Oleh: Abdul Hakim MS
SInar Harapan
Lance Castles pernah mengatakan, dunia modern, disamping disebut sebagai The Age of Nation-State (Zaman negara-bangsa), bisa juga dijuluki sebagai The Age of Parties (Zaman Partai Politik) [Castles:1999]. Hal ini mengacu pada geliat sistem politik yang diberlakukan oleh semua negara dunia selalu mengadopsi partai politik sebagai salah satu unsur utama jalannya pemerintahan, baik dengan sistem dua partai, multi partai, partai tunggal, atau partai dominan. Dalam konteks Indonesia, pernyataan Castles mendapatkan penegasan. Peran partai politik di Indonesia, pasca reformasi, mendekap peranan lebih dibandingkan dengan peran-peran lembaga negara lainnya. Pemilihan presiden, pemilihan pejabat publik hingga pembuatan kebijakan-kebijakan strategis lainnya, tak akan bisa luput dari keberadaan partai politik.
Melihat peranan parpol yang sangat vital di Indonesia tersebut, maka menjadi hal penting menelaah tingka-polah partai politik. Salah satu partai politik yang bisa dilihat adalah Partai Keadilan sejahtera (PKS) yang pada 17 Juni 2001 mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) di Hotel The Ritz Carlton, Jakarta. PKS menarik untuk ditilik, antara lain dikarenakan ia memiliki label “fenomenal” dalam pewarnaannya dalam konteks politik nasional.
Tipologi Partai
Mengacu pada perjalanan biologis partai-partai yang perolehan suaranya lolos parliemanetary threshold pada pemilu 2009, kita bisa membelah tipologi partai politik di Indonesia menjadi dua golongan utama. Pertama adalah golongan partai politik yang suaranya terus tumbuh dari satu pemilu ke pemilu berikutnya, dan golongan kedua adalah partai politik yang suaranya terus menipis dari waktu ke waktu.
Untuk golongan pertama, hanya ada dua partai, yaitu Partai Demokrat dan PKS. Partai Demokrat, saat pertama kali ikut pemilu pada 2004 langsung merangsek dengan perolehan 7.45%. Bahkan pada pemilu 2009, PD malah menjadi pemenang pemilu dengan perolehan suara sebesar 20,85%. Begitu pula dengan PKS. Pada saat pendiriannya (masih bernama PK) PKS telah diprediksi sebagai partai kuda hitam pada pemilu 1999. Pada pemilu pertamanya, PK mendapatkan suara sebesar 1.36%. Pada pemilu 2004, PK yang sudah berganti nama menjadi PKS memperolehan suara 7.34%, kalah tipis dengan PD. Pada pemilu 2009, perolehan suara PKS nail lagi menjadi 7.88%.
Sementara pada kelompok partai kedua, ada Partai Golkar, PDIP, PPP, PAN dan PKB. Keempat parpol ini suaranya terus menurun sejak masa reformasi bergulir. Coba kita tengok perolehan masing-masing partai ini sejak pemilu 1999 sampai 2009. Partai Golkar, pada pemilu 1999, 2004 dan 2009 perolehan suaranya adalah 22.45%, 21.58%, dan 14.45%. PDI-P, 33.75%, 18.53% dan 14.03%. PPP, 10.72%, 8.15% dan 5.32%. PAN, 7.12%, 6.44%, dan 6.01%. PKB, 12.61%, 10.57% dan 4.94%.
Melihat tipologi di atas, tidak heran jika label “fenomenal” sempat lekat dengan PKS. Akan tetapi, meski naik, perolehan suara PKS pada pemilu 2004 dan 2009 seolah mandek pada angka tujuh persen. Pertanyaannya, bisakah PKS mengangkat lagi pertumbuhannya pada pemilu 2014? Atau angka tujuh persen telah menjadi capaian tertinggi (limit) PKS?
