Tuesday, November 27, 2012

Mengurai Bottleneck Arus Investasi

Oleh ; Abdul Hakim MS


Di tengah stabilnya perekonomian Indonesia dalam kurun waktu enam tahun terakhir, Wakil Presiden Boediono tetap saja gelisah terkait masih sedikitnya jumlah entrepreneur (wirausahawan) yang kita punya. Seperti diketahui, jumlah wirausahawan yang dimiliki sebuah negara merupakan salah satu indikator untuk melihat baiknya pembangunan ekonomi yang dilakukan. Karena dengan banyaknya jumlah wirausahawan, akan berdampak pula pada derasnya arus investasi yang akan masuk kesebuah negara.

Merujuk data BPS pada Agustus 2012, jumlah penduduk Indonesia yang bisa diklasifikasikan sebagai wirausahawan, baru pada angka 1,6 persen (3.87 juta jiwa). Padahal, untuk dapat menggerakkan perekonomian secara baik, sebuah negara idealnya harus memiliki jumlah wirausahawan di atas 2 persen dari total jumlah penduduknya. Dalam konteks Indonesia, jumlah wirausahawan yang dibutuhkan sekitar 5 juta jiwa.

Jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia atau Singapura, Indonesia sedikit tertinggal. Saat ini, Malaysia telah memiliki jumlah wirausahawan sebesar 4.1 persen. Sementara Singapura memiliki jumlah wirausahawan lebih banyak lagi, yakni 7.2 persen. Bahkan jika dibandingkan dengan Negara maju seperti Amerika Serikat (AS), jumlah wirausahawan kita malah ketinggalan lebih jauh lagi, karena saat ini AS telah memiliki jumlah wirausahawan mencapai 11.5 persen dari total jumlah penduduknya.

Itu sebabnya, Wakil Presiden Boediono saat membuka Global Entrepreneurship Week (GEW) di Jakarta beberapa waktu lalu, sangat mewanti-wanti segenap kalangan untuk mewaspadai faktor-faktor yang bisa menjadi batu sandungan (bottlenect) berkembangnya jumlah usahawan di Indonesia. Boediono menyebut, setidaknya ada sekitar enam faktor yang menjadi penghambat laju perkembangan jumlah wirausahawan (baca arus investasi) di Indonesia. Pertama, ketidakjelasan law and order dibeberapa daerah yang masih rawan konflik. Kedua, kestabilan pertumbuhan ekonomi, baik secara makro maupun mikro. Ketiga, masih rendahnya penyediaan infrastruktur. Keempat, sinkronisasi regulasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam kerangka otonomi daerah. Kelima, faktor perbankan. Dan keenam, minimnya tenaga kerja yang terlatih dan memiliki skill yang baik.

Perbaikan Infrastruktur

Namun dari enam kendala yang menjadi penghambat perkembangan jumlah wirausahawan/arus investasi yang disebutkan Boediono, masalah perbaikan infrastruktur merupakan poin paling menarik untuk didiskusikan. Hal itu disebabkan, masalah penyediaan infrastruktur yang layak merupakan trigger utama untuk dapat menarik dana investor ke dalam negeri.

Saat ini, kita cukup gembira karena upaya memperbaiki infrastruktur sedang digalakkan pemerintah. Melalui program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), pemerintah berupaya keras untuk memperbaiki infrastruktur guna menciptakan konektivitas ekonomi di 33 Provinsi di Indonesia. Akan tetapi, upaya pembangunan konektivitas ini juga bukanlah perkara mudah. Indonesia yang merupakan negara archipelago dengan jumlah kurang lebih 17.500 pulau, masih harus dipisahkan oleh lautan seluas 3.3 juta km². Untuk membangun konektivitas, tentu kendala paling nyata yang harus dihadapi adalah besarnya dana yang dibutuhkan untuk merealisasikannya. Pemerintah sendiri memprediksi, dana yang diperlukan untuk bisa melaksanakan seluruh program MP3EI sebesar Rp 4.012 Triliun.

Program MP3EI sendiri merupakan perpaduan program-program dalam upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia. MP3EI berisi berbagai proyek perbaikan infrastruktur di segala bidang, meliputi pembangunan PLTU, pengembangan bandara, penambahan armada kapal ferry, pengembangan pelabuhan, pembangunan rel kereta api, serta proyek jalan tol.

Kabar buruknya, banyak kalangan menilai bahwa upaya perbaikan di sektor infrastruktur transportasi yang menjadi kunci keberhasilan program MP3EI masih jalan ditempat. Investasi yang masuk ke sektor ini dari pihak swasta dipandang masih minim akibat terkendala lemahnya pelayanan birokrasi dan jaminan keamanan penanaman modal. Dilain pihak, maraknya perilaku korup pejabat negara juga menjadi kendala yang terus membayangi.

Demo Buruh

Namun masalah yang tak kalah pentingnya terkait keinginan mengembangkan jumlah wirausahawan/arus investasi di tanah air adalah masalah perburuhan. Maraknya demonstrasi para pekerja yang berprilaku anarkis akhir-akhir ini, menyebabkan Menko Perekonomian Hatta Rajasa sangat khawatir akan berdampak pada iklim investasi di tanah air yang sedang membaik. Hatta mengaku, jika persoalan buruh tak dengan segera dicarikan solusi, hal ini akan menjadi batu sandungan terberat dalam upaya pembangunan ekonomi bangsa.

Itu sebanya, penyelesaian secara cepat persoalan buruh ini menjadi ujian berat pemerintah. Di tengah keinginan untuk menggalakkan pertumbuhan ekonomi dengan menjadikan arus investasi sebagai dayang dorong utama, pemerintah dituntut untuk dengan segera bisa menyelesaikan persoalan buruh ini. Karena jika hal itu bisa dilakukan, tentu Indonesia bisa membuktikan kepada dunia internasional bahwa negara ini memang layak menjadi tujuan investasi yang baik.

Seperti diketahui bersama, demo buruh yang terkadang dibarengi dengan prilaku kekerasan atau krimimal telah membuat beberapa pengusaha gerah. Sebagian bahkan telah mengancam akan memindahkan tempat produksi mereka ke negara lain. Sempat berhembus kabar bahwa PT. Bata Tbk. dan 9 perusahaan lainnya akan hengkang dan mencabut investasinya di tanah air.

Kita memang tak bisa menyalahkan para pekerja turun ke lapangan untuk memperjuangkan hak-hak mereka demi terpenuhinya standar kebutuhan hidup layak (KHL). Karena setiap manusia memang mengarapkan hal serupa. Cuma yang kita sayangkan, aksi-aksi menuntut KHL ini kerap diwarnai oleh kegiatan yang tak semestinya, seperti pemblokiran jalan tol, aksi sweeping, dan pengrusakan fasilitas-fasilitas umum. Bukankah itu akan merugikan kita semua?

Melihat kondisi di atas, kita semua tentu berharap dialog tripartit yang saat ini sedang digelar bisa menemukan titik terang. Pengusaha, pemerintah, dan buruh diharapkan bisa membahas kepentingan masing-masing dengan kepala dingin. Karena seperti dibahas sebelumnya, persoalan yang menjadi penghambat tak hanya masalah buruh, melainkan masih banyak persoalan lainnya.

Ibarat memasuki pintu putar, kendala mengembangkan jumlah wirausahawan/arus investasi ini memang tak akan pernah mudah. Karena ketika kita memasuki suatu masalah, didepan telah menunggu masalah lainnya. Itu sebabnya, pemerintah diharapkan bisa bertindak cepat dan arif dalam menyikapi berbagai permasalahan yang muncul. Karena jika tidak, upaya pembangunan dengan berbasis investasi akan menjadi jargon belaka. Dan rezim investasi yang disebut-sebut Presiden SBY untuk menamai pemerintahannya, hanya akan menjadi “lelucon” yang tak lucu.

Baca Selengkapnya...

BDF dan Masa Depan Demokrasi Kita

Oleh : Abdul Hakim MS


Pada 8 – 9 November 2012, Indonesia kembali menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bali Democracy Forum (BDF) di Nusa Dua, Bali. KTT ini merupakan yang kelima sejak pertama di helat pada 2008 silam atas inisiasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menariknya, jika pada awalnya KTT ini hanya difokuskan untuk membincangkan masalah pembangunan demokrasi di kawasan Asia, kini BDF sudah diperlebar cakupannya untuk membicarakan demokrasi di tingkat global. Hal itu tercermin dari negara-negara yang diundang, yakni negara-negara dari Asia, Timur Tengah, dan Pasifik.

Namun sejatinya, seperti dikemukakan oleh Presiden SBY tatkala membuka konferensi ini pertama kali pada tahun 2008 silam, BDF diselenggarakan bukan dimaksudkan untuk menghakimi penerapan demokrasi di negara-negara dunia. Forum ini hanya ditujukan untuk sharing discussion dalam rangka berbagi pengalaman terkait penerapan demokrasi dinegara-negara peserta konferensi.

Seperti diketahui, hingga saat ini, belum penafsiran yang ajeg terkait penerapan sistem demokrasi yang paling ideal. Demokrasi selalu diterapkan masing-masing negara dengan merujuk kesesuaian sejarah dan budayanya. Seperti halnya Indonesia, demokrasi telah dicoba berulang-ulang hingga menemukan bentuknya seperti yang sekarang. Indonesia pernah menjajal Demokrasi Parlementer pada masa 1945 – 1959. Kemudian mencicipi Demokrasi Terpimpin pada fase 1959 – 1965 yang kemudian berganti selera menjadi Demokrasi Pancasila ala Orde Baru pada masa 1965-1998. Sejak runtuhnya Orde Baru, Demokrasi Pancasila ala Era Reformasi pun diberlakukan sejak 1998 hingga sekarang.

Merujuk kondisi di atas, menjadi cukup relevan apabila Indonesia kemudian memprakarsai sebuah forum yang khusus mendialogkan demokrasi. Disamping pengalaman panjang menggeluti demokrasi, Indonesia juga merupakan negara terbesar ketiga didunia yang menerapkan demokrasi. Pertanyaanya, kenapa harus sistem politik demokrasi?

Pemerataan Kesejahteraan

Sejak kelahirannya, demokrasi memang selalu memunculkan perdebatan serius, baik dalam tataran teoritis maupun praktis. Dari sisi teori, telah mengemuka ratusan atau bahkan ribuan pandangan tentang model demokrasi ideal. Sementara disudut praktis, puluhan negara rela mengalami jatuh-bangun dalam upaya trial and error penerapannya, termasuk Indonesia.

Kerelaan negara-negara dunia untuk trial and error dalam penerapan demokrasi ini, hemat saya, karena didasari oleh nilai yang terkandung didalamnya. Demokrasi diyakini bisa memberikan pemerataan kesejahteraan bagi semua warga negara, baik dibidang politik maupun ekonomi.

Hal itu seperti dikemukakan seorang warga negara Inggris berketurunan India yang meraih nobel bidang ekonomi, Amartya Sen (2001). Melalui penelitiannya, ia menujukkan bahwa pengawasan dalam sistem demokrasi atas kekuasaan politik dan ekonomi bisa mengantarkan pencapaian kemakmuran sebuah negara. Dan hanya dalam pengawasan sistem demokrasi pula, pemerataan peluang bagi semua warga negara untuk mendapatkan bagiannya dari distribusi kemakmuran yang dicapai negara bisa tercipta. Tanpa pengawasan sistem demokrasi, peluang distribusi kemakmuran secara adil dan merata ia pandang sangatlah kecil.

Itu sebabnya, sistem demokrasi menjadi sangat familiar. Dari sekian banyak sistem politik yang pernah hadir dan dijalankan dalam sejarah bangsa-bangsa di bumi, demokrasi dianggap sebagai sistem politik yang relatif lebih baik dari sistem-sistem lainnya. Sebagaimana dikemukakan oleh S.I. Benn dan R.S. Peters dalam Principles of Political Thought (1964), pasca Perang Dunia II, demokrasi menjadi sistem politik primadona yang dianut oleh sebagian besar negara-negara di dunia. Unesco pun kemudian mempertegas temuan itu dalam hasil penelitiannya pada 1945 dengan mengatakan bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah, demokrasi dinyatakan sebagai sistem yang paling baik dan wajar (rasional) untuk semua bentuk organisasi politik maupun sosial yang diperjuangkan para pendukungnya.

Secara sederhana, demokrasi bisa didefinisikan sebagai sistem politik yang kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas, yang dilakukan oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat melalui pemilihan umum secara berkala, dimana pemilihan umum tersebut harus didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan kebebasan politik (Henry B. Mayo 1960).

Di luar sistem demokrasi, distribusi pemerataan pembangunan, baik politik maupun ekonomi sangatlah mustahil. Dalam sistem di luar demokrasi, khususnya dibidang politik, sangat tidak mungkin anak seorang petani bisa menjadi pemimpin politik tertinggi (presiden/perdana menteri). Diluar sistem demokrasi, sangat tidak mungkin pula ada kebebasan berorganisasi, berpendapat, dan menentukan nasib diri sendiri. Itu sebabnya, demokrasi banyak didukung, diluar kelebihan dan kekurangannya.

Menjaga Konsolidasi Politik

Dalam konteks Indonesia, perjalanan demokrasi belumlah usai. Masa transisi dari kepemimpinan otoriter era Orde Baru ke Era Reformasi saat ini masih banyak mengalami batu sandungan. Konflik masih banyak bermunculan dan pemaksaan kepentingan sekelompok elit politik masih mendominasi. Kondisi ini harus terus dijaga agar arah menuju fase konsolidasi demokrasi bisa cepat dilakukan.

Penjagaan ini sangat penting agar era transisi yang kita lalui tidak berbelok arah. Sebagaimana dikemukakan oleh Guillermo O'Donnell, fase transisi demokrasi ke fase konsolidasi demokrasi kerap memunculkan banyak kemungkinan negatif. Menurutnya, masa transisi bisa saja membentuk sistem otoriter dalam wajah yang baru, atau menyembulkan revolusi sosial yang disebabkan menajamnya konflik–konflik kepentingan di tengah masyarakat, dan atau terjadinya liberalisasi sistem otoriter yang dilakukan oleh penguasa pasca masa transisi. Tentu hal tersebut tidak kita inginkan. Yang kita harapkan adalah era transisi ini bisa dilaui dengan baik dan mengantarkan kita ke sebuah era yang betul-betul demokratis.

Saat ini, era konsolidasi politik sepertinya tinggal selangkah lagi. Meski masih ada kekurangan di sana-sini terkait konsolidasi kelembagaan politik kita, namun arah yang kita tempuh sudah on the track. Itu sebanya, forum demokrasi seperti Bali Democracy Forum ini harus dimanfaatkan secara maksimal. Indonesia sebagai tuan rumah dan pemrakarsa, harus mampu menyerap dan memanffaatkan moment ini untuk terus belajar. Karena dengan banyak belajar, masa depan demokrasi kita sepertinya akan cerah.

Baca Selengkapnya...

SBY dan “Knight Grand Cross of the Order of Bath”

Oleh : Abdul Hakim MS


Wajah Indonesia kembali bersemi di luar negeri. Di saat media lokal terus menghujani kritik terhadap pemerintahan Yudhoyono, di luar negeri, peran Presiden SBY dalam membangun bangsa malah terus menuai apreseasi positif. Berbagai penghargaan datang silih berganti, mulai dari penghargaan dari PBB, Majalah Time, Avatar, Newsweek maupun dari Global Microcredit Summit Campaign. Yang terbaru dan cukup membanggakan adalah penghargaan yang diberikan oleh Ratu Inggris, Queen Elizabeth II.

Penghargaan yang diterima Presiden SBY dari Kerajaan Inggris ini terbilang cukup istimewa, yakni ”Knight Grand Cross of the Order of Bath”. Hal ini disebabkan, hanya segelintir pemimpin dunia saja yang pernah mendapatkannya. Mereka adalah Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan, Presiden Perancis Jaques Chirac, dan Presiden Turki Abdullah Gul.

Dalam tradisi Inggris, anugerah “Knight Grand Cross of the Order of Bath” diberikan kepada seseorang yang memiliki prestasi luar biasa. Pada awalnya, gelar tersebut hanya disematkan kepada sosok yang berjasa di bidang kemiliteran Inggris. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, penghargaan ini kemudian juga di berikan kepada sipil yang turut berperan dalam perubahan dunia. Pertama kali penghargaan ini diberikan oleh Raga George I pada tahun 1725. Pertanyaannya, pantaskah Presiden SBY menggamit penghargaan ini?

Laju Demokrasi dan Ekonomi

Jika merujuk alasan kenapa penghargaan ini diberikan, sepertinya cukup wajar jika Presiden SBY menerima penghargaan ini. Seperti dikemukakan oleh Duta Besar Inggris untuk Indonesia Mark Canning, ada dua alasan utama sehingga “Knight Grand Cross of the Order of Bath” jatuh kepangkuan SBY. Alasan pertama adalah berkat perkembangan demokratisasi di Indonesia yang sangat pesat. Berbeda dengan negara lain, waktu yang dibutuhkan dalam mengarungi masa transisi dari negara diktator menjadi negara demokrasi relatif sangat cepat.

Atas capaian fenomenal ini, Indonesia kini menjadi contoh bagi model transisi demokrasi di dunia ketiga. Banyak negara yang ingin belajar melalui Bali Democracy Forum (BDF) yang setiap tahunnya digelar di Indonesia. Forum ini bukan media kerjasama program antar-negara, melainkan hanya sharing session mengenai pelaksanaan demokrasi di sejumlah kawasan. Itu sebabnya, kegiatan ini selalu dihadiri oleh delegasi dari puluhan negara, kelompok masyarakat, NGO, dan pihak-pihak yang mendukung penguatan hak-hak sipil.

Selain laju demokrasi, alasan kedua mengapa penghargaan tersebut diberikan adalah karena kemajuan perekonomian Indonesia yang luar biasa. Ratu Inggris sangat terkesan atas capaian pertumbuhan ekonomi yang dulu sempat luluh-lantah akibat krisis ekonomi 1998. Tak dinyana, Indonesia mampu bangkit dan menjadi salah satu negara anggota G-20 yang memiliki perkembangan pembangunan ekonomi cukup pesat.

Seperti di ketahui, Indonesia memang menjadi negara yang memiliki daya tahan cukup kuat saat krisis melanda dunia pada 2008 dan 2012. Alih-alih ikut tergerus, Indonesia malah mencatatkan pertumbuhan yang sangat positif. Lihat saja data pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak 2006. Di saat beberapa negara dunia sedang tiarap, Indonesia pada tahun itu mengalami pertumbuhan sebesar 5,5 persen. Demikian halnya di tahun-tahun berikutnya, pada 2007 pertumbuhan mencapai 6,3 persen, 2008 mencapai 6 persen, 2009 mencapai 4,6 persen, 2010 mencapai 6,1 persen, dan pada 2011 mencapai 6,5 persen.

Pada tahun ini, pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2012 bisa menembus angka 6,4 persen atau naik dibandingkan dengan triwulan yang sama pada tahun 2011 yang sebesar 6,3 persen. Itu sebabnya pemerintah cuku optimis pertumbuhaan tahun ini bisa berada di angka 6.3 – 6.5 persen. Bahkan pemerintah sangat optimis pada tahun 2013 pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada diangka 6.8 persen.

Melihat paparan ini, penghargaan yang diterima Presiden SBY menjadi sangat relevan. Kinerja baik dalam menumbuhkembangkan demokrasi, plus kinerja ekonomi yang cukup mengesankan, menjadikan “Knight Grand Cross of the Order of Bath” sangat layak disematkan pada Menantu Sarwo Edhi Wibowo ini.

Mengatasi Bottleneck

Penghargaan yang diterima oleh Presiden SBY ini harus dimanfaatkan dengan baik. Hal ini bisa dijadikan modal utama untuk terus meningkatkan kerja sama bilateral kedua negara. Selama ini, Inggris merupakan mitra dagang terbesar kedua Indonesia setelah Singapura.

Pada tahun 2011, total nilai ekspor Indonesia ke Inggris mencapai US$ 1,72 miliar. Angka ini sebetulnya naik sedikit dibandingkan tahun sebelumnya senilai US$1,7 miliar. Ekspor Indonesia ke Inggris didominasi oleh produk alas kaki, furnitur, mesin cetak, karet alam, serta beberapa jenis pakaian. Sementara total nilai impor Indonesia dari Inggris pada tahun 2011 mencapai US$1,17 miliar, atau naik jika dibandingkan tahun sebelumnya sebesar US$938 juta. Impor Indonesia dari Inggris didominasi oleh produk daur ulang kertas dan karton, otomotif, baja dalam bentuk waste dan scrap, serta peralatan kapal pesiar, perahu dayung, dan kano.

Melihat baiknya hubungan dagang kedua negara, sudah sepatutnya Indonesia bisa memanfaatkan momentum ini. Indonesia bisa meminta bantuan terutama untuk menyingkirkan bottleneck aturan REACH atau Registration, Evaluation, Authorization and Restrictions of Chemicals. Selama ini, REACH telah menjadi penghambat terbesar masuknya produk-produk Indonesia ke Inggris dan Uni Eropa.

Selain itu, Indonesia juga bisa bekerja sama dengan Inggris untuk mendorong Eropa agar segera memberikan pengakuan atas Sistem Verifikasi Legalitas Kayu Indonesia (SVLK). Belum diakuinya SVLK, menyebabkan ekpor kayu kita menjadi terhambat. Padahal, kayu merupakan salah satu produk andalan komoditi ekspor Indonesia.

Yang tak boleh dilupakan, momentum baik penerimaan penghargaan Presiden SBY ini harus bisa dimanfaatkan untuk dapat menggaet investor sebanyak-banyaknya. Indonesia yang saat ini sedang menggenjot upaya konektivitas melalui program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), sedang membutuhkan modal besar. Tidak mudah menyambungkan negara kepulauan (Archipelago State) yang memiliki kurang lebih 17.508 pulau yang dipisahkan oleh lautan seluas 3.257.357 km². Akan mustahil hal itu bisa diwujudkan apabila hanya mengandalkan pembiayaan dari APBN.

Baca Selengkapnya...

Membangun Tanpa Utang

Oleh : Abdul Hakim MS


Dalam pidatonya mewakili delegasi Indonesia pada kegiatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Cooperation Dialogue (ACD) di Kuwait (16/10/2012) yang lalu, Menko Perekonomian Hatta Rajasa mempromosikan pentingnya konektivitas disemua negara Asia. Konektivitas ini dibutuhkan untuk mempermudah terhubungnya jalur sumber bahan baku dengan sentra produksi agar daya tahan ekonomi Asia makin kokoh.

Seperti diketahui, benua Asia merupakan kawasan yang relatif tahan terhadap hantaman krisis ekonomi akhir-akhir ini. Disaat dunia sedang terbelit krisis berat, beberapa negara di Asia malah mencatat pertumbuhan ekonomi yang cukup mengesankan, salah satunya adalah Indonesia.

Berdasarkan laporan terbaru Asian Development Outlook, pertumbuhan Produk Domestik Bruto di Asia pada tahun 2012 ini akan mencapai 6,9 persen. Angka ini diprediksi akan terus meningkat menjadi 7,3 persen pada 2013. Pertumbuhan PDB Asia ini jauh di atas pertumbuhan PDB dunia yang hanya sebesar 2,5 persen pada 2012. Diperkirakan oleh Bank Dunia, pada tahun 2013, pertumbuhan PDB dunia hanya akan meningkat menjadi 3 persen.

Hemat saya, kampanye konektivitas yang digaungkan Hatta Rajasa di kawasan Asia bukanlah tanpa alasan. Indonesia yang menjadi salah satu negara Asia dengan pembangunan ekonomi yang cukup mengesankan, telah dari awal melakukan upaya konektivitas melalui program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Jika program ini berhasil, tentu akan bisa menjadi rule model Asia untuk menerapkannya. Pertanyaannya, sanggupkah pembangunan konektivitas Indonesia diwujudkan melalui program MP3EI?

Kendala Pembiayaan

Upaya pembangunan konektivitas dalam negeri bukanlah perkara mudah. Indonesia yang terdiri atas banyak pulau (Archipelago State) dengan jumlah kurang lebih 17.508 pulau, masih harus dipisahkan oleh lautan seluas 3.257.357 km². Untuk membangun konektivitas, tentu kendala paling nyata yang harus dihadapi adalah besarnya dana yang dibutuhkan untuk merealisasikannya, khususnya dalam membangun sarana infrastruktur.

Pemerintah sendiri memprediksi, dana yang dibutuhkan untuk bisa melaksanakan seluruh program MP3EI sebesar Rp 4.012 Triliun. Jika hanya mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tentu akan sangat mustahil bisa diwujudkan dalam waktu cepat. Itu sebabnya, untuk mendanai proyek-proyek MP3EI, pemerintah mengatur porsi pembiayaan terbesar dari swasta. Pemerintah hanya dibebani pembiayaan 10 persen dan BUMN sebesar 18 persen.

Program MP3EI sendiri diluncurkan pemerintah guna mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia. MP3EI berisi berbagai proyek percepatan dan perluasan pembangunan di segala bidang, meliputi pembangunan PLTU, pengembangan bandara, penambahan armada kapal ferry, pengembangan pelabuhan, pembangunan rel kereta api, serta proyek jalan tol.

Meski demikian, hingga detik ini, banyak kalangan menilai bahwa upaya perbaikan di sektor infrastruktur yang menjadi kunci keberhasilan program MP3EI masih jalan ditempat. Investasi yang masuk ke sektor ini dari pihak swasta dipandang masih minim akibat terkendala lemahnya pelayanan birokrasi dan jaminan keamanan penanaman modal di negeri ini. Dilain pihak, maraknya perilaku korup pejabat negara juga menjadi kendala yang terus membayangi.

Melihat kondisi ini, tentu pemerintah harus gerak cepat. Lambannya birokrasi dan masih was-wasnya para investor terkait keamanan menanamkan dananya di Indonesia harus segera dicarikan solusi. Memang, pemerintah sudah berupaya keras melakukan reformasi birokrasi. Akan tetapi, hingga kini belum menampakkan hasil yang memuaskan. Demikian halnya dengan pemberantasan korupsi. Seringnya terjadi tumpang-tindih penanganan kasus korupsi menyebabkan adanya ketidakpastian terkait usaha mereduksi praktik rasuah di tanah air. Poin-poin ini harus menjadi perhatian serius pemerintah. Karena jika tidak, harapan pendanaan proyek-proyek dalam program MP3EI dari sektor swasta yang mencapai 70 persen hanya akan menjadi mimpi belaka.

Modal Investment Grade

Akan tetapi, optimisme pemerintah bisa menarik pendanaan hingga 70 persen dari sektor swasta guna membiayai proyek-proyek dalam program MP3EI sebetulnya cukup beralasan. Karena selama sepuluh tahun terakhir, kinerja ekonomi Indonesia memang cukup baik. Ini bisa dijadikan modal untuk meyakinkan investor agar mau berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi dalam negeri, khsusunya di bidang infrastruktur.

Seperti diketahui, saat ini ekonomi Indonesia tumbuh dengan meyakinkan dan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara. PDB Indonesia pada tahun 2011 telah bernilai US$ 846 miliar dengan tingkat pertumbuhan PDB sebesar 6,5 persen. Tak heran jika kemudian Moody’s and Fitch Ratings menempatkan status Indonesia sebagai negara yang sangat layak untuk investasi (investment grade).

Tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia juga sangat positif. Indonesia menjadi satu diantara tiga negara (setelah China dan India) yang tetap mampu menjaga pertumbuhan ekonomi di tengah ancaman krisis global sejak 2008. Indonesia juga menjadi satu-satunya negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang tergabung dalam kelompok 20 negara dengan status ekonomi maju dan ekonomi sedang bangkit (G20).

Tak sampai disitu, Goldman Sachs Asset Management bahkan memberi predikat Indonesia sebagai satu diantara 4 negara yang memiliki prospek sebagai poros baru ekonomi dunia. Empat negara itu antara lain Meksiko, Indonesia, South Korea (Korea selatan), dan Turki (MIST). Goldman Sachs menyebut, perkembangan di negara MIST telah berhasil menggeser perkembangan di negara-negara yang tergabung dalam BRICs (Brazil, Russia, India, dan China).

Dengan catatan sebaik itu, tak begitu mengherankan apabila kemudian Menko Perekonomian Hatta Rajasa cukup pede dengan target pemerintah terkait pendanaan proyek-proyek MP3EI dari sektor swasta. Bahkan berkali-kali, tawaran pinjaman lunak dari luar negeri kerap di tolak. Misalnya, Hatta saat berkunjung ke Jepang mendapat tawaran pinjaman dana dari negeri samurai melalui Japan Bank for International Cooperation (JBIC) untuk membiayai proyek jembatan selat sunda (JSS). Akan tetapi, tawaran itu tidak diterima. Yang terbaru, Hatta juga melakukan penolakan terhadap tawaran dana pinjaman lunak dari pemerintah Kuwait untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur.

Merujuk kondisi di atas, sudah sepatutnya Indonesia tak mengandalkan utang lagi guna membiayai proyek-proyek dalam negeri. Akan sangat baik apabila pemerintah memaksimalkan promosi pembiayaan melalui jalur investasi. Dan kita cukup gembira karena pilihan itu yang saat ini di ambil oleh pemerintah. Hatta Rajasa berkali-kali mengatakan, kita tak tertarik berhutang, namun terus berusaha menarik dana investasi. Dan itu yang dilakukan Hatta kala melakukan kunjungan ke New York, Azerbaijan, Jepang, Korea Selatan, dan Kuwait dalam dua bulan terakhir.

Baca Selengkapnya...

Apresiasi Atas Sikap Presiden

Oleh : Abdul Hakim MS


Banyak orang tak mengira, Presiden SBY berani mengambil tindakan tegas terkait konflik yang sedang membelit dua lembaga penegak hukum kita, KPK vs Polri. Di saat perseteruan dua lembaga ini berada dititik puncak, Presiden SBY berhasil meredakan situasi dengan “turun gunung” menengahi pertikaian yang semakin memanas.

Seperti diketahui, seteru KPK-Polri berada dititik didih kala polisi menggeruduk Gedung KPK untuk membawa paksa Kompol Novel Baswedan pada 5 Agustus lalu. Saat menjabat sebagai Kasatreskrim Polres Bengkulu pada 2004, Novel dituduh terlibat tindak pidana kekerasan yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang dalam kasus pencurian sarang burung walet. Novel sendiri merupakan tim penyidik KPK yang menangani kasus simulator SIM Korlantas Polri. Dalam kasus ini, nama salah satu jenderal di kepolisian, Djoko Susilo, masuk dalam daftar tersangka.

Syahdan, ulah Polri ini menuai reaksi keras dari masyarakat. Berbagai kalangan menilai, tindakan yang dilakukan korps berseragam coklat ini sebagai tindak kesewenang-wenangan. Bahkan salah satu pimpinan KPK, Bambang Widjayanto, menyebut, upaya yang dilakukan Polri merupakan bentuk kriminalisasi yang dilakukan terhadap salah satu penyidiknya.

Atas konflik yang semakin meruncing ini, Presiden pun turun tangan. Dalam keterangan pers di Istana Negara pada 8 agustus lalu, presiden mengambil empat kebijakan penting. Pertama, kewenangan penanganan kasus simulator SIM yang sebelumnya menjadi perebutan dua institusi ini diserahkan kepada KPK. Kedua, keinginan Polri untuk melakukan proses hukum terhadap Kompol Novel Baswedan dinilai presiden tidak tepat dari segi waktu dan caranya. Ketiga, masa penugasan penyidik Polri di KPK akan diatur ulang dalam peraturan pemerintah (PP). Dan keempat, upaya DPR-RI untuk melakukan revisi UU KPK sangat tidak tepat dilakukan saat ini.

Menjaga Komitmen Polri

Substansi empat kebijakan penting yang dikeluarkan Presiden SBY ini tentu menjadi kabar baik bagi masyarakat yang mengharapkan adanya penguatan terhadap kelembagaan KPK. Di saat lembaga hukum lain masih dipertanyakan komitmennya dalam upaya pemberantasan korupsi, KPK saat ini masih merupakan satu-satunya lembaga yang paling bisa diharapkan untuk menggerus praktik rasuah di tanah air.

