Monday, December 06, 2010

Ketua ICMI Seharusnya Jangan Dari Parpol

Senin, 6 Desember 2010 | 23:28 WIB
Oleh: Santi Andriani

INILAH.COM, Jakarta- Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) akan memilih Ketua Presidiumnya yang baru malam ini. ICMI seharusnya tidak memilih Ketua yang berasal dari partai politik.

Hal itu disampaikan oleh peneliti politik dari Indo Barometer, Abdul Hakim ketika dihubungi INILAH.COM, Senin(6/12/2010) malam. Abdul menilai, jika ketua ICMI dari parpol maka independensinya akan tergerus.

"Jika ICMI dipimpin oleh (petinggi) parpol mau tidak mau akan berdampak politis. Independepn ICMI sebagai cendikiawan akan dipertanyakan, implikasinya akan muncul sesuatu yang berpikiran jangka pendek karena tujuannya adalah kekuasaan, ini tentu tidak etis," ujar Abdul.

Sebagai organisasi masyarakat ICMI, lanjut Abdul, seharusnya tetap pada tujuan awalnya dibangun, termasuk memberikan masukan bahkan mengkritik pemerintahan. Itu yang harus dijaga oleh ICMI yang berisikan para cendikiawan muslim itu.

Seperti diketahui, sejumlah petinggi parpol dijagokan bahkan diantaranya menyatakan sangat siap dan yakin untuk bisa menjadi Ketua Presidium ICMI yang baru yang akan dipilih malam ini. Mereka diantaranya, Hatta Rajasa, Ketua Umum PAN, Priyo Budi Santoso, Wakil Ketua DPR RI dari fraksi Golkar dan yang belakangan yaitu, Ketua Fraksi Partai Demokrat, Jafar Hafsah. Priyo dalam peryataannya bahkan meminta bahwa ICMI tidak alergi pada politik.

Karenanya, lanjut Abdul, seharusnya ICMI memiliki dan memilih Ketua yang tidak berasal dari partai politik atau membawa kepentingan politik. ICMI kata dia, seharusnya memiliki calon-calon baru.

"Walau akan disanggah tapi akan sulit mengatakan jika anggota parpol yang terpilih menjadi Ketua lalu tidak akan memanfaatkan. Sangat mungkin (ICMI) akan digunakan untuk memobilisai massa untuk kepentingan memperoleh kekuasaan," pungkas dia.(ndr)

Baca Selengkapnya...

Pengamat: ICMI Bisa Jadi Kendaraan Pemilu 2014

Senin, 6 Desember 2010 | 22:50 WIB
Oleh: Santi Andriani

INILAH.COM, Jakarta- Sejumlah petinggi partai politik turut meramaikan bursa pencalonan Ketua Presidium ICMI. Organisasi masyarakat itu pun dinilai harus mewaspadai dijadikan kendaraan politik bagi parpol tertentu untuk pemilu 2014 mendatang.

"Akan ada indikasi politisasi, walau akan disanggah tapi akan sulit mengatakan jika anggota parpol yang terpilih menjadi Ketua lalu tidak akan memanfaatkan. Sangat mungkin (ICMI) akan digunakan untuk memobilisai massa," ujar peneliti politik dari Indo Barometer, Abdul Hakim ketika dihubungi INILAH.COM, Senin(6/12/2010) malam.

Seperti diketahui, sejumlah petinggi parpol dijagokan bahkan diantaranya menyatakan sangat siap dan yakin untuk bisa menjadi Ketua Presidium ICMI yang baru yang akan dipilih malam ini. Mereka diantaranya, Hatta Rajasa, Ketua Umum PAN, Priyo Budi Santoso, Wakil Ketua DPR RI dari fraksi Golkar dan yang belakangan yaitu, Ketua Fraksi Partai Demokrat, Jafar Hafsah. Priyo dalam peryataannya bahkan meminta bahwa ICMI tidak alergi pada politik.

Sebenarnya, lanjut Abdul, tindakan sejumlah parpol yang masuk ke dalam sebuah organisasi masyarakat untuk tujuan memanfaatkan sumber daya manusianya untuk dikapilitasisi dalam rangka mencapai kekuasaan adalah sah-sah saja. Ada dalam teorinya, para pemburu rente. Namun katanya, hal itu seharusnya tidak dilakukan karena tidak etis.

"Bisa kemudian para cendikiawan itu menjadi alat yang cukup baik untuk mobilisasi. Ini memang bukan menjadi hal yang salah atau benar, bahkan menjadi wajar, tapi apakah etis, apakah pantas," sambung Abdul.

Karena, kata dia, implikasinya terhadap ICMI ke depan adalah yang sangat besar. ICMI akan dipandang sebagai alat politik.(ndr)

Baca Selengkapnya...

Sunday, November 21, 2010

Nudirman : Bisa Jadi Dari Orang Dalam Golkar

Minggu, 21 November 2010 | 11:08 WIB
Oleh: Agus Rahmat

INILAH.COM, Jakarta –Isu ketemunya Gayus Tambunan dengan Aburizal Bakrie, ketua umum Partai Golkar ternyata makin menarik. Kubu Golkar sendiri menuding bahwa isu itu bisa jadi sengaja digiring oleh orang dalam Golkar sendiri.

Pandangan itu disampaikan oleh Nudirman Munir, anggota Komisi III asal Fraksi Golkar. Nudirman tak memungkiri bila isu itu sebenarnya bermunculan dari internal Golkar. “Bisa-bisa aja dari pihak dalam (internal partai Golkar, red),” kata Nudirman, kepada INILAH.COM, Minggu (21/11/2010). Namun Nudirman mengelak siapa sosok orang dalam yang menyerang Ical itu. “Saya tidak tahu, saya tidak bisa nuduh karena tidak ada bukti,” tukasnya lagi.

Sebelumnya seorang pengamat politik, Abdul Hakim, juga sempat mengutarakan pandangan yang serupa. Menurutnya, Partai Golkar harus mewaspadai pemanfaatan isu itu justru berasal dari internal partai tersebut.

Kini bisa dibilang partai berlambang beringin itu terpecah menjadi tiga kubu. Ada kubu Ical, sisa kubu Surya Paloh dan kelompoknya Akbar Tandjung. [irw]

Baca Selengkapnya...

Waspadai Internal Golkar Politisasi Isu Gayus

Minggu, 21 November 2010 | 09:35 WIB
Oleh: Santi Andriani

INILAH.COM, Jakarta - Isu pertemuan Gayus Tambunan dengan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie di Bali memang bisa dimanfaatkan lawan politik untuk menyerang Partai Golkar.

Pengamat Politik Abdul Hakim berpendapat, Partai Golkar harus mewaspadai pemanfaatan isu itu justru berasal dari internal Partai Golkar.

"Mungkin bisa dipakai dari luar (lawan politik) dan juga dari dalam internal Golkar," jelas Abdul ketika dihubungi INILAH.COM, Minggu (21/11/2010).

Hal itu, terang dia, karena di tubuh Partai Golkar kini setidaknya ada tiga kubu, yaitu kubu Ical, kubu Surya Paloh, dan kubu Akbar Tanjung. Abdul sependapat, memang banyaknya unsur politis sejak keluarnya Gayus dari tahanan, hingga isu pertemuan Ical dengan Gayus Tambunan di Bali.

Menurut Abdul, Ical seharusnya tidak terlalu berlebihan bereaksi seperti yang ditunjukkan saat ini dan membiarkan tudingan kepada dirinya itu dibuktikan di pengadilan. Karena hal itu, justru bisa menjadi kampanye meningkatkan citra dirinya.

"Kalau tidak terbukti bertemu Gayus, citra Ical kan justru bisa meningkat positif. Ini bisa menjadi kampanye gratis Partai Golkar. Anggaplah ini sebagai pemanasan, karena dalam kasus ini, unsur politisnya memang sangat kental terasa, malah menghilangkan kerangka hukumnya," pungkas Abdul. [mor]

Baca Selengkapnya...

Ical Terlalu Reaktif Tanggapi Isu Gayus

Minggu, 21 November 2010 | 08:25 WIB
Oleh: Santi Andriani

INILAH.COM, Jakarta- Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie sebaiknya tidak perlu banyak berkomentar soal isu miring pertemuannya dengan Gayus Tambunan di Bali. Klarifikasi yang bertubi-tubi dilontarkan Aburizal dinilai terlalu berlebihan.

"Reaksi yang dia sampaikan itu berlebihan, terlalu reaktif. Apalagi ditambah dengan sejumlah fungsionaris Golkar lainnya yang juga ikut-ikutan memberi klarifikasi," ujar Pengamat Politik Abdul Hakim ketika dihubungi INILAH.COM, Sabtu (20/11/2010) malam.

Menurut Abdul, seharusnya Ical dalam klarifikasinya cukup menyatakan agar tudingan yang dialamatkan kepadanya dibuktikan secara hukum dan tidak perlu mengkaitkan dengan politik. Meski diakui Abdul nuansa politik kental terasa dalam kasus itu.

"Tidak perlu dia katakan, dirinya tidak pernah mengenal Gayus, karena publik tidak akan percaya kalau dia tidak mengenal seorang Gayus. Jadi cukup dia katakan, dirinya tidak bertemu Gayus, secara legal dan formal isu itu harus dibuktikan di pengadilan," sambungnya lagi.

Terhadap isu miring yang berhembus bahwa kepergian Gayus ke Bali tidak hanya sekedar menonton turnamen tennis melainkan juga melakukan pertemuan dengan Ical, Ical terus memberikan klarifikasi bahwa hal itu tidak benar. Ical bahkan akan mempertimbangkan untuk melaporkan si penghembus isu ke polisi dan juga media yang memberitakan ke dewan pers.

Menurut Abdul, terlalu banyaknya klarifikasi yang dilontarkan Ical, akan berdampak seperti pisau bermata ganda. Selain akan menguntungkan dirinya, tapi sekaligus akan melukai dirinya sendiri.

"Di satu pihak klarifikasi itu bisa menetralisir keadaan yang sebenarnya tapi di sisi yang lain dan saya melihat ini sebagai kecenderungan bahwa itu akan mengarah ke dirinya sendiri," ujar Abdul.

Yaitu, katanya, publik justru menjadi penasaran. Yang semula tidak banyak tahu, karena banyaknya klarifikasi justru menjadi ingin tahu kronologis hubungan antara Aburizal Bakrie dengan Gayus Tambunan, dan akhirnya menjadi tahu.

"Sementara jika ini dibiarkan berjalan di pengadilan lalu akhirnya tidak terbukti pertemuan itu, maka nama Aburizal akan meningkat citranya," jelasnya. [mah]

Baca Selengkapnya...

Saturday, November 13, 2010

Kalau Tifatul Negatif, Citra PKS Juga Negatif

Sabtu, 13 November 2010 | 08:30 WIB
Oleh: Santi Andriani

INILAH.COM, Jakarta- Kebiasan Menkominfo, Tifatul Sembiring yang sering mengeluarkan pernyataan kontroversialnya di Twitter maupun Facebook dinilai akan berdampak pada citra Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Tifatul pun diminta untuk segera menghentikkan kebiasaan buruknya itu.

"Korelasi secara langsung pasti ada, kalau yang dilakukan Tifatul adalah positif tentu akan berimbas pada citra positif PKS, sebaliknya, kalau yang dilakukan Tifatul negatif, ya pasti akan membuat negatif PKS," sebut Pengamat Politik Abdul Hakim kepada INILAH.COM, Jumat(12/11/2010) malam.

Berkomunikasi di Twitter atau Facebook, sebenarnya adalah hal umum yang juga dilakukan oleh para politisi di luar negeri sebagai bagian dari penggunaan teknologi. Namun, tidak wajar bagi Tifatul untuk menyampaikan hal yang personal bahkan belangkan sering mengandung kontroversial di Twitter.

"Bagaimana pun, Tifatul adalah tokoh di PKS, dia pernah menjabat sebagai Presiden PKS. Pasti apa yang dilakukan berimbas ke partai, kalau Tifatul dipandang negatif pasti citra partai negatif juga," sambungnya lagi.

Karenanya, Abdul mengusulkan, sebaiknya Tifatul segera meninggalkan kebiasaan burukya yang memposting pernyataan-pernyataan bersifat personal bahkan memicu kontroversi.

"Sebaliknya, mulai menggunakan media jejaring sosial itu untuk menyampaikan informasi-informasi yang bermaanfaat dan mendidik bagi masyarakat terkait pekerjaan dan informatika itu sendiri. Karena Tifatul sekarang bukan milik partai tapi pejabat publik." [TJ]

Baca Selengkapnya...

Tifatul Jangan Sibuk Main Twitter & Faceebook

Sabtu, 13 November 2010 | 08:00 WIB
Oleh: Santi Andriani

INILAH.COM, Jakarta- Sudah saatnya Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Tifatul Sembiring mundur dari kegemarannya mengetweet atau facebook-an dan serius bekerja.

Hal itu disampaikan oleh Pengamat Politik, Abdul Hakim. "Daripada banyak nge-tweet dan facebook-an, lebih baik tunjukkan kinerjanya. Jadi disarankan agar Tifatul berhenti bermain twiter atau facebook," ujarnya ketika dihubungi INILAH.COM, Jumat (12/11/2010) malam.

Karena, lanjut Abdul, kebiasaan Tifatul yang selalu memberikan komentar atau menjadikan dua jejaring sosial itu sebagai ajang klarifikasi dirinya, faktanya pernyataan Tifatul justu banyak menuai kontroversi dan cenderung bersifat pribadi. Tidak ada hubungan dengan tugas dan kewenangannya.

"Yang dia tulis di tweet atau face book, Tifatul justru beberapa kali mengeluarkan pernyataan yang kontroversial sehingga menimbulkan kritikan," jelas dia.

Sebaliknya jika tidak segera menghentikan kebiasannya itu,lanjut Abdul, maka gelar menteri kontroversi akan terus melekat pada dirinya yang berimbas pada pendapat masyarakat bahwa Tifatul adalah menteri yang layak diresufhel.

Seperti diketahui, memang bukan kali pertama, Tifatul mengeluarkan pernyataan atau sekedar klarifikasi yang justru menimbulkan kontroversi atau kritikan bahkan di luar negeri.

Termasuk yang terakhir, yaitu Tifatul memberikan klarifikasi bahwa jabatan tangan yang dilakukannya dengan Ibu Negara Amerika Serikat, Michelle Obama bukan kehendak dirinya melainkan karena si Ibu Negara terlalu menyodorkan tangannya sehigga menyentuh tangan Tifatul.

Klarifikasi itu kontan menuai banyak kritik bahkan menjadi bahan ledekan di acara televisi di Amerika Serikat yang dipandu Stephen Colbert.

Si pembawa acara tersebut menyebutnya sebagai perilaku munafik karena menyatakan bahwa salaman itu bukan kehendaknya. Namun, di acara itu juga ditampilkan bagaimana Tifatul menyambut uluran tangan Michelle Obama. [mah]

Baca Selengkapnya...

Thursday, October 21, 2010

Inilah Alasan Perlunya PDIP-Demokrat Berkoalisi

Kamis, 21 Oktober 2010 | 09:00 WIB
Oleh: MA Hailuki

INILAH.COM, Jakarta - PDIP sangat membutuhkan berkoalisi dengan Partai Demokrat, pasalnya saat ini PDIP terancam oleh dua hal.

Pertama, selama lima tahun PDIP kehilangan sumber pendanaan partai karena menjadi partai opisisi yang menyebabkan tak kebagian mengelola kementerian atau lembaga strategis lainnya.

"Tak bisa dipungkiri, partai politik membutuhkan dana besar. Dan terlihat kekuatan finansial PDIP makin lemah semenjak menjadi oposisi," ujar peneliti Indo Barometer Abdul Hakim kepada INILAH.COM, Kamis (21/10/2010).

Alasan kedua, saat ini kader-kader PDIP tengah dibidik berbagai kasus korupsi. Tercatat 14 kader PDIP sudah dijadikan tersangka oleh KPK terkait kasus suap pemilihan Miranda Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI).

"Dengan menjadi bagian dari koalisi maka mungkin kader-kader PDIP tidak dijadikan target pemberantasan korupsi lagi seperti yang terjadi saat ini," terangnya.

Seperti diberitakan, belakangan hubungan antara PDIP dan Partai Demokrat makin mesra, khusunya hubungan antara Puan Maharani dengan SBY. Dikabarkan keduanya telah menggelar pertemuan tertutup beberapa kali untuk penjajakan koalisi.

Namun hingga saat ini PDIP belum memutuskan akan berkoalisi secara resmi dengan Partai Demokrat. Isu reshuffle kabinet pun dikait-kaitkan dengan rencana bergabungnya PDIP ke dalam koalisi.

Puan Maharani disebut-sebut akan diberi salah satu posisi menteri di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II. [mah]

Baca Selengkapnya...

Tuesday, October 12, 2010

Golkar Bukan Hambatan Buat Timur Pradopo Jadi Kapolri

Selasa, 12 Oktober 2010 | 05:00 WIB
Oleh: Santi Andriani

INILAH.COM, Jakarta- Meski belakangan muncul suara berbeda di Komisi III DPR RI soal nama calon Kapolri yang dipilih Presiden SBY, Komjen Pol. Timur Pradopo termasuk yang terakhir berdampak pada mosi tidak percaya kepada Ketua DPR RI namun hal itu dinilai bukan ancaman bagi mantan Kapolda DKI Jakarta itu maju menjadi Kapolri.

Peneliti Indo Barometer, Abdul Hakim berpendapat, tidak akan ada halangan besar termasuk jika Golkar di kemudian hari berbalik tidak memilih Timur dalam fit and proper test. Timur dipastikan akan tetap lolos menggantikan Jendral Polisi Bambang Hendarso Danuri.

"Kalau kita kalkulasi secara matematis tidak akan ada masalah terhadap jumlah dukungan terhadap Timur Pradopo.
Tidak ada persoalan besar bagi Timur untuk maju menjadi Kapolri," ujar Abdul Hakim ketika dihubungi INILAH.COM, Senin(11/10) malam.

Dia melanjutkan, meski partai anggota koalisi Golongan Karya berubah haluan yaitu tidak memberikan suaranya kepada Timur Pradopo, Timur akan tetap terpilih karena jumlah anggota koalisi yang mendukung akan lebih banyak. Namun kata Abdul, dia tidak yakin Golkar akan menarik dukungannya untuk Timur.

"Memang ada satu dua anggota di internalnya yang berbeda, termasuk melontarkan mosi tidak percaya itu, tapi itu tidak akan menimbulkan masalah. Menurut saya Golkar akan tetap mendukung Timur Pradopo," tandas dia.

Begitu pun juga dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menurut Abdul Hakim, PKS juga akan tetap pada dukungan sebagai anggota koalisi yaitu mendukung Timur Pradopo sebagai Kapolri yang dipilih Presiden Susilo Bambang Yudoyono.

Baca Selengkapnya...

Friday, August 27, 2010

Menteri Ikut-ikutan Buat Proyek Pencitraan

Suara Karya
Jumat, 27 Agustus 2010

JAKARTA (Suara Karya): Menteri-menteri di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II telah "meniru" jejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berusaha menutupi kelemahan kinerja pemerintahnya dengan mencari simpati rakyat dan berkeluh kesah menimpakan kesalahan kepada pihak lain.

Jika situasi ini terus dibiarkan, Presiden SBY dan menteri-menteri akan saling lempar tanggung jawab dan kesalahan serta lebih mengandalkan pencitraan ketimbang memperbaiki kinerja.

Pendapat ini disampaikan pengamat Universitas Indonesia Iberamsjah, peneliti Indobarometer Abdul Hakim, dan pengamat LIPI Siti Zuhro secara terpisah di Jakarta, Kamis (26/8).

Iberamsjah mengatakan, sejak awal SBY terpilih untuk memimpin bangsa ini memang dirinya selalu mengandalkan pencitraan. "SBY dulu populer karena adanya pencitraan yang terus-menerus. Pada periode ke-dua pemerintahannya pun, hal ini dilakukannya juga. Sayangnya, menteri-menterinya juga malah ikut-ikutan membuat proyek pencitraan, bukannya bekerja membantu Presiden SBY," katanya.

Menurutnya, politik pencitraan ini sudah tidak lagi bisa diharapkan masyarat, karena kondisi riil masyarakat yang saat ini sudah sangat terjepit dengan berbagai masalah seperti melambungnya harga-harga kebutuhan pokok.

"Rakyat tidak bisa dihibur dengan berbagai proyek pencitraan SBY dan para menterinya. Rakyat ingin tindakan konkret dari pemerintah untuk memecahkan berbagai masalah," katanya menambahkan.

Iberamsjah mengatakan, publik sudah mengetahui SBY kurang bersikap tegas dalam kepemimpinannya. "SBY itu pintar, tapi tidak punya keberanian sehingga tidak ada action yang berarti bagi rakyat," katanya.

Ketidakberaniannya sebagai pemimpin nasional ini pun pada gilirannya menular kepada para menterinya. "Kalau presiden saja tidak berani membuat keputusan, apalagi menteri-menterinya. Akibatnya, presiden dan menteri saling menunggu. Presiden mengeluh menterinya lamban, sementara menterinya juga melempar kesalahan kepada bawahannya di kementerian," ujarnya.

Abdul Hakim menilai, kebiasaan Presiden SBY yang kerap mengeluh kepada publik juga membawa dampak yang buruk bagi para menteri pembantunya sehingga kinerja menteri menjadi tidak optimal.

"SBY sebagai Presiden telah memberikan teladan negatif kepada para pembantunya di kabinet. Kebiasaannya mengeluh kini dicontoh menterinya, misalnya Menkum dan HAM Patrialis Akbar sudah ikut-ikutan mengeluh digebuki dan dizalimi, Mendagri juga begitu dalam kasus senjata Satpol PP. Nanti, menteri lain juga akan bersikap serupa," ujarnya.

Menurut Abdul Hakim, apa yang disampaikan Patrialis Akbar sangatlah mirip dengan pernyataan Presiden SBY soal adanya ancaman dan serangan terhadap dirinya."

Ibarat pepatah guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Apa yang disampaikan Patrialis substansinya mirip seperti keluhan-keluhan SBY," ujar Abdul Hakim.

Siti Zuhro berpendapat, Presiden sebaiknya segera membenahi kinerja para menterinya ketimbang terus mengeluh. Bila diperlukan, Presiden sebaiknya mengambil langkah reshuffle (perombakan menteri) di kabinet. Namun, ia yakin Presiden terlebih dulu akan melakukan evaluasi terhadap kinerja para menterinya sesuai kontrak politik, yaitu setiap tahun berjalan.

"Reshuffle merupakan langkah akhir dari sebuah perjalanan panjang sebuah koalisi. Reshuffle bisa dilakukan jika Presiden mendapatkan tekanan yang kuat dari luar. Selain itu, reshuffle juga bisa dilakukan jika Presiden menilai sudah tidak ada kesinkronan lagi. Namun, yang jelas sebelum melakukan reshuffle, Presiden SBY mengevaluasi kinerja terhadap para menteri sesuai kontrak politik," katanya.

Apakah bentuk evaluasi itu berupa pemanggilan atau teguran terhadap para menteri dan pimpinan parpol, itu pasti akan dilakukan. "Jika kinerjanya tidak kompak lagi, ya seharusnya di-reshuffle," katanya.

Siti Zuhro menegaskan, evaluasi kabinet berbasis kinerja seharusnya dilakukan terhadap semua kementerian yang ada. "Jadi, semua menteri harus dievaluasi kinerjanya. Siapa pun yang tidak bekerja atau bekerja tetapi tidak ada hasilnya, ya harus dievaluasi. Bahkan kalau perlu, jika itu menteri dari Partai Demokrat sekalipun, juga harus mendapatkan perlakuan yang sama," katanya.

"Jika hasil evaluasi itu memang mengharuskan harus diganti, ya diganti saja. Tidak perlu harus menunggu tahun 2013," katanya menambahkan.

Langkah ini, katanya, diharapkan bisa memacu kinerja para menteri yang ada. Apalagi saat ini belum genap satu tahun untuk dilakukan evaluasi. Kementerian yang selama ini mungkin tidak pernah terdengar gaungnya akan bisa menunjukkan kinerjanya lebih baik lagi dan bisa melayani masyarakat dengan baik. "Perubahan semacam ini sangat diperlukan sehingga timbul kebersamaan dalam kabinet," katanya.

Namun, Siti Zuhro mengingatkan, reshuffle sangat mungkin dilakukan setelah Presiden berpikir secara mendetail, rinci, dan mempertimbangkan berbagai alasan, termasuk alasan itu masuk akal atau tidak. Presiden tidak akan langsung mengeksekusi dan me-reshuffle begitu saja.

"Kalau kita lihat selama ini, keputusan Presiden lebih bersifat me-reform, bukan langsung eksekusi," katanya.

Sementara itu, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Lili Chodidjah Wahid merasakan situasi saat ini hampir sama menjelang Presiden Soeharto dan Presiden KH Abdurrahman turun dari jabatannya.

"Saya merasa situasinya kok sama. Cuma saya tidak tahu apakah nanti (SBY) turun sendiri atau diturunkan oleh masyarakat," ujarnya. (Joko S/Rully)

Baca Selengkapnya...

Keluar dari PAN, SB Dianggap Bukan Politisi

27/08/2010 11:48

INILAH.COM, Jakarta - Soetrisno Bachir (SB) bisa dibilang mantan ketua umum pertama yang keluar dari partai yang dulu pernah dipimpinnya.

Tidak pernah ada ketua umum atau bekas ketua umum partai politik yang lolos parliamentary threshold (PT) meninggalkan partainya.

"Kita lihat tidak ada sejarah parpol besar kecuali partai gurem ya, ketua umumnya keluar," ujar Peneliti Indobarometer Abdul Hakim kepada INILAH.COM, Rabu (25/8.

Ada apa dengan SB?

Ada 3 alternatif kemungkinan mengapa SB lebih memilih berada di luar Partai Amanat Nasional (PAN). Pertama, SB sudah tidak mungkin mendapatkan tempat yang proporsional setelah Hatta Rajasa menjadi Ketua Umum PAN.

Kedua, lanjut Abdul Hakim, SBY bukanlah sosok politikus yang getol 'bertarung' dalam dunia politik. Daripada 'babak belur', langkah yang tepat angkat kaki dari PAN.

"Akomodasi kepentingan di PAN tidak terpenuhi, cukup tepat dia keluar," imbuhnya.

Ketiga, SB tengah mencari kendaraan baru untuk pemilu 2014. Menuju 2014, Abdul menjelaskan, SB memiliki waktu yang cukup panjang. Ia bisa membentuk partai baru atau bergabung dengan ormas seperti Nasional Demokrat (Nasdem)

"Dengan waktu yang ada, cukup efektif membangun konstituen baru dengan partai baru atau ormas," ujar Abdul.

Sebelumnya, Soetrisno Bachir (SB) memutuskan kelur dari PAN karena ada 3 alasan. Pertama, untuk menghindarkan diri dari fitnah-fitnah politik yang selama ini dialamatkan kepadanya.

"Kalau ada kader PAN bertemu saya langsung berhembus fitnah-fitnah, kasihan kader PAN yang ketemu saya itu. Makanya supaya tidak ada kecurigaan saya memposisikan di luar PAN," terangnya saat buka puasa bersama Ormas dan Aktivis di kediamannya Pondok Indah, Jakarta, Minggu (22/8).

Alasan kedua, dengan keluar dari PAN maka dirinya bisa menjalin komunikasi dengan lintas partai tanpa kecurigaan apapun. "Karena saya sudah bukan PAN lagi maka tak perlu ada kecurigaan jika saya bertemu dengan teman-teman partai lain," terang politisi asal Pekalongan ini.

Dan alasan ketiga, SB mengaku ingin berkonsentrasi membangun ekonomi kerakyatan melalui lembaga keuangan mikro. Sebelumnya diberitakan, SB secara resmi menyatakan keluar dari PAN per tanggal 22 Agustus tahun ini.

SB terpilih menjadi ketua umum PAN pada Kongres II di Semarang pada 2005 lalu. Kemudian pada Kongres III di Batam pada 2010 dia tak bersedia mencalonkan lagi dengan alasan mengikuti tradisi satu periode Amien Rais. [bar/mah]

Baca Selengkapnya...

Awas! Menteri Mulai Tertular Syndrom Keluh Kesah SBY

27/08/2010 11:44

INILAH.COM, Jakarta - Kebiasaan Presiden SBY mengeluh kepada publik bisa ditiru oleh parah menteri yang mengalami tekanan publik.

Peneliti Indobarometer Abdul Hakim mengatakan, SBY sebagai Presiden telah memberikan teladan negatif kepada para pembantunya di kabinet.

"Saat ini Menkum HAM Patrialis Akbar sudah ikut-ikutan mengeluh digebuki, besok mungkin menteri A, B dan C ikut-ikutan mengeluh juga," ujar Abdul Hakim saat dihubungi INILAH.COM Kamis (26/8.

Menurut Abdul Hakim, apa yang disampaikan Patrialis sangatlah mirip dengan pernyataan Presiden SBY soal adanya ancaman dan serangan terhadap dirinya.

"Ibarat pepatah guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Apa yang disampaikan Patrialis substansinya mirip seperti keluhan-keluhan SBY," ujar Abdul Hakim.

Sebelumnya, Patrialis Akbar mengaku dirinya mulai sering disorot terkait kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya. Termasuk belakangan yang baru adalah soal pemberian remisi, pembebasan bersyarat juga soal grasi bagi sejumlah narapidana korupsi.

"Kadang-kadang sekarang ini saya merasa sudah mulai yang digebukin, saya ikhlas saja. Yah nggak apa-apa gebukin aja, saya nggak salah kok. Yang penting kan niatnya, untuk bela kemanusian," ungkap Patrialis. [mah]

Baca Selengkapnya...

Wednesday, August 18, 2010

NEGARA SINTING...!!!!

SAYA BETUL-BETUL HERAN DENGAN SIKAP PARA PETINGGI NEGERI INI TERKAIT PERBUATAN MALAYSIA YANG TELAH BERULANGKALI "MELECEHKAN" KITA. KOK KALA MEREKA MENGELUARKAN PERNYATAAN SANGAT HATI-HATI DAN TAK PUNYA DAYA SAMA SEKALI? PETINGGI-PETINGGI ITU "KETAKUTAN"!!!

DIMANA MAKNA KEMERDEKAAN? ORANG NYURI DIRUMAH KITA, YANG PUNYA RUMAH YANG DITAHAN...!!!

SUDAH SINTING...!!!!

Baca Selengkapnya...

Thursday, August 05, 2010

DPR 2010 terburuk sepanjang reformasi

02 August 2010 16:03
WASPADA ONLINE

JAKARTA - Banyaknya anggota DPR yang membolos sidang berbanding lurus dengan jebloknya target kerja legislasi DPR. Apabila target 70 RUU tidak terkejar, maka DPR priode ini layak dipredikatkan DPR terburuk sepanjang era reformasi.

Peneliti Indo Barometer Abdul Hakim mengatakan, seharusnya DPR periode ini bisa lebih produktif karena jumlah fraksi di DPR tidak sebanyak periode sebelumnya. Seharusnya sedikitnya jumlah fraksi membuat pengambilan keputusan menjadi makin cepat.

"Periode DPR saat ini fraksinya cuma ada sembilan, periode sebelumnya ada sepuluh fraksi. Logikanya dengan lebih sedikit fraksi maka pengambilan keputusan bisa lebih cepat dan produktif termasuk dalam pengesahan Undang-undang," ujar Abdul hari ini.

Abdul Hakim menilai, argumentasi kebanyakan anggota DPR soal lebih penting kinerja ketimbang kehadiran adalah logika yang sesat dan salah kaprah. Kehadiran seorang anggota DPR di ruang sidang adalah berbanding lurus dengan produktivitas kerja yang ada.

"Bagaimana legislasi mau tercapai kalau anggota DPR sering bolos, untuk voting kan tidak bisa diwakili. Kalau tidak kuorom kan tidak bisa sidang. Makanya anggota DPR wajib hadir untuk melaksanakan fungsi-fungsi legislasi yang tidak bisa diwakili," paparnya.

Sebagaimana diberitakan, dari target 70 Rancangan Undang-undang (RUU) yang dicanangkan pada tahun 2010 baru lima RUU yang telah diselesaikan DPR. Di saat yang bersamaan, tingkat kehadiran anggota DPR pada tiga masa sidang kecenderungannya semakin menurun. Bahkan pada masa sidang ketiga tidak ada fraksi yang mencapai tingkat kehadiran 95 persen.

Editor: MUHAMMAD MUHARRAM LUBIS

Baca Selengkapnya...

Tuesday, August 03, 2010

Beredar nama pengganti ketua FPAN

03 August 2010 01:25
WASPADA ONLINE

JAKARTA - Sejumlah nama disebut-sebut akan menggantikan Asman Abnur sebagai Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN)di DPR menyusul jebloknya performa FPAN di mata publik saat ini.

Para politisi PAN yang dianggap layak menjadi ketua FPAN adalah Alimin (anggota Komisi VII DPR), Azwar Abubakar (anggota Komisi I DPR) dan Totok Daryanto (anggota Komisi VII DPR).

Peneliti Indo Barometer Abdul Hakim menilai, ketiga nama tersebut layak menjadi ketua fraksi. Pasalnya, dari segi jam terbang dan pengalaman politik ketiganya dinilai sangat mumpuni.

"Alimin sudah tiga periode di DPR, dia orang kepercayaan Hatta. Azar Abubakar memiliki pengalaman pemerintahan, sedangkan Totok sudah dua periode dan pernah menjadi ketua Komisi VI DPR," ujar Abdul Hakim, di Jakarta, Senin, (2/8).

Abdul mengatakan, di luar tiga nama tersebut dirinya belum melihat ada anggota FPAN yang matang dan layak menjadi ketua fraksi. Menurutnya, tokoh-tokoh muda populis FPAN saat ini belum saatnya menjadi ketua fraksi.

"Anggota yang lainnya belum ada yang menonjol, mungkin masih butuh proses pengalaman dan pematangan politik terlebih dulu," ujar Abdul.

Sebagaimana diberitakan, kinerja FPAN saat ini tidak memuaskan hal itu dibuktikan dengan persentase penyerahan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKN) anggota FPAN adalah yang paling rendah di DPR selain Fraksi Partai Demokrat. Dalam hal tingkat kehadiran, anggota DPR yang paling banyak bolos adalah anggota FPAN Ratu Munawaroh yang bolos sebanyak sepuluh kali tanpa pemberitahuan.
Editor:MUHAMNMAD MUHARRAM LUBIS

Baca Selengkapnya...

Monday, August 02, 2010

Legislasi Meleset, Bukti Anggota DPR Tak Bermutu

02/08/2010 - 09:04

MA Hailuki

INILAH.COM, Jakarta- Banyaknya anggota DPR yang membolos sidang berbanding lurus dengan jebloknya target kerja legislasi DPR. Apabila target 70 RUU tidak terkejar, maka DPR priode ini layak dipredikatkan DPR terburuk sepanjang era reformasi.

Peneliti Indo Barometer Abdul Hakim mengatakan, seharusnya DPR periode ini bisa lebih produktif karena jumlah fraksi di DPR tidak sebanyak periode sebelumnya. Seharusnya sedikitnya jumlah fraksi membuat pengambilan keputusan menjadi makin cepat.

"Periode DPR saat ini fraksinya cuma ada sembilan, periode sebelumnya ada sepuluh fraksi. Logikanya dengan lebih sedikit fraksi maka pengambilan keputusan bisa lebih cepat dan produktif termasuk dalam pengesahan Undang-undang," ujar Abdul kepada INILAH.COM Senin (2/8).

Abdul Hakim menilai, argumentasi kebanyakan anggota DPR soal lebih penting kinerja ketimbang kehadiran adalah logika yang sesat dan salah kaprah. Kehadiran seorang anggota DPR di ruang sidang adalah berbanding lurus dengan produktivitas kerja yang ada.

"Bagaimana legislasi mau tercapai kalau anggota DPR sering bolos, untuk voting kan tidak bisa diwakili. Kalau tidak kuorom kan tidak bisa sidang. Makanya anggota DPR wajib hadir untuk melaksanakan fungsi-fungsi legislasi yang tidak bisa diwakili," paparnya.

Sebagaimana diberitakan, dari target 70 Rancangan Undang-undang (RUU) yang dicanangkan pada tahun 2010 baru lima RUU yang telah diselesaikan DPR. Di saat yang bersamaan, tingkat kehadiran anggota DPR pada tiga masa sidang kecenderungannya semakin menurun. Bahkan pada masa sidang ketiga tidak ada fraksi yang mencapai tingkat kehadiran 95 persen. [mah]

Baca Selengkapnya...

Inilah Para Calon Ketua Fraksi PAN DPR

02/08/2010 - 09:04

MA Hailuki

INILAH.COM, Jakarta - Sejumlah nama disebut-sebut akan menggantikan Asman Abnur sebagai Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN)di DPR menyusul jebloknya performa FPAN di mata publik saat ini.

Para politisi PAN yang dianggap layak menjadi ketua FPAN adalah Alimin (anggota Komisi VII DPR), Azwar Abubakar (anggota Komisi I DPR) dan Totok Daryanto (anggota Komisi VII DPR).

Peneliti Indo Barometer Abdul Hakim menilai, ketiga nama tersebut layak menjadi ketua fraksi. Pasalnya, dari segi jam terbang dan pengalaman politik ketiganya dinilai sangat mumpuni.

"Alimin sudah tiga periode di DPR, dia orang kepercayaan Hatta. Azar Abubakar memiliki pengalaman pemerintahan, sedangkan Totok sudah dua periode dan pernah menjadi ketua Komisi VI DPR," ujar Abdul Hakim kepada INILAH.COM Senin, (2/8).

Abdul mengatakan, di luar tiga nama tersebut dirinya belum melihat ada anggota FPAN yang matang dan layak menjadi ketua fraksi. Menurutnya, tokoh-tokoh muda populis FPAN saat ini belum saatnya menjadi ketua fraksi.

"Anggota yang lainnya belum ada yang menonjol, mungkin masih butuh proses pengalaman dan pematangan politik terlebih dulu," ujar Abdul.

Sebagaimana diberitakan, kinerja FPAN saat ini tidak memuaskan hal itu dibuktikan dengan persentase penyerahan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKN) anggota FPAN adalah yang paling rendah di DPR selain Fraksi Partai Demokrat. Dalam hal tingkat kehadiran, anggota DPR yang paling banyak bolos adalah anggota FPAN Ratu Munawaroh yang bolos sebanyak sepuluh kali tanpa pemberitahuan. [mah]

Baca Selengkapnya...

Thursday, July 29, 2010

Tirulah Ratu, Jeffrie Geovanie Lebih Baik Mundur!

29/07/2010 - 08:03
MA Hailuki

INILAH.COM, Jakarta - Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar (FPG) Jeffrie Geovanie yang tercatat enam kali bolos tanpa alasan harus mencontoh anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) yang sudah mengundurkan diri.

Pengamat politik dari Indo Barometer Abdul Hakim mengatakan, jika memang Jefrrie ingin bersikap ksatria mengakui kesalahannya, seharusnya Jeffrie meniru langkah Ratu Munawaroh yang mengundurkan diri dari DPR.

"Kalau memang gentle sekalian mengundurkan diri saja, itu lebih terhormat daripada dipecat oleh Badan Kehormatan (BK) DPR atau direcall oleh fraksi," ucap Abdul Hakim kepada INILAH.COM Kamis (29/7).

Abdul menambahkan, sebagai wakil rakyat Jeffrie memiliki kontrak politik yang harus dipenuhi dengan seluruh rakyat di daerah pemilihan bukan hanya dengan konstituennya saja. Ketidakhadiran sebanyak enam kali tanpa alasan adalah wujud Jeffrie tidak komit terhadap kontrak politiknya.

"Jika memang tidak lagi berkomitmen menjadi wakil rakyat ya ebih baik mundur saja. Jika selalu bolos tentu komitmennya diragukan," tegas Abdul.

Sebagaimana diberitakan, berdasarkan data dari Biro Persidangan Sekretariat Jenderal DPR RI, dalam 10 kali sidang di masa sidang kedua, Jeffrie tidak hadir tanpa keterangan sebanyak enam kali. Jeffrie secara jantan mengakui hal itu.

"Ya saya gentelemen mengakui membolos. Memang saya tidak masuk sebanyak enam kalai karena saya tidak urus surat izin. Dua kali sakit, sisanya ke luar kota," ungkapnya saat ditemui di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (27/7). [mah]

Baca Selengkapnya...

Tuesday, July 20, 2010

LABIRIN TIKUS GOLKAR MENUJU KURSI RI 1

20 July 2010
Inonesia-monitor.com

Tikus Golkar terus menggeliat di daerah dengan memenangkan 43 persen pilkada. Memuluskan ambisi Aburizal Bakrie sebagai Capres 2014.

AMBISI Aburizal Bakrie di Pemilu 2014 semakin kentara. Dalam Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) Pemenangan Pemilu Partai Golkar Seluruh Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Barat (NTB) di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta, Minggu (4/7), Ical—sapaan akrab Aburizal Bakrie—menargetkan Partai Golongan Karya akan merebut kembali kejayaannya pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014.

“Target Partai Golkar merebut kemenangan kembali kejayaan Golkar pada 2014,” kata Ical.

Dalam blog pribadinya http://icalbakrie.com, Ical mengakui, mengejar target tersebut tidaklah mudah. Apalagi, menurutnya, tantangan besar yang dihadapi Partai Golkar adalah persaingan politik yang semakin ketat.

“Persaingan ketat makin tajam di tahun 2012,” katanya. Ia menambahkan, dalam persaingan itu, segala cara dapat dilakukan untuk menjatuhkan Partai Golkar. Oleh karena itu, menurut Aburizal, Partai Golkar harus mampu menghadapi persaingan dan mempersiapkan diri.

“Kita politisi bekerja keras, main taktis. Jangan kemudian kita dalam permainan itu menggigit terus. Golkar harus berprinsip seperti tikus, ngendus, baru gigit. Jangan langsung menggigit. Nanti kalau dipukul bisa mati,” ujarnya. Filosofis tikus tersebut setidaknya telah membuahkan hasil. Partai Golkar di bawah kepemimpinannya mengklaim figur yang diusung partai itu telah memenangi 43 persen pemilihan kepala daerah di seluruh Indonesia.

“Kita target 30 persen untuk 2014. Sedangkan untuk pilkada 2010, kita targetkan sampai pilkada selesai, sampai 50 persen. Secara nasional Golkar saat ini baru 43 persen,” kata Ical.

Dengan target tersebut, tentunya semakin membuka peluang Ical untuk maju ke bursa calon presiden (capres) pada Pilpres 2014. Langkah mantan Menko Kesra itu menjadi terbuka dan strategis dengan konstelasi politik saat ini, menyusul tugasnya sebagai Ketua Harian Sekretariat Gabungan (Setgab) Partai Koalisi.

“Secara politik, Aburizal Bakrie adalah tokoh politik terkuat kedua setelah SBY. Sehingga, sangat potensial untuk maju sebagai presiden tahun 2014 mendatang,” kata Direktur Eksekutif LSI (Lingkaran Survei Indonesia) Denny JA. Tidak hanya itu, tikus Golkar terus memupuk kekuatan. Tidak puas hanya memegang kendali di Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi Pemerintah sebagai ketua harian, kini Aburizal Bakrie mulai mendekati partai-partai gurem.

Partai Bintang Reformasi (PBR) adalah partai pertama yang menjadi ‘garapan’ Ical. Kemarin, Ketua Umum PBR Bursah Zarnubi telah ‘menghadap’ Ical di kantor DPP Partai Golkar, Anggrek Nelly, Slipi, Jakarta. Bursah mengakui, kedatangannya sebagai upaya penjajakan peleburan PBR ke dalam Partai Golkar.

“PBR tidak mungkin bertarung dengan PT (parliamentary treshold) 5 persen,’’ katanya. Bahkan, mantan Ketua Humanika ini mengatakan, tidak menutup kemungkinan PBR akan menjadi ormas bukan sebagai partai lagi. “Memang harus begitu. Sudah kecil sombong lagi. Kalah tidak boleh sombong,” imbuh Bursah.

Sebelumnya, Ketua Umum Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) Bachtiar Chamsyah juga telah menemui Ical di Gedung Epicentrum, Komplek Taman Kuningan, Jakarta (24/6). Namun Bachtiar enggan menyebutkan pertemuan itu dilakukan dalam rangka penjajakan Pemilu 2014.

Peneliti Senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi menilai, langkah Ical mendekati partai-partai kecil setidaknya memiliki dua makna. Pertama, sebagai penjajakan kemungkinan peleburan partai kecil ke dalam Partai Golkar. Langkah ini, menurutnya, dimaksudkan guna menjaga dan bahkan mendongkrak suara pada Pemilu 2014.

‘’Saya lihat sebagai bentuk antisipasi gembosnya suara Partai Golkar dikarenakan makin populisnya Partai Gerindra yang notabene pecahan Partai Golkar. Juga berdirinya Nasional Demokrat pimpinan Surya Paloh yang berpotensi menjadi parpol sempalan Golkar,’’ jelasnya.

Kedua, Ical ingin menaikkan bargaining politiknya dengan cara memperluas koalisi bukan hanya di parpol intra parlementer, melainkan juga parpol ekstra parlementer. Perluasan koalisi diperlukan guna meningkatkan bargaining politik Partai Golkar dan Ical dalam menjaga stabilitas pemerintahan.

Selain itu, apabila akuisisi partai-partai kecil berhasil mempertahankan perolehan suara Partai Golkar pada Pemilu 2014, maka peluang Ical untuk mendapatkan tiket sebagai calon presiden atau calon wakil presiden menjadi semakin terbuka.

“Ini akan membuat nilai tawar Golkar dan Ical makin tinggi di mata SBY, kalau akuisisi partai kecil ini bisa mempertahankan atau menambah suara Golkar ya peluang Ical di Pilpres makin terbuka,” terangnya.

Sementara, Peneliti Senior Indo Barometer Abdul Hakim mengatakan, upaya Ical menggalang partai kecil menunjukkan dirinya memiliki magnitude politik tinggi. Sebagai ketua umum salah satu partai besar dan pengusaha papan atas, Ical ingin mengkapitalisasi dirinya sebagai tokoh sentral selain SBY di pentas politik.

Menurutnya, selama kurun 2004-2009, SBY sebagai Presiden merupakan tokoh sentral dalam kancah politik Indonesia, tokoh yang bisa menandingi hanyalah Megawati Soekarnoputeri. Setelah puteri Proklamator Bung Karno itu menelan kekalahan kedua di Pilpres 2009, pengaruh politiknya mulai berkurang.

Saat ini di antara tokoh nasional yang ada tidak satupun bisa menandingi pengaruh SBY. Dengan berbagai manuver yang dilakukan termasuk mengakuisi partai kecil, Ical ingin menempatkan dirinya sebagai tokoh sentral nasional. “Secara pribadi, manuver ini akan semakin mengukuhkan citra Ical sebagai tokoh sentral selain SBY. Jadi bargaining Ical semakin kuat di hadapan SBY,” ujar Abdul Hakim.

■ Dimas Ryandi

Baca Selengkapnya...

Monday, July 19, 2010

DIALEKTIK TERBALIK UU PEMILU

Seputar Indonesia, 15 Juli 2010
Oleh: Abdul Hakim MS

Menyimak sambutan Presiden SBY pada pembukaan Konferensi Ke-7 Hakim Mahkamah Konstitusi Asia di Istana Negara pada 13 Juli 2010 cukup menarik dicermati. Presiden berharap, UU pemilu bisa ajeg dan tidak berubah-ubah setiap kali pemilu berlangsung. Hal itu bertujuan agar masyarakat mudah faham dan tidak dibuat bingung. Selain itu, dengan konsitennya UU Pemilu akan bermuara pada terjadinya penyelenggaraan pemilu yang berkualitas.

Pesan presiden di atas memunculkan pertanyaan penting, dapatkah hal tersebut terwujud pada pemilu-pemilu mendatang, khususnya pada pemilu 2014? Ataukah pesan presiden itu hanya akan menjadi paradoks?

Dialektik Terbalik

Salah satu isu penting dalam pembahasan RUU Pemilu adalah upaya dalam penyederhanaan partai politik. Upaya ini dimaksudkan guna menopang sistem presidensial yang kuat. Namun pada faktanya, usaha dalam pengaturan penyederhanaan partai politik dalam UU Pemilu selalu jungkir-balik. Pada pemilu 1999 dan 2004, electoral Trheshol (ET) dipakai untuk maksud tersebut. Akan tetapi belum tercapai tujuan yang diharapkan, ketentuan ini rusak dengan pergantian sistem menjadi Parliamentary Threshold (PT) pada pemilu 2009. Aturan ET pun gugur. Akibatnya, partai politik yang tidak lolos ET pada pemilu 2004, tetap bisa ikut berkompetisi asal mempunyai kursi di DPR. Celakanya, partai yang tidak lolos ET dan juga tidak mempunyai kursi di DPR, akhirnya pun dapat ikut pemilu 2009 berdasarkan judicial reviewe yang diterima oleh Mahkamah Konstitusi.

Jungkir-balik aturan ini kemudian membiaskan tujuan awal, penyederhanaan partai politik. Pada pemilu 1999, partai politik peserta pemilu sebanyak 48 partai. Pada pemilu 2004, jumlah partai politik peserta pemilu sebetulnya telah dapat sedikit disederhanakan menjadi 24 partai politik. Akan tetapi, pada pemilu 2009 dengan dilakukan pergantian dari aturan ET menjadi PT, jumlah partai politik peserta pemilu kembali membengkak menjadi 38 partai politik plus 6 partai lokal di Aceh. Bagaiamana dengan pemilu 2014? Apakah PT akan berubah lagi sehingga partai politik yang akan ikut pemilu 2014 tidak hanya 9 partai politik yang lolos PT karena aturan ini dalam UU Pemilu kembali akan mengalami perubahan?

Upaya penyederhanaan ini, jika dikaitkan dengan konsep hegel tentang proses dialektika, menjadi dialektika terbalik. Seperti dikatakan Hegel, proses dialektika dimaksudkan untuk menelurkan antithesis dari thesis yang sebelumnya ada. Dari pertentangan keduanya akan memunculkan sintesis baru. Namun yang perlu dicatat bahwa dalam proses dialektik yang dimaksud Hegel adalah proses pertentangan Thesis dan Antithesis untuk mencari kebenaran mutlak. Oleh karena itu, proses pertentangan keduanya akan menimbulkan sesuatu yang lebih baik dan terus bergerak menjadi lebih baik sampai pada akhirnya berlabuh pada titik kesempurnaan. Namun yang terjadi pada pola penyederhanaan partai politik justeru sebaliknya. Artinya, proses perdebatan dalam penyusunan UU Pemilu tidak kunjung bermuara pada pelaksanaan pemilu dengan jumlah partai politik yang lebih baik. Perdebatan panjang dan alot tentang isu penyederhanaan partai politik pun menjadi sia-sia.

Power-seeking Politician

Pertanyaan kemudian muncul, kenapa dapat terjadi dialektika terbalik? Untuk menjawab pertanyaan ini, penjelasannya dapat ditemukan dalam literatur kajian ekopol neo-klasik. Untuk membedah persoalan-persoalan seperti pembahasan UU Pemilu, misalnya, unit analisisnya dapat difokuskan pada perilaku dua aktor utama, yakni society actor dan state actor. Untuk mengkaji state actor, ada dua fokus utama, yakni telaah terhadap birokrasi dan politisi. Kajian terhadap birokrasi melahirkan model analisis rent-seeking bureucrat. Semetara untuk kajian terhadap politisi, memunculkan model analisis power-seeking politician.

Argumentasi dasar power-seeking politician ini adalah para politisi merupakan makhluk rasional yang tidak steril dari perhitungan untung-rugi dalam setiap mengambil keputusan. Kepentingan utama dari politisi adalah memaksimalkan, dan bila mungkin, mempertahankan kekuasaan yang dimiliki. Untuk tujuan ini, maka para politisi akan dimotivasi oleh keinginan menggunakan sumber daya (resources) apa saja yang dimiliki guna memberikan ganjaran kepada siapa saja yang mendukung mereka, dan memberikan hukuman kepada siapa saja yang mencoba mengganggu (Grindle, 1989).

Implikasi dari argumentasi Grindle di atas, politisi cenderung berfikir kepentingan jangka pendek. Tidak penting bagi para politisi keputusannya nanti akan berdampak seperti apa kepada orang lain. Pertimbangan utamanya adalah; keputusan itu tidak merugikan diri mereka sendiri!

Melihat model ini, maka kita menjadi mafhum kenapa dialektika terbalik seperti uraian diatas bisa terjadi, yaitu karena penentu utama terbentuknya UU Pemilu teretak pada tangan para politisi yang duduk di Senayan. Padahal, mengacu pada penjelasan Grindle, apa yang dilakukan politisi di Senayan bukan mencari sistem yang ajeg dan dapat berlaku dalam jangka yang panjang, melainkan “mengakali” UU Pemilu yang akan dibentuk agar dapat memberi laba pada diri dan institusinya dalam jangka pendek. Dampak dari pola dasar pemikiran seperti ini adalah adanya praktik-praktik kesepakatan di bawah meja atau “politik dagang sapi”. Para politisi tak risau jikalau UU Pemilu akan berganti setiap menjelang pemilu, bahkan mungkin lebih ekstrim, UU Pemilu boleh berganti setiap kali Pilkada, asal dapat memberi keuntungan dan dapat mempertahankan kekuasaan dalam jangka pendek.

Melihat fakta ini, sepertinya kita akan tetap mengelus dada melihat pembahasan RUU Pemilu 2014. Kita menjadi sangsi, pembahasan yang dilakukan dapat menyembulkan UU Pemilu yang benar-benar mapan. Penjara Power-seeking politician lebih kuat dibandingkan harapan akan terciptanya sistem pemilu yang dapat mendukung proses demokrasi dalam waktu yang panjang. Pesan Presiden SBY agar UU Pemilu tidak berubah-ubah akan sulit terwujud dan sepertinya hanya akan menjadi sebuah paradoks.

Baca Selengkapnya...

