Oleh : Abdul Hakim MS
Banyak orang tak mengira, Presiden SBY berani mengambil tindakan tegas terkait konflik yang sedang membelit dua lembaga penegak hukum kita, KPK vs Polri. Di saat perseteruan dua lembaga ini berada dititik puncak, Presiden SBY berhasil meredakan situasi dengan “turun gunung” menengahi pertikaian yang semakin memanas.
Seperti diketahui, seteru KPK-Polri berada dititik didih kala polisi menggeruduk Gedung KPK untuk membawa paksa Kompol Novel Baswedan pada 5 Agustus lalu. Saat menjabat sebagai Kasatreskrim Polres Bengkulu pada 2004, Novel dituduh terlibat tindak pidana kekerasan yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang dalam kasus pencurian sarang burung walet. Novel sendiri merupakan tim penyidik KPK yang menangani kasus simulator SIM Korlantas Polri. Dalam kasus ini, nama salah satu jenderal di kepolisian, Djoko Susilo, masuk dalam daftar tersangka.
Syahdan, ulah Polri ini menuai reaksi keras dari masyarakat. Berbagai kalangan menilai, tindakan yang dilakukan korps berseragam coklat ini sebagai tindak kesewenang-wenangan. Bahkan salah satu pimpinan KPK, Bambang Widjayanto, menyebut, upaya yang dilakukan Polri merupakan bentuk kriminalisasi yang dilakukan terhadap salah satu penyidiknya.
Atas konflik yang semakin meruncing ini, Presiden pun turun tangan. Dalam keterangan pers di Istana Negara pada 8 agustus lalu, presiden mengambil empat kebijakan penting. Pertama, kewenangan penanganan kasus simulator SIM yang sebelumnya menjadi perebutan dua institusi ini diserahkan kepada KPK. Kedua, keinginan Polri untuk melakukan proses hukum terhadap Kompol Novel Baswedan dinilai presiden tidak tepat dari segi waktu dan caranya. Ketiga, masa penugasan penyidik Polri di KPK akan diatur ulang dalam peraturan pemerintah (PP). Dan keempat, upaya DPR-RI untuk melakukan revisi UU KPK sangat tidak tepat dilakukan saat ini.
Menjaga Komitmen Polri
Substansi empat kebijakan penting yang dikeluarkan Presiden SBY ini tentu menjadi kabar baik bagi masyarakat yang mengharapkan adanya penguatan terhadap kelembagaan KPK. Di saat lembaga hukum lain masih dipertanyakan komitmennya dalam upaya pemberantasan korupsi, KPK saat ini masih merupakan satu-satunya lembaga yang paling bisa diharapkan untuk menggerus praktik rasuah di tanah air.
Terhadap sikap presiden ini, kita tentu patut memberikan apreseasi. Dugaan banyak kalangan bahwa presiden SBY akan bersikap normatif terhadap konflik KPK-Polri ternyata tidak terbukti. Bahkan, apa yang disampaikan presiden ini merupakan upaya yang bisa dibilang semakin memperkokoh kedudukan KPK dalam menjalankan tugasnya. Meski demikian, para pegiat antikorupsi tak boleh terlalu terlena. Tugas pengawalan terhadap penguatan KPK belum selesai, khususnya terkait poin penanganan kasus simulator SIM yang sudah diserahkan presiden kepada KPK, dan proses hukum terhadap Kompol Novel Baswedan.
Pentingnya pengawasan tersebut merujuk pada fakta bahwa institusi Polri kerap “membangkang” instruksi yang sudah diberikan presiden. Indikasi tersebut terlihat dari masih ngototnya Polri untuk tetap melanjutkan proses hukum terhadap Kompol Novel Baswedan. Padahal, jelas-jelas Presiden SBY mengatakan bahwa proses hukum yang dikenakan kepada Novel saat ini sangat tidak tepat, baik dari sisi waktu maupun caranya.
Selain indikasi pembangkanan di atas, kasus pembangkangan lain juga kerap dilakukan Polri. Tentu kita masih ingat terkait kasus rekening gendut para perwira tinggi Polri yang menghebohkan pada tahun 2011. Untuk menepis kecurigaan masyarakat, Presiden SBY memerintahkan agar kasus rekening gendut mantan jenderal-jenderal Polri dituntaskan. Bahkan perintah presiden untuk membuka data rekening gendut tersebut juga diperkuat dengan putusan Komisi Informasi Pusat yang mengabulkan gugatan ICW pada 8 Februari 2011. Dalam gugatannya, ICW meminta agar data rekening jumbo tujuh belas perwira Polri dibuka. Akan tetapi, hingga kini belum terlihat itikad baik pihak Polri untuk melakukan hal tersebut.
Kasus lain terkait perintah presiden yang tak dengan segera ditindaklanjuti Polri adalah investigasi terhadap kasus penganiayaan yang menimpa aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama S Langkun. Pada Juli 2010, tama yang baru pulang nonton sepak bola dari Kemang, tiba-tiba diserang sejumlah pria tak dikenal sampai luka di bagian kepala sehingga membutuhkan 29 jahitan. Penganiayaan itu sendiri diduga, karena Tama merupakan pelapor ‘rekening gendut’ perwira tinggi Polri ke KPK.
Beberapa indikasi di atas menunjukkan bahwa Polri sering lambat menangani kasus-kasus yang memiliki keterkaitan langsung dengan institusinya. Untuk itu, dalam kasus simulatir SIM yang melibatkan perwira tingginya, tentu perlu dilakukan pengawalan berbagai pihak agar perintah Presiden SBY betul-betul bisa dilaksanakan.
Political will DPR-RI
Selain poin perintah penyerahan penanganan kasus simulator SIM ke KPK, poin krusial lain yang perlu ditindaklanjuti adalah himbauan presiden terkait tak tepatnya DPR-RI melakukan reivisi UU KPK saat ini. Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dinilai sudah cukup mumpuni untuk menindak para koruptor. Proses revisi yang diantaranya mengusulkan hilangnya wewenang penuntutan oleh KPK dan kewenangan penyadapan yang dilakukan KPK harus mendapat izin pengadilan, dipandang hanya sebagai upaya politisi di Senayan untuk melemahkan keberadaan KPK.
Padahal, korupsi dinegeri ini sudah seperti tumor stadium empat yang sangat sulit untuk diangkat. Apabila kewenangan penuntutan dan penyadapan dihilangkan, lantas apalagi kewenangan yang dipunyai KPK? Itu sebabnya, political will DPR-RI saat ini sangat dibutuhkan guna mendukung gerakan KPK yang saat ini sedang melakukan bersih-bersih di tubuh Polri.
Pekerjaan bersih-bersih di tubuh Polri bukanlah perkara mudah. Lembaga korps Bhayangkara ini merupakan institusi yang seolah “tak terjamah hukum” selama ini. Padahal, bersih-bersih di tubuh Polri ini sangat penting dilakukan, jika merujuk keberhasilan pembentukan Independent Commission Against Corruption (ICAC) di Hongkong tahun 1973.
ICAC saat ini banyak menjadi rujukan berbagai negara untuk membentuk model lembaga anti korupsi. Keberhasilan utama ICAC adalah gebrakannya dalam memberantas korupsi. Tidak tanggung-tanggung, sosok yang pertama ditangkap adalah Peter Godber, Kepala Kepolisian Hongkong. Ia memiliki kekayaannya yang dinilai tidak masuk akal jika dilihat dari pendapatan resminya. Gebrakan ICAC ini menggetarkan seluruh jajaran kepolisian yang selama kurun waktu 1960 hingga awal 1970 seolah kebal terhadap hukum. Hasilnya, kepolisian Hongkong dikenal sebagai yang paling efektif dan tidak korup di Asia (Klitgaard, 1998).
Merujuk pengalaman tersebut, kebijakan antikorupsi akan efektif jika ditopang oleh kuatnya kewenangan lembaga antikorupsi yang ada. Karena sangat mustahil ICAC mampu dan berani menangkap Kepala kepolisian Hongkong jika tak disertai kewenangan yang memadai dari undang-undang. Itu sebabnya, patut kita himbau, hendaknya DPR memiliki kemauan politik yang kuat untuk memberantas korupsi. Sehingga usulan revisi UU KPK tak dimaksudkan untuk melemahkan, namun sebaliknya untuk memperkuat KPK. Telah tiba saatnya, momentum perseteruan KPK-Polri ini dijadikan papan loncatan utama dalam upaya gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Atas konflik yang semakin meruncing ini, Presiden pun turun tangan. Dalam keterangan pers di Istana Negara pada 8 agustus lalu, presiden mengambil empat kebijakan penting. Pertama, kewenangan penanganan kasus simulator SIM yang sebelumnya menjadi perebutan dua institusi ini diserahkan kepada KPK. Kedua, keinginan Polri untuk melakukan proses hukum terhadap Kompol Novel Baswedan dinilai presiden tidak tepat dari segi waktu dan caranya. Ketiga, masa penugasan penyidik Polri di KPK akan diatur ulang dalam peraturan pemerintah (PP). Dan keempat, upaya DPR-RI untuk melakukan revisi UU KPK sangat tidak tepat dilakukan saat ini.
Menjaga Komitmen Polri
Substansi empat kebijakan penting yang dikeluarkan Presiden SBY ini tentu menjadi kabar baik bagi masyarakat yang mengharapkan adanya penguatan terhadap kelembagaan KPK. Di saat lembaga hukum lain masih dipertanyakan komitmennya dalam upaya pemberantasan korupsi, KPK saat ini masih merupakan satu-satunya lembaga yang paling bisa diharapkan untuk menggerus praktik rasuah di tanah air.
Terhadap sikap presiden ini, kita tentu patut memberikan apreseasi. Dugaan banyak kalangan bahwa presiden SBY akan bersikap normatif terhadap konflik KPK-Polri ternyata tidak terbukti. Bahkan, apa yang disampaikan presiden ini merupakan upaya yang bisa dibilang semakin memperkokoh kedudukan KPK dalam menjalankan tugasnya. Meski demikian, para pegiat antikorupsi tak boleh terlalu terlena. Tugas pengawalan terhadap penguatan KPK belum selesai, khususnya terkait poin penanganan kasus simulator SIM yang sudah diserahkan presiden kepada KPK, dan proses hukum terhadap Kompol Novel Baswedan.
Pentingnya pengawasan tersebut merujuk pada fakta bahwa institusi Polri kerap “membangkang” instruksi yang sudah diberikan presiden. Indikasi tersebut terlihat dari masih ngototnya Polri untuk tetap melanjutkan proses hukum terhadap Kompol Novel Baswedan. Padahal, jelas-jelas Presiden SBY mengatakan bahwa proses hukum yang dikenakan kepada Novel saat ini sangat tidak tepat, baik dari sisi waktu maupun caranya.
Selain indikasi pembangkanan di atas, kasus pembangkangan lain juga kerap dilakukan Polri. Tentu kita masih ingat terkait kasus rekening gendut para perwira tinggi Polri yang menghebohkan pada tahun 2011. Untuk menepis kecurigaan masyarakat, Presiden SBY memerintahkan agar kasus rekening gendut mantan jenderal-jenderal Polri dituntaskan. Bahkan perintah presiden untuk membuka data rekening gendut tersebut juga diperkuat dengan putusan Komisi Informasi Pusat yang mengabulkan gugatan ICW pada 8 Februari 2011. Dalam gugatannya, ICW meminta agar data rekening jumbo tujuh belas perwira Polri dibuka. Akan tetapi, hingga kini belum terlihat itikad baik pihak Polri untuk melakukan hal tersebut.
Kasus lain terkait perintah presiden yang tak dengan segera ditindaklanjuti Polri adalah investigasi terhadap kasus penganiayaan yang menimpa aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama S Langkun. Pada Juli 2010, tama yang baru pulang nonton sepak bola dari Kemang, tiba-tiba diserang sejumlah pria tak dikenal sampai luka di bagian kepala sehingga membutuhkan 29 jahitan. Penganiayaan itu sendiri diduga, karena Tama merupakan pelapor ‘rekening gendut’ perwira tinggi Polri ke KPK.
Beberapa indikasi di atas menunjukkan bahwa Polri sering lambat menangani kasus-kasus yang memiliki keterkaitan langsung dengan institusinya. Untuk itu, dalam kasus simulatir SIM yang melibatkan perwira tingginya, tentu perlu dilakukan pengawalan berbagai pihak agar perintah Presiden SBY betul-betul bisa dilaksanakan.
Political will DPR-RI
Selain poin perintah penyerahan penanganan kasus simulator SIM ke KPK, poin krusial lain yang perlu ditindaklanjuti adalah himbauan presiden terkait tak tepatnya DPR-RI melakukan reivisi UU KPK saat ini. Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dinilai sudah cukup mumpuni untuk menindak para koruptor. Proses revisi yang diantaranya mengusulkan hilangnya wewenang penuntutan oleh KPK dan kewenangan penyadapan yang dilakukan KPK harus mendapat izin pengadilan, dipandang hanya sebagai upaya politisi di Senayan untuk melemahkan keberadaan KPK.
Padahal, korupsi dinegeri ini sudah seperti tumor stadium empat yang sangat sulit untuk diangkat. Apabila kewenangan penuntutan dan penyadapan dihilangkan, lantas apalagi kewenangan yang dipunyai KPK? Itu sebabnya, political will DPR-RI saat ini sangat dibutuhkan guna mendukung gerakan KPK yang saat ini sedang melakukan bersih-bersih di tubuh Polri.
Pekerjaan bersih-bersih di tubuh Polri bukanlah perkara mudah. Lembaga korps Bhayangkara ini merupakan institusi yang seolah “tak terjamah hukum” selama ini. Padahal, bersih-bersih di tubuh Polri ini sangat penting dilakukan, jika merujuk keberhasilan pembentukan Independent Commission Against Corruption (ICAC) di Hongkong tahun 1973.
ICAC saat ini banyak menjadi rujukan berbagai negara untuk membentuk model lembaga anti korupsi. Keberhasilan utama ICAC adalah gebrakannya dalam memberantas korupsi. Tidak tanggung-tanggung, sosok yang pertama ditangkap adalah Peter Godber, Kepala Kepolisian Hongkong. Ia memiliki kekayaannya yang dinilai tidak masuk akal jika dilihat dari pendapatan resminya. Gebrakan ICAC ini menggetarkan seluruh jajaran kepolisian yang selama kurun waktu 1960 hingga awal 1970 seolah kebal terhadap hukum. Hasilnya, kepolisian Hongkong dikenal sebagai yang paling efektif dan tidak korup di Asia (Klitgaard, 1998).
Merujuk pengalaman tersebut, kebijakan antikorupsi akan efektif jika ditopang oleh kuatnya kewenangan lembaga antikorupsi yang ada. Karena sangat mustahil ICAC mampu dan berani menangkap Kepala kepolisian Hongkong jika tak disertai kewenangan yang memadai dari undang-undang. Itu sebabnya, patut kita himbau, hendaknya DPR memiliki kemauan politik yang kuat untuk memberantas korupsi. Sehingga usulan revisi UU KPK tak dimaksudkan untuk melemahkan, namun sebaliknya untuk memperkuat KPK. Telah tiba saatnya, momentum perseteruan KPK-Polri ini dijadikan papan loncatan utama dalam upaya gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia.
No comments:
Post a Comment