Terhadap sikap presiden ini, kita tentu patut memberikan apreseasi. Dugaan banyak kalangan bahwa presiden SBY akan bersikap normatif terhadap konflik KPK-Polri ternyata tidak terbukti. Bahkan, apa yang disampaikan presiden ini merupakan upaya yang bisa dibilang semakin memperkokoh kedudukan KPK dalam menjalankan tugasnya. Meski demikian, para pegiat antikorupsi tak boleh terlalu terlena. Tugas pengawalan terhadap penguatan KPK belum selesai, khususnya terkait poin penanganan kasus simulator SIM yang sudah diserahkan presiden kepada KPK, dan proses hukum terhadap Kompol Novel Baswedan.

Pentingnya pengawasan tersebut merujuk pada fakta bahwa institusi Polri kerap “membangkang” instruksi yang sudah diberikan presiden. Indikasi tersebut terlihat dari masih ngototnya Polri untuk tetap melanjutkan proses hukum terhadap Kompol Novel Baswedan. Padahal, jelas-jelas Presiden SBY mengatakan bahwa proses hukum yang dikenakan kepada Novel saat ini sangat tidak tepat, baik dari sisi waktu maupun caranya.

Selain indikasi pembangkanan di atas, kasus pembangkangan lain juga kerap dilakukan Polri. Tentu kita masih ingat terkait kasus rekening gendut para perwira tinggi Polri yang menghebohkan pada tahun 2011. Untuk menepis kecurigaan masyarakat, Presiden SBY memerintahkan agar kasus rekening gendut mantan jenderal-jenderal Polri dituntaskan. Bahkan perintah presiden untuk membuka data rekening gendut tersebut juga diperkuat dengan putusan Komisi Informasi Pusat yang mengabulkan gugatan ICW pada 8 Februari 2011. Dalam gugatannya, ICW meminta agar data rekening jumbo tujuh belas perwira Polri dibuka. Akan tetapi, hingga kini belum terlihat itikad baik pihak Polri untuk melakukan hal tersebut.

Kasus lain terkait perintah presiden yang tak dengan segera ditindaklanjuti Polri adalah investigasi terhadap kasus penganiayaan yang menimpa aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama S Langkun. Pada Juli 2010, tama yang baru pulang nonton sepak bola dari Kemang, tiba-tiba diserang sejumlah pria tak dikenal sampai luka di bagian kepala sehingga membutuhkan 29 jahitan. Penganiayaan itu sendiri diduga, karena Tama merupakan pelapor ‘rekening gendut’ perwira tinggi Polri ke KPK.

Beberapa indikasi di atas menunjukkan bahwa Polri sering lambat menangani kasus-kasus yang memiliki keterkaitan langsung dengan institusinya. Untuk itu, dalam kasus simulatir SIM yang melibatkan perwira tingginya, tentu perlu dilakukan pengawalan berbagai pihak agar perintah Presiden SBY betul-betul bisa dilaksanakan.

Political will DPR-RI

Selain poin perintah penyerahan penanganan kasus simulator SIM ke KPK, poin krusial lain yang perlu ditindaklanjuti adalah himbauan presiden terkait tak tepatnya DPR-RI melakukan reivisi UU KPK saat ini. Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dinilai sudah cukup mumpuni untuk menindak para koruptor. Proses revisi yang diantaranya mengusulkan hilangnya wewenang penuntutan oleh KPK dan kewenangan penyadapan yang dilakukan KPK harus mendapat izin pengadilan, dipandang hanya sebagai upaya politisi di Senayan untuk melemahkan keberadaan KPK.

Padahal, korupsi dinegeri ini sudah seperti tumor stadium empat yang sangat sulit untuk diangkat. Apabila kewenangan penuntutan dan penyadapan dihilangkan, lantas apalagi kewenangan yang dipunyai KPK? Itu sebabnya, political will DPR-RI saat ini sangat dibutuhkan guna mendukung gerakan KPK yang saat ini sedang melakukan bersih-bersih di tubuh Polri.

Pekerjaan bersih-bersih di tubuh Polri bukanlah perkara mudah. Lembaga korps Bhayangkara ini merupakan institusi yang seolah “tak terjamah hukum” selama ini. Padahal, bersih-bersih di tubuh Polri ini sangat penting dilakukan, jika merujuk keberhasilan pembentukan Independent Commission Against Corruption (ICAC) di Hongkong tahun 1973.

ICAC saat ini banyak menjadi rujukan berbagai negara untuk membentuk model lembaga anti korupsi. Keberhasilan utama ICAC adalah gebrakannya dalam memberantas korupsi. Tidak tanggung-tanggung, sosok yang pertama ditangkap adalah Peter Godber, Kepala Kepolisian Hongkong. Ia memiliki kekayaannya yang dinilai tidak masuk akal jika dilihat dari pendapatan resminya. Gebrakan ICAC ini menggetarkan seluruh jajaran kepolisian yang selama kurun waktu 1960 hingga awal 1970 seolah kebal terhadap hukum. Hasilnya, kepolisian Hongkong dikenal sebagai yang paling efektif dan tidak korup di Asia (Klitgaard, 1998).

Merujuk pengalaman tersebut, kebijakan antikorupsi akan efektif jika ditopang oleh kuatnya kewenangan lembaga antikorupsi yang ada. Karena sangat mustahil ICAC mampu dan berani menangkap Kepala kepolisian Hongkong jika tak disertai kewenangan yang memadai dari undang-undang. Itu sebabnya, patut kita himbau, hendaknya DPR memiliki kemauan politik yang kuat untuk memberantas korupsi. Sehingga usulan revisi UU KPK tak dimaksudkan untuk melemahkan, namun sebaliknya untuk memperkuat KPK. Telah tiba saatnya, momentum perseteruan KPK-Polri ini dijadikan papan loncatan utama dalam upaya gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Baca Selengkapnya...

Monday, September 10, 2012

APEC dan Kepentingan Indonesia

Oleh : Abdul Hakim MS

Di tengah banyak kesangsian peran Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) dalam mendorong perekonomian global, forum yang menjadi jalinan kerja sama negara-negara di lingkar Pasifik ini mengadakan pertemuan ke-24 di Rusia, 2 – 9 September 2012. Sebanyak 21 pemimpin ekonomi negara anggota –diantaranya adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Seperti tertuang dalam bogor goals, tujuan utama forum APEC adalah terciptanya liberalisasi perdagangan dan investasi di kawasan Asia Pasifik sebelum tahun 2010 untuk anggota Ekonomi Maju, dan sebelum tahun 2020 untuk anggota Ekonomi Berkembang. Dalam upaya mencapai Bogor Goals, APEC melandaskan kerjasama yang dibangun pada tiga pilar, yaitu liberalisasi perdagangan dan investasi, fasilitasi bisnis, serta kerjasama ekonomi dan teknik (Ecotech).


Akan tetapi, karena kerja sama yang dibangun dalam forum APEC hanya atas dasar konsensus yang bersifat tidak mengikat (non-legally binding), menyebabkan perannya dipertanyakan banyak pihak untuk dapat menjawab masalah-masalah ekonomi kekinian. Dengan hanya mengandalkan kesukarelaan negara angotanya dalam melaksanakan kesepakatan yang diambil, kesangsian bahwa APEC bisa menghadirkan solusi bagi krisis ekonomi yang melanda dunia saat ini terus bermunculan.



Apalagi, tema diskusi yang dibicarakan dalam forum APEC, telah banyak diambil alih oleh forum-forum sejenis yang lebih prestisius, forum G20 misalnya. Bahkan negara adidaya Amerika Serikat (AS) pun sepertinya tak lagi concern terhadap forum ini. Hal itu setidaknya dilihat dari ketakhadiran Presiden Barack Obama dalam forum satu tahunan ini. Obama tampaknya lebih mementingkan Konvensi Nasional Partai Demokrat. 

Hal lain adalah pemerintah AS kini malah aktif menggalang Zona Perdagangan baru di Asia Pasifik: Trans-Pacific Partnership (TPP). TPP kini beranggotakan AS, Australia, Selandia Baru, Malaysia, Singapore, Brunei, Peru, dan Chile.

Lalu, bagi Indonesia, apa pentingnya APEC? Masih relevankah forum ini bagi Indonesia dalam meningkatkan kerja sama antar negara guna menunjang perdagangan dan meningkatkan investasi dalam negeri?

Poros Baru Ekonomi

Meski negara seperti Amerika Serikat sudah tak begitu concern lagi terhadap APEC, bagi Indonesia, forum ini sejatinya masih sangat strategis. Banyak kalangan menilai, ketaktertarikan AS terhadap APEC lebih disebabkan oleh lunturnya pengaruh negara Paman Sam dikawasan Asia-Pasifik yang disebabkan oleh menguatnya pengaruh dan posisi strategis China. Itu sebanya AS lebih senang mengkampanyekan TPP sebagai bentuk kerja sama ekonomi baru di kawasan ini ketimbang fokus ke APEC. 

Di Apec, ada negara-negara seperti Tiongkok, Jepang, India dan Rusia yang hingga sejauh ini tak begitu tertarik untuk bergabung dengan TPP. Demikian halnya dengan Indonesia yang sampai detik ini juga belum berhasrat untuk ikut andil di TPP. 

Bagi Indonesia, APEC bernilai strategis lantaran besarnya potensi yang ada. Merujuk data yang dilansir oleh kesekretariatan APEC, negara-negara yang tergabung dalam forum ini merupakan representasi dari 47 persen transaksi perdagangan dunia. Selain itu, jumlah penduduk di 21 negara anggota APEC juga merupakan penyumbang 40 persen dari populasi penduduk dunia. Tentu dengan potensi sebesar itu, Indonesia sangat berkepentingan untuk menjalin kerja sama dengan negara-negara anggota guna terus menjaga baiknya trend ekonomi Indonesia saat ini. 

Seperti kita tahu, Trend pembangunan ekonomi Indonesia sedang dalam trend yang sangat positif. Indonesia merupakan satu diantara tiga negara (setelah China dan India) yang tetap mampu menjaga pertumbuhan positif ditengah ancaman krisis global pada 2008. Sejak 2006, pembangunan ekonomi Indonesia tidak pernah lay-off seperti yang terjadi di beberapa negara dunia. Indonesia juga menjadi satu-satunya negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang tergabung dalam kelompok 20 negara dengan status ekonomi maju dan ekonomi baru sedang bangkit (G20). 

