Monday, January 21, 2013

Menyoal Netralitas Pers dalam Kontestasi Pilpres 2014

Oleh : Abdul Hakim MS


Dalam sistem politik yang terbuka, pers berperan sangat penting dalam menentukan berkembang atau tidaknya demokrasi. Itu sebabnya, Edmund Burke tak segan menyebut pers sebagai pilar keempat demokrasi setelah Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Hal itu merujuk pada empat peran ideal pers yang antara lain sebagai sumber informasi yang berimbang dan mendidik masyarakat (pendidikan politik), menjadi pengawas penguasa (watchdog) dalam menjalankan pemerintahan, sebagai penyambung lidah (mediator) publik dengan pemerintah, dan sebagai ruang advokasi publik.

Namun disisi lain, keberadaan pers juga tak lekang dari kritik tajam. Hal ini disebabkan oleh (terkadang) adanya peran ganda yang dimainkan. Selain melakukan fungsi ideal seperti tertera di atas, pers kerap kali terjebak dan tak kuasa melawan kungkungan kapitalisme (baca pemilik modal). Bahkan dengan sinis McNair Brian (1995) pernah mengatakan, “Media bukanlah ranah yang netral dimana berbagai kepentingan kelompok akan mendapatkan perlakuan yang sama dan seimbang. Media justru bisa menjadi subyek yang mengkonstruksi realitas berdasarkan penafsiran dan definisinya sendiri untuk disebarkan kepada khalayak”.


Melihat paradoks ini, tak mengherankan apabila kemudian presiden SBY terus mengingatkan para pekerja pers agar tetap mawas diri. Menjelang pemilu 2014, tentu kondisi politik nasional akan memanas. Itu sebabnya Presiden SBY sangat berharap pers bisa berlaku adil dan seimbang dalam memberikan infomasi kepada masyarakat. Pers diharapkan bisa memberikan pendidikan politik yang baik. Dalam konteks menghadapi pilpres 2014, Presiden SBY mewanti-wanti kepada para awak pers agar semua kandidat, yang ia identifikasi setidaknya berjumlah 36 orang, yang akan maju menjadi capres pada pemilu 2014 bisa mendapat porsi pemberitaan yang sama di hadapan publik. Pertanyaanya, akan kah itu bisa terjadi?


Berat Sebelah

Harapan Presiden SBY agar awak media bisa memberi porsi adil dalam memberitakan kandidat capres bukanlah tanpa alasan. Jika melihat gejala perkembangan pers akhir-akhir ini, kita semua patut cemas terhadap sikap netral awak media. Hal itu mengacu pada indikasi bahwa kerap kali media massa berpengaruh Indonesia hanya menjadi corong politik bagi para pemilik modalnya. Hal itu bisa kita lihat dari kasus TV One dan Metro TV misalnya. Sejak 2009, dua televisi nasional ini sudah 3 kali diperiksa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terkait netralitas penyiaran. 

Kasus pemeriksaan pertama KPI terhadap dua stasiun televisi itu terjadi ketika berlangsungnya Kongres Partai Golkar di Riau pada 2009 silam. Kala itu, KPI mendapatkan banyak keluhan dari publik terkait pemberitaan TV One dan Metro TV yang dipandang berat sebelah. Karena para pemilik modalnya maju menjadi kandidat ketua umum (Abrurizal Bakrie di TV One dan Surya Paloh di Metro TV), framing berita yang diturunkan seolah hanya menjadi corong politik bos mereka.

Kasus yang sama terulang kembali pada Januari 2011. Berdasarkan laporan masyarakat dan analisis isi netralitas penyiaran yang dilakukan KPI, untuk kedua kalinya TV One dan Metro TV menerima teguran. KPI menilai, kedua stasiun televisi itu kerap memperlihatkan kepentingan tertentu yang masuk dalam isi siaran mereka. Akibatnya, aspek jurnalistik yang benar, profesional, dan obyektif agak terpinggirkan. 

Dan yang terakhir, TV One dan Metro TV kembali harus menjalani pemerikasaan KPI terkait pengaduan salah satu kader Partai Demokrat, Ferry Juliantono, pada Ferbruari 2012 silam. Dalam pengaduannya, Ferry menyebut bahwa pemberitaan kedua stasiun televisi itu kurang objektif dan tendensius, serta kerap menempatkan Partai demokrat pada posisi yang dirugikan.

Tak hanya media televisi, kasus netralitas pemberitaan ini juga menimpa media cetak. Masuknya kepentingan para pemilik modal bisa dilihat dari hasil analisis isi media yang dilakukan DCSC Indonesia pada rentang waktu 6 bulan (Januari – Juni 2011) terhadap 7 surat kabar nasional, yakni Kompas, Media Indonesia, Indo Pos, Republika, Rakyat Merdeka, Suara Pembaruan, dan Seputar Indonesia.

Dalam analisis tersebut, pemberitaan terbesar Surya Paloh, misalnya, 49.2 persen ada di Media Indonesia. Sisanya tersebar di 6 surat kabar lainnya. Uniknya, tema terbesar Surya Paloh adalah terkait informasi Ormas Nasional Demokrat (Nasdem) yang semuanya ada di Media Indonesia. Sementara tak satupun koran lain memuat tema Nasdem ketika menurunkan berita tentang Surya Paloh. Media Indonesia adalah surat kabar yang berada di bawah naungan Media Group yang pemiliknya adalah Surya Paloh sendiri. 