Wednesday, July 14, 2010

DEMOKRASI ALA PKS

Koran Jakarta, Rabu, 16 Juni 2010
Oleh: Abdul Hakim MS

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) akan menggelar Musyawarah Nasional (Munas) di Hotel The Ritz Carlton, Jakarta pada 16-18 Juni 2010. Musyawarah nasional ini cukup menarik mengingat forum ini memiliki perbedaan cukup mencolok dengan ajang serupa oleh partai politik lain di Indonesia; tidak ada pemilihan ketua umum. Oleh karena itu, tidak akan ada baliho besar kandidat yang menjejali Jakarta dan arena kongeres, tidak ada tim sukses, tidak ada hiruk-pikuk, tidak ada money politic, tidak ada negative campaign, dan sepertinya juga tidak akan ada liputan besar-besaran oleh media massa, seperti liputan terhadap kongres Partai Demokrat beberapa waktu yang lalu.

Karateristik PKS dalam memilih pimpinan pusatnya, memang tidak seperti pemilihan ketua umum partai politik lain di Indonesia pada umumnya. Demokrasi yang dibangun oleh PKS dalam memilih ketua umumnya adalah dengan menjalankan asas demokrasi perwakilan. Sesuai dengan AD/ART PKS, ketua umum dipilih oleh badan Majelis Syuro. Majelis ini merupakan lembaga tertinggi PKS yang bertugas antara lain menyusun Visi dan Missi Partai, ketetapan-ketetapan dan rekomendasi Musyawarah Nasional, dan memilih Pimpinan Pusat Partai serta keputusan-keputusan strategis lainnya. Selain itu, majelis ini bertugas membentuk Majelis Pertimbangan Partai sebagai Badan Pekerja Majelis Syuro dan membentuk Dewan Syari'ah Pusat. Majelis Syuro sendiri merupakan badan yang beranggotakan minimal 35 orang yang dipilih oleh mekanisme pemilihan raya yang melibatkan seluruh anggota kader inti partai.

Demokrasi yang dilaksanakan oleh PKS ini mirip-mirip dengan pola demokrasi perwakilan dalam pemilihan presiden sebelum masa reformasi. Pemilihan umum pada saat itu, hanya difokuskan untuk memilih anggota legislatif saja. Anggota legislatif terpilih kemudian memilih presiden dan wakil presiden. Dengan singkat kata, demokrasi yang dibangun dalam tubuh PKS adalah sistem demokrasi perwakilan. Mandat untuk memilih seluruh lembaga tinggi PKS diserahkan kepada lembaga tertinggi partai, Dewan Syuro, yang sebelumnya telah dipilih secara demokratis.

Efektivitas

Dengan mengadopsi demokrasi perwakilan, dalam beberapa hal, demokrasi ala PKS ini setidaknya memiliki tiga hal positif dan efektif demi kepentingan internal partai. Pertama, meminimalisasi perpecahan pasca pemilihan ketua umum.

Seolah telah menjadi kebiasaan, ajang kongres partai-partai di Indonesua kerap menyembulkan perpecahan diantara kader mereka sendiri setelah acara usai. Kita tentu masih ingat bagaimana kemelut yang menimpa Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada akhir-akhir masa Orde baru. PDI, oleh pemerintah ”di adu” akibat konflik dalam pemilihan ketua umumnya. PDI kemudian menjadi dua kubu, PDI Megawati hasil Munas di Jakarta 1993 dan PDI Soerjadi hasil kongres Medan 1996. pada ujungnya, PDI Megawati kemudian melakukan metamorfosa menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) pada wal-awal reformasi. Kasus serupa juga menimpa Partai Golkar pada musyawarah nasional VIII di Pekan Baru, Riau, Agustus 2009 lalu. Terpilihnya Aburizal Bakrie sebagai ketua umum, memunculkan indikasi pecahnya kader Partai Golkar akibat kalahnya kandidat dalam perebutan posisi puncak. Surya Paloh, salah satu pesaing yang kalah tipis oleh Aburizal Bakrie, mendirikan Ormas Nasional Demokrat (Nasdem). Disinyalir, Nasdem nantinya dipersiapkan menjadi partai menjelang pemilu 2014.

Kedua, demokrasi ala PKS ini mempunyai sisi positif dapat memfokuskan energi munas untuk betul-betul membahas konsep, startegi, dan pengambilan keputusan penting lainnya guna menghadapi pemilu 2014. Hal ini dikarenakan tidak ada hiruk-pikuk pemilihan ketua umum, yang biasanya menjadi perhatian utama peserta kongres.

Ketiga, Demokrasi ala PKS dapat meminimalisasi cost politik calon kandidat ketua umum. Tentu kita semua pasti dibuat menaksir-naksir berapa banyak cost politik yang telah dikeluarkan Andi Mallarangeng ketika kongres Partai Demokrat beberapa waktu yang lalu. Iklan besar-besaran di media massa, baik cetak maupun elektronik, pembuatan spanduk, umbul-umbul dan lain sebagianya, pasti tidak menyedot anggaran yang sedikit. Dalam konteks PKS, hal ini dapat diminimalisasi.

Jika kondisinya demikian, pertanyaan yang cukup menggelitik adalah apa yang menarik dicermati dalam munas PKS kali ini?

Tantangan Munas

PR terbesar partai islam saat ini yang belum terselesaikan adalah menjadi pesaing handal terhadap keberadaan partai-partai nasionalis. Sejak pemilu 1955, perolehan suara partai nasionalis selalu lebih unggul dibandingkan partai islam. Hal ini cukup ironis, mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah muslin.

Berdasarkan data yang direkam Indo Barometer, sejak pemilu 1955, gabungan perolehan suara partai islam selalu kalah melawan gabungan suara partai nasionalis. Pada pemilu 1955, suara partai islam sebesar 43,7%, sementara suara partai nasionalis 51.7%. Pada pemilu 1999, gap lebih tajam terjadi. Partai islam meraih suara sebesar 36.8% sementara partai nasionalis mendapat suara sebesar 62.3%. Demikian halnya pada pemilu 2004, partai islam mendapatkan suara sebesar 38.1% sementara partai nasionalis mendapatkan suara sebesar 59.5%. Celakanya lagi, pemilu 2009 seolah menjadi “kuburan” bagi partai islam. Dari enam partai politik islam (PKS, PPP, PBB, PKNU, PBR, PMB), hanya 2 partai yang lolos peraturan Parliamentary Threshold 2.5%, yakni PKS dan PPP. 4 partai yang lain tidak bisa lagi mengikuti pemilu 2014.

Tentu hal ini menjadi tugas berat PKS sebagai partai islam dengan suara tertinggi pada pemilu 2009. Itu sebabnya, momentum munas kali ini harus dijadikan arena kawah candradimuka agar partai Islam tidak tergerus habis pada pemilu 2014. Konsep repositioning yang pada pemilu 2009 lalu telah dimulai, harus kembali diteguhkan. Seperti kita faham, PKS telah melakukan reposisi identitas sebagai partai islam, dengan sedikit menambahkan unsur plurasitik. Slogan “Emang (Merah Kuning Hijau Biru) bisa PKS? Kenapa Tidak..” adalah implikasi modifikasi PKS guna menaikkan suara. Hasilnya sudah cukup positif dengan meningkatnya suara PKS dari 7.34% pada pemilu 2004 menjadi 7.88% pada pemilu 2009.

Kebijakan reposisi adalah hal lumrah terjadi dalam partai politik. Kebijakan ini dilakukan tatkala suatu partai atau kontestan melihat identitas yang mereka miliki masih kurang kuat dipersepsikan oleh masyarakat dibandingkan dengan pesaing [Lock dan Harris:1996]. Namun yang harus tetap ditekankan adalah bahwa PKS tetap merupakan partai islam. Oleh karena itu, yang menarik ditunggu dari kongres PKS kali ini adalah langkah strategi apa yang akan diambil dan posisi apa yang akan ditegaskan PKS dalam menghadapi pemilu 2014.


Baca Selengkapnya...

Monday, July 05, 2010

PKS Siap Tampung PBB

5 Juli 2010
Riau Pos

JAKARTA (RP)- Partai Keadilan Sejahtera (PKS) siap menerima Partai Bulan Bintang (PBB) jika ingin melebur menjadi satu dalam menghadapi Pemilu 2014.


Ketua DPP PKS Jazuli Juwaini mengatakan, pihaknya siap menerima partai manapun dengan tangan terbuka jika ingin melebur dengan PKS.

‘’Pada prinsipnya partai manapun yang mau melebur dengan PKS, kami akan terima dengan tangan terbuka,’’ jelas Jazuli, Ahad (4/7).

Jazuli mengatakan, PKS telah memiliki mekanisme untuk menerima gerbong pindahan dari Parpol yang tidak lolos Parliamentary Treshold. Mekanisme itu adalah dengan cara penyamaan visi misi dan cita-cita perjuangan.

‘’Mengenai penempatan posisi di DPP dan kuota pencalegan itu persoalan teknis yang bisa dibicarakan. Orang non Muslim saja bisa jadi caleg PKS, apalagi sesama Muslim,’’ ujar anggota Komisi VIII ini.

Sebelumnya diberitakan, Peneliti Senior Indo Barometer Abdul Hakim menyarankan agar PBB meleburkan diri ke partai yang telah eksis di DPR. Menurutnya, partai yang tepat adalah PKS karena sama-sama berasaskan Islam.(ini/jpnn/gem)

Baca Selengkapnya...

PBB Sebaiknya Lebur ke PKS

5 Juli 2010 | 09:34 WIB

Jakarta - SURYA- Partai Bulan Bintang (PBB) disarankan segera melebur dengan partai politik besar. Sebagaimana yang dilakukan Partai Bintang Reformasi (PBR) yang cenderung memilih melebur dengan Partai Golkar.

Saran ini dilontarkan Peneliti Senior Indo Barometer Abdul Hakim. Menurutnya, PBB memiliki kemiripan ideologi dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
“PBB dan PKS partai yang sama-sama berasas Islam,” ujar Abdul Hakim.
Ia menilai tidak logis jika PBB bersikukuh berdiri sendiri menghadapi Pemilu 2014 yang mensyaratkan parliamentary treshold (PT) sebesar 5 persen. nic

Baca Selengkapnya...

Sunday, July 04, 2010

PKS Siap Tampung PBB

04/07/2010 - 19:30

INILAH.COM, Jakarta- Partai Keadilan Sejahtera (PKS) siap menerima Partai Bulan Bintang (PBB) jika ingin melebur menjadi satu dalam menghadapi Pemilu 2014.

Ketua DPP PKS Jazuli Juwaini mengatakan, pihaknya siap menerima partai manapun dengan tangan terbuka jika ingin melebur dengan PKS.

"Pada prinsipnya partai manapun yang mau melebur dengan PKS, kami akan terima dengan tangan terbuka," jelas Jazuli saat dihubungi INILAH.COM Minggu (4/7).

Jazuli mengatakan, PKS telah memiliki mekanisme untuk menerima gerbong pindahan dari parpol yang tidak lolos Parliamentary Treshold. Mekanisme itu adalah dengan cara penyamaan visi misi dan cita-cita perjuangan.

"Mengenai penempatan posisi di DPP dan kuota pencalegan itu persoalan teknis yang bisa dibicarakan. Orang non Muslim saja bisa jadi caleg PKS, apalagi sesama Muslim," ujar anggota Komisi VIII ini.

Sebelumnya diberitakan, Peneliti Senior Indo Barometer Abdul Hakim menyarankan agar PBB meleburkan diri ke partai yang telah eksis di DPR. Menurutnya, partai yang tepat adalah PKS karena sama-sama berasaskan Islam. (mah)

Baca Selengkapnya...

PBB Disarankan Melebur ke PKS

INILAH.COM, Jakarta- Partai Bulan Bintang (PBB) disarankan segera melebur dengan partai politik besar. Sebagaimana yang dilakukan Partai Bintang Reformasi (PBR) memilih melebur dengan Partai Golkar.

Saran ini dikemukakan Peneliti Senior Indo Barometer Abdul Hakim saat dihubungi INILAH.COM Minggu (4/7). Menurutnya, partai yang cocok menampung PBB adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

"Mungkin partai yang segaris dengan PBB secara ideologis adalah PKS, mengapa PBB tidak memilih melebur dengan PKS yang sama-sama berasas Islam," ujar Abdul Hakim.

Abdul Hakim menilai tidak logis jika PBB bersikukuh berdiri sendiri menghadapi Pemilu 2014. Pasalnya, persyaratan Parliamentary Treshold (PT) sebesar 5 persen sangatlah bera.

"Tidak logis kalau PBB masih ngotot ingin berdiri sendiri, dasar pemikirannya tidak relevan. Apalagi kondisi elit-elitnya saat ini dirundung berbagai masalah," terang Abdul Hakim.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Sekjen DPP PBB Sahar L Hassan mengatakan partainya tidak akan mengikuti langkah PBR yang melebur dengan Partai Golkar. Sahar mengatakan, PBB tidak akan bersedia melebur dengan partai manapun.

"Keputusan muktamar, kita maju sendiri, siapa pun yang menawar, kita tetap punya pendirian," tuturnya, Sabtu (3/7). (mah)

Baca Selengkapnya...

Friday, July 02, 2010

Manuver Ical Rangkul Parpol Gurem: Cegah Golkar Gembos, Amankan Tiket Pilpres

02/07/2010 - 08:14

INILAH.COM, Jakarta- Setelah berhasil memegang kendali di Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi Pemerintah sebagai ketua harian, kini Aburizal Bakrie mulai mendekati partai-partai gurem.

Partai Bintang Reformasi (PBR) adalah partai pertama yang menjadi 'garapan' Ical. Kemarin, Ketua Umum PBR Bursah Zarnubi telah 'menghadap' Ical di kantor DPP Partai Golkar, Anggrek Nelly, Slipi, Jakarta.

Peneliti Senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi menilai, langkah Ical mendekati partai-partai kecil setidaknya memiliki dua makna. Pertama, sebagai penjajakan kemungkinan peleburan partai kecil ke dalam Partai Golkar.

Ini dimaksudkan guna menjaga dan bahkan mendongkrak suara pada Pemilu 2014. Ini juga bentuk antisipasi gembosnya suara Partai Golkar dikarenakan makin populisnya Partai Gerindra yang notabene pecahan Partai Golkar. Juga berdirinya Nasional Demokrat pimpinan Surya Paloh yang berpotensi menjadi parpol sempalan Golkar.

"Peleburan sangat dimungkinkan, dengan kompensasi jabatan tertentu dan kuota caleg tertentu maka partai kecil sangat mungkin melebur ke Golkar. Saya menyebutnya akuisisi parpol," ujarnya.

Makna kedua sebut Burhan adalah, Ical ingin menaikkan bargaining politiknya dengan cara memperluas koalisi bukan hanya di parpol intra parlementer, melainkan juga parpol ekstra parlementer. Perluasan koalisi diperlukan guna meningkatkan bargaining politik Partai Golkar dan Ical dalam menjaga stabilitas pemerintahan.

Selain itu, apabila akuisisi partai-partai kecil berhasil mempertahankan perolehan suara Partai Golkar pada Pemilu 2014, maka peluang Ical untuk mendapatkan tiket sebagai calon presiden atau calon wakil presiden menjadi semakin terbuka.

"Ini akan membuat nilai tawar Golkar dan Ical makin tinggi di mata SBY, kalau akuisisi partai kecil ini bisa mempertahankan atau menambah suara Golkar ya peluang Ical di Pilpres makin terbuka," terangnya.

Sementara itu, Peneliti Senior Indo Barometer Abdul Hakim menilai, upaya Ical menggalang partai kecil menunjukkan dirinya memiliki magnitude politik tinggi. Sebagai ketua umum salah satu partai besar dan pengusaha papan atas, Ical ingin mengkapitalisasi dirinya sebagai tokoh sentral selain SBY di pentas politik.

Selama kurun 2004-2009, SBY sebagai Presiden merupakan tokoh sentral dalam kancah politik Indonesia, tokoh yang bisa menandingi hanyalah Megawati Soekarnoputeri. Setelah puteri Proklamator Bung Karno itu menelan kekalahan kedua di Pilpres 2009, pengaruh politiknya mulai berkurang.

Saat ini di antara tokoh nasional yang ada tidak satupun bisa menandingi pengaruh SBY. Dengan berbagai manuver yang dilakukan termasuk mengakuisi partai kecil, Ical ingin menempatkan dirinya sebagai tokoh sentral nasional.

"Secara pribadi, manuver ini akan semakin mengukuhkan citra Ical sebagai tokoh sentral selain SBY. Jadi bargaining Ical semakin kuat di hadapan SBY," ujar Abdul Hakim.

Sebagaimana diberitakan, Kamis (1/7) Ketua Umum PBR Bursah Zarnubi menemui Ical di Kantor DPP Partai Golkar, Anggrek Nelly, Slipi, Jakarta. Bursah mengakui, kedatangannya sebagai upaya penjajakan peleburan PBR ke dalam Partai Golkar. "PBR tidak mungkin bertarung dengan PT (parliamentary treshold) 5 persen."

Bahkan, mantan Ketua Hummanika ini mengatakan, tidak menutup kemungkinan PBR akan menjadi ormas bukan sebagai partai lagi. "Memang harus begitu. Sudah kecil sombong lagi. Kalah tidak boleh sombong," imbuh Bursah.

Sebelumnya, Ketua Umum Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) Bachtiar Chamsyah juga telah menemui Ical di Gedung Epicentrum, Komplek Taman Kuningan, Jakarta (24/6). Namun Bachtiar enggan menyebutkan pertemuan itu dilakukan dalam rangka penjajakan Pemilu 2014. (mah)

Baca Selengkapnya...

Cegah Golkar Gembos, Amankan Tiket Pilpres

Jumat, 2 Juli 2010 | 08:14 WIB
Oleh: MA Hailuki

INILAH.COM, Jakarta- Setelah berhasil memegang kendali di Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi Pemerintah sebagai ketua harian, kini Aburizal Bakrie mulai mendekati partai-partai gurem.

Partai Bintang Reformasi (PBR) adalah partai pertama yang menjadi 'garapan' Ical. Kemarin, Ketua Umum PBR Bursah Zarnubi telah 'menghadap' Ical di kantor DPP Partai Golkar, Anggrek Nelly, Slipi, Jakarta.

Peneliti Senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi menilai, langkah Ical mendekati partai-partai kecil setidaknya memiliki dua makna. Pertama, sebagai penjajakan kemungkinan peleburan partai kecil ke dalam Partai Golkar.

Ini dimaksudkan guna menjaga dan bahkan mendongkrak suara pada Pemilu 2014. Ini juga bentuk antisipasi gembosnya suara Partai Golkar dikarenakan makin populisnya Partai Gerindra yang notabene pecahan Partai Golkar. Juga berdirinya Nasional Demokrat pimpinan Surya Paloh yang berpotensi menjadi parpol sempalan Golkar.

"Peleburan sangat dimungkinkan, dengan kompensasi jabatan tertentu dan kuota caleg tertentu maka partai kecil sangat mungkin melebur ke Golkar. Saya menyebutnya akuisisi parpol," ujarnya.

Makna kedua sebut Burhan adalah, Ical ingin menaikkan bargaining politiknya dengan cara memperluas koalisi bukan hanya di parpol intra parlementer, melainkan juga parpol ekstra parlementer. Perluasan koalisi diperlukan guna meningkatkan bargaining politik Partai Golkar dan Ical dalam menjaga stabilitas pemerintahan.

Selain itu, apabila akuisisi partai-partai kecil berhasil mempertahankan perolehan suara Partai Golkar pada Pemilu 2014, maka peluang Ical untuk mendapatkan tiket sebagai calon presiden atau calon wakil presiden menjadi semakin terbuka.

"Ini akan membuat nilai tawar Golkar dan Ical makin tinggi di mata SBY, kalau akuisisi partai kecil ini bisa mempertahankan atau menambah suara Golkar ya peluang Ical di Pilpres makin terbuka," terangnya.

Sementara itu, Peneliti Senior Indo Barometer Abdul Hakim menilai, upaya Ical menggalang partai kecil menunjukkan dirinya memiliki magnitude politik tinggi. Sebagai ketua umum salah satu partai besar dan pengusaha papan atas, Ical ingin mengkapitalisasi dirinya sebagai tokoh sentral selain SBY di pentas politik.

Selama kurun 2004-2009, SBY sebagai Presiden merupakan tokoh sentral dalam kancah politik Indonesia, tokoh yang bisa menandingi hanyalah Megawati Soekarnoputeri. Setelah puteri Proklamator Bung Karno itu menelan kekalahan kedua di Pilpres 2009, pengaruh politiknya mulai berkurang.

Saat ini di antara tokoh nasional yang ada tidak satupun bisa menandingi pengaruh SBY. Dengan berbagai manuver yang dilakukan termasuk mengakuisi partai kecil, Ical ingin menempatkan dirinya sebagai tokoh sentral nasional.

"Secara pribadi, manuver ini akan semakin mengukuhkan citra Ical sebagai tokoh sentral selain SBY. Jadi bargaining Ical semakin kuat di hadapan SBY," ujar Abdul Hakim.

Sebagaimana diberitakan, Kamis (1/7) Ketua Umum PBR Bursah Zarnubi menemui Ical di Kantor DPP Partai Golkar, Anggrek Nelly, Slipi, Jakarta. Bursah mengakui, kedatangannya sebagai upaya penjajakan peleburan PBR ke dalam Partai Golkar. "PBR tidak mungkin bertarung dengan PT (parliamentary treshold) 5 persen."

Bahkan, mantan Ketua Hummanika ini mengatakan, tidak menutup kemungkinan PBR akan menjadi ormas bukan sebagai partai lagi. "Memang harus begitu. Sudah kecil sombong lagi. Kalah tidak boleh sombong," imbuh Bursah.

Sebelumnya, Ketua Umum Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) Bachtiar Chamsyah juga telah menemui Ical di Gedung Epicentrum, Komplek Taman Kuningan, Jakarta (24/6). Namun Bachtiar enggan menyebutkan pertemuan itu dilakukan dalam rangka penjajakan Pemilu 2014. (mah)

Baca Selengkapnya...