Tak sampai disitu, baiknya pertumbuhan ekonomi Indonesia menyebabkan sebuah lembaga pemeringkat dunia, Goldman Sachs Asset Management memberi predikat sebagai satu diantara 4 negara yang memiliki prospek sebagai poros baru perkembangan ekonomi dunia. Empat negara itu antara lain Meksiko, Indonesia, South Korea (Korea selatan), dan Turki (MIST). Bahkan Goldman menyebut perkembangan di negara MIST telah berhasil menggeser perkembangan di negara-negara yang tergabung dalam BRICs (Brazil, Russia, India, dan China). 

Masuknya Indonesia dalam kategori MIST Goldman Sach disebabkan oleh peencapaian kinerja ekonomi Indonesia yang cukup mempesona. Selama beberapa tahun terakhir, kinerja ekonomi Indonesia bergerak di luar dugaan banyak kalangan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II 2012 bisa menembus angka 6,4 persen atau naik dibandingkan dengan triwulan yang sama pada tahun 2011 yang sebesar 6,3 persen. Dengan melihat bagusnya kinerja ekonomi Indonesia ini, tak heran jika kemudian angka pertumbuhan ekonomi di tahun 2012 diproyeksikan pemerintah akan berada di angka 6.3 – 6.5 persen. Bahkan pemerintah sangat optimis bahwa pada tahun 2013 pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa berada diangka 6.8 persen. 

Yang menggembirakan lagi, bagusnya kinerja ekonomi Indonesia di triwulan II 2012 karena ditopang oleh sektor-sektor yang bisa menjadi indikasi perubahan struktur ekonomi Indonesia, yakni dari ekonomi tradisional menuju ekonomi modern, seperti sektor pengangkutan dan komunikasi, perdagangan, hotel, restoran, serta sektor konstruksi.

Cerdas Menjaga Momentum

Meski demikian, data apik kinerja ekonomi ini tak lantas harus membuat pemerintah berpuas diri. Hal itu disebabkan masih ada beberapa kendala yang bisa menjadi penghambat laju pertumbuhan ekonomi, yakni masih lemahnya daya saing Indonesia. Merujuk data International Finance Corporation (IFC), untuk negara-negara yang berada di kawasan Asia-Pasifik misalnya, daya saing Indonesia masih kalah dengan Thailan dan Malaysia. Indonesia hanya menempati peringkat 129, jauh di bawah Thailand dan Malaysia yang menduduki peringkat 17 dan 18.

Persoalan lemahnya daya saing ini antara lain disebabkan oleh sektor infrastruktur yang belum memadai. Kapasitas birokrasi kita juga belum sepenuhnya tereformasi. Dalam kaitan dengan pembangunan infrastruktur yang biayanya “mega”, forum APEC harus bisa digunakan Indonesia untuk meyakinkan berbagai negara agar mau menanamkan investasi di bidang ini. 

Jangan sampai terus-terusan membiarkan dana pembangunan infrastruktur bergantung pada APBN. Dalam lima tahun ke depan saja, pemerintah menaksir butuh biaya sedikitnya Rp 1.500 triliun untuk perbaikan infrastruktur di seluruh Indonesia. Jumlah itu bahkan lebih besar dari jumlah APBN tiap tahunnya. Akan tetapi, dengan bermodalkan kemilau kinerja ekonomi yang diraih, Indonesia sesungguhnya bisa dengan kepala tegak meminta kerja sama dengan investor dari negara-negara anggota APEC. Karena disitulah letak strategis APEC bagi Indonesia.

Baca Selengkapnya...

Monday, August 13, 2012

Urgensi Mengawal Transformasi Ekonomi

Oleh : Abdul Hakim MS


Beberapa waktu yang lalu, Presiden SBY mengatakan bahwa transformasi yang tengah dilakukan bangsa Indonesia untuk menuju ke sebuah negara dengan sistem ekonomi yang kuat belumlah selesai. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan. Jika hal itu bisa dilalui, maka sudah sepatutnya di pertengahan abad 21 nanti Indonesia bisa menjadi negara yang statusnya bukan hanya emerging economy, tetapi sudah bertransformasi menjadi negara developed economy.

Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2011 yang sudah menyentuh angka 6,5 persen, dipandang presiden belumlah cukup untuk mewujudkan mimpi itu. Agar angan-angan menjadi negara dengan status developed economy bisa tercapai, Indonesia mesti harus mampu menggapai pertumbuhan ekonomi hingga 7-8 persen setiap tahun. Itu sebabnya, semua komponen yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi saat ini sedang dibangun, dikembangkan, dan ditingkatkan.

Namun yang menjadi pertanyaan, mampukah Indonesia terus menjaga dan mengawal transformasi positif ekonomi ini sehingga pada pertengahan abad 21 nanti Indonesia betul-betul bisa masuk dalam jajaran negara-negara maju dunia, seperti mimpi presiden SBY?


Menjaga Trend

Jika merujuk pada catatan makro ekonomi kita, mimpi presiden tersebut sebetulnya tidak berlebihan. Meski banyak pihak memandang Indonesia cenderung mendekati negara gagal, negara auto pilot, atau julukan yang dilahirkan oleh sikap pesimistis lainnya, namun sebetulnya saat ini ekonomi Indonesia berada dalam trend yang cukup positif. 

Beberapa catatan trend positif itu antara lain, saat krisis global menghantam pada rentang 2008 – 2009, Indonesia menjadi satu diantara tiga negara (setelah China dan India) yang tetap mampu menjaga pertumbuhan positif. Pembangunan ekonomi Indonesia tidak pernah lay-off seperti yang terjadi di beberapa negara dunia. Lihat saja data pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak 2006 misalnya. Di saat beberapa negara dunia sedang tiarap, Indonesia pada tahun itu mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5 persen. Demikian halnya pada tahun-tahun berikutnya, pada 2007 pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,3 persen, 2008 mencapai 6 persen, 2009 mencapai 4,6 persen, 2010 mencapai 6,1 persen, dan pada 2011 mencapai 6,5 persen. Dan pada tahun 2012 ini, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dilakukan oleh Bank Indonesia ada di kisaran angka 6,3 persen sampai 6,7 persen.

Indonesia juga menjadi satu-satunya negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang tergabung dalam kelompok 20 negara dengan status ekonomi maju dan ekonomi baru bangkit (G20). G20 merupakan forum pengganti kelompok 8 negara maju (G8). Seperti kita tahu, selama puluhan tahun, arah ekonomi dunia sangat ditentukan oleh kelompok 8 (G8) ini yang beranggotakan AS, Inggris, Jerman, Perancis, Italia, Rusia, Kanada, dan Jepang.

Itu sebabnya, Indonesia dinilai sangat layak masuk dalam kelompok negara berkembang dan berpengaruh di percaturan perekonomian global (Brazil, Rusia, India, China/BRIC). Layaknya Indonesia masuk dalam BRIC seperti diungkapkan oleh Goldman Sachs sekitar empat tahun lalu. Goldman Sachs membuat daftar sejumlah negara, seperti Bangladesh, Mesir, Indonesia, Iran, Meksiko, Nigeria, Pakistan, Filipina, Korea Selatan, Turki, dan Vietnam dalam rangka mencari BRIC baru. Kriteria yang ia gunakan adalah negara dengan stabilitas ekonomi makro, kematangan politik, keterbukaan perdagangan dan kebijakan investasi, serta kualitas pendidikan.

Dengan rentetan catatan positif seperti tertuang di atas, tak begitu mengherankan apabila kemudian jika presiden SBY sangat optimis terkait pembangunan ekonomi ke depan. Indonesia yang pernah luluh-lantah oleh hantaman krisis ekonomi pada 1998, ternyata bisa dengan cukup akseleratif bangkit dari keterpurukan dan berhasil menuai pembangunan ekonomi yang cukup mengesankan. 

Namun pertanyaan lanjutannya adalah, meski banyak catatan positif, akankah mimpi presiden SBY agar Indonesia menjadi developed economy pada pertengahan abad 21 bisa berjalan dengan mudah? 

Daya Saing

Meski banyak catatan positif telah ditorehkan selama ini, Indonesia tetap harus waspada dan tak boleh terlalu terlena dengan buaian data-data di atas. Hal itu dikarenakan masih banyak kerikil-kerikil tajam yang siap menghadang laju positif pembangunan ekonomi kita. Yang paling kentara tentulah persoalan rendahnya daya saing yang dimiliki Indonesia dibandingkan dengan negara-negara berkembang satu kawasan.

Kalahnya daya saing Indonesia bisa terlihat dari laporan International Finance Corporation (IFC) misalnya. Menurut lembaga yang bermarkas di Amerika Serikat ini, untuk negara-negara yang berada di kawasan Asia Pasifik, daya saing Indonesia masih kalah dengan Thailan dan Malaysia. Indonesia hanya menempati posisi 129, jauh di bawah Thailand dan Malaysia yang menduduki peringkat 17 dan 18. Dari data ini bisa dibaca bahwa Nusantara ternyata belum begitu ramah bagi para pengusaha yang menanamkan modalnya disini. 

Seperti kita tahu, persoalan daya saing ini sangat erat kaitannya dengan keberadaan birokrasi dalam mengelola negara. Hingga detik ini, citra birokrasi Indonesia di mata dunia masih kurang baik. Maraknya pungutan liar (pungli) menyebabkan biaya tak resmi menjadi mahal. Bahkan untuk mendirikan usaha di Indonesia, para pengusaha harus mengeluarkan biaya empat kali lipat dibandingkan dengan mendirikan usaha di Thailand.

Selain birokrasi, persoalan lain yang menjadikan daya saing Indonesia masih kalah dengan negara tetangga adalah masih lemahnya sektor infrastruktur yang ada. Tak jarang para pengusaha harus memutar otak akibat mahalnya biaya transportasi. Hal ini yang menyebabkan ketimpangan harga antara satu daerah dengan daerah lainnya cukup tajam. Harga barang di Papua misalnya, bisa jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga barang yang ada di pulau Jawa.

Untuk itu, ke depan pemerintah harus serius menangani kendala ini. Memang, gaung reformasi birokrasi sudah sangat lantang disuarakan. Namun hingga detik ini belum sepenuhnya membuahkan hasil. Demikian pula dengan pembangunan infrastruktur. Meski pemerintah sudah getol melakukan pembenahan, perbaikan disektor ini juga belum maksimal.

Kita faham bahwa membangun infrastruktur bukan perkara mudah. Dalam lima tahun ke depan saja, misalnya, pemerintah menaksir butuh baiaya sedikitnya Rp 1.500 triliun untuk peningkatan infrastruktur di seluruh Indonesia. Jumlah itu memang tak sedikit karena lebih besar dari jumlah APBN Indonesia tiap tahunnya. 

Meski demikian, tantangan yang ada ini jangan kemudian menjadi alasan turunnya trend positif pembangunan ekonomi kita. Untuk menjaganya, dibutuhkan kerja sama yang kuat disemua kalangan. Bersama pemerintah, seluruh stakeholder harus bahu-membahu untuk mewujudkan cita-cita menjadi negara yang ekonominya maju dan berkeadilan. Disinilah letak urgensi mengawal transformasi ini. Karena jika tidak, Indonesia yang telah berhasil dengan susah payah melakukan transformasi positif setelah luluh-lantah akibat krisis 1998, bisa kembali mundur ke belakang dan kembali tertinggal jauh oleh negara-negara satu kawasan.


Baca Selengkapnya...

Wednesday, July 18, 2012

Menggugat Survei Politik

Oleh : Abdul Hakim MS


Quick count atau hitung cepat yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei dan media massa terhadap hasil Pilkada DKI Jakarta 11 Juli 2012 lalu menyembulkan kontrovesi. Meski masih harus menunggu pengumuman resmi dari KPU, hasil quick count menyiratkan bahwa pasangan Jokowi-Ahok unggul dalam kontestasi menuju DKI-1.

Hal itu terlihat dari hasil quick count Litbang Kompas, misalnya, yang menempatkan pasangan Jokowi-Ahok pada posisi pertama dengan menggamit suara sebesar 42.59%, disusul pasangan Foke-Nara di urutan kedua dengan perolehan suara sebesar 34.32%. Hasil hitung cepat beberapa lembaga survei lain juga menunjukkan perolehan suara yang tak jauh berbeda dengan Litbang Kompas.

Syahdan, hasil ini menuai polemik. Bukan pada hasil hitung cepatnya, melainkan kenyataan bahwa pasangan incumbent Foke-Nara dikalahkan oleh pasangan Jokowi-Ahok. Padahal, seminggu sebelum hari pemungutan suara, berbagai lembaga survei mengeluarkan prediksi bahwa pasangan Foke-Nara akan memenangi kontestasi. Bahkan, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang juga menjadi konsultan pasangan Foke-Nara, dengan sangat yakin memproyeksi bahwa pasangan yang ia nasehati itu bisa saja memenangi pilkada dengan satu putaran saja.

Kenyataan di atas menyebabkan banyak kalangan menggugat lembaga penyelenggara survei opini publik. Tak akuratnya prediksi yang dilakukan, menyembulkan pertanyaan tentang metodologi yang digunakan. Pun demikian halnya dengan etika pollster yang mempublikasikan hasil risetnya, padahal ia merupakan konsultan politik kandidat yang ikut berkompetisi.

Namun di luar itu, ada pertanyaan yang cukup menggelitik, yakni apa yang terjadi sehingga pasangan Foke-Nara yang dijagokan banyak lembaga survei bisa kalah dalam Pilkada DKI Jakarta? 


Underdog Effect

Melihat fenomena yang terjadi di Pilkada DKI Jakarta ini, saya jadi teringat dengan fenomena yang sama saat pemilihan presiden Amerika Serikat pada tahun 1936. Pada pemilu itu, petahana Franklin Delano Roosevelt berusaha mempertahankan kekuasaanya dalam pemilihan presiden melawan Gubernur Kansas, Alfred M. Landon. Yang paling terkenal dan menjadi perdebatan sengit dalam kampanye keduanya kala itu adalah kebijakan New Deal Roosevelt. 

Sebelum pemilihan, The Literary Digest, sebuah majalah yang cukup terkenal dan selalu berhasil memprediksi kemenangan pemilihan presiden AS sejak 1916, mengeluarkan hasil survei. Majalah mingguan yang didirikan oleh Isaac Kauffman ini memprediksi bahwa Landon sepertinya akan memangi kontestasi dengan selisih 57 : 43 persen. Akan tetapi, saat pemilu berlangsung, prediksi Digest meleset jauh. Roosevelt ternyata memenangi pemilu dengan raihan 62 persen suara. 

Dalam analisis Pierce (1940), kemenangan Roosevelt tak lain disebabkan oleh munculnya underdog effect survei politik. Meski diprediksi kalah, Roosevelt tetap berusaha untuk menunjukkan bahwa dia adalah seorang kandidat yang tangguh, tak dapat ditaklukkan, dan bermental pemenang. Sikap inilah yang kemudian menimbulkan simpati, sentimen positif, dan dukungan yang besar dari masyarakat. Itulah yang disebut Pierce sebagai Underdog Effect dari survei politik.

Apa yang terjadi pada Pilkada DKI beberapa lalu, meski dalam konteks yang berbeda, memiliki kemiripan dengan apa yang terjadi pada pemilu Amerika serikat tersebut. Sebelum pemilihan berlangsung, semua lembaga survei menempatkan pasangan Foke-Nara sebagai pasangan yang sepertinya akan bisa dengan mudah memenangi kontestasi. Berbekal hasil riset, yang salah satunya dilakukan oleh konsultannya sendiri, pasangan Foke-Nara kemudian dengan “pongah” mengkampanyekan pilkada cukup dengan satu putaran saja. Padahal, untuk bisa menang dalam satu putaran, pasangan ini mesti harus menggamit suara 50 persen + 1. Dengan jumlah pasangan calon yang berjumlah enam pasang, untuk mendapatkan suara 50 persen tentu bukanlah perkara mudah.

“Kepongahan” incumbent ini, hemat penulis, membuat pemilih Jakarta jengah. Hal itu dikarenakan incumbent dalam lima tahun ini dipandang nyaris tak berbuat apapun untuk mengurai masalah keseharian yang dihadapi warga Jakarta. Macet masih menjadi pemandangan umum setiap hari, pun demikian dengan banjir di beberapa wilayah yang tak juga teratasi. Tak mengherankan apabila kemudian tingkat kepuasan warga jakarta terhadap kepemimpinan Foke dalam lima tahun ini masih di bawah 50 persen.

Dalam situasi seperti ini, pemilih jakarta kemudian mendapati sosok alternatif pemimpin yang “terbukti” mampu memimpin daerah asalnya. Jokowi yang merupakan Wali Kota Solo, merupakan kepala daerah yang dipandang cukup berhasil oleh masyarakatnya. Setidaknya keberhasilan Jokowi tercermin dari survei terhadap warga Solo yang menempatkan tingkat kepuasan masyarakat di atas 90 persen.

Ditambah publikasi reputasi yang cukup baik, seperti gebrakan mobil Esemka dan gaya kepemimpinan yang luwes, membaur, dan dekat dengan masyarakat, sosok Jokowi seolah bisa memberikan harapan baru bagi perubahan di Jakarta. Hal ini sangat kontras dengan gaya kepemimpinan Foke yang terkesan elitis dan eksklusif. Bagi pemilih Jakarta, apa yang tidak ditemui dalam diri Foke ada di dalam sosok Jokowi.

Dari titik inilah kemudian muncul rasa simpati, sentimen positif, dan dukungan yang besar dari masyarakat Jakarta. Kesan tidak “pongah” di tengah “kepongahan” incumbent, membuat posisi Jokowi bisa menuai underdog effect survei politik seperti yang di tuai oleh Roosevelt pada pemilu Amerika Serikat tahun 1936. Dari sosok yang tidak diunggulkan menjadi sosok yang sangat disanjung dan disayang.

Gagalnya Bandwagon Effect 

Dalam konteks yang lain, munculnya underdog effect menjadikan harapan terjadinya bandwagon effect terhadap publikasi hasil survei pilkada DKI Jakarta tak terpenuhi. Bandwagon effect adalah dampak yang diinginkan agar pemilih yang belum punya pilihan bisa mengikuti suara mayoritas. Seperti kita tahu, survei LSI (lingkaran) seminggu sebelum pemilihan masih menempatkan pasangan Foke-Nara pada tingkat elektabilitas 49,1 persen. Sementara pasangan Jokowi-Ahok berada di angka 14,4 persen.

Melihat elektabilitas Foke-Nara yang sudah di atas angin tersebut, maka hasil survei ini pun di publikasi dengan massif. Dengan hanya kekurangan 1 persen suara saja untuk bisa memenangi pilkada satu putaran, pasangan incumbent kemudian dengan yakin memasang jargon pilkada satu putaran ke seluruh pelosok Jakarta. Namun naas, harapan terjadinya badnwagon effect malah berbalik menjadi underdog effect untuk pasangan Jokowi-Ahok.

Pesan yang bisa ditarik dari situasi ini adalah, secara etis, idealnya lembaga pembaca aspirasi publik ketika merilis hasil surveinya tidak memiliki kepentingan langsung dengan kandidat yang sedang berkompetisi. Karena jika hal itu dilakukan, kecurigaan bahwa hasil riset yang dipublikasikan hanya digunakan sebagai alat untuk mempengaruhi opini masyarakat ke arah yang diharapkan (bandwagon effect) tidak bisa dihindari. Akibatnya, akan banyak gugatan terhadap survei politik seperti saat ini.

Baca Selengkapnya...

Thursday, July 12, 2012

SBY dan Ceruk Resistensi Ical


Meski pilpres 2014 masih dua tahun lagi, namun Partai Golkar sudah sejak dini mendeklarasikan calon presidennya. Adalah Aburizal Bakrie yang didaulat oleh Partai Beringin untuk meretas jalan ke istana. Pendaulatan itu sendiri secara resmi dilakukan dalam forum Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) III Partai Golkar pada tanggal 29-30 Juni lalu di Bogor.

Dalam konteks penguatan demokrasi, pencapresan dini Ical –sapaan akrab Aburizal bakrie- sebenarnya merupakan hal positif. Hal ini menjadi tradisi baru dalam konteks politik Indonesia. Bagi pemilih, pendeklarasian lebih awal ini bisa memberikan ruang yang cukup untuk menilai calon pemimpin yang diusung oleh partai politik secara lebih cermat. Sehingga kehawatiran istilah “membeli kucing dalam karung” bisa dihindarkan. Karena ketika pemilih memutuskan memberi suaranya ke Partai Golkar, rujukan pemimpin yang akan diusung sudah sangat jelas, yakni Ical.


Namun dalam konteks kontestasi politik, pencapresan dini Ical ini akan menghadirkan dua hal penting yang bisa menjadi pengganjal langkahnya menuju istana. Pertama, Ical akan menerima banyak “intrik” dari internal Partai Golkar sendiri. Kedua, Ical akan menerima banyak resistensi dari kalangan pemilih terkait record buram yang melekat pada dirinya. Merujuk pada dua hal ini, pertanyaan menariknya adalah bagaimana kira-kira prospek Ical di Pemilu 2014?



Menguruk Ceruk


Seperti kita tahu, diinternal Partai Golkar, Ical harus dihadapkan pada penolakan pencapresan dirinya dari salah satu tokoh senior berpengaruh, yakni Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Akbar Tandjung. Akbar dalam berbagai kesempatan sudah dengan lantang menolak pencapresan dini Ical ini. Meski sempat kompak menyingkirkan Surya Paloh di arena Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar tahun 2009 lalu di Riau, Akbar sepertinya lebih sreg mencalonkan Jusuf Kalla (JK) di Pemilu 2014. Penyebabnya, Kalla dipandang memiliki tingkat elektabilitas yang lebih baik dibanding Ical. Rekam jejak wakil presiden SBY periode 2004 – 2009 ini juga dinilai jauh mengungguli Ical.

Dengan peresmian pencapresan Ical pada akhir Juni lalu oleh Partai Golkar, bukan berarti Akbar dan JK akan memendam “hasrat” begitu saja untuk menuai mandat dari partai kuning. Gerbong keduanya pasti akan terus “bergerilya” mencari cara “mengkudeta” Ical jadi calon presiden. Jika tingkat elektabilitas Ical tak kunjung kompetitif dengan calon lain, sepertinya kans Akbar dan JK akan terus terbuka.

Selain tantangan resistensi dari internal Partai Golkar sendiri, Ical juga dihadapkan pada catatan buram yang melekat pada dirinya. Setidaknya, saat ini ada dua catatan suram yang siap mereduksi tingkat elektabilitasnya di kalangan pemilih. Pertama adalah terkait bencana luapan Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Bencana tersebut ditengarai akibat kesalahan pengeboran yang dilakukan PT Lapindo Brantas yang merupakan anak perusahaan kelompok usaha Bakrie. Bencana ini telah menyebabkan lebih dari ratusan hektare wilayah pemukiman tenggelam dan puluhan ribu orang mengungsi. Namun, meski sudah hampir enam tahun berlalu, mekanisme penyerahan ganti rugi lahan masih terkatung-katung. 

Naasnya, kejadian ini berada di Pulau Jawa yang jumlah pemilihnya pada pemilu 2009 lalu mencapai 59 persen. Sementara khusus untuk daerah Jawa Timur yang merupakan tempat kejadian bencana luapan lumpur Lapindo, adalah wilayah dengan jumlah pemilih terbesar di Indonesia. 

Catatan buram kedua Ical adalah terkait kasus skandal tunggakan pajak kelompok usaha Bakrie, yaitu PT Kaltim Prima Coal, PT Bumi Resources, dan PT Arutmin. Di berbagai kesempatan persidangan, terdakwa kasus pajak Gayus H. Tambunan berulang kali mengungkapkan bahwa kelompok usaha Bakrie memberikan uang senilai Rp100 miliar kepada dirinya guna memperlancar urusan tunggakan pajak. Namun hingga detik ini, kasus ini tak ada kabar beritanya, meski Gayus sendiri sudah mendekam di balik jeruji penjara.

Dengan dua catatan buram ini, Ical sepertinya harus bekerja ekstra keras untuk menutup ceruk curam resistensi dirinya. Untuk bisa mengendarai Partai Golkar, Ical sudah selangkah lebih maju, yakni mencapreskan diri secara dini. Meskipun kemungkinan manuver internal Partai Golkar tetap akan bisa mengancam kapan saja. Namun untuk bisa mereduksi resistensi pemilih, khususnya di wilayah Jawa, apa upaya yang bisa dilakukan Ical?

Mengipas SBY

Resistensi dari pemilih Jawa memang sepertinya sudah disadari betul oleh Ical. Itu sebabnya, Ical tak segan beriklan dengan membawa simbol-simbol kebudayaan suku Jawa. Misalnya, dalam salah satu iklan di media massa Jawa Timur, Ical berkata "Matur Nuwun" dengan menampilkan Ki Anom Suroto, dalang wayang kulit tersohor dari Solo sebagai bintang tamu. Ical juga memberikan penghargaan terhadap tokoh seniman Jawa. Bahkan, Ical sampai harus rela mencium keris, salah satu simbol perilaku kejawen yang sangat kental, untuk bisa dekat dengan pemilih Jawa.

Trik lain yang digunakan Ical untuk menutup ceruk resistensi dirinya dari pemilih Jawa adalah dengan mencoba menarik perhatian dan dukungan SBY. Caranya, dengan “mengiming-imingi” Ipar dan anak SBY, Pramono Edhie Wibowo dan Edhi Baskoro Yudhoyono, untuk digandeng sebagai wakil presiden mendampingi dirinya di pemilu 2014. Berkali-kali, Ical mengeluarkan statemen bahwa Pramono dan Ibas adalah sosok yang pas untuk mendampingi dirinya sebagai calon wakil presiden.

Apa yang dilakukan Ical ini bukan tanpa alasan. Presiden SBY merupakan tokoh yang masih diagung-agungkan oleh pemilih Jawa. Dengan citra santun, bersih, dan bersahaja, SBY tetap akan menjadi magnet baik dalam pemilu 2014 nanti. Selain itu, Partai Demokrat yang saat ini sedang mengalami krisis calon pemimpin, membuat Ical berfikir masih punya peluang untuk menjadi tokoh alternatif. SBY yang tak bisa lagi mencalonkan diri pada pemilu 2014, tentu membutuhkan tokoh alternatif untuk bisa terus menjaga trah Yudhoyono di lingkaran kekuasaan. Dengan mengipas Pramono dan Ibas, Ical berharap popularitas dan elektabilitasnya bisa naik, meskipun catatan buram tetap melekat didirinya.

Meski demikian, apa yang dilakukan Ical dengan memasang iklan massif dan mencoba merangkul tokoh-tokoh Jawa, hemat saya, tak akan terlalu banyak membantu tingkat elektabilitasnya. Dalam skala kecil, upaya Ical dengan iklan politik yang telah menelan banyak biaya ini, mungkin akan memiliki dampak. Akan tetapi dalam skala massif, harapan untuk merangkul pemilih jawa dengan berbagai macam upaya seperti itu tak akan menjadi faktor dominan.

Sejatinya, yang paling penting menurut saya untuk dilakukan Ical saat ini adalah dengan cepat menyelesaikan persoalan yang secara nyata dihadapi masyarakat, khususnya terkait catatan buram dirinya. Pertama, selesaikan dengan segera persoalan ganti rugi lahan korban Lumpur Lapindo yang terus dirundung derita. Dari pada menghabiskan bermilyar-milyar uang untuk iklan politik, akan lebih bermanfaat dengan beriklan menyelesaikan ganti rugi lahan korban lumpur lapindo. Kedua, segera selesaikan tuduhan Gayus terkait pengemplangan pajak oleh tiga perusahaan yang disebut menyogok Gayus. Karena jika hal itu tidak dilakukan, rasanya cukup sulit buat Ical untuk menandingi calon-calon lain seperti Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa yang memiliki rekam jejak lebih baik.

Baca Selengkapnya...

Monday, July 02, 2012

Indonesia Dipusaran G20

Oleh : Abdul Hakim MS 


Di tengah situasi perekonomian global yang sedang menghadapi tantangan berat, penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Los Cabos, Mexico, Juni ini menjadi menarik untuk disimak. Selain akan membahas krisis di Eropa yang tak kunjung mereda, KTT G20 juga harus menjawab dinamika perekonomian yang sedang dihadapi oleh negara-negara berkembang. 

Seperti kita tahu, perekonomian dunia saat ini sedang dihantui ancaman krisis sebagai efek dari krisis yang melanda Eropa. Walaupun telah terjadi banyak perbaikan dibeberapa negara maju seperti Amerika Serikat misalnya, kondisi ekonomi di negara benua biru ternyata masih belum mampu keluar dari kemelut. 

Tak heran jika kemudian International Monetary Fund (IMF) memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi di Eropa pada tahun 2012 akan negatif. Sementara pertumbuhan ekonomi global ditaksir (hanya) berada pada kisaran 3,3%. Untuk kawasan Asia, pertumbuhan ekonomi diperkirakan berada di level 7,3%, turun dari angka pertumbuhan ekonomi tahun lalu. Hal ini disebabkan oleh landainya pertumbuhan ekonomi di negara-negara utama Asia, seperti China dan India. 

Ditengah situasi seperti ini, keberadaan G20 tentu strategis. Lembaga yang didirikan 13 tahun lalu sebagai langkah antisipasi terjadinya krisis 1998, diharapkan mampu memberi solusi konkrit. Saat ini, G20 merupakan representasi dari 90 persen Gross National Product (GNP) dunia, 85 persen perdagangan dunia, dan memiliki jumlah penduduk dua pertiga dari penduduk dunia. G20 sendiri merupakan forum resmi kerja sama ekonomi global pengganti forum Kelompok 8 (G8). Forum ini dibentuk untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dunia dengan memperkokoh fondasi keuangan internasional. Peresmian G20 sebagai pengganti G8 sendiri dideklarasikan di Pittsburg, Pennsylvania, Amerika Serikat (AS), September 2009. Keputusan itu didasarkan pada realitas bahwa krisis ekonomi global telah mempercepat perubahan tatanan ekonomi dunia. 

Ketimpangan Ekonomi 

Digantikannya G8 dengan G20 tak bisa dilepaskan dari realitas ekonomi-politik kontemporer. Selama puluhan tahun, arah ekonomi dunia sangat ditentukan oleh kelompok 8 (G8). Himpunan negara ekonomi maju yang meliputi AS, Inggris, Jerman, Perancis, Italia, Rusia, Kanada, dan Jepang ini menjadi lokomotif kebijakan ekonomi dunia. Itu sebabnya, banyak harapan dibebankan kepada kelompok elit ini untuk bisa memperbaiki kondisi negara-bangsa dunia. 

Naasnya, harapan itu tak sepenuhnya terwujud. Alih-alih bisa menjadi lokomotif peningkatan ekonomi negara-bangsa dunia, negara-negara anggota G8 sendiri malah kerapkali dihadapkan pada kesulitan untuk menyelesaikan persoalan besar di internal mereka sendiri. 

Begitu pula dengan regulasi global yang dilahirkan oleh kelompok elit ini. G8 cenderung menampilkan diri sebagai kelompok yang eksklusif dan proteksionis. Sejak masih bernama G6 dan G7, memang belum terlihat itikad baik yang ditunjukkan oleh negara-negara maju ini untuk memperjuangkan ekonomi dunia menuju tatanan yang lebih baik dan adil. 

Bisa dibilang, perhatian G8 terhadap negara-negara berkembang hanya sebuah kamuflase belaka untuk dapat mengeruk keuntungan semata. Hal itu bisa dilihat dari regulasi yang dikeluarkan yang lebih banyak memihak kepentingan para anggotanya. Tak heran jika kemudian jumlah negara miskin makin bertambah karena hak-haknya kerap kali diabaikan dan dikebiri. 

Dalam aspek political will, keberadaan G8 untuk menjadikan tatanan ekonomi dunia yang lebih baik dan adil juga diragukan. Harapan agar G-8 mampu merumuskan format perekonomian global yang berorientasi pada proses pencerahan dan kebangkitan ekonomi dunia, termasuk di dalamnya bagaimana memberikan kontribusi yang optimal bagi negara-negara miskin, hanya menggantung di awang-awang. 

Itu sebabnya, banyak kalangan yang kemudian kecewa terhadap kelompok elit ini. Hal itu tercermin dari maraknya demonstrasi kala pertemuan tahunan mereka gelar. Keberadaan G8 dianggap tidak mampu membuat pemerataan kesejahteraan ekonomi negara-bangsa dunia, akan tetapi malah dituding berkontribusi besar terhadap makin curamnya ketimpangan ekonomi yang ada. 

Padahal, jika kita amati, realitas ekonomi dunia dewasa ini sudah berubah. Dunia tak lagi hanya dikuasai oleh delapan negara industri kaya yang dimotori oleh AS dan negara-negara Eropa. Arus barang dan jasa juga banyak mengalir dari negara-negara berkembang yang dahulu dipandang sebelah mata oleh negara-negara industri. Itulah sebabnya, kelahiran G8 patut di apresiasi. 

Peranan Indonesia 

Dari situasi di atas memuncul sebuah pertanyaan yang yang krusial untuk dijawab, bagaimana peranan Indonesia dalam G20 khususnya, dan tatanan baru ekonomi dunia pada umumnya? 

Jika kita telisik, keberadaan Indonesia dalam G20 sebetulnya berada dalam posisi strategis untuk turut dalam menentukan arah dan kebijakan perekonomian global. Saat ini, Indonesia merupakan satu-satunya negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang tergabung dalam G20. Tak hanya itu, Indonesia juga dinilai sangat layak masuk dalam kelompok negara berkembang dan berpengaruh di percaturan perekonomian global (Brazil, Rusia, India, China/BRIC). 

Layaknya Indonesia masuk dalam BRIC seperti diungkapkan oleh Goldman Sachs sekitar empat tahun lalu. Goldman Sachs membuat daftar sejumlah negara, seperti Bangladesh, Mesir, Indonesia, Iran, Meksiko, Nigeria, Pakistan, Filipina, Korea Selatan, Turki, dan Vietnam dalam rangka mencari BRIC baru. Kriteria yang ia gunakan adalah negara dengan stabilitas ekonomi makro, kematangan politik, keterbukaan perdagangan dan kebijakan investasi, dan kualitas pendidikan. 

Terkait pertumbuhan ekonomi, Indonesia saat ini juga cukup diperhitungkan oleh dunia internasional. Ekonomi Indonesia berpotensi melakukan akselerasi disaat sebagian besar negara dunia mengalami pertumbuhan ekonomi yang cenderung negatif. Bersama China dan India, Indonesia merupakan negara yang memiliki pertumbuhan positif di tengah krisis melanda ekonomi global selama rentang waktu tahun 2008-2009. 

Selain itu, dengan status sebagai negara dengan ekonomi nomor 16 dunia, membuat keberadaan Indonesia di G20 lebih diperhitungkan. Pendapat dan pemikiran Indonesia akan lebih banyak diakomodasi. Posisi tawar Indonesia juga akan menjadi lebih kuat ketimbang dulu ketika hanya menjadi 'penggembira' di forum G8. 

Dengan demikian, Indonesia memiliki peluang besar untuk secara lebih aktif mengutarakan pandangan-pandangan alternatif di luar dominasi negara-negara besar. Isu-isu yang dapat disuarakan Indonesia dalam forum G20 antara lain tentang reformasi struktural dan stabilisasi ekonomi dunia, utang, ketahanan pangan, ketenagakerjaan, dan perdagangan. 

Di samping itu, partisipasi aktif Indonesia pada setiap pertemuan G20 memiliki potensi besar bagi peningkatan kapasitas ekonomi domestik, terutama jika ditinjau dari perspektif perdagangan dan investasi. Singkat kata, G20 ibarat sebuah amunisi bagi Indonesia untuk mengarahkan sumber daya global bagai kepentingan ekonomi dalam negeri secara lebih optimal.

Baca Selengkapnya...

Friday, June 22, 2012

G-20 dan Posisi Indonesia

Oleh : Abdul Hakim MS


Time has come where Indonesia can give something to the world, because we are now regional power with global outreach”. Demikian kalimat yang terlontar dari Presiden SBY kala memberikan briefing di pesawat saat akan menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT G20) di Los Cabos, Meksiko pada 17 – 19 Juni 2012. Presiden SBY begitu yakin bahwa Indonesia akan bisa berbuat “sesuatu” dalam pertemuan tahunan yang diikuti oleh kepala negara dan delegasi dari 20 negara maju maupun berkembang itu. 

Optimisme Presiden SBY didasari oleh fakta bahwa Indonesia merupakan salah satu diantara tiga negara (setelah China dan India) yang tetap mampu menjaga pertumbuhan positif di tengah situasi krisis global yang menghantam pada rentang 2008-2009. Dengan pembangunan ekonomi yang tidak pernah lay-off seperti yang terjadi di beberapa negara dunia, Indonesia dipandang sangat remarkable. 

Bahkan kepala Indonesia bisa kian tegak mengingat kita merupakan satu-satunya negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang tergabung dalam G20. Selain itu, penilaian positif Goldman Sachs bahwa Indonesia saat ini layak masuk sebagai negara dalam kelompok negara berkembang dan berpengaruh di percaturan ekonomi global (Brazil, Rusia, India, China/BRIC baru), semakin membuat Presiden SBY pede. 

Ditambah dengan status sebagai negara dengan volume ekonomi nomor 16 dunia, keberadaan Indonesia di G20 tentu akan lebih diperhitungkan. Pemikiran dan posisi tawar Indonesia menjadi lebih kuat ketimbang dulu ketika hanya menjadi 'penggembira' di forum G8. Pertanyaannya, mampukah Indonesia memanfaatkan posisi strategis ini di forum G20? 

Daya Saing 

Meski banyak catatan positif telah ditorehkan selama ini, Indonesia tetap harus waspada dan tak boleh terlalu terlena dengan buaian data-data di atas. Itu dikarenakan masih banyaknya kerikil-kerikil tajam yang siap menghadang laju positif pembangunan ekonomi kita. Yang paling kentara tentulah persoalan rendahnya daya saing yang dimiliki Indonesia dibandingkan dengan negara-negara berkembang satu kawasan. 

Hal itu terlihat dari laporan International Finance Corporation (IFC). Menurut lembaga yang bermarkas di Amerika Serikat ini, untuk negara-negara yang berada di kawasan Asia Pasifik, daya saing Indonesia masih kalah dengan Thailan dan Malaysia. Indonesia hanya menempati posisi 129, jauh di bawah Thailand dan Malaysia yang menduduki peringkat 17 dan 18. Dari data ini bisa dibaca bahwa Nusantara ternyata belum begitu ramah bagi para pengusaha yang menanamkan modalnya disini. 

Seperti kita tahu, persoalan daya saing ini sangat terkait erat dengan keberadaan birokrasi dalam mengelola negara. Hingga detik ini, citra birokrasi Indonesia di mata dunia masih kurang baik. Maraknya pungutan liar (pungli) menyebabkan biaya tak resmi menjadi mahal. Bahkan untuk mendirikan usaha di Indonesia, para pengusaha harus mengeluarkan biaya empat kali lipat dibandingkan dengan mendirikan usaha di Thailand. 

Selain birokrasi, persoalan lain yang menjadikan daya saing Indonesia masih kalah dengan negara tetangga adalah masih lemahnya sektor infrastruktur yang ada. Tak jarang para pengusaha harus memutar otak akibat mahalnya biaya transportasi. Hal ini yang menyebabkan ketimpangan harga antara satu daerah dengan daerah lainnya. Harga barang di Papua misalnya, bisa jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga barang yang ada di pulau Jawa. 

Untuk itu, ke depan pemerintah harus serius menangani kendala ini. Memang, gaung reformasi birokrasi sudah sangat lantang disuarakan. Namun hingga detik ini belum sepenuhnya membuahkan hasil. Demikian pula dengan pembangunan infrastruktur. Meski pemerintah sudah getol melakukan pembenahan, perbaikan disektor ini juga belum maksimal. 

Kita faham bahwa membangun infrastruktur bukan perkara mudah. Dalam lima tahun ke depan saja, misalnya, pemerintah menaksir butuh baiaya sedikitnya Rp 1.500 triliun untuk peningkatan infrastruktur di seluruh Indonesia. Jumlah itu memang tak sedikit karena itu lebih besar dari jumlah APBN Indonesia tiap tahunnya. 

Momentum G20 

Dengan berbagai catatan positif yang ada, tentu kita berharap pemerintah bisa memanfaatkan dengan maksimal forum G20. Masih terbengkalainya pembenahan sektor infrastruktur akibat besarnya biaya yang diperlukan, bisa ditutup dengan meyakinkan para investor untuk mau mendanai proyek-proyek yang ada. Forum G20 bisa dimanfaatkan untuk menggalang dukungan bagi pembangunan Indonesia, terutama untuk perbaikan sarana infrastruktur. Forum G20 merupakan momentum untuk menarik modal besar ke negeri ini.  

Bersamaan dengan itu, pemerintah harus juga serius meyakinkan pengusaha negara lain bahwa Indonesia saat ini sudah lebih ramah dengan dunia usaha. Reformasi birokrasi terus dilakukan sebagai upaya perbaikan. Dan saat ini, meski belum sepenuhnya menggembirakan, reformasi birokrasi sudah memperlihatkan gejala perubahan yang lebih baik. 

Saat ini, Indonesia menentukan empat sasaran dalam forum G-20. Pertama, Indonesia harus mampu meminimalkan dampak buruk gejolak ekonomi dunia. Kedua, Indonesia mampu menjaga pertumbuhan ekonomi. Ketiga, Indonesia bertekad untuk mengubah krisis menjadi peluang sukses di bidang ekonomi. Dan Keempat, Indonesia harus mampu mengambil manfaat, yakni menjalin kemitraan dengan sesama anggota G-20. 

Tujuan keempat adalah yang terpenting. Saat ini, sulit bagi suatu negara untuk berjalan sendirian. Tak bisa dipungkiri, dunia yang makin menyisakan batas yang minim memaksa setiap negara untuk mau terbuka, memanfaatkan setiap peluang yang ada, dan selalu inovatif dalam mewujudkan kepentingan nasionalnya. 

Dengan potensi yang dimiliki Indonesia saat ini yang meliputi kekayaan sumber daya alam, sumber daya manusia, plus trend positif pembangunan ekonomi, Indonesia memiliki peluang besar untuk secara lebih aktif mengutarakan pandangan-pandangan alternatif di luar dominasi negara-negara besar. Indoenesia bisa menelusrkan Isu-isu yang baru di luar kemajuan negara-negar maju. 

Oleh karena itu, partisipasi aktif Indonesia pada setiap pertemuan G20 harus bisa melahirkan peluang yang besar bagi peningkatan kapasitas ekonomi domestik. Forum G20 harus bisa dijadikan amunisi untuk mengarahkan sumber daya global bagai kepentingan ekonomi dalam negeri secara lebih optimal.

Baca Selengkapnya...