Wednesday, May 18, 2011

Ingin Kembali ke Orba?

Oleh: Abdul Hakim MS

Suara Pembaruan - Rabu 18 Mei 2011

Temuan menarik diperoleh Indo Barometer kala melakukan survei nasional pada Mei 2011 dalam rangka evaluasi 13 tahun Reformasi. Temuan menarik itu adalah adanya persepsi miring terhadap situasi dan kondisi Orde Reformasi. Bahkan kala dibandingkan dengan kondisi sebelum tiga belas tahun yang lalu, publik menganggap bahwa masa Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto, secara umum dipandang lebih baik.

Seperti telah dirilis sebelumnya oleh Indo Barometer, survei yang dilakukan terhadap 1.200 orang responden diseluruh Indonesia dengan tingkat keprcayaan 95% dan margin of error 3% tersebut, ternyata kepuasan masyarakat Indonesia terhadap Orde Reformasi secara umum ada diangka 29.7%. itu artinya, hanya 1 diantara 3 orang responden yang mengatakan puas terhadap Orde Reformasi. Mayortitas, 55.5% menyatakan tidak puas terhadap perubahan yang terjadi pada tahun 1998 yang lalu itu.

Ada yang berpendapat, secara aple to aple, membandingkan Orde Reformasi, Orde Baru, dan Orde Lama sebetulnya kurang memadai. Hal ini didasarkan pada argumentasi pertama, rentang waktu. Orde Lama telah berjalan selama 20 tahun, yakni 1945 – 1965. Kemudian era Orde Baru malah lebih lama lagi, yakni 32 tahun sejak 1966 – 1998. Sementara Orde Reformasi baru berjalan 13 tahun. Artinya, Orde Reformasi baru berjalan selama 40%-nya Orde baru dan 65%-nya Orde Lama.

Kedua, ketiga Orde yang diperbandingkan berada dalam sitauasi ruang dan waktu yang cukup berbeda. Orde Lama terjadi pada masa Soekarno dalam rentang waktu 65 hingga 45 tahun silam. Kemungkinan besar, responden yang terpilih menjadi sampel tidak pernah merasakan periode itu. Mereka tahu Orde Lama dari bentangan sejarah yang menurut banyak kalangan telah “dimanipulasi” oleh Orde berikutnya, Orde Baru. Sementara ruang dan waktu Orde Baru juga sangat berbeda dengan kondisi Orde Reformasi dan Orde Lama. Banyak dari kita yang mengetahui bahwa pada fase itu, kebebasan infromasi adalah sebuah barang mahal. Tidak ada kebebasan pers yang dapat menginformasikan betapa buruknya sistem pemerintahan yang terkerangkeng KKN. Apabila ada media massa yang kritis, pembredelan adalah akibatnya. Demikian pula dengan Orde Reformasi. Fase ini dipenuhi dengan euforia kebebasan. Yang paling nyata adalah kebebasan pers. “Buruk rupa” pemerintahan dalam arti luas (Legislatif, eksekutif dan yudikatif) bisa diekspose sedemikian rupa secara “telanjang” tanpa sensor, kecuali sensor pribadi media bersangkutan. Jadi, membandingkan ketiganya secara aple to aple sebetulnya kurang tepat.

Namun demikian, argumentasi di atas tidak kemudian menghalangi riset yang dilakukan. Pertimbangan itu dikesampingkan dikarenakan saat ini kehidupan bernegara kita sangat ditentukan oleh persepsi masyarakat. Semua unsur pemimpin politik yang ada di Indonesia, baik presiden, gubernur, bupati hingga kepala desa bisa terpilih, sangat dipengaruhi oleh persepsi masyarakat. Hal ini sebagai implikasi dari pilihan kita menggunakan metode demokrasi yang mengadopsi sistem pemilihan pemimpin politik secara langsung. Mengingat pentingnya persepsi dalam konteks saat ini, melihat opini masyarakat Indonesia secara umum terhadap ketiga Orde yang ada dibutuhkan sebagai cerminan kondisi masyarakat saat ini.

