Thursday, January 17, 2013

PAN, Muhammadiyah, dan Upaya Reposisi

Share on :

Oleh : Abdul Hakim


Menjelang pemilu 2014, Partai Amanat Nasional (PAN) mencoba berbenah diri. Ia tak lagi akan melulu mengandalkan basis pemilihnya dari Ormas Islam yang telah melahirkannya, Muhammadiyah. Saat ini, PAN sedang mencoba mentransfromasikan diri menjadi partai terbuka agar bisa menggaet pemilih dari arah mana saja. Dan sebagai permulaan, PAN mencoba peruntungan dengan melebarkan sayap ke pemilih-pemilih di luar basis Islam.

Seperti diketahui, deklarasi transfromasi PAN dari “partai eksklusif” menjadi partai terbuka diawali dengan perayaan natal bersama di Papua beberapa waktu yang lalu. Kala itu, salah satu Ketua DPP PAN, Bara Hasibuan, mengatakan bahwa perayaan tersebut menjadi momentum awal bagi PAN untuk menyatakan diri sebagai partai terbuka.

Selama ini, PAN memang sangat identik dengan Muhammadiyah. Hubungan keduanya bak dua sisi koin yang tak terpisahkan. Secara organisatoris memang tidak ada keterkaitan secara langsung. Namun secara historis, hubungan erat PAN-Muhammadiyah diawali oleh Sidang Tanwir Muhammadiyah pada 5-7 Juni 1998 di Semarang, Jawa Tengah, yang salah satunya merekomendasikan agar PP Muhammadiyah membentuk Parpol baru, yakni PAN. itulah sebabnya kenapa PAN sangat identik dengan Muhammadiyah.


Namun karena jumlah penganut Ormas ini tak berkembang signifikan setiap tahunnya, menyebabkan perolehan suara PAN menjadi ajeg pada setiap pagelaran pemilihan umum. Dalam tiga kali sejarah keiktsertaannya di pemilu, suara PAN hanya bertahan di kisaran 6 – 7 persen, yakni memperoleh suara 7.1 pada pemilu 1999, 6.4 persen pada pemilu 2004, dan 6.0 persen pada pemilu 2009. Keajegan perolehan suara PAN inilah yang mungkin menjadi titik tolak kemauan untuk bertransformasi.


Kebutuhan Capres

Sejatinya, seandainya PAN sudah puas dengan posisi seperti sekarang, yakni eksis sebagai partai medioker, PAN tak lagi perlu melakukan transformasi posisi partai. Hal ini disebabkan karena pemilih PAN yang berbasis Muhammadiyah ini terkategori sebagai pemilih yang loyal. Jika kita runut tiga pemilu kebelakang misalnya, diantara partai islam lainnya, hanya PAN yang tidak terkena imbas kuat “tsunami Demokrat”. Hal ini berbeda dengan kondisi yang menimpa PPP, PKB, dan PBB yang suaranya banyak tergerus oleh “tsunami Demokrat” ini. Jika dirata-rata, penurunan suara PAN dalam dua kali pemilu kebelakang (2004 dan 2009) hanya ada di angka 0.5%.


Indikasi lain loyalnya pemilih PAN juga bisa dilihat dari hilangnya suara setiap kali pemilu berlangsung. Pada pemilu 2004, tereduksinya suara PAN lebih banyak dilatarbelakangi oleh lahirnya Partai keadilan Sejahtera (PKS) yang secara ideologi keagamaan memang memiliki kemiripan dengan PAN. Demikian pula penurunan suara PAN pada pemilu 2009 disebabkan oleh lahirnya Partai Matahari Bangsa (PMB) yang mendapat suara 0.4%. lagi-lagi, PMB juga merupakan partai yang mengatasnamakan dirinya sebagai “partainya Muhammadiyah”.

Pada Pileg 2014 mendatang, sebagaimana keputusan KPU, hanya akan diikuti oleh 10 partai politik. Salah satu partai yang bisa mereduksi suara PAN pada pemilu yang lalu, yakni PMB sudah tak akan lagi ikut berkompetisi. Itu artinya, pemilih PMB sudah tak punya naungan parpol sehingga hanya PAN yang mungkin meraihnya karena sama-sama lahir dari Rahim Muhammadiyah. Itu sebabnya, untuk mengembalikan suara ke kisaran 7 persen, bukanlah perkara sulit. 

Namun hemat saya, PAN sepertinya tak bisa berpuas diri dengan hanya duduk sebagai partai medioker karena memiliki keinginan mencapreskan ketua umumnya, Hatta Rajasa. Sebagaimana amanat Rakernas PAN pada 10-11 Desember pada 2011 silam, Hatta Rajasa memang didaulat sebagai satu-satunya capres dari partai berlambang matahari ini.

Akan tetapi, upaya pencapresan Hatta ini akan sangat terkendala apabila suara PAN masih bertahan dikisaran angka 6 – 7 persen saja. Hal ini disebabkan oleh adanya aturan presidential threshold (PT) atau syarat dukungan minimal untuk mengusung calon presiden (capres). Meski UU Pilpres belum disahkan, namun sepertinya aturan PT ini masih akan bertahan diangka 25 persen kursi DPR-RI atau 20 persen suara partai secara nasional karena partai-partai besar seperti Demokrat, Golkar, dan PDI Perjungan masih mematok diangka tersebut.

Merujuk kondisi tersebut, maka PAN sangat berkebutuhan untuk melontarkan perolehan suaranya hingga dua digit. Jika hanya bertahan pada basis pemilih loyalnya, Muhammadiyah, tentu target perolehan suara dua digit itu akan sulit terealisasi. Karena diperkirakan, pemeluk Muhammadiyah di Indonesia ada dikisaran 7 – 8 persen. Itulah sebabnya kenapa PAN ingin melakukan transformasi dari partai Eksklusif menjadi partai terbuka.

Reposisi Mata Ganda

Namun apa yang dilakukan PAN saat ini bukanlah tanpa resiko. Upaya menggeser posisi dari partai “Islam Muhammadiyah” menjadi partai yang lebih pluralis bisa menjadi perjudian besar. Reposisi ini disatu sisi bisa menjadi peluang PAN untuk melