses pemeriksaan kasus mafia pajak ini terkesan lambat dan hanya tertuju ke mereka yang sebetulnya ”kelas teri” seperti diungkapkan Gayus sendiri. ”Big fish” yang sebenarnya menjadi dalang, hingga sekarang belum terjamah hukum sama sekali. Padahal, Gayus sendiri sudah sangat terbuka terkait kasus yang membelitnya. Nama-nama yang ia anggap terkait telah disebut. Namun nama-nama yang disebut oleh Gayus menguap begitu saja. Malah yang menjadi polemik saat ini, justeru bukan substansi kasus hukumnya, melainkan perseteruan Gayus vs Satgas Pemberantasan Mafia Pajak.

Tidak seriusnya lembaga hukum dalam menangani kasus Gayus, dikarenakan ada konflik kepentingan yang kuat dalam penanganannya. Kepolisian dan kejaksaan yang nama oknum-oknum didalamnya telah disebut Gayus, tidak ditelusuri secara tuntas oleh aparat. KPK pun hingga kini tidak ”berani” mengambil alih kasus ini. KPK hanya berkoordinasi dengan kepolisian dan kejaksaan. Tentunya, jika KPK yang akan menangani kasus ini, konflik kepentingan itu bisa sedikit direduksi.

Buntunya kasus mafia pajak ini tak lain karena adanya lingkaran setan yang serius. Pihak-pihak yang diduga terkait, seperti jaksa Cirrus Sinaga, tidak didalami secara baik karena ada ancaman akan membongkar rekayasa kasus Antasari Azhar. Asumsi saya, tidak hanya Cirrus Sinaga yang melakukan mekanisme pertahanan seperti itu. Oknum-oknum lain sepertinya juga sama. Sehingga, cukup sulit untuk membongkar kasus ini secara tuntas akibat adanya lingkaran yang saling sandera. Maka tak heran jika kemudian kasus ini menjadi bias dan lari dari substansi sebenarnya.

Politisasi

Selain adanya lingkaran setan, kasus mafia pajak ini juga rawan politisasi. Semakin dekatnya pemilu 2014, memaksa pihak-pihak yang berkepentingan untuk mereduksi popularitas SBY yang hingga saat ini masih menjadi yang terdepan. Survei LSI yang dirilis awal Januari 2011 lalu, masih menempatkan kepuasan masyarakat terhadap SBY pada angka 63%. Angka ini masih lebih tinggi dari keterpilihan SBY pada pemilu 2009. Maka tak heran jika yang menjadi bidikan kasus Gayus adalah Satgas Mafia Pajak yang merupakan bentukan presiden. Oleh karena itu, opini diarahkan bahwa sebetulnya yang menjadi mafia adalah Satgas pemberantasan korupsi.

Cukup aneh memang. Opini dan perdebatan yang terbentuk saat ini malah semakin jauh dari tujuan awal, pemberantasan mafia pajak. Saat ini yang menjadi polemik justeru mengarah pada ”mafia sebetulnya adalah Satgas pemberantasan korupsi” seperti yang disuarakan Gayus. Tentu hal ini tidak datang secara tiba-tiba. Gayus melontarkan hal ini dengan cara membaca. Artinya, jauh sebelum putusan vonis dilakukan, rencana konferensi pers Gayus itu telah disiapkan. Hal itu secara implisit mengatakan bahwa apa yang dilakukan Gayus sebetulnya telah didesain dengan rapi sebelumnya.

Melihat kondisi seperti sekarang, sepertinya kita hanya bisa mengelus dada. Ekspektasi publik agar kasus kasus Gayus dapat dituntaskan hingga keakar-akarnya akan jauh panggang dari api. Artinya, keseriusan aparat penegak hukum untuk menuntaskannya, sepertinya hanya akan menjadi harapan yang tak pernah sampai.

Baca Selengkapnya...

Tuesday, January 25, 2011

Membaca Peluang Tokoh Parpol Pada Pemilu 2014

Oleh: Abdul Hakim MS

Mengilik siapa kandidat capres 2014 untuk saat ini memang masih dini. Itu karena pemilu masih lumayan jauh di ujung sana, 4 tahun mendatang. Namun, dalam era demokrasi langsung seperti sekarang, membuat proyeksi siapa jago partai-partai –khususnya 9 partai yang lolos parliamentary threshold—menarik untuk disimak. Kenapa? Karena berdasarkan proyeksi Indo Barometer, kekuatan politik 2014 masih berkisar disembilan parpol tersebut. Selain itu, gerak-gerik parpol-parpol ini telah terbaca untuk memasang kuda-kuda.

Sebut saja Partai Golkar. Aburizal Bakrie, telah sejak dini ditetapkan sebagai capres oleh DPD Partai Golkar dibanyak daerah. Meski Ical sendiri masih berkilah menunggu hasil survei untuk memilih capresnya di pemilu 2014, namun indikasi kuat bahwa Ical-lah yang akan “manggung” mewakili partai beringin telah nyata terlihat. Begitu pula dengan PDI-P. Megawati masih menjadi tokoh kuat yang bisa jadi akan kembali bertarung setelah gagal di pilpres 2004 dan 2009. Seandainya bukan dirinya, kandidat capres banteng mulut putih ini sepertinya juga tak akan jauh dari trah Bung Karno. Sangat mungkin jika orang tersebut adalah Puan Maharani, yang menurut kabar telah ditetapkan oleh DPP PDI-P untuk dikawal menjadi orang nomor satu di negeri ini pada pemilu mendatang. Bahkan karena penetapan ini, kabarnya kandang moncong putih sempat “bergolak”.

Partai lain seperti PAN, Hanura dan Gerindra sepertinya juga telah memiliki kandidat kuat yang akan mewakili mereka. PAN memiliki tokoh kuat sekaliber Hatta Rajasa. Dengan kemampuan diplomasi dan komunikasi yang cukup baik, partai berpendukung mayoritas kalangan Muhammadiyah ini tak akan segan mengusung pria beramut perak ini. Begitu pula dengan Hanura yang tetap mengadalkan figur Wiranto dan Gerindra dengan sosok Prabowo Subianto. Sementara PKB, PKS dan PPP akan melihat peta politik berjalan. PKB bisa saja mengusung Muhaimin Iskandar yang dalam survei terkhir Indo Barometer namanya telah muncul sebagai kandidat capres. Sementara PKS dan PPP, sepertinya akan mengikuti arus karena hingga kini belum ada figur kuat dari kedua partai berbasis pemilih Islam ini.

Yang sangat menarik untuk diraba adalah, siapa kira-kira duta partai pemenang pemilu 2009, Partai Demokrat?

Bubble Politik

Dalam diskusi dengan beberapa kalangan, banyak dari mereka yang menyebut dan memprediksi besarnya Partai Demokrat sepertinya hanya akan menjadi fenomena bubble politik. Ia menggelembung dengan cepat pada dua pemilu terakhir—pemilu 2004 dan 2009—namun diperkirakan akan mengempes pada pemilu-pemilu berikutnya. Hal itu dilatari oleh argumentasi bahwa Partai Bintang Segi Tiga ini sangat bergantung pada ketokohan SBY.

Merujuk pada data yang ada, ketergantungan Demokrat dengan SBY memang ibarat dua sisi mata koin yang tak terpisahkan. Hasil survei Indo Barometer sejak 2007 menunjukkan, fluktuasi dukungan terhadap Partai Demokrat memang sangat bergantung pada bagaimana persepsi masyarakat terhadap menantu Sarwo Edhie Wibowo ini. Dikala citranya baik, maka perolehan suara Demokrat turut membaik. Namun sebaliknya, dikala SBY dicitrakan buruk oleh masyarakat—seperti kala menaikkan harga BBM pada Juni 2008 lalu—perolehan suara Demokrat pun ikut menyurut. Untungnya SBY bisa cepat kembali membaikkan citranya sehingga Demokrat bisa menang pada pemilu 2009.

Celakanya, SBY pada pemilu 2014 sudah tak lagi bisa ikut berkompetisi menduduki istana negara. Ia terbatasi oleh Undang-undang yang hanya membolehkan seseorang menjabat sebagai presiden sebanyak dua kali. Melihat fakta ini, pertanyaan yang menarik untuk dicari jawabannya adalah “siapa kira-kira sosok yang akan didorong oleh SBY untuk mengggantikan dirinya? Akankah dengan sosok baru itu PD tetap bisa pada posisi juara di pemilu 2014? Atau apakah prediksi bubble politik Demokrat akan betul-betul terjadi karena PD tak lagi bisa mendapatkan figur yang sepadan dengan SBY?

Duo AA

Untuk mencari penggantinya, setidaknya ada tiga arah yang kemungkinan akan ditempuh SBY guna mencari sosok yang tepat. Pertama, ia bisa memilih dari dalam lingkaran istana atau lingkaran dalam Partai Demokrat sendiri. Kedua, mencari sosok di luar lingkaran tersebut, bisa dari kalangan parpol, profesional atau kalangan politisi tua. Ketiga, ia bisa menggabungkannya dengan memilih capres dari internal dan wapres dari ekternal, atau sebaliknya.

Jika skenario pertama yang dipilih oleh SBY, ia menghadapi problem serius. Tokoh-tokoh yang dekat dengan SBY di Istana atau tokoh-tokoh internal PD, hingga saat ini belum ada yang mumpuni untuk menggantikannya. Namun seandainya SBY kekeh dengan skenario ini, maka ia kemungkinan akan menjatuhkan pilihan terhadap duo AA, yakni Ani Yudhoyono dan Anas Urbaningrum. Karena hanya kedunyalah yang saat ini punya modal cukup potensial untuk menggantikannya.

Dalam survei nasional Indo Barometer pada Agustus 2010 lalu, sebetulnya belum ada tokoh nasioal satupun yang dapat megalahkan SBY. Ia masih menjadi pilihan yang terbaik menurut masyarakat, meski angkanya di bawah 50%. Selebihnya, tokoh-tokoh tua masih mendominasi pilihan masyarakat, seperti Megawati, Prabowo Subianto, dan Wiranto. Namun karena SBY tak bisa lagi menjadi capres pada 2014, maka dilakukan simulasi untuk menggantikannya dengan duo AA. Ketika digantikan dengan Ani Yudhoyono, ternyata pilihan masyarakat terhadap Ani masih rendah. Ia saat ini berada pada angka keterpilihan dikisaran 3-4%. Begitu pula jika posisi SBY digantikan oleh Anas Urbaningrum. Angka ketua umum PD ini masih di bawah 3%. Menggabungkan keduanya adalah pilihan terbaik seandainya SBY masih menginginkan skenario yang pertama. Karena dengan telah munculnya nama keduanya sebagai kandidat capres, dan pemilu yang masih empat tahun lagi, masih sangat cukup waktu untuk menaikkan popularitas dan keterpilihan.

Namun seandainya skenario kedua yang akan dipilih SBY, maka pilihan tepat mungkin saja jatuh bukan pada tokoh dari kekuatan parpol-parpol besar, seperti Golkar dan PDI-P. Menunjuk capres dari kalangan parpol medioker sepertinya lebih masuk akal. Karena partai-partai medioker inilah yang sangat loyal terhadap SBY. Tokoh dari kalangan ini seperti Hatta Rajasa. Namun mungkin juga SBY akan menyimak tokoh profesional seperti Sri Mulyani yang saat ini masih bertugas untuk Bank Dunia.

Tapi melihat tingkat popularitas dari tokoh kalangan dalam istana dan PD, maka yang paling mungkin dilakukan SBY adalah mencari kandidat capres gabungan atau skenario ketiga. SBY bisa memilih salah satu diantara duo AA dan menyandingkannya dengan tokoh diluar PD. Seperti kemungkinan mengajukan Ani Yudhoyono yang berpasangan dengan tokoh partai medioker seperti Hatta Rajasa. Atau bisa juga dipasangkannya Anas Urbaningrum dengan kalangan profesional seperti Sri Mulyani. Namun yang pasti, duo AA untuk saat ini yang mempunyai kans kuat untuk menggantikan pamor SBY.

Baca Selengkapnya...