Kepentingan Politik 2014

Naasnya, menjelang pemilu 2014, gelagat netralitas penyiaran pers itu sepertinya tak surut begitu saja. Hal ini mengacu pada realitas bahwa bos media-media besar, terutama televisi, adalah mereka yang memiliki kepentingan di Pemilu mendatang. Aburizal Bakrie misalnya yang memiliki kendali atas TV One dan ANTV telah pasti maju menjadi capres dari Partai Golkar. Sementara Surya Paloh yang memegang kendali atas Metro TV juga akan maju menjadi capres kala Partai Nasdem meraih suara positif. Masuknya Hary Tanoesoedibjo ke Partai Nasdem, membuat kita lebih cemas, jangan-jangan media yang dimiliki hanya akan dijadikan alat penggiringan opini publik untuk memilih partai tertentu. 

Seperti kita tahu, Hary Tanoesoedibjo adalah penguasa MNC Group yang memegang kendali terhadap RCTI, Global TV, dan MNC TV. Bergabungnya Hary Tanoesoedibjo telah membawa efek terhadap derasnya iklan partai nasdem di telivis MNC Group ini. Berdasarkan survei LSI, derasnya iklan politik ini telah membawa dampak terkereknya elektabilitas partai Nasdem. Padahal, partai-partai lain masih jarang yang berpikir untuk beriklan di televisi disebabkan mahalnya biaya.

Memang, kita tidak bisa melarang dan menyalahkan para penggiat pers masuk ke ranah politik, karena itu menjadi hak asasi mereka. Namun kita tak bisa membiarkan begitu saja apabila kemudian mereka menyalahgunakan pers yang mereka miliki. Masyarakat berhak mendapatkan informasi yang baik, bukan informasi yang dipaksakan para pemilik modal untuk membentuk realitas opini masyarakat.

Kasus Suwandi (korban lumpur lapindo yang berjalan kaki dari Surabaya ke Jakarta untuk menuntut keluarga bakrie) yang meminta maaf kepada keluarga bakrie yang ditayangkan langsung oleh TV One juga patut dicurigai. Banyak yang menganggap bahwa tayangan ini hanya untuk kebutuhan Ical, sapaan akrab Aburizal bakrie, menghadapi pemilu 2014. KPI tentu perlu memeriksa kembali kasus ini. Jangan sampai apa yang dilakukan TV One semakin melukai perasaan para korban Lumpur Lapindo.

Merujuk kondisi di atas, pemerintah, dalam hal ini KPI, tentu dituntut lebih keras dan serius untuk menelaah semua program-program televisi yang ada. KPI harus berani bertindak tegas ketika ada program yang menyeleweng dari kepentingan publik. Selain KPI, Semua civil society juga harus bergerak mengawasi geliat media massa. Karena tanpa keseriusan pengawasan terhadap media massa, publik akan sangat dirugikan dengan banyaknya “informasi sampah” yang menjejali ruang kehidupan mereka.

Baca Selengkapnya...

Thursday, January 17, 2013

Indonesia dan Momentum Tujuh Abad

Oleh : Abdul Hakim MS


Di awal dasawarsa abad ke-21 ini, Indonesia betul-betul menapaki fase yang cukup mengesankan. Jika media domestik terus menghujani pemerintah dengan kritik pedas terkait keburukan, namun sejatinya wajah Nusantara tak sejelek yang digambarkan. Ada banyak torehan positif yang membuat kita bisa optimis menatap era millennium ke-3 dalam kalender Gregorian ini.

Catatan positif yang paling nyata, tentu dapat kita lihat melalui baiknya pembangunan ekonomi yang dilakukan. Sejak 2001, Perekonomian Indonesia melesat sangat cepat, yakni dari 3.8 persen pada tahun 2001 menjadi 6.5 persen pada tahun 2011. Bahkan ketika krisis keuangan global menghantam pada 2009, Indonesia tetap mampu mencatatkan diri sebagai salah satu diantara tiga Negara (selain China dan india) yang berhasil menorehkan pertumbuhan ekonomi yang positif. Kala dunia dirundung krisis ekonomi ketika itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bertengger diangka 4.6 persen.


Catatan positif lainnya, Indonesia juga masuk dalam berbagai akronim kelompok negara yang diprediksi menjadi pusaran baru ekonomi dunia. Indonesia masuk kelompok Negara MIST (Meksiko, Indonesia, South Korea, dan Turki) yang dianggap telah mampu menggeser ekonomi di negara-negara yang tergabung dalam BRIC (Brasil, Rusia, India, Cina). Diwaktu mendatang, MIST diprediksi akan menjadi pusaran baru perdagangan internasional. Selain MIST, Indonesia juga masuk dalam CIVETS, yang menjadi akronim dari Colombia, Indonesia, Vietnam, Egypt, Turki, dan South Africa. Negara-negara ini merupakan kelompok negara ekonomi berkembang (emerging market). Indonesia pun masuk N-11, yakni merujuk pada 11 negara dengan jumlah penduduk terbesar yang berpotensi memiliki dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonimi global. Dan yang paling signifikan, Indonesia merupakan satu-satunya Negara ASEAN yang tergabung dalam kelompok G20, yakni kelompok Negara-negara ekonomi maju.


Itu sebabnya, tak berlebihan jika kemudian apreseasi dunia menghampiri bumi pertiwi. Berbagai penghargaan pun melayang ke pangkuan Presiden SBY. Kita masih ingat anugerah gelar ksatria dari Ratu Inggris, Queen Elizabeth II, berupa Knight Grand Cross of the Order of Bath. Dalam tradisi Inggris, anugerah gelar ksatria model ini hanya diberikan kepada seseorang yang memiliki prestasi luar biasa. Anugerah ini sendiri diterima oleh Presiden SBY akibat kekaguman kerajaan Inggris terhadap pesatnya pembangunan ekonomi dan demokrasi dinegeri ini.

Pada akhir September 2012 yang lalu, kita juga tak bisa lupa terhadap penghargaan yang diterima Presiden SBY dari US-ASEAN Business Council berupa “The 21st Century Economic Achievement Awards”. Penghargaan ini merupakan apreseasi karena Indonesia dipandang oleh forum ini sebagai Negara dengan kisah transformasi ekonomi dan politik tersukses abad 21. Dua penghargaan ini melengkapi sederet penghargaan positif yang telah diterima sebelumnya, yakni mulai dari penghargaan dari PBB, Majalah Time, Avatar, Newsweek maupun dari Global Microcredit Summit Campaign.

Idola Investasi

Manisnya catatan positif diawal abad ini, masih ditambah dengan proyeksi positif pembangunan ekonomi Indonesia dimasa datang. Baru-baru ini, lembaga riset bisnis dan ekonomi yang sangat terpandang di dunia, The McKinsey Global Institute, menerbitkan laporannya berjudul “The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential”. Dalam laporan itu, Indonesia diprediksi akan mengalami kecenderungan kejayaan di masa depan terkait pembangunan ekonomi.

Dalam laporan itu McKinsey menyebut, pada tahun 2030 Indonesia diperkirakan akan menempati peringkat ke-7 ekonomi terbesar dunia, sesudah Cina, AS, India, Jepang, Brazil, Rusia. Saat ini, Indonesia baru menempati peringkat ke-16 ekonomi terbesar dunia sesudah AS, Cina, Jepang, Jerman, Prancis, Brazil, Inggris, Italia, Rusia, Kanada, India, Spanyol, Australia, Mexico dan korea Selatan. Mckinsey memperkirakan, kelas konsumen Indonesia akan meningkat dari 45 juta orang saat ini, menjadi 135 juta orang pada tahun 2030. Sementara diprediksi pula, para pekerja Indonesia yang memiliki keahlian pendidikan, diperkirakan akan meningkat dari 55 juta saat ini menjadi 113 juta orang pada 2030.

Ditahun 2013 ini, Indonesia juga diprediksi akan menjadi negara idola baru para investor untuk menanamkan investasinya di Asia. Merujuk hasil penelitian Asia Business Outlook the Economist Corporate Network, bersama dengan China dan India, Indonesia akan menjadi tiga negara teratas yang menjadi tujuan investasi pada tahun 2013. Dalam survei yang dilakukan terhadap 207 eksekutif senior yang mengoperasikan industri mulai dari layanan keuangan, manufaktur, ritel, dan kesehatan tersebut, Indonesia berada satu tingkat di atas Malaysia yang nangkring di posisi ke empat. Selanjutnya ada Thailand (5), Vietnam (6), Singapura (7), Korea selatan (8), Filipina (9), Australia (10), Jepang (11), Hongkong (12), dan Taiwan (13).

Bottleneck dan Momentum Tujuh Abad

Meski catatan-catatan positif di atas sudah membuat kita optimis menatap masa depan, namun yang masih harus diperhatikan adalah persoalan hambatan (bottleneck) yang siap menghentikan trend positif ini. Masih merujuk hasil sigi Asia Business Outlook the Economist Corporate Network, iklim investasi di Indonesia sebetulnya memburuk. Selama tahun 2012, Indonesia dipandang masih kurang luwes terhadap para investor. Kebijakan yang dikeluarkan seperti, pemberlakuan pajak pada sektor pertambangan, usulan batas kepemilikan asing di sektor pertambangan dan perbankan, kenaikan upah minimum pekerja (UMP), dan pembubaran BP migas, memberikan dampak pada memunculkan keraguan status perusahaan asing di Indonesia. Ditambah prilaku korup dan tak profesionalnya birokrasi kita, membuat langkah kejayaan Indonesia bisa saja tersendat atau bahkan terhenti.

Itu sebabnya, pemerintah harus sigap menangani persoalan-persoalan ini. Jangan sampai bottleneck ini bisa menjadi penghambat kembalinya momen siklus tujuh Abadan nusantara. Karena sebagaimana dikemukakan oleh Menko Perekonomian Hatta Rajasa, abad 21 merupakan era repetisi kejayaan Nusantara masa lalu.

Sebagaimana bentangan sejarah, pada Abad ke-7, Nusantara pernah mengalami kejayaan dibawah naungan Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan maritim yang berpusat di Sumatera ini, memiliki kekuasaan bukan hanya atas Sumatera, tetapi juga atas Jawa, Kalimantan, dan bahkan hingga ke Semenanjung Malaysia, Kamboja, Vietnam, Thailand Selatan, serta Filipina. Dalam perdagangan, Sriwijaya yang menguasai Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadi pengontrol jalur perdagangan antara dua pusat ekonomi utama kala itu, yaitu India dan Cina. 

Sekitar 7 abad kemudian setelah kejayaan Sriwijaya, tepatnya pada abad ke-14, Kerajaan Majapahit mengalami masa kejayaan di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada. Wilayah kekuasaan Majapahit kala itu mencakup Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Semenanjung Malaysia, Singapura dan sebagian Filipina.

Tujuh abad berselang setelah kebesaran Majapahit adalah saat ini, abad ke-21. Tanda-tanda kembalinya kejayaan mulai terasa. Itu sebabnya, momentum tujuah Abadan ini harus dijaga. Bukan berarti percaya akan mitos, melainkan hanya memanfaatkan momentum. Karena jika bukan saat ini, mungkin Nusantara harus menunggu tujuh abad berikutnya untuk bisa Berjaya di dunia.

Baca Selengkapnya...

PAN, Muhammadiyah, dan Upaya Reposisi

Oleh : Abdul Hakim


Menjelang pemilu 2014, Partai Amanat Nasional (PAN) mencoba berbenah diri. Ia tak lagi akan melulu mengandalkan basis pemilihnya dari Ormas Islam yang telah melahirkannya, Muhammadiyah. Saat ini, PAN sedang mencoba mentransfromasikan diri menjadi partai terbuka agar bisa menggaet pemilih dari arah mana saja. Dan sebagai permulaan, PAN mencoba peruntungan dengan melebarkan sayap ke pemilih-pemilih di luar basis Islam.

Seperti diketahui, deklarasi transfromasi PAN dari “partai eksklusif” menjadi partai terbuka diawali dengan perayaan natal bersama di Papua beberapa waktu yang lalu. Kala itu, salah satu Ketua DPP PAN, Bara Hasibuan, mengatakan bahwa perayaan tersebut menjadi momentum awal bagi PAN untuk menyatakan diri sebagai partai terbuka.

Selama ini, PAN memang sangat identik dengan Muhammadiyah. Hubungan keduanya bak dua sisi koin yang tak terpisahkan. Secara organisatoris memang tidak ada keterkaitan secara langsung. Namun secara historis, hubungan erat PAN-Muhammadiyah diawali oleh Sidang Tanwir Muhammadiyah pada 5-7 Juni 1998 di Semarang, Jawa Tengah, yang salah satunya merekomendasikan agar PP Muhammadiyah membentuk Parpol baru, yakni PAN. itulah sebabnya kenapa PAN sangat identik dengan Muhammadiyah.


Namun karena jumlah penganut Ormas ini tak berkembang signifikan setiap tahunnya, menyebabkan perolehan suara PAN menjadi ajeg pada setiap pagelaran pemilihan umum. Dalam tiga kali sejarah keiktsertaannya di pemilu, suara PAN hanya bertahan di kisaran 6 – 7 persen, yakni memperoleh suara 7.1 pada pemilu 1999, 6.4 persen pada pemilu 2004, dan 6.0 persen pada pemilu 2009. Keajegan perolehan suara PAN inilah yang mungkin menjadi titik tolak kemauan untuk bertransformasi.


Kebutuhan Capres

Sejatinya, seandainya PAN sudah puas dengan posisi seperti sekarang, yakni eksis sebagai partai medioker, PAN tak lagi perlu melakukan transformasi posisi partai. Hal ini disebabkan karena pemilih PAN yang berbasis Muhammadiyah ini terkategori sebagai pemilih yang loyal. Jika kita runut tiga pemilu kebelakang misalnya, diantara partai islam lainnya, hanya PAN yang tidak terkena imbas kuat “tsunami Demokrat”. Hal ini berbeda dengan kondisi yang menimpa PPP, PKB, dan PBB yang suaranya banyak tergerus oleh “tsunami Demokrat” ini. Jika dirata-rata, penurunan suara PAN dalam dua kali pemilu kebelakang (2004 dan 2009) hanya ada di angka 0.5%.


Indikasi lain loyalnya pemilih PAN juga bisa dilihat dari hilangnya suara setiap kali pemilu berlangsung. Pada pemilu 2004, tereduksinya suara PAN lebih banyak dilatarbelakangi oleh lahirnya Partai keadilan Sejahtera (PKS) yang secara ideologi keagamaan memang memiliki kemiripan dengan PAN. Demikian pula penurunan suara PAN pada pemilu 2009 disebabkan oleh lahirnya Partai Matahari Bangsa (PMB) yang mendapat suara 0.4%. lagi-lagi, PMB juga merupakan partai yang mengatasnamakan dirinya sebagai “partainya Muhammadiyah”.