Membongkar Limit
Sesuatu yang harus ada agar partai politik dapat menjadi besar sangat tergantung dari kombinasi tiga unsur utama. Pertama, agar menjadi besar, partai politik harus memiliki basis massa yang kuat. Kedua, partai politik harus memiliki struktur organisasi yang solid dan modern sebagai mesin pendulang suara. Dan ketiga partai politik harus memiliki pemimpin atau tokoh yang populer dan disukai oleh masyarakat.
Dalam konteks PKS, dua dari tiga syarat di atas telah dimiliki. PKS memiliki basis massa yang terkenal loyal dan solid. Struktur organisasi yang baik sebagai mesin pendulang suara juga telah digenggam. Yang minus dari PKS adalah belum adanya tokoh pemimpin populer yang memiliki tingkat elektabilitas tinggi. Padahal, pengalaman di Indonesia, unsur ketiga inilah yang cenderung dominan.
Kita semua mafhum, bahwa faktor dominan besarnya Partai Demokrat adalah sosok SBY didalamnya. Begitu pula di PDIP. Kuatnya karisma Megawati, menjadikan PDIP tetap eksis hingga kini. Tak luput juga dengan PAN dengan sosok Amien Rais. Salah satu partai yang terus bertahan meskipun terlepas dari ketokohan sentral hanya Partai Golkar. Meskipun demikian, ketiadaan pemimpin karismatik yang dapat dijadikan simbol, Partai Golkar pun mengalami surut suara sejak pemilu 1999 hingga 2009.
Tak pelak, tantangan terbesar munas PKS kali ini adalah menggodok konsep guna memunculkan tokoh yang akan dipakai sebagai simbol menghadapi pemilu 2014. Hal ini dilakukan guna melengkapi dua syarat yang telah dipunyai. Sosok-sosok muda progressif plus tokoh-tokoh senior yang banyak dimiliki PKS, seperti Anis Matta dan Hidayat Nurwahid misalnya, bisa dijadikan bibit untuk dikapitalisasi selama 4 tahun mendatang. Atau mungkin, PKS juga harus memikirkan alternatif untuk menggamit tokoh besar diluar PKS, karena hal itu juga bukan sesuatu yang haram.
Masih lestarinya budaya politik parokial pada sebagian besar pemilih Indonesia, mewajibkan semua partai politik di Indonesia memiliki tokoh sentral dengan citra baik di mata publik. Jika PKS tidak ingin mandek perolehan suaranya di kisaran tujuh persen pada pemilu 2014, pekerjaan rumah ini harus diselesaikan melalui munas kali ini, disamping mempertegas posisi dan mencari strategi marketting terbaik. Karena pemilih kita masih cenderung membagi partai politik secara hitam dan putih.
Melihat peranan parpol yang sangat vital di Indonesia tersebut, maka menjadi hal penting menelaah tingka-polah partai politik. Salah satu partai politik yang bisa dilihat adalah Partai Keadilan sejahtera (PKS) yang pada 17 Juni 2001 mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) di Hotel The Ritz Carlton, Jakarta. PKS menarik untuk ditilik, antara lain dikarenakan ia memiliki label “fenomenal” dalam pewarnaannya dalam konteks politik nasional.
Tipologi Partai
Mengacu pada perjalanan biologis partai-partai yang perolehan suaranya lolos parliemanetary threshold pada pemilu 2009, kita bisa membelah tipologi partai politik di Indonesia menjadi dua golongan utama. Pertama adalah golongan partai politik yang suaranya terus tumbuh dari satu pemilu ke pemilu berikutnya, dan golongan kedua adalah partai politik yang suaranya terus menipis dari waktu ke waktu.
Untuk golongan pertama, hanya ada dua partai, yaitu Partai Demokrat dan PKS. Partai Demokrat, saat pertama kali ikut pemilu pada 2004 langsung merangsek dengan perolehan 7.45%. Bahkan pada pemilu 2009, PD malah menjadi pemenang pemilu dengan perolehan suara sebesar 20,85%. Begitu pula dengan PKS. Pada saat pendiriannya (masih bernama PK) PKS telah diprediksi sebagai partai kuda hitam pada pemilu 1999. Pada pemilu pertamanya, PK mendapatkan suara sebesar 1.36%. Pada pemilu 2004, PK yang sudah berganti nama menjadi PKS memperolehan suara 7.34%, kalah tipis dengan PD. Pada pemilu 2009, perolehan suara PKS nail lagi menjadi 7.88%.