Ironi

Setelah usia reformasi menapak angka 13 tahun, cukup mencengangkan memang ketika penilaian publik tidak begitu baik terhadap jalannya perubahan. Padahal, lahirnya Orde Reformasi dimaksudkan untuk mengkoreksi kesalahan-kesalahan pada Orde sebelumnya, khsusnya Orde Baru, yang dipenuhi oleh KKN. Tentu hal ini menjadi sebuah ironi, satu sisi Orde Reformasi muncul untuk mengkoreksi Orde sebelumnya, sementara hingga saat ini, Orde Reformasi sendiri malah dinilai lebih buruk dari Orde Baru yang ingin dikritisinya.

Hasil temuan ini tentu menjadi alarm sekaligus tamparan serius bagi para penggiat gerakan Reformasi. Apa yang diperjuangkan dengan tetes darah dan air mata tiga belas tahun yang lalu, ternyata belum juga menuai hasil positif sebagaimana diekspektasikan kala itu. Tujuh tuntutan reformasi masih belum tercapai. Tuntutan turunan Reformasi lainnya pun masih jauh dari harapan. Naasnya, publik pun masih dibuat pesimis melihat kondisi reformasi kedepan jika bercermin dari hasil temuan ini. Kenapa bisa demikian?

Tentu kondisi ini menjadi tantangan bagi semua stakeholder untuk kembali mencari solusi. Para penggiat reformasi yang dahulu menjadi garda depan, diingatkan kembali bahwa agenda yang ditorehkan melalui “tinta darah” itu belum selesai. Masih banyak persoalan yang menggunduk dan tak kunjung bisa diratakan. Masih banyak kerikil-kerikil tajam yang menyebar disegala sendi kehidupan bernegara, baik dibidang hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Hasil ini, menurut hemat saya, publik bukannya ingin kembali ke masa Orde Baru yang dijejali oleh keburukan dan kemunafikan. Itu terbukti, dari perolehan suara partai politik yang punya hubungan langsung dengan Soeharto, PKPB, yang tidak begitu direspon secara baik oleh masyarakat. Dalam dua pemilu, 2004 dan 2009, PKBP gagal menyedot perhatian publik, meskipun nama putri kesayangan Soeharto, Mbak Tutut, didaulat menjadi capresnya. Akan tetapi publik ingin menegaskan menegaskan bahwa Reformasi sampai detik ini gagal memberi perubahan ke arah yang lebih baik. Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat menjadi semakin sulit. Harga sembako mahal. Tingkat kemiskinan tak kunjung teratasi. Pengangguran terus merajalela. Hingga persoalan pemberantasan korupsi pun masih menjadi tanda tanya.

Menyalahkan sepenuhnya kegagalan Reformasi saat ini hanya kepada pemerintah dalam arti sempit (eksekutif) saja bukanlah sikap bijaksana. Kegagalan Reformasi ini adalah tanggung jawab pemerintah dalam arti luas (legislatif, eksekutif dan yudikatif). Namun lagi-lagi, persepsi publik berkata lain. Asumsi kegagalan Reformasi cenderung dibebankan kepada eksekutif saja. Hal ini terekam dalam survei yang menunjukkan bahwa mereka yang menganggap reformasi gagal, juga memiliki tingkat kepuasan yang minim terhadap eksekutif, dalam hal ini SBY sebagai representasinya. Sementara yang beranggapan Reformasi telah berhasil, cenderung memiliki tingkat kepuasan yang memadai terhadap SBY.

Tentu, persepsi masyarakat ini tak bisa disalahkan. Yang mereka tahu saat ini adalah kebutuhan dasar masih sulit. Jauh berbeda dengan masa Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto. Pada waktu itu, Bulog menjadi lokomotif kebutuhan dasar makanan masyarakat hingga bisa swasembada pangan. Kondisi keamanan terjaga. Pengelolaan terhadap asa publik pun tetap disemai dengan baik melalui program pembangunan Repelita. Tak mengherankan apabila kemudian saat ini Soeharto dipersepsikan oleh publik sebagai presiden yang paling disuaki dan paling berhasil diantara presiden lain yang pernah memimpin Indonesia, diluar kekurangannya yang memang masih minim diketahui masyarakat luas.

Persepsi masyarakat ini adalah peringatan (alarm) bagi pemerintah dalam arti luas (legislatif, eksekutif dan yudikatif). Namun, kecenderungan persepsi publik yang hanya membebankan kegagalan reformasi kepada eksekutif saja, haruslah ditanggapi secara elegan. Saatnya eksekutif (baca SBY) harus menjadi lokomotif baru untuk kembali mengawal agenda reformasi yang belum tuntas. Karena jika tidak, bisa jadi SBY akan ditulis oleh sejarah, bukan dengan tinta emas, melainkan dengan tinta lumpur lapindo, dengan tinta skandal bank century, dengan tinta skandal pajak, atau dengan tinta korupsi yang melibatkan petinggi partai yang ia bidani sendiri.

Baca Selengkapnya...

Korupsi Parpol dan Komitmen SBY

Oleh : Abdul Hakim MS

Jurnal Nasional | Rabu, 18 May 2011

LANCE Castles pernah mengatakan, dunia modern, selain disebut sebagai The Age of Nation-State (Zaman Negara-Bangsa), bisa juga dijuluki sebagai The Age of Parties (Zaman Partai Politik) [Castles:1999]. Hal ini mengacu pada geliat sistem politik yang diberlakukan oleh semua negara di dunia yang tak bisa lepas dari partai politik sebagai salah satu unsur utama penyanggah jalannya pemerintahan. Ada yang menggunakan sistem dua partai, multipartai, partai tunggal, atau partai dominan.

Dalam konteks Indonesia, pernyataan Castles mendapatkan penegasan. Peran parpol di Indonesia pascareformasi mencengkeram amat kuat. Segala bentuk kegiatan politik, mulai dari pemilihan presiden, pemilihan kepala daerah, pemilihan pejabat publik, hingga pembuatan kebijakan-kebijakan strategis lainnya, tak bisa lepas dari keterlibatan parpol. Bahkan dalam urusan bisnis pun, parpol memiliki pengaruh dominan dalam menguasai sumber ekonomi.

Melihat dominasi peranan parpol di segala sendi, tak mengherankan apabila kemudian banyak penyelewengan (korupsi) yang diperbuat oknum parpol. Ada adagium populer: power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutley. Dan isu akhir-akhir ini, yang menyeret nama Bendahara Umum Partai Demokrat, M Nazaruddin, dalam kasus suap pembangunan sarana SEA Games di Palembang, adalah gambaran permukaan tentang kebenaran adagium tersebut. Seperti kita tahu, Partai Demokrat adalah rulling party yang memiliki kekuasaan cukup mapan.

Lembaga Terkorup

Di Indonesia, korelasi antara parpol dan korupsi bisa diibaratkan dua sisi koin. Keduanya memiliki hubungan cukup erat. Setidaknya, hal itu tercermin dari hasil survei Barometer Korupsi Global Transparansi Indonesia. Selama empat tahun (2003, 2004, 2007, dan 2008), survei tersebut menempatkan partai politik sebagai lembaga terkorup dalam persepsi publik di Indonesia.

Data Transparency International menunjukkan, pada survei tahun 2003, partai politik tercatat sebagai lembaga terkorup setelah lembaga peradilan. Setahun berikutnya, 2004, partai politik dan parlemen menempati posisi pertama. Bahkan, pada tahun yang sama, Transparency International mengumumkan, 36 dari total 62 negara sepakat menyatakan bahwa partai politik adalah lembaga terkorup.

Dalam konteks Indonesia, hasil survei tersebut teramini kala KPK aktif melakukan upaya pemberantasan korupsi. Banyak petinggi parpol harus berurusan dengan lembaga ini karena terindikasi korup. Kita tentu masih ingat kasus Al Amin Nasution, Bachtiar Chamzah, kasus Miranda Gultom yang kemudian menyeret 19 politisi dari berbagai parpol. Dan tentu, yang terbaru adalah kasus yang melibatkan nama Bendahara Umum Partai Demokrat, M Nazaruddin, terkait kasus suap pembangunan sarana SEA Games di Palembang. Kenapa ini bisa terjadi?