Pada Pileg 2014 mendatang, sebagaimana keputusan KPU, hanya akan diikuti oleh 10 partai politik. Salah satu partai yang bisa mereduksi suara PAN pada pemilu yang lalu, yakni PMB sudah tak akan lagi ikut berkompetisi. Itu artinya, pemilih PMB sudah tak punya naungan parpol sehingga hanya PAN yang mungkin meraihnya karena sama-sama lahir dari Rahim Muhammadiyah. Itu sebabnya, untuk mengembalikan suara ke kisaran 7 persen, bukanlah perkara sulit. 

Namun hemat saya, PAN sepertinya tak bisa berpuas diri dengan hanya duduk sebagai partai medioker karena memiliki keinginan mencapreskan ketua umumnya, Hatta Rajasa. Sebagaimana amanat Rakernas PAN pada 10-11 Desember pada 2011 silam, Hatta Rajasa memang didaulat sebagai satu-satunya capres dari partai berlambang matahari ini.

Akan tetapi, upaya pencapresan Hatta ini akan sangat terkendala apabila suara PAN masih bertahan dikisaran angka 6 – 7 persen saja. Hal ini disebabkan oleh adanya aturan presidential threshold (PT) atau syarat dukungan minimal untuk mengusung calon presiden (capres). Meski UU Pilpres belum disahkan, namun sepertinya aturan PT ini masih akan bertahan diangka 25 persen kursi DPR-RI atau 20 persen suara partai secara nasional karena partai-partai besar seperti Demokrat, Golkar, dan PDI Perjungan masih mematok diangka tersebut.

Merujuk kondisi tersebut, maka PAN sangat berkebutuhan untuk melontarkan perolehan suaranya hingga dua digit. Jika hanya bertahan pada basis pemilih loyalnya, Muhammadiyah, tentu target perolehan suara dua digit itu akan sulit terealisasi. Karena diperkirakan, pemeluk Muhammadiyah di Indonesia ada dikisaran 7 – 8 persen. Itulah sebabnya kenapa PAN ingin melakukan transformasi dari partai Eksklusif menjadi partai terbuka.

Reposisi Mata Ganda

Namun apa yang dilakukan PAN saat ini bukanlah tanpa resiko. Upaya menggeser posisi dari partai “Islam Muhammadiyah” menjadi partai yang lebih pluralis bisa menjadi perjudian besar. Reposisi ini disatu sisi bisa menjadi peluang PAN untuk melesat dari posisi “zona aman” perolehan suara 6 – 7 persen, namun disisi lain, reposisi ini juga bisa makin menenggelamkan PAN karena akan ditinggal oleh pemilih loyalnya.

Merujuk pengalaman tahun 2008, Ketua Umum PAN saat itu, Soetrisno Bachir (SB), juga pernah berkehendak untuk melebarkan sayap terhadap pemilih diluar basis Muhammadiyah. Ketika itu, SB juga ingin meraup suara dari kalangan pemilih Nahdlatul Ulama (NU) dengan cara mengikuti salat Idul Adha yang pelaksanaannya berbeda dengan apa yang telah ditetapkan oleh PP Muhammadiyah. Perilaku SB ini bukan malah mendatangkan simpati, namun medapatkan kecaman keras dari Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin. Saat itu Din berkomentar bahwa apa yang dilakukan Soetrisno Bachir telah menyakiti dan melukai warga Muhammadiyah. Makanya PAN akan ditinggalkan oleh warga Muhammadiyah. 

Itulah sebabnya, reposisi yang dilakukan PAN saat ini harus menyasar ke dua arah sekaligus. Selain PAN harus terus memasifkan langkah untuk merangkul pemilih diluar basis Muhammadiyah, disaat bersamaan, DPP PAN juga harus mampu meyakinkan para pemilih loyalnya agar mereka tak berpaling arah. Karena jika hal itu tidak dilakukan, seperti kata pepatah, “ingin hati memeluk gunung, barang tergenggam jatuh terlepas”. Atau ingin hati PAN melebarkan sayap ke basis pemilih diluar Muhammadiyah, malah pemilih Muhammadiyah yang sudah pasti dienggaman akan meninggakannya. Ujungnya, pemilih di luar Muhammadiyah tak didapat, pemilih Muhammadiyah pun terlanjur pergi entah kemana. Jika ini terjadi, tentu merupakan sebuah blunder politik upaya reposisi ini.

Baca Selengkapnya...

Wednesday, January 16, 2013

Badai Demokrat dan Tuah “The Special One”

Oleh : Abdul Hakim MS


Pasca kongres II di Bandung, Mei 2010 silam, nasib Partai Demokrat diprediksi akan makin moncer menghadapi gelaran pemilu legislatif (Pileg) pada tahun 2014. Ia diproyeksi bakal mampu mempertahankan kemenangan dalam pemilu lima tahun sebelumnya. Hal itu disebabkan oleh baiknya citra partai kala itu. Dalam suksesi kepemimpinan yang diliput oleh semua media dari penjuru nusantara ketika itu, Partai Demokrat betul-betul bisa menujukkan wajah tampan partai politik (papol).

Di tengah rundungan kepemimpinan oligarkis yang cukup kuat disemua parpol tanah air, tiba-tiba Partai Demokrat bisa menunjukkan sikap elegan. Tokoh utama parpol yang biasanya menjadi simbol dan sekaligus penentu “the next leader” dalam gelaran kongres parpol, tak terjadi di Partai Demokrat. Ketua Dewan Pembina (Wanbin) Partai Demokrat, Susilo bambang Yudhoyono (SBY), yang menjadi ruh Partai Demokrat, ternyata membiarkan kontestasi kongres berjalan sesuai keinginan pemilik suara. Padahal, SBY sebenarnya memiliki calon yang dielus untuk menjadi penerus pemimpin di partai yang sudah dengan susah payah ia besut.

Syahdan, kongres II Partai Demokrat ini pun menuai banyak pujian dari berbagai kalangan. Semua pengamat politik nomor wahid di Indonesia memberi nilai “A” terhadap penyelenggaraannya. Dari berbagai hasil sigi lembaga survei juga menujukkan, bahwa Partai Demokrat sepertinya akan lancer-lancar saja dalam mengarungi “pertempuran” pemilihan umum selanjutnya.


Namun semua cerita itu berubah kala “badai Nazaruddin” tiba. Kondisi baik yang sudah tertata, tiba-tiba berantakan seketika. “Nyanyian” mantan Bendahara Umum Partai Demokrat menjadikan Demokrat sebagai parpol yang buruk rupa. Satu persatu elit penting Partai Mercy menjadi “pasien” KPK akibat tersangkut kasus rasuah. Mereka antara lain, M. Nazaruddin sendiri, Angelina Sondakh, dan yang terbaru adalah mantan Menteri Pemuda dan Olah Raga, Andi Alfian Mallarangeng. Dan sepertinya tak akan berhenti sampai disitu, karena kasus mega proyek Hambalang masih dikembangkan untuk menarik tersangka selanjutnya dari partai bintang bersudut tiga. Pertanyaannya, Bagiaman kira-kira nasib Demokrat selanjutnya?


Anas vs Media

Dalam satu setengah tahun menjelang perhelatan pemilu 2014, sepertinya badai yang melanda Partai Demokrat belum akan mereda. Hal ini terkait posisi Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, yang sepertinya akan tetap menjadi “bulan-bulanan” media massa. Kasus Hambalang yang sudah kadung “divonis media” melibatkan dirinya, akan terus menjadi polemik hingga pemilu terselenggara. Meskipun seandainya Anas tak terlibat kasus yang dituduhkan kepadanya pun, namun sindrom sikap syak-wasangka publik terhadap elit yang ditengarai terlibat kasus korupsi akan tetap memberi pengaruh terhadap persiapan Partai Demokrat dalam menghadapi pileg mendatang.

Belum lagi pemberitaan yang menyebutkan adanya “ketegangan” antara Anas Urbaningrum dengan Ketua Wanbin PD, SBY. “Ketegangan” ini kerap diulas panjang oleh media massa, baik elektronik maupun cetak, dalam serial pemberitaannya. Tentu kondisi seperti ini akan semakin membuat posisi Partai Demokrat berada dipersimpangan arah.

Posisi sulit Anas Urbaningrum yang harus berhadapan dengan media massa ini, masih dipersulit lagi oleh situasi internal Demokrat yang hingga saat ini masih belum terkonsilidasikan secara baik pasca kongres 2010 silam. Adanya “pembagian kubu” peninggalan kelompok-kelompok kongres, menyebabkan DPP PD kerap bergejolak. Salah satu indikasi yang bisa dilihat adalah dengan adanya reposisi pengurus yang dilakukan oleh DPP PD beberapa waktu yang lalu. Bahkan dalam reposisi tersebut, mantan pendukung utama Anas Urbaningrum dalam kongres II yang lalu pun harus rela dipecat, yakni Ruhut Sitompul, karena kerap berseberangan dengan “kemauan” DPP PD.

Rentetan peristiwa-peristiwa tersebut di atas, tentu akan menjadi ujian berat bagi Partai Demokrat dalam upaya mempertahankan kemenangan dalam pemilu 2009 lalu. Apalagi, kinerja pemerintahan SBY di mata publik akhir-akhir ini juga ikut menurun, yang pastinya juga akan berimbas terhadap PD yang menjadi the rulling party. Diposisi seperti ini, PD betul-betul memerlukan titik tolak untuk melakukan rebound dalam memperbaiki citranya. Lantas apa kira-kira yang bisa dijadikan pijakan untuk melakukan titik tolak citra tersebut?

The Special One

Hemat saya, di tengah karut-marutnya citra PD saat ini, sosok SBY masih akan menjadi “the special one” sebagai titik tolak pembalikan perbaikan citra. Hal itu didasarkan pada dua hal. Pertama, SBY merupakan sosok yang sangat paiwai dalam melakukan pembalikan citra (master of rebound). Kedua, meskipun kinerja pemerintahan SBY dinilai tak memuaskan oleh publik, namun sejatinya, secara personal sosok SBY masih menjadi idola baik bagi publik Indonesia.

Merujuk pengalaman yang ada, predikat master of rebound dalam memperbaiki citra bisa dilihat dalam kasus yang dihadapi oleh SBY pada tahun 2003 dan 2008 silam. Pada tahun 2003, upaya SBY mencalonkan diri sebagai presiden kala itu masih dipandang sebelah mata oleh semua kalangan. Ia masih kalah moncer dibandingkan dengan Megawati Soekarnoputri. Namun pada awal 2004, SBY sudah bisa menempatkan dirinya di atas Megawati yang kemudian mengantarkannya memenangi pilpres, meski harus melalui dua putaran.

Kemudian, SBY juga pernah mengalami tingkat elektabilitas dititik nadhir pada tahun 2008 kala ia menaikkan harga. Namun dalam tempo waktu tiga bulan, SBY sudah berhasil melakukan recovery dengan tingkat elektabilits di atas 70 persen berdasarkan hasil survei Indo Barometer ketika itu. Bahkan menjelang pilpres 2009, elektabilitas SBY bisa menembus angka 80 persen yang kemudian berhasil mengantarkannya terpilih menjadi presiden hanya dalam satu putaran dalam pilpres 2009.

Saat ini, kondisi serupa juga terjadi. Meski sudah tak bisa mencalonkan diri kembali menjadi presiden, saya yakin SBY tak akan rela melihat partai yang sudah dengan berat ia besarkan luluh-lantah begitu saja. Disisi lain, SBY juga pasti memiliki keinginan untuk terus melestarikan trah Yudhoyono dilingakran kekuasaan. Dan itu ia harapkan dari putra bungsunya yang saat ini sudah ia “kader” menjadi Sekjen PD. Itu sebabnya, SBY akan kembali turun tangan untuk mengembalikan posisi PD pada kondisi terhormat. 

Mungkin yang menarik ditunggu adalah apakah langkah yang ditempuh SBY untuk dapat mengembalikan citra PD di mata publik? Apakah ia akan tetap mempertahankan Anas Urbaningrum di tengah gempuran dugaan korupsi yang membelitnya dan keluarganya, ataukah ia telah memiliki jurus sakti lainnya yang akan dikeluarkan pada saatnya nanti? Apapun langkah yang akan ditempuh oleh SBY kelak, menantu Sarwo Edhi Wibowo ini menurut hemat saya masih akan menjadi the special one yang bisa mengeluarkan PD dari kemelut berkepanjangan saat ini.

Baca Selengkapnya...

Wednesday, January 02, 2013

Dilema Antara Distribusi Kekuasaan dan Korupsi

Oleh : Abdul Hakim MS


Ketika menerima pimpinan delegasi International Conference Principles for Anti Corruption Agencies (ACA) di Istana Negara pada November 2012 yang lalu, ada pernyataan menarik yang dikeluarkan Presiden SBY terkait usaha pemberantasan korupsi di Indonesia. Menurut presiden, upaya pemberangusan praktik rasuah di tanah air telah menuai hasil nyata. Namun disaat yang bersamaan, Presiden SBY juga masih belum puas atas capaian yang sudah diraih selama ini.

Memang, kalau diamati, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia telah membuahkan hasil nyata berupa mulai terbangunnya budaya takut korupsi di setiap lini pemerintahan, baik di lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Namun seiring dengan itu, prilaku penggerogotan terhadap uang negara ini juga ternyata makin massif terjadi. Naasnya, korupsi malah menjangkit disemua lini kehidupan bernegara, baik di pemerintah pusat maupun daerah.


Dalam kaca mata Presiden, korupsi yang mewabah disemua lini ini sebagai konsekwensi atas diberlakukannya sistem desentralisasi kekuasaan (distribution of power) pasca reformasi 1998. Jika dahulu kekuasaan mutlak ada di tangan pemerintah pusat sehingga korupsi hanya beredar di Jakarta saja, kini dengan adanya distribution of power dalam kerangka otonomi daerah, berimplikasi juga terhadap terjadinya distribution of corruption di pemerintahan-pemerintahan daerah.

Adanya distribution of corruption ini bisa kita tengok dari data yang dikeluarkan oleh Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri). Sejak tahun 2004 hingga 2012, ada sebanyak 281 kepala daerah yang sudah tersangkut masalah hukum, baik dengan status tersangka, terdakwa, saksi, atau terpidana. Dari jumlah tersebut, 70 persennya merupakan kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah. Merujuk fakta ini, cukup wajar apabila Presiden SBY menjadi gusar. Asa kepada para kepala daerah agar bisa berprilaku baik, tenyata tak sesuai harapan. 

Melihat kondisi di atas, ada pertanyaan menggelitik yang harus dijawab, yakni apakah proses distribution of power-nya yang salah sehingga korupsi kini menjangkit disemua lini pemerintahan?

Ketegasan Hukum

Hemat saya, tidak ada yang salah dengan proses distribution of power yang dilaksanakan pasca reformasi 1998. Secara teoritis, jika sebuah Negara tak ingin ada kekuasaan mutlak oleh penguasa, distribution of power merupakan hal yang wajib dilakukan. Pemberlakukan ini bertujuan agar balance of power antar lembaga Negara bisa terwujud sehingga terjadi check and balance untuk saling mengawasi. Karena sebagaimana adagium popular dalam ilmu politik yang dikemukakan Lord Acton, power tend to corrupt, and absolute power corrupt absolutely (siapa yang memegang kekuasaan, ia memiliki kecenderungan untuk korup. Dan siapa yang memegang kuasaan secara mutlak, maka pasti ia akan korup).

Jika ada beberapa aturan tentang distribution of power yang belum sempurna, misalnya aturan tentang Pilkada, kita tentu masih bisa maklum karena perjalanan usia reformasi baru menginjak angka 14 tahun. Namun membebankan semua kesalahan pada proses suksesi kepemimpinan didaerah secara langsung juga bukanlah sikap yang bijak. Yang harus terus digalakkan untuk memerangi korupsi menurut hemat saya adalah adanya ketegasan proses hukum terhadap para penggaruk uang Negara.

Namun alih-alih tegas, kita boleh miris dengan proses ketegasan hukum kita dalam mengadili terpidana korupsi. Merujuk catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), Sejak dibentuk di daerah pada tahun 2010, pengadilan tipikor yang diharapkan dapat menjadi ujung tombak perang melawan korupsi, malah telah memvonis bebas 51 terdakwa kasus korupsi. Dari jumlah itu, 25 terdakwa diantaranya disidangkan di Pengadilan Tipikor Surabaya, 15 terdakwa di Pengadilan Tipikor Samarinda, 4 terdakwa masing-masing di Pengadilan Tipikor Bandung dan Makassar, 2 terdakwa di Pengadilan Tipikor Semarang, dan 1 terdakwa di Pengadilan Tipikor Palembang. Data ini belum ditambah dengan kinerja miris lembaga penagak hukum lainnya, seperti kepolisian dan kejaksaan.

Melihat kondisi di atas, sangat beralasan apabila kemudian Presiden SBY meradang. Karena seperti diketahui bersama, sejak awal pemeritahannya, Presiden SBY sudah menabuh genderang perang terhadap praktik rasuah. Bahkan menjelang Pilpres 2009, SBY menggunakan pemberantasan korupsi sebagai tema utama kampanyenya. 

Minim Dukungan

Sebenarnya, upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan Pemerintahan SBY sudah berada pada jalur yang baik. Sejak 2005 misalnya, Presiden SBY tak segan mengeluarkan izin pemeriksaan terhadap 155 pejabat negara yang terindikasi tersangkut masalah korupsi. Dari jumlah tersebut, 20 diantaranya adalah para gubernur. Namun sayang, komitmen Presiden ini seolah berjalan sendirian. Banyak pihak malah menujukkan sikap sebaliknya, seperti yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 

Sebenarnya, dukungan DPR sangatlah penting agar Indonesia bisa segera keluar dari jerat akut virus korupsi. DPR sebagai lembaga legislasi, seharusnya bisa membuat aturan sangsi yang menjerahkan para pelakunya. Namun alih-alih mendukung, sikap DPR malah sering menimbulkan pertanyaan banyak kalangan karena kerap bersikap sebaliknya. 

Sikap-sikap DPR yang dianggap tidak pro pemberantasan korupsi misalnya upaya pelemahan terhadap kewenangan Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) yang memiliki rapor lumayan baik melalui upaya revisi UU Nomor 30 Tahun 2003 tentang KPK. Seandainya tidak mendapat banyak hujatan dari masyarakat, mungkin UU ini sudah diubah dengan menghilangkan kewenangan penuntutan dan penyadapan KPK. Padahal, dari dua kewenangan inilah KPK bisa menyokok para koruptor. 

Kita juga tentu masih ingat dengan upaya penolakan komisi III terhadap Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah dalam rapat-rapat dengar pendapat hingga masa akhir jabatan keduanya. Alasan DPR kala itu, karena Bibit Chandra dianggap masih memiliki masalah hukum, karena status depoonering yang dikeluarkan Kejaksaan Agung tidak lantas menghilangkan status tersangka keduanya.

Kita pun juga tak bisa lupa dengan ide DPR untuk membubarkan KPK. Saat berlangsung rapat konsultasi DPR dengan KPK, Kepolisian RI, dan Kejaksaan Agung pada awal Oktober 2011 silam, Fahri Hamzah dari FPKS dengan garang meminta KPK ditiadakan. Alasanya, KPK yang telah menjadi lembaga superbody, dianggap mencederai asas demokrasi. Yang lebih membuat geram banyak pihak adalah upaya menggunakan hak interpelasi untuk mempertanyakan kebijakan moratorium yang dikeluarkan oleh Kementrian Hukum dan HAM guna mencegah pembebasan bersyarat 7 terpidana korupsi kala itu. Bukankah kebijakan tersebut sebagai upaya pemberian efek jera terhadap para koruptor? 

Belum lagi sikap kepolisian yang hingga detik ini masih “bersitegang” dengan KPK. Bahkah ketegangan keduanya sempat memunculkan lelucon “cicak vs buaya” hingga dua jilid. Bukankah situasi seperti ini hanya membuat senang para koruptor? 

Itu sebabnya, semua elemen masyarakat tak boleh lelah untuk mengawal proses mematikan praktik korupsi di tanah air. Karena hanya dengan pengawasan dari publiklah yang saat ini masih bisa membuat lembaga penegak hukum tak bersikap seenaknya. Pers, lembaga swadaya masyarakat, dan para pegiat anti korupsi lainnya harus menjadi mata yang tajam dan tak tak boleh kalah. Karena jika lelah dan kalah, tentu yang diuntungkan adalah mereka yang memakan uang Negara di tengah tangisan jutaan masyarakat yang didera kemiskinan.

Baca Selengkapnya...