Oleh : Abdul Hakim MS
Dalam pidatonya mewakili delegasi Indonesia pada kegiatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Cooperation Dialogue (ACD) di Kuwait (16/10/2012) yang lalu, Menko Perekonomian Hatta Rajasa mempromosikan pentingnya konektivitas disemua negara Asia. Konektivitas ini dibutuhkan untuk mempermudah terhubungnya jalur sumber bahan baku dengan sentra produksi agar daya tahan ekonomi Asia makin kokoh.
Seperti diketahui, benua Asia merupakan kawasan yang relatif tahan terhadap hantaman krisis ekonomi akhir-akhir ini. Disaat dunia sedang terbelit krisis berat, beberapa negara di Asia malah mencatat pertumbuhan ekonomi yang cukup mengesankan, salah satunya adalah Indonesia.
Berdasarkan laporan terbaru Asian Development Outlook, pertumbuhan Produk Domestik Bruto di Asia pada tahun 2012 ini akan mencapai 6,9 persen. Angka ini diprediksi akan terus meningkat menjadi 7,3 persen pada 2013. Pertumbuhan PDB Asia ini jauh di atas pertumbuhan PDB dunia yang hanya sebesar 2,5 persen pada 2012. Diperkirakan oleh Bank Dunia, pada tahun 2013, pertumbuhan PDB dunia hanya akan meningkat menjadi 3 persen.
Hemat saya, kampanye konektivitas yang digaungkan Hatta Rajasa di kawasan Asia bukanlah tanpa alasan. Indonesia yang menjadi salah satu negara Asia dengan pembangunan ekonomi yang cukup mengesankan, telah dari awal melakukan upaya konektivitas melalui program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Jika program ini berhasil, tentu akan bisa menjadi rule model Asia untuk menerapkannya. Pertanyaannya, sanggupkah pembangunan konektivitas Indonesia diwujudkan melalui program MP3EI?
Kendala Pembiayaan
Upaya pembangunan konektivitas dalam negeri bukanlah perkara mudah. Indonesia yang terdiri atas banyak pulau (Archipelago State) dengan jumlah kurang lebih 17.508 pulau, masih harus dipisahkan oleh lautan seluas 3.257.357 km². Untuk membangun konektivitas, tentu kendala paling nyata yang harus dihadapi adalah besarnya dana yang dibutuhkan untuk merealisasikannya, khususnya dalam membangun sarana infrastruktur.
Pemerintah sendiri memprediksi, dana yang dibutuhkan untuk bisa melaksanakan seluruh program MP3EI sebesar Rp 4.012 Triliun. Jika hanya mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tentu akan sangat mustahil bisa diwujudkan dalam waktu cepat. Itu sebabnya, untuk mendanai proyek-proyek MP3EI, pemerintah mengatur porsi pembiayaan terbesar dari swasta. Pemerintah hanya dibebani pembiayaan 10 persen dan BUMN sebesar 18 persen.
Program MP3EI sendiri diluncurkan pemerintah guna mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia. MP3EI berisi berbagai proyek percepatan dan perluasan pembangunan di segala bidang, meliputi pembangunan PLTU, pengembangan bandara, penambahan armada kapal ferry, pengembangan pelabuhan, pembangunan rel kereta api, serta proyek jalan tol.
Meski demikian, hingga detik ini, banyak kalangan menilai bahwa upaya perbaikan di sektor infrastruktur yang menjadi kunci keberhasilan program MP3EI masih jalan ditempat. Investasi yang masuk ke sektor ini dari pihak swasta dipandang masih minim akibat terkendala lemahnya pelayanan birokrasi dan jaminan keamanan penanaman modal di negeri ini. Dilain pihak, maraknya perilaku korup pejabat negara juga menjadi kendala yang terus membayangi.
Melihat kondisi ini, tentu pemerintah harus gerak cepat. Lambannya birokrasi dan masih was-wasnya para investor terkait keamanan menanamkan dananya di Indonesia harus segera dicarikan solusi. Memang, pemerintah sudah berupaya keras melakukan reformasi birokrasi. Akan tetapi, hingga kini belum menampakkan hasil yang memuaskan. Demikian halnya dengan pemberantasan korupsi. Seringnya terjadi tumpang-tindih penanganan kasus korupsi menyebabkan adanya ketidakpastian terkait usaha mereduksi praktik rasuah di tanah air. Poin-poin ini harus menjadi perhatian serius pemerintah. Karena jika tidak, harapan pendanaan proyek-proyek dalam program MP3EI dari sektor swasta yang mencapai 70 persen hanya akan menjadi mimpi belaka.
Modal Investment Grade
Akan tetapi, optimisme pemerintah bisa menarik pendanaan hingga 70 persen dari sektor swasta guna membiayai proyek-proyek dalam program MP3EI sebetulnya cukup beralasan. Karena selama sepuluh tahun terakhir, kinerja ekonomi Indonesia memang cukup baik. Ini bisa dijadikan modal untuk meyakinkan investor agar mau berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi dalam negeri, khsusunya di bidang infrastruktur.
Seperti diketahui, saat ini ekonomi Indonesia tumbuh dengan meyakinkan dan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara. PDB Indonesia pada tahun 2011 telah bernilai US$ 846 miliar dengan tingkat pertumbuhan PDB sebesar 6,5 persen. Tak heran jika kemudian Moody’s and Fitch Ratings menempatkan status Indonesia sebagai negara yang sangat layak untuk investasi (investment grade).
Tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia juga sangat positif. Indonesia menjadi satu diantara tiga negara (setelah China dan India) yang tetap mampu menjaga pertumbuhan ekonomi di tengah ancaman krisis global sejak 2008. Indonesia juga menjadi satu-satunya negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang tergabung dalam kelompok 20 negara dengan status ekonomi maju dan ekonomi sedang bangkit (G20).
Tak sampai disitu, Goldman Sachs Asset Management bahkan memberi predikat Indonesia sebagai satu diantara 4 negara yang memiliki prospek sebagai poros baru ekonomi dunia. Empat negara itu antara lain Meksiko, Indonesia, South Korea (Korea selatan), dan Turki (MIST). Goldman Sachs menyebut, perkembangan di negara MIST telah berhasil menggeser perkembangan di negara-negara yang tergabung dalam BRICs (Brazil, Russia, India, dan China).
Dengan catatan sebaik itu, tak begitu mengherankan apabila kemudian Menko Perekonomian Hatta Rajasa cukup pede dengan target pemerintah terkait pendanaan proyek-proyek MP3EI dari sektor swasta. Bahkan berkali-kali, tawaran pinjaman lunak dari luar negeri kerap di tolak. Misalnya, Hatta saat berkunjung ke Jepang mendapat tawaran pinjaman dana dari negeri samurai melalui Japan Bank for International Cooperation (JBIC) untuk membiayai proyek jembatan selat sunda (JSS). Akan tetapi, tawaran itu tidak diterima. Yang terbaru, Hatta juga melakukan penolakan terhadap tawaran dana pinjaman lunak dari pemerintah Kuwait untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur.
Merujuk kondisi di atas, sudah sepatutnya Indonesia tak mengandalkan utang lagi guna membiayai proyek-proyek dalam negeri. Akan sangat baik apabila pemerintah memaksimalkan promosi pembiayaan melalui jalur investasi. Dan kita cukup gembira karena pilihan itu yang saat ini di ambil oleh pemerintah. Hatta Rajasa berkali-kali mengatakan, kita tak tertarik berhutang, namun terus berusaha menarik dana investasi. Dan itu yang dilakukan Hatta kala melakukan kunjungan ke New York, Azerbaijan, Jepang, Korea Selatan, dan Kuwait dalam dua bulan terakhir.
Kendala Pembiayaan
Upaya pembangunan konektivitas dalam negeri bukanlah perkara mudah. Indonesia yang terdiri atas banyak pulau (Archipelago State) dengan jumlah kurang lebih 17.508 pulau, masih harus dipisahkan oleh lautan seluas 3.257.357 km². Untuk membangun konektivitas, tentu kendala paling nyata yang harus dihadapi adalah besarnya dana yang dibutuhkan untuk merealisasikannya, khususnya dalam membangun sarana infrastruktur.
Pemerintah sendiri memprediksi, dana yang dibutuhkan untuk bisa melaksanakan seluruh program MP3EI sebesar Rp 4.012 Triliun. Jika hanya mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tentu akan sangat mustahil bisa diwujudkan dalam waktu cepat. Itu sebabnya, untuk mendanai proyek-proyek MP3EI, pemerintah mengatur porsi pembiayaan terbesar dari swasta. Pemerintah hanya dibebani pembiayaan 10 persen dan BUMN sebesar 18 persen.
Program MP3EI sendiri diluncurkan pemerintah guna mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia. MP3EI berisi berbagai proyek percepatan dan perluasan pembangunan di segala bidang, meliputi pembangunan PLTU, pengembangan bandara, penambahan armada kapal ferry, pengembangan pelabuhan, pembangunan rel kereta api, serta proyek jalan tol.
Meski demikian, hingga detik ini, banyak kalangan menilai bahwa upaya perbaikan di sektor infrastruktur yang menjadi kunci keberhasilan program MP3EI masih jalan ditempat. Investasi yang masuk ke sektor ini dari pihak swasta dipandang masih minim akibat terkendala lemahnya pelayanan birokrasi dan jaminan keamanan penanaman modal di negeri ini. Dilain pihak, maraknya perilaku korup pejabat negara juga menjadi kendala yang terus membayangi.
Melihat kondisi ini, tentu pemerintah harus gerak cepat. Lambannya birokrasi dan masih was-wasnya para investor terkait keamanan menanamkan dananya di Indonesia harus segera dicarikan solusi. Memang, pemerintah sudah berupaya keras melakukan reformasi birokrasi. Akan tetapi, hingga kini belum menampakkan hasil yang memuaskan. Demikian halnya dengan pemberantasan korupsi. Seringnya terjadi tumpang-tindih penanganan kasus korupsi menyebabkan adanya ketidakpastian terkait usaha mereduksi praktik rasuah di tanah air. Poin-poin ini harus menjadi perhatian serius pemerintah. Karena jika tidak, harapan pendanaan proyek-proyek dalam program MP3EI dari sektor swasta yang mencapai 70 persen hanya akan menjadi mimpi belaka.
Modal Investment Grade
Akan tetapi, optimisme pemerintah bisa menarik pendanaan hingga 70 persen dari sektor swasta guna membiayai proyek-proyek dalam program MP3EI sebetulnya cukup beralasan. Karena selama sepuluh tahun terakhir, kinerja ekonomi Indonesia memang cukup baik. Ini bisa dijadikan modal untuk meyakinkan investor agar mau berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi dalam negeri, khsusunya di bidang infrastruktur.
Seperti diketahui, saat ini ekonomi Indonesia tumbuh dengan meyakinkan dan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara. PDB Indonesia pada tahun 2011 telah bernilai US$ 846 miliar dengan tingkat pertumbuhan PDB sebesar 6,5 persen. Tak heran jika kemudian Moody’s and Fitch Ratings menempatkan status Indonesia sebagai negara yang sangat layak untuk investasi (investment grade).
Tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia juga sangat positif. Indonesia menjadi satu diantara tiga negara (setelah China dan India) yang tetap mampu menjaga pertumbuhan ekonomi di tengah ancaman krisis global sejak 2008. Indonesia juga menjadi satu-satunya negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang tergabung dalam kelompok 20 negara dengan status ekonomi maju dan ekonomi sedang bangkit (G20).
Tak sampai disitu, Goldman Sachs Asset Management bahkan memberi predikat Indonesia sebagai satu diantara 4 negara yang memiliki prospek sebagai poros baru ekonomi dunia. Empat negara itu antara lain Meksiko, Indonesia, South Korea (Korea selatan), dan Turki (MIST). Goldman Sachs menyebut, perkembangan di negara MIST telah berhasil menggeser perkembangan di negara-negara yang tergabung dalam BRICs (Brazil, Russia, India, dan China).
Dengan catatan sebaik itu, tak begitu mengherankan apabila kemudian Menko Perekonomian Hatta Rajasa cukup pede dengan target pemerintah terkait pendanaan proyek-proyek MP3EI dari sektor swasta. Bahkan berkali-kali, tawaran pinjaman lunak dari luar negeri kerap di tolak. Misalnya, Hatta saat berkunjung ke Jepang mendapat tawaran pinjaman dana dari negeri samurai melalui Japan Bank for International Cooperation (JBIC) untuk membiayai proyek jembatan selat sunda (JSS). Akan tetapi, tawaran itu tidak diterima. Yang terbaru, Hatta juga melakukan penolakan terhadap tawaran dana pinjaman lunak dari pemerintah Kuwait untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur.
Merujuk kondisi di atas, sudah sepatutnya Indonesia tak mengandalkan utang lagi guna membiayai proyek-proyek dalam negeri. Akan sangat baik apabila pemerintah memaksimalkan promosi pembiayaan melalui jalur investasi. Dan kita cukup gembira karena pilihan itu yang saat ini di ambil oleh pemerintah. Hatta Rajasa berkali-kali mengatakan, kita tak tertarik berhutang, namun terus berusaha menarik dana investasi. Dan itu yang dilakukan Hatta kala melakukan kunjungan ke New York, Azerbaijan, Jepang, Korea Selatan, dan Kuwait dalam dua bulan terakhir.
No comments:
Post a Comment