Salah satu analisis yang bisa dimunculkan terkait korupnya lembaga parpol bisa ditelusuri dari sumber pendanaannya. Saat ini, parpol masih sangat tergantung pada sumbangan perusahaan atau perorangan dalam menjalankan kegiatannya. Bisa dipahami, makin besar sumbangan seseorang atau perusahaan terhadap parpol tertentu, sejalan dengan itu kekuasaan dan pengaruh penyumbang menjadi cukup besar di parpol bersangkutan. Artinya, ia bisa dengan mudah menggunakan parpol sebagai alat untuk kepentingan sang penyumbang.

Naasnya, UU Parpol yang baru malah memberi ruang cukup lebar terhadap para penyumbang untuk makin menegaskan posisinya. Batas dana sumbangan dari perusahaan yang awalnya hanya dibatasi maksimal Rp4 miliar pada Pemilu 2004, kini jumlahnya dinaikkan menjadi Rp7,5 miliar pada Pemilu 2014. Untuk sumbangan perseorangan, kini boleh menyetor ke rekening partai hingga Rp1 miliar. Dengan ketentuan ini, parpol akan didominasi oleh mereka yang memiliki kapital besar. Sejalan dengan itu, tentu pengaruh mereka juga makin kuat terhadap parpol untuk memuluskan segala keinginan. Salah satunya: menguasai sumber ekonomi.

Ekeses negatif lain dari besarnya sumbangan yang diperbolehkan oleh UU Parpol bisa menjadi tempat cukup aman bagi para "pencari suaka keadilan" dengan catatan mau memberi sumbangan. Mereka yang bermasalah dengan hukum bersembunyi di balik tameng parpol agar aman dari kejaran pengadilan. Tentu, kondisi ini makin memperburuk lagi citra parpol. Bagaimana langkah preventifnya?

Momentum

Cara terbaik untuk menanggulangi makin maraknya penyelewengan (baca korupsi) dalam lembaga parpol adalah dengan menjalankan mekanisme hukum secara tegas, tidak tebang pilih dan memberikan hukuman yang dapat memberi efek jera. Hanya dengan langkah ini, benang kusut korupsi di tubuh lembaga parpol dapat direduksi, jika tidak mungkin dieliminasi.

Momentum penegakan hukum secara tegas itu kini ada di depan mata. Kasus penyuapan yang menyeret nama Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin adalah tonggaknya. Meski berasal dari the rulling party, KPK tak boleh sungkan dan enggan mengusut tuntas kasus ini.

Apalagi SBY sebagai Dewan Pembina partai ini telah mengeluarkan statement yang menyejukkan. Ia tidak akan melindungi orang-orang yang bermasalah dengan hukum, meski ia menduduki jabatan strategis dalam struktur partai yang ia bidani itu. Jaminan ini harus digunakan KPK dengan baik sebagai pintu masuk utama untuk mengusut korupsi di tubuh lembaga partai politik.

Komitmen SBY ini bisa dimaknai dua arah. Pertama, komitmen ini menjadi bahan cukup menyegarkan bagi KPK sebagai bentuk dukungan untuk terus melakukan pemberantasan di bidang korupsi. Jika momen ini tidak diambil alih segera oleh KPK, maka dikhawatirkan proses pengusutan korupsi di lembaga parpol akan kembali lagi ke titik nol.

Kedua, komitmen SBY ini menjadi bukti bahwa ia adalah presiden yang memang tegas melawan kasus korupsi. Tentu masih hangat dalam ingatan bagaimana SBY tak melakukan intervensi terhadap kasus besannya, Aulia Pohan. Kasarnya, Aulia Pohan saja tidak mendapat campur tangan SBY, apalagi hanya sosok seperti M Nazaruddin --jika memang betul ia terlibat korupsi.

Karena itu, ini momen penting dalam pemberantasan korupsi di tubuh lembaga parpol. Agar pesismisme masyarakat terhadap lembaga ini, seperti terekam dari survei Transparansi Indonesia, bisa diperbaiki. Karena, sekali lagi, jika momentum ini lewat, pemulihan citra lembaga parpol akan menunggu lagi hingga waktu yang belum diketahui: kapan akan datang lagi momen yang sama.