Sementara pada kelompok partai kedua, ada Partai Golkar, PDIP, PPP, PAN dan PKB. Keempat parpol ini suaranya terus menurun sejak masa reformasi bergulir. Coba kita tengok perolehan masing-masing partai ini sejak pemilu 1999 sampai 2009. Partai Golkar, pada pemilu 1999, 2004 dan 2009 perolehan suaranya adalah 22.45%, 21.58%, dan 14.45%. PDI-P, 33.75%, 18.53% dan 14.03%. PPP, 10.72%, 8.15% dan 5.32%. PAN, 7.12%, 6.44%, dan 6.01%. PKB, 12.61%, 10.57% dan 4.94%.
Melihat tipologi di atas, tidak heran jika label “fenomenal” sempat lekat dengan PKS. Akan tetapi, meski naik, perolehan suara PKS pada pemilu 2004 dan 2009 seolah mandek pada angka tujuh persen. Pertanyaannya, bisakah PKS mengangkat lagi pertumbuhannya pada pemilu 2014? Atau angka tujuh persen telah menjadi capaian tertinggi (limit) PKS?
Membongkar Limit
Sesuatu yang harus ada agar partai politik dapat menjadi besar sangat tergantung dari kombinasi tiga unsur utama. Pertama, agar menjadi besar, partai politik harus memiliki basis massa yang kuat. Kedua, partai politik harus memiliki struktur organisasi yang solid dan modern sebagai mesin pendulang suara. Dan ketiga partai politik harus memiliki pemimpin atau tokoh yang populer dan disukai oleh masyarakat.
Dalam konteks PKS, dua dari tiga syarat di atas telah dimiliki. PKS memiliki basis massa yang terkenal loyal dan solid. Struktur organisasi yang baik sebagai mesin pendulang suara juga telah digenggam. Yang minus dari PKS adalah belum adanya tokoh pemimpin populer yang memiliki tingkat elektabilitas tinggi. Padahal, pengalaman di Indonesia, unsur ketiga inilah yang cenderung dominan.
Kita semua mafhum, bahwa faktor dominan besarnya Partai Demokrat adalah sosok SBY didalamnya. Begitu pula di PDIP. Kuatnya karisma Megawati, menjadikan PDIP tetap eksis hingga kini. Tak luput juga dengan PAN dengan sosok Amien Rais. Salah satu partai yang terus bertahan meskipun terlepas dari ketokohan sentral hanya Partai Golkar. Meskipun demikian, ketiadaan pemimpin karismatik yang dapat dijadikan simbol, Partai Golkar pun mengalami surut suara sejak pemilu 1999 hingga 2009.
Tak pelak, tantangan terbesar munas PKS kali ini adalah menggodok konsep guna memunculkan tokoh yang akan dipakai sebagai simbol menghadapi pemilu 2014. Hal ini dilakukan guna melengkapi dua syarat yang telah dipunyai. Sosok-sosok muda progressif plus tokoh-tokoh senior yang banyak dimiliki PKS, seperti Anis Matta dan Hidayat Nurwahid misalnya, bisa dijadikan bibit untuk dikapitalisasi selama 4 tahun mendatang. Atau mungkin, PKS juga harus memikirkan alternatif untuk menggamit tokoh besar diluar PKS, karena hal itu juga bukan sesuatu yang haram.
Masih lestarinya budaya politik parokial pada sebagian besar pemilih Indonesia, mewajibkan semua partai politik di Indonesia memiliki tokoh sentral dengan citra baik di mata publik. Jika PKS tidak ingin mandek perolehan suaranya di kisaran tujuh persen pada pemilu 2014, pekerjaan rumah ini harus diselesaikan melalui munas kali ini, disamping mempertegas posisi dan mencari strategi marketting terbaik. Karena pemilih kita masih cenderung membagi partai politik secara hitam dan putih.
No comments:
Post a Comment