Thursday, July 01, 2010

LIMITASI CAPAIAN PKS

Oleh: Abdul Hakim MS
SInar Harapan

Lance Castles pernah mengatakan, dunia modern, disamping disebut sebagai The Age of Nation-State (Zaman negara-bangsa), bisa juga dijuluki sebagai The Age of Parties (Zaman Partai Politik) [Castles:1999]. Hal ini mengacu pada geliat sistem politik yang diberlakukan oleh semua negara dunia selalu mengadopsi partai politik sebagai salah satu unsur utama jalannya pemerintahan, baik dengan sistem dua partai, multi partai, partai tunggal, atau partai dominan. Dalam konteks Indonesia, pernyataan Castles mendapatkan penegasan. Peran partai politik di Indonesia, pasca reformasi, mendekap peranan lebih dibandingkan dengan peran-peran lembaga negara lainnya. Pemilihan presiden, pemilihan pejabat publik hingga pembuatan kebijakan-kebijakan strategis lainnya, tak akan bisa luput dari keberadaan partai politik.

Melihat peranan parpol yang sangat vital di Indonesia tersebut, maka menjadi hal penting menelaah tingka-polah partai politik. Salah satu partai politik yang bisa dilihat adalah Partai Keadilan sejahtera (PKS) yang pada 17 Juni 2001 mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) di Hotel The Ritz Carlton, Jakarta. PKS menarik untuk ditilik, antara lain dikarenakan ia memiliki label “fenomenal” dalam pewarnaannya dalam konteks politik nasional.

Tipologi Partai

Mengacu pada perjalanan biologis partai-partai yang perolehan suaranya lolos parliemanetary threshold pada pemilu 2009, kita bisa membelah tipologi partai politik di Indonesia menjadi dua golongan utama. Pertama adalah golongan partai politik yang suaranya terus tumbuh dari satu pemilu ke pemilu berikutnya, dan golongan kedua adalah partai politik yang suaranya terus menipis dari waktu ke waktu.

Untuk golongan pertama, hanya ada dua partai, yaitu Partai Demokrat dan PKS. Partai Demokrat, saat pertama kali ikut pemilu pada 2004 langsung merangsek dengan perolehan 7.45%. Bahkan pada pemilu 2009, PD malah menjadi pemenang pemilu dengan perolehan suara sebesar 20,85%. Begitu pula dengan PKS. Pada saat pendiriannya (masih bernama PK) PKS telah diprediksi sebagai partai kuda hitam pada pemilu 1999. Pada pemilu pertamanya, PK mendapatkan suara sebesar 1.36%. Pada pemilu 2004, PK yang sudah berganti nama menjadi PKS memperolehan suara 7.34%, kalah tipis dengan PD. Pada pemilu 2009, perolehan suara PKS nail lagi menjadi 7.88%.

Sementara pada kelompok partai kedua, ada Partai Golkar, PDIP, PPP, PAN dan PKB. Keempat parpol ini suaranya terus menurun sejak masa reformasi bergulir. Coba kita tengok perolehan masing-masing partai ini sejak pemilu 1999 sampai 2009. Partai Golkar, pada pemilu 1999, 2004 dan 2009 perolehan suaranya adalah 22.45%, 21.58%, dan 14.45%. PDI-P, 33.75%, 18.53% dan 14.03%. PPP, 10.72%, 8.15% dan 5.32%. PAN, 7.12%, 6.44%, dan 6.01%. PKB, 12.61%, 10.57% dan 4.94%.

Melihat tipologi di atas, tidak heran jika label “fenomenal” sempat lekat dengan PKS. Akan tetapi, meski naik, perolehan suara PKS pada pemilu 2004 dan 2009 seolah mandek pada angka tujuh persen. Pertanyaannya, bisakah PKS mengangkat lagi pertumbuhannya pada pemilu 2014? Atau angka tujuh persen telah menjadi capaian tertinggi (limit) PKS?

Membongkar Limit

Sesuatu yang harus ada agar partai politik dapat menjadi besar sangat tergantung dari kombinasi tiga unsur utama. Pertama, agar menjadi besar, partai politik harus memiliki basis massa yang kuat. Kedua, partai politik harus memiliki struktur organisasi yang solid dan modern sebagai mesin pendulang suara. Dan ketiga partai politik harus memiliki pemimpin atau tokoh yang populer dan disukai oleh masyarakat.

Dalam konteks PKS, dua dari tiga syarat di atas telah dimiliki. PKS memiliki basis massa yang terkenal loyal dan solid. Struktur organisasi yang baik sebagai mesin pendulang suara juga telah digenggam. Yang minus dari PKS adalah belum adanya tokoh pemimpin populer yang memiliki tingkat elektabilitas tinggi. Padahal, pengalaman di Indonesia, unsur ketiga inilah yang cenderung dominan.

Kita semua mafhum, bahwa faktor dominan besarnya Partai Demokrat adalah sosok SBY didalamnya. Begitu pula di PDIP. Kuatnya karisma Megawati, menjadikan PDIP tetap eksis hingga kini. Tak luput juga dengan PAN dengan sosok Amien Rais. Salah satu partai yang terus bertahan meskipun terlepas dari ketokohan sentral hanya Partai Golkar. Meskipun demikian, ketiadaan pemimpin karismatik yang dapat dijadikan simbol, Partai Golkar pun mengalami surut suara sejak pemilu 1999 hingga 2009.

Tak pelak, tantangan terbesar munas PKS kali ini adalah menggodok konsep guna memunculkan tokoh yang akan dipakai sebagai simbol menghadapi pemilu 2014. Hal ini dilakukan guna melengkapi dua syarat yang telah dipunyai. Sosok-sosok muda progressif plus tokoh-tokoh senior yang banyak dimiliki PKS, seperti Anis Matta dan Hidayat Nurwahid misalnya, bisa dijadikan bibit untuk dikapitalisasi selama 4 tahun mendatang. Atau mungkin, PKS juga harus memikirkan alternatif untuk menggamit tokoh besar diluar PKS, karena hal itu juga bukan sesuatu yang haram.

Masih lestarinya budaya politik parokial pada sebagian besar pemilih Indonesia, mewajibkan semua partai politik di Indonesia memiliki tokoh sentral dengan citra baik di mata publik. Jika PKS tidak ingin mandek perolehan suaranya di kisaran tujuh persen pada pemilu 2014, pekerjaan rumah ini harus diselesaikan melalui munas kali ini, disamping mempertegas posisi dan mencari strategi marketting terbaik. Karena pemilih kita masih cenderung membagi partai politik secara hitam dan putih.

Baca Selengkapnya...

Tuesday, June 29, 2010

Ketika PKB Mencari Sang Juru Damai

29/06/2010 - 15:44

INILAH.COM, Jakarta- Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tidak pernah sepi dari konflik, bahkan di saat ingin melakukan islah pun, partai itu tetap dipenuhi konflik dan intrik.

Lahirnya dualisme gerakan perdamaian 'Komite Islah PKB' yang digagas M Lukman Edy dan 'Rekonsiliasi PKB' yang digulirkan Muhaimin Iskandar adalah kenyataan bahwa ada persaingan untuk memperebutkan predikat sebagai 'Sang Juru Damai'.

Baik Komite Islah PKB maupun Rekonsiliasi PKB sama-sama dimotori kubu PKB Ancol dan PKB Parung. Namun figur-figur di dalamnya memiliki pandangan berbeda tentang konsep jalan damai yang harus ditempuh PKB. Komite Islah menawarkan konsep Muktamar Akbar, sedangkan Rekonsiliasi PKB menawarkan islah alamiah.

Muktamar Akbar adalah muktamar bersama antara PKB Ancol dan PKB Parung. Pesertanya adalah seluruh pengurus DPW dan DPC PKB Ancol dan Parung.

Sedangkan islah alamiah adalah penyatuan PKB Ancol dan PKB Parung secara alamiah dengan berpijak kepada kepengurusan PKB yang diakui oleh Dephukham saat ini.

Peneliti Senior Indo Barometer Abdul Hakim berpendapat, perdamaian di tubuh PKB adalah suatu keharusan. Jika tidak, maka PKB dipastikan akan semakin gembos bahkan bukan tidak mungkin kehilangan kursi di DPR karena tidak lolos parliamentary treshold (PT).

Oleh karena itu, yang dibutuhkan oleh PKB saat ini bukanlah siapa yang berhak disebut sebagai 'Sang Juru Damai'. Melainkan harus ada kesadaran dan sikap legowo di antara elit-elit PKB untuk menyelamatkan partai yang terancam karam ini.

"Baik Cak Imin maupun Lukman Edy harus melepas egonya masing-masing, islah dalam arti yang sesungguhnya tidak akan terjadi kalau keduanya jalan sendiri-sendiri," menurut Abdul Hakim.

Selama upaya perdamaian antara kubu islah dan rekonsiliasi berjalan sendiri-sendiri, Abdul Hakim meyakini perdamaian di tubuh PKB tidak akan terwujud. Yang akan terjadi adalah penyingkiran kubu yang satu oleh kubu lainnya.

Dalam pengamatan Abdul Hakim, para kader PKB nantinya akan dipaksa memilih untuk berdamai dengan cara Komite Islah PKB atau Rekonsiliasi PKB. Dan pada akhirnya sejarah konflik akan terus berulang.

"Pada akhirnya persaingan memperebutkan predikan Sang Juru Damai PKB ini melahirkan konflik baru. Kader akan dihadapkan pada dua pilihan ikut Komite Islah atau Kelompok Rekonsiliasi," ujar Abdul Hakim.

Sementara itu Pengamat Politik The Indonesian Institute Rohim Ghazali menilai, upaya perdamaian yang dilakukan oleh kubu Muhaimin dan Lukman Edy harus diapresiasi sebagai upaya penyelamatan partai.

Namun menurutnya, untuk membedakan antara penyelamatan partai dengan penyelamatan gerbong tampaknya sangatlah sulit.

Rohim melihat, perdamaian PKB adalah sebuah keniscayaan, tapi persoalannya PKB diburu oleh waktu. Konsep islah alamiah yang ditawarkan kubu Muhaimin menurutnya memerlukan waktu yang tidak sebentar. Sementara tidak semua kader, khususnya yang berseberangan bisa bersabar menapaki jalan islah alamiah.

Di sisi lain, konsep Muktamar Akbar yang ditawarkan kubu M Lukman Edy adalah jalan pintas untuk bersatu. Namun permasalahannya alih-alih melahirkan perdamaian, Muktamar Akbar justru bisa melahirkan perpecahan. Kubu yang kalah dalam Muktamar Akbar bisa menggelar muktamar tandingan atau semacamnya.

"Kalau tidak ada kedewasaan politik, kebesaran hati para elitnya, cara apapun yang dipakai tetap akan melahirkan konflik baru. Sekarang dikembalikan kepada PKB kembali, mau eksis atau hancur," ujar Rohim.

Rohim khawatir, elit-elit PKB saat ini terlena dengan lebel PKB sebagai partai warga NU. Padahal pada kenyataannya mayoritas warganya tidak memilih PKB lagi pada saat pemilu. Suara warga NU tersalurkan ke Partai Demokrat, Partai Golkar dan PDIP. [mah]

Baca Selengkapnya...