Baca Selengkapnya...

Instropeksi Perbaiki Kinerja

Surabaya Post
Rabu, 18/05/2011 | 11:53 WIB

Hasil survei lebih baik dinilai sebagai bahan untuk perbaiki kondisi yang ada

JAKARTA-Hasil survei Indo Barometer yang menunjukkan Orde Baru lebih baik dibandingkan dengan Orde Lama dan Orde Reformasi tidaklah penting. Lebih baik bila mencermati hasilnya untuk bekerja bersama memperbaikinya.

Peneliti Indo Barometer Abdul Hakim menegaskan, hasil survei tersebut tidak bisa diartikan adanya keinginan rakyat untuk kembali ke masa lalu. Ia mengatakan, kalau diibaratkan pasangan suami-istri yang sedang berselisih seperti mengucapkan kata cerai atau berpisah namun sesungguhnya masih cinta. “Jadi bukan berarti mau balik lagi ke Orde Baru,” ujar Abdul Hakim, Rabu (18/5).

Menurutnya, apa yang dilakukan Indo Barometer hanya ingin mengangkat persepsi masyarakat terkait dengan pemerintahan. “Karena saat ini kehidupan negara ditentukan berdasarkan persepsi. Dimana SBY menang dari JK, Wiranto, Mega juga berdasarkan persepsi masyarakat,” ujarnya.

Indo Barometer hanya mengambarkan selama 13 tahun reformasi tapi pengganguran, kemiskinan, korupsi masih tinggi. “Saat ini keburukan yudikatif, legislatif dan eksekutif kita lihat dengan mata telanjang,” ujarnya.

Diberitakan sebelumnya, dari hasil survei ditemukan mayoritas publik menyatakan kondisi saat Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto lebih baik dibandingkan dengan era Reformasi. Padahal responden itu antara lain berusia 17 tahun yang tidak mengalami hidup di era Orde Baru ketika Soeharto berjaya atau memulai kekuasaannya.

Abdul Hakim juga membantah kalau, survey yang dilakukannya merupakan pesanan pihak tertentu, terutama dari keluarga Cendana.

Pengamat sosial dan politik Ava Larasati mengatakan, sebaiknya hasil survei tersebut

bukan bahan untuk menunjuk hidung siapa yang salah. “Hasil suvei itu sebenarnya tidak terlalu mengejutkan,” ujar Ava seperti dikutip dari situs inilah.com.

“Keseharian kita dengan gampang menangkap suara-suara yang condong kepada kerinduan akan kondisi di masa Orba. Jangan segera gusar, karena biasanya dengan gampang melihat urusan yang dirindukan itu semata kondisi perekonomian,” ujarnya.

Menurut Ava, rakyat di kalangan bawah, biasanya menisbahkannya pada kondisi dimana sembilan bahan kebutuhan pokok relatif gampang ditemui dengan harga lebih terjangkau.

Kalau mencermati hasil survei Indo, menurut Ava, persepsi ketidakpuasan masyarakat yang paling besar adalah terhadap kinerja pemerintah di bidang ekonomi. “Aspek yang paling mencolok terutama soal pengangguran dan kemiskinan,” ujarnya.

Karena itu, kata Ava, pemerintah sebaiknya menjadikan hasil survei itu sebagai acuan, bahkan tantangan. Satu hal yang pasti, pemerintah saat ini sudah mampu mencapai target pertumbuhan yang mengesankan.

Wajar bila pemerintah bahkan sempat membahas soal pertumbuhan ekonomi tujuh sampai delapan persen, serta target Produk Domestik Bruto mencapai 1 triliun dolar AS dalam 5-10 tahun mendatang.

Persoalannya masih pada sisi pemerataan. Pada soal kemakmuran yang kurang menetes ke bawah. Menetes, karena rakyat pun sadar dan tak memimpikan gelontoran kemakmuran. Pada sisi itulah kelemahan pemerintah saat ini, dan sebenarnya juga kelemahan pemerintahan Orde Baru hingga membulkan rasa ketidakadilan yang berujung pada penggulingan Orba di 1998.

Hal senada juga diungkapkan anggota DPD RI, AM Fatwa.

Fatwa yang pernah disiksa dan dipenjarakan selama 18 tahun selama rezim Orde Baru itu menilai, dalam hal pembangunan fisik dan ekonomi, Soeharto mungkin memiliki catatan baik. Namun dalam kehidupan berdemokrasi dan perlakuan terhadap hak asasi manusia, rezim Orde Baru memiliki cacat.

“Rezim Orde Baru justru menindas prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri. Mereka turut menindas demokrasi dan HAM,” kata Fatwa. ini, tmp

Baca Selengkapnya...

Tuesday, May 17, 2011

Indo Barometer: Ibarat Mau Cerai Tapi Masih Cinta

Selasa, 17 Mei 2011 | 21:08 WIB

INILAH.COM, Jakarta - Indo Barometer menegaskan hasil surveinya yang menunjukkan Orde Baru lebih baik dibandingkan dengan Orde Lama dan Orde Reformasi bukan berarti ingin kembali memutar jarum jam.

"Hasil survei Indo Barometer bukan berarti kembali ke masa lalu," kata peneliti Indo Barometer Abdul Hakim saat berbincang dengan INILAH.COM, Jakarta, Selasa (17/5/2011).

Ibarat sebuah keluarga yang sedang berselisih mengucapkan kata cerai atau berpisah namun sesungguhnya masih cinta. "Jadi bukan berarti mau balik lagi ke Orde Baru," ujarnya.

Menurutnya, apa yang dilakukan Indo Barometer hanya ingin mengangkat persepsi masyarakat terkait dengan pemerintahan. Jadi bukan untuk kembali ke Orde Baru. "Karena saat ini kehidupan negara ditentukan berdasarkan persepsi. Dimana SBY menang dari JK, Wiranto, Mega juga berdasarkan persepsi masyarakat," ujarnya.

Indo Barometer hanya mengambarkan selama 13 tahun reformasi tapi pengganguran, kemiskinan, korupsi masih tinggi. "Saat ini keburukan yudikatif, legislatif dan eksekutif kita lihat dengan mata telanjang," pungkasnya.

Sebelumnya diberitakan, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Indo Barometer, ditemukan mayoritas publik menyatakan bahwa kondisi saat Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto lebih baik dibandingkan dengan era Reformasi.

Padahal responden itu antara lain berusia 17 tahun yang tidak mengalami hidup di era Orde Baru ketika Soeharto berjaya atau memulai kekuasaannya. [mah]

Baca Selengkapnya...

Siapakah Pemberi Order Survei Indo Barometer?

Selasa, 17 Mei 2011 | 15:38 WIB

INILAH.COM, Jakarta - Hasil survei Indo Barometer yang menunjukkan, 40,9 persen responden mempersepsikan bahwa Orde Baru (Orba) lebih baik daripada era Reformasi menimbulkan kecurigaan.

Muncul dugaan, survei pesanan keluarga Cendana atau pihak yang ingin membangkitkan kejayaan Orba sepertia Partai Nasional Republik (Nasrep) besutan Tommy Soeharto.

Namun hal tersebut langsung dibantah oleh peneliti Indo Barometer Abdul Hakim saat berbincang dengan INILAH.COM, Jakarta, Selasa (17/5/2011). "Ada juga yang mengaitkan hasil survei ini berkaitan dengan partai Tommy Soeharto, kami tegaskan sama sekali tidak. Kami juga tidak kenal," ujar Abdul Hakim.

Menurutnya, Indo Barometer setiap melakukan survei nasional selalu independen. Dan tema yang selalu diangkat bukanlah pesanan. "Ini clear ide Indo Barometer," ujarnya.

Abdul Hakim mengaku walaupun banyak kritikan terkait survei nasional yang dikeluarkan Indo Barometer, namun Indo Barometer menerimanya dengan tangan terbuka. "Kritikan kami anggap masukan. Prokontra terkait survei biasa terjadi," ujarnya.

Ia juga menegaskan bahwa hasil survei tidak selalu menyenangkan semua pihak dan juga akan menyenangkan sebagian pihak lainnya. "Itu semua wajar," terangnya. [mah]

Baca Selengkapnya...