Monday, August 13, 2012

Urgensi Mengawal Transformasi Ekonomi

Oleh : Abdul Hakim MS


Beberapa waktu yang lalu, Presiden SBY mengatakan bahwa transformasi yang tengah dilakukan bangsa Indonesia untuk menuju ke sebuah negara dengan sistem ekonomi yang kuat belumlah selesai. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan. Jika hal itu bisa dilalui, maka sudah sepatutnya di pertengahan abad 21 nanti Indonesia bisa menjadi negara yang statusnya bukan hanya emerging economy, tetapi sudah bertransformasi menjadi negara developed economy.

Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2011 yang sudah menyentuh angka 6,5 persen, dipandang presiden belumlah cukup untuk mewujudkan mimpi itu. Agar angan-angan menjadi negara dengan status developed economy bisa tercapai, Indonesia mesti harus mampu menggapai pertumbuhan ekonomi hingga 7-8 persen setiap tahun. Itu sebabnya, semua komponen yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi saat ini sedang dibangun, dikembangkan, dan ditingkatkan.

Namun yang menjadi pertanyaan, mampukah Indonesia terus menjaga dan mengawal transformasi positif ekonomi ini sehingga pada pertengahan abad 21 nanti Indonesia betul-betul bisa masuk dalam jajaran negara-negara maju dunia, seperti mimpi presiden SBY?


Menjaga Trend

Jika merujuk pada catatan makro ekonomi kita, mimpi presiden tersebut sebetulnya tidak berlebihan. Meski banyak pihak memandang Indonesia cenderung mendekati negara gagal, negara auto pilot, atau julukan yang dilahirkan oleh sikap pesimistis lainnya, namun sebetulnya saat ini ekonomi Indonesia berada dalam trend yang cukup positif. 

Beberapa catatan trend positif itu antara lain, saat krisis global menghantam pada rentang 2008 – 2009, Indonesia menjadi satu diantara tiga negara (setelah China dan India) yang tetap mampu menjaga pertumbuhan positif. Pembangunan ekonomi Indonesia tidak pernah lay-off seperti yang terjadi di beberapa negara dunia. Lihat saja data pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak 2006 misalnya. Di saat beberapa negara dunia sedang tiarap, Indonesia pada tahun itu mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5 persen. Demikian halnya pada tahun-tahun berikutnya, pada 2007 pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,3 persen, 2008 mencapai 6 persen, 2009 mencapai 4,6 persen, 2010 mencapai 6,1 persen, dan pada 2011 mencapai 6,5 persen. Dan pada tahun 2012 ini, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dilakukan oleh Bank Indonesia ada di kisaran angka 6,3 persen sampai 6,7 persen.

Indonesia juga menjadi satu-satunya negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang tergabung dalam kelompok 20 negara dengan status ekonomi maju dan ekonomi baru bangkit (G20). G20 merupakan forum pengganti kelompok 8 negara maju (G8). Seperti kita tahu, selama puluhan tahun, arah ekonomi dunia sangat ditentukan oleh kelompok 8 (G8) ini yang beranggotakan AS, Inggris, Jerman, Perancis, Italia, Rusia, Kanada, dan Jepang.

Itu sebabnya, Indonesia dinilai sangat layak masuk dalam kelompok negara berkembang dan berpengaruh di percaturan perekonomian global (Brazil, Rusia, India, China/BRIC). Layaknya Indonesia masuk dalam BRIC seperti diungkapkan oleh Goldman Sachs sekitar empat tahun lalu. Goldman Sachs membuat daftar sejumlah negara, seperti Bangladesh, Mesir, Indonesia, Iran, Meksiko, Nigeria, Pakistan, Filipina, Korea Selatan, Turki, dan Vietnam dalam rangka mencari BRIC baru. Kriteria yang ia gunakan adalah negara dengan stabilitas ekonomi makro, kematangan politik, keterbukaan perdagangan dan kebijakan investasi, serta kualitas pendidikan.

Dengan rentetan catatan positif seperti tertuang di atas, tak begitu mengherankan apabila kemudian jika presiden SBY sangat optimis terkait pembangunan ekonomi ke depan. Indonesia yang pernah luluh-lantah oleh hantaman krisis ekonomi pada 1998, ternyata bisa dengan cukup akseleratif bangkit dari keterpurukan dan berhasil menuai pembangunan ekonomi yang cukup mengesankan. 

Namun pertanyaan lanjutannya adalah, meski banyak catatan positif, akankah mimpi presiden SBY agar Indonesia menjadi developed economy pada pertengahan abad 21 bisa berjalan dengan mudah? 

Daya Saing

Meski banyak catatan positif telah ditorehkan selama ini, Indonesia tetap harus waspada dan tak boleh terlalu terlena dengan buaian data-data di atas. Hal itu dikarenakan masih banyak kerikil-kerikil tajam yang siap menghadang laju positif pembangunan ekonomi kita. Yang paling kentara tentulah persoalan rendahnya daya saing yang dimiliki Indonesia dibandingkan dengan negara-negara berkembang satu kawasan.

Kalahnya daya saing Indonesia bisa terlihat dari laporan International Finance Corporation (IFC) misalnya. Menurut lembaga yang bermarkas di Amerika Serikat ini, untuk negara-negara yang berada di kawasan Asia Pasifik, daya saing Indonesia masih kalah dengan Thailan dan Malaysia. Indonesia hanya menempati posisi 129, jauh di bawah Thailand dan Malaysia yang menduduki peringkat 17 dan 18. Dari data ini bisa dibaca bahwa Nusantara ternyata belum begitu ramah bagi para pengusaha yang menanamkan modalnya disini. 

Seperti kita tahu, persoalan daya saing ini sangat erat kaitannya dengan keberadaan birokrasi dalam mengelola negara. Hingga detik ini, citra birokrasi Indonesia di mata dunia masih kurang baik. Maraknya pungutan liar (pungli) menyebabkan biaya tak resmi menjadi mahal. Bahkan untuk mendirikan usaha di Indonesia, para pengusaha harus mengeluarkan biaya empat kali lipat dibandingkan dengan mendirikan usaha di Thailand.

Selain birokrasi, persoalan lain yang menjadikan daya saing Indonesia masih kalah dengan negara tetangga adalah masih lemahnya sektor infrastruktur yang ada. Tak jarang para pengusaha harus memutar otak akibat mahalnya biaya transportasi. Hal ini yang menyebabkan ketimpangan harga antara satu daerah dengan daerah lainnya cukup tajam. Harga barang di Papua misalnya, bisa jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga barang yang ada di pulau Jawa.

Untuk itu, ke depan pemerintah harus serius menangani kendala ini. Memang, gaung reformasi birokrasi sudah sangat lantang disuarakan. Namun hingga detik ini belum sepenuhnya membuahkan hasil. Demikian pula dengan pembangunan infrastruktur. Meski pemerintah sudah getol melakukan pembenahan, perbaikan disektor ini juga belum maksimal.

Kita faham bahwa membangun infrastruktur bukan perkara mudah. Dalam lima tahun ke depan saja, misalnya, pemerintah menaksir butuh baiaya sedikitnya Rp 1.500 triliun untuk peningkatan infrastruktur di seluruh Indonesia. Jumlah itu memang tak sedikit karena lebih besar dari jumlah APBN Indonesia tiap tahunnya. 

Meski demikian, tantangan yang ada ini jangan kemudian menjadi alasan turunnya trend positif pembangunan ekonomi kita. Untuk menjaganya, dibutuhkan kerja sama yang kuat disemua kalangan. Bersama pemerintah, seluruh stakeholder harus bahu-membahu untuk mewujudkan cita-cita menjadi negara yang ekonominya maju dan berkeadilan. Disinilah letak urgensi mengawal transformasi ini. Karena jika tidak, Indonesia yang telah berhasil dengan susah payah melakukan transformasi positif setelah luluh-lantah akibat krisis 1998, bisa kembali mundur ke belakang dan kembali tertinggal jauh oleh negara-negara satu kawasan.


Baca Selengkapnya...