Tuesday, November 27, 2012

SBY dan “Knight Grand Cross of the Order of Bath”

Share on :

Oleh : Abdul Hakim MS


Wajah Indonesia kembali bersemi di luar negeri. Di saat media lokal terus menghujani kritik terhadap pemerintahan Yudhoyono, di luar negeri, peran Presiden SBY dalam membangun bangsa malah terus menuai apreseasi positif. Berbagai penghargaan datang silih berganti, mulai dari penghargaan dari PBB, Majalah Time, Avatar, Newsweek maupun dari Global Microcredit Summit Campaign. Yang terbaru dan cukup membanggakan adalah penghargaan yang diberikan oleh Ratu Inggris, Queen Elizabeth II.

Penghargaan yang diterima Presiden SBY dari Kerajaan Inggris ini terbilang cukup istimewa, yakni ”Knight Grand Cross of the Order of Bath”. Hal ini disebabkan, hanya segelintir pemimpin dunia saja yang pernah mendapatkannya. Mereka adalah Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan, Presiden Perancis Jaques Chirac, dan Presiden Turki Abdullah Gul.

Dalam tradisi Inggris, anugerah “Knight Grand Cross of the Order of Bath” diberikan kepada seseorang yang memiliki prestasi luar biasa. Pada awalnya, gelar tersebut hanya disematkan kepada sosok yang berjasa di bidang kemiliteran Inggris. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, penghargaan ini kemudian juga di berikan kepada sipil yang turut berperan dalam perubahan dunia. Pertama kali penghargaan ini diberikan oleh Raga George I pada tahun 1725. Pertanyaannya, pantaskah Presiden SBY menggamit penghargaan ini?

Laju Demokrasi dan Ekonomi

Jika merujuk alasan kenapa penghargaan ini diberikan, sepertinya cukup wajar jika Presiden SBY menerima penghargaan ini. Seperti dikemukakan oleh Duta Besar Inggris untuk Indonesia Mark Canning, ada dua alasan utama sehingga “Knight Grand Cross of the Order of Bath” jatuh kepangkuan SBY. Alasan pertama adalah berkat perkembangan demokratisasi di Indonesia yang sangat pesat. Berbeda dengan negara lain, waktu yang dibutuhkan dalam mengarungi masa transisi dari negara diktator menjadi negara demokrasi relatif sangat cepat.

Atas capaian fenomenal ini, Indonesia kini menjadi contoh bagi model transisi demokrasi di dunia ketiga. Banyak negara yang ingin belajar melalui Bali Democracy Forum (BDF) yang setiap tahunnya digelar di Indonesia. Forum ini bukan media kerjasama program antar-negara, melainkan hanya sharing session mengenai pelaksanaan demokrasi di sejumlah kawasan. Itu sebabnya, kegiatan ini selalu dihadiri oleh delegasi dari puluhan negara, kelompok masyarakat, NGO, dan pihak-pihak yang mendukung penguatan hak-hak sipil.

Selain laju demokrasi, alasan kedua mengapa penghargaan tersebut diberikan adalah karena kemajuan perekonomian Indonesia yang luar biasa. Ratu Inggris sangat terkesan atas capaian pertumbuhan ekonomi yang dulu sempat luluh-lantah akibat krisis ekonomi 1998. Tak dinyana, Indonesia mampu bangkit dan menjadi salah satu negara anggota G-20 yang memiliki perkembangan pembangunan ekonomi cukup pesat.

Seperti di ketahui, Indonesia memang menjadi negara yang memiliki daya tahan cukup kuat saat krisis melanda dunia pada 2008 dan 2012. Alih-alih ikut tergerus, Indonesia malah mencatatkan pertumbuhan yang sangat positif. Lihat saja data pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak 2006. Di saat beberapa negara dunia sedang tiarap, Indonesia pada tahun itu mengalami pertumbuhan sebesar 5,5 persen. Demikian halnya di tahun-tahun berikutnya, pada 2007 pertumbuhan mencapai 6,3 persen, 2008 mencapai 6 persen, 2009 mencapai 4,6 persen, 2010 mencapai 6,1 persen, dan pada 2011 mencapai 6,5 persen.

Pada tahun ini, pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2012 bisa menembus angka 6,4 persen atau naik dibandingkan dengan triwulan yang sama pada tahun 2011 yang sebesar 6,3 persen. Itu sebabnya pemerintah cuku optimis pertumbuhaan tahun ini bisa berada di angka 6.3 – 6.5 persen. Bahkan pemerintah sangat optimis pada tahun 2013 pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada diangka 6.8 persen.

Melihat paparan ini, penghargaan yang diterima Presiden SBY menjadi sangat relevan. Kinerja baik dalam menumbuhkembangkan demokrasi, plus kinerja ekonomi yang cukup mengesankan, menjadikan “Knight Grand Cross of the Order of Bath” sangat layak disematkan pada Menantu Sarwo Edhi Wibowo ini.

Mengatasi Bottleneck

Penghargaan yang diterima oleh Presiden SBY ini harus dimanfaatkan dengan baik. Hal ini bisa dijadikan modal utama untuk terus meningkatkan kerja sama bilateral kedua negara. Selama ini, Inggris merupakan mitra dagang terbesar kedua Indonesia setelah Singapura.

Pada tahun 2011, total nilai ekspor Indonesia ke Inggris mencapai US$ 1,72 miliar. Angka ini sebetulnya naik sedikit dibandingkan tahun sebelumnya senilai US$1,7 miliar. Ekspor Indonesia ke Inggris didominasi oleh produk alas kaki, furnitur, mesin cetak, karet alam, serta beberapa jenis pakaian. Sementara total nilai impor Indonesia dari Inggris pada tahun 2011 mencapai US$1,17 miliar, atau naik jika dibandingkan tahun sebelumnya sebesar US$938 juta. Impor Indonesia dari Inggris didominasi oleh produk daur ulang kertas dan karton, otomotif, baja dalam bentuk waste dan scrap, serta peralatan kapal pesiar, perahu dayung, dan kano.

Melihat baiknya hubungan dagang kedua negara, sudah sepatutnya Indonesia bisa memanfaatkan momentum ini. Indonesia bisa meminta bantuan terutama untuk menyingkirkan bottleneck aturan REACH atau Registration, Evaluation, Authorization and Restrictions of Chemicals. Selama ini, REACH telah menjadi penghambat terbesar masuknya produk-produk Indonesia ke Inggris dan Uni Eropa.

Selain itu, Indonesia juga bisa bekerja sama dengan Inggris untuk mendorong Eropa agar segera memberikan pengakuan atas Sistem Verifikasi Legalitas Kayu Indonesia (SVLK). Belum diakuinya SVLK, menyebabkan ekpor kayu kita menjadi terhambat. Padahal, kayu merupakan salah satu produk andalan komoditi ekspor Indonesia.

Yang tak boleh dilupakan, momentum baik penerimaan penghargaan Presiden SBY ini harus bisa dimanfaatkan untuk dapat menggaet investor sebanyak-banyaknya. Indonesia yang saat ini sedang menggenjot upaya konektivitas melalui program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), sedang membutuhkan modal besar. Tidak mudah menyambungkan negara kepulauan (Archipelago State) yang memiliki kurang lebih 17.508 pulau yang dipisahkan oleh lautan seluas 3.257.357 km². Akan mustahil hal itu bisa diwujudkan apabila hanya mengandalkan pembiayaan dari APBN.

No comments: