Tuesday, November 27, 2012

Mengurai Bottleneck Arus Investasi

Share on :

Oleh ; Abdul Hakim MS


Di tengah stabilnya perekonomian Indonesia dalam kurun waktu enam tahun terakhir, Wakil Presiden Boediono tetap saja gelisah terkait masih sedikitnya jumlah entrepreneur (wirausahawan) yang kita punya. Seperti diketahui, jumlah wirausahawan yang dimiliki sebuah negara merupakan salah satu indikator untuk melihat baiknya pembangunan ekonomi yang dilakukan. Karena dengan banyaknya jumlah wirausahawan, akan berdampak pula pada derasnya arus investasi yang akan masuk kesebuah negara.

Merujuk data BPS pada Agustus 2012, jumlah penduduk Indonesia yang bisa diklasifikasikan sebagai wirausahawan, baru pada angka 1,6 persen (3.87 juta jiwa). Padahal, untuk dapat menggerakkan perekonomian secara baik, sebuah negara idealnya harus memiliki jumlah wirausahawan di atas 2 persen dari total jumlah penduduknya. Dalam konteks Indonesia, jumlah wirausahawan yang dibutuhkan sekitar 5 juta jiwa.

Jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia atau Singapura, Indonesia sedikit tertinggal. Saat ini, Malaysia telah memiliki jumlah wirausahawan sebesar 4.1 persen. Sementara Singapura memiliki jumlah wirausahawan lebih banyak lagi, yakni 7.2 persen. Bahkan jika dibandingkan dengan Negara maju seperti Amerika Serikat (AS), jumlah wirausahawan kita malah ketinggalan lebih jauh lagi, karena saat ini AS telah memiliki jumlah wirausahawan mencapai 11.5 persen dari total jumlah penduduknya.

Itu sebabnya, Wakil Presiden Boediono saat membuka Global Entrepreneurship Week (GEW) di Jakarta beberapa waktu lalu, sangat mewanti-wanti segenap kalangan untuk mewaspadai faktor-faktor yang bisa menjadi batu sandungan (bottlenect) berkembangnya jumlah usahawan di Indonesia. Boediono menyebut, setidaknya ada sekitar enam faktor yang menjadi penghambat laju perkembangan jumlah wirausahawan (baca arus investasi) di Indonesia. Pertama, ketidakjelasan law and order dibeberapa daerah yang masih rawan konflik. Kedua, kestabilan pertumbuhan ekonomi, baik secara makro maupun mikro. Ketiga, masih rendahnya penyediaan infrastruktur. Keempat, sinkronisasi regulasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam kerangka otonomi daerah. Kelima, faktor perbankan. Dan keenam, minimnya tenaga kerja yang terlatih dan memiliki skill yang baik.

Perbaikan Infrastruktur

Namun dari enam kendala yang menjadi penghambat perkembangan jumlah wirausahawan/arus investasi yang disebutkan Boediono, masalah perbaikan infrastruktur merupakan poin paling menarik untuk didiskusikan. Hal itu disebabkan, masalah penyediaan infrastruktur yang layak merupakan trigger utama untuk dapat menarik dana investor ke dalam negeri.

Saat ini, kita cukup gembira karena upaya memperbaiki infrastruktur sedang digalakkan pemerintah. Melalui program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), pemerintah berupaya keras untuk memperbaiki infrastruktur guna menciptakan konektivitas ekonomi di 33 Provinsi di Indonesia. Akan tetapi, upaya pembangunan konektivitas ini juga bukanlah perkara mudah. Indonesia yang merupakan negara archipelago dengan jumlah kurang lebih 17.500 pulau, masih harus dipisahkan oleh lautan seluas 3.3 juta km². Untuk membangun konektivitas, tentu kendala paling nyata yang harus dihadapi adalah besarnya dana yang dibutuhkan untuk merealisasikannya. Pemerintah sendiri memprediksi, dana yang diperlukan untuk bisa melaksanakan seluruh program MP3EI sebesar Rp 4.012 Triliun.

Program MP3EI sendiri merupakan perpaduan program-program dalam upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia. MP3EI berisi berbagai proyek perbaikan infrastruktur di segala bidang, meliputi pembangunan PLTU, pengembangan bandara, penambahan armada kapal ferry, pengembangan pelabuhan, pembangunan rel kereta api, serta proyek jalan tol.

Kabar buruknya, banyak kalangan menilai bahwa upaya perbaikan di sektor infrastruktur transportasi yang menjadi kunci keberhasilan program MP3EI masih jalan ditempat. Investasi yang masuk ke sektor ini dari pihak swasta dipandang masih minim akibat terkendala lemahnya pelayanan birokrasi dan jaminan keamanan penanaman modal. Dilain pihak, maraknya perilaku korup pejabat negara juga menjadi kendala yang terus membayangi.

Demo Buruh

Namun masalah yang tak kalah pentingnya terkait keinginan mengembangkan jumlah wirausahawan/arus investasi di tanah air adalah masalah perburuhan. Maraknya demonstrasi para pekerja yang berprilaku anarkis akhir-akhir ini, menyebabkan Menko Perekonomian Hatta Rajasa sangat khawatir akan berdampak pada iklim investasi di tanah air yang sedang membaik. Hatta mengaku, jika persoalan buruh tak dengan segera dicarikan solusi, hal ini akan menjadi batu sandungan terberat dalam upaya pembangunan ekonomi bangsa.

Itu sebanya, penyelesaian secara cepat persoalan buruh ini menjadi ujian berat pemerintah. Di tengah keinginan untuk menggalakkan pertumbuhan ekonomi dengan menjadikan arus investasi sebagai dayang dorong utama, pemerintah dituntut untuk dengan segera bisa menyelesaikan persoalan buruh ini. Karena jika hal itu bisa dilakukan, tentu Indonesia bisa membuktikan kepada dunia internasional bahwa negara ini memang layak menjadi tujuan investasi yang baik.

Seperti diketahui bersama, demo buruh yang terkadang dibarengi dengan prilaku kekerasan atau krimimal telah membuat beberapa pengusaha gerah. Sebagian bahkan telah mengancam akan memindahkan tempat produksi mereka ke negara lain. Sempat berhembus kabar bahwa PT. Bata Tbk. dan 9 perusahaan lainnya akan hengkang dan mencabut investasinya di tanah air.

Kita memang tak bisa menyalahkan para pekerja turun ke lapangan untuk memperjuangkan hak-hak mereka demi terpenuhinya standar kebutuhan hidup layak (KHL). Karena setiap manusia memang mengarapkan hal serupa. Cuma yang kita sayangkan, aksi-aksi menuntut KHL ini kerap diwarnai oleh kegiatan yang tak semestinya, seperti pemblokiran jalan tol, aksi sweeping, dan pengrusakan fasilitas-fasilitas umum. Bukankah itu akan merugikan kita semua?

Melihat kondisi di atas, kita semua tentu berharap dialog tripartit yang saat ini sedang digelar bisa menemukan titik terang. Pengusaha, pemerintah, dan buruh diharapkan bisa membahas kepentingan masing-masing dengan kepala dingin. Karena seperti dibahas sebelumnya, persoalan yang menjadi penghambat tak hanya masalah buruh, melainkan masih banyak persoalan lainnya.

Ibarat memasuki pintu putar, kendala mengembangkan jumlah wirausahawan/arus investasi ini memang tak akan pernah mudah. Karena ketika kita memasuki suatu masalah, didepan telah menunggu masalah lainnya. Itu sebabnya, pemerintah diharapkan bisa bertindak cepat dan arif dalam menyikapi berbagai permasalahan yang muncul. Karena jika tidak, upaya pembangunan dengan berbasis investasi akan menjadi jargon belaka. Dan rezim investasi yang disebut-sebut Presiden SBY untuk menamai pemerintahannya, hanya akan menjadi “lelucon” yang tak lucu.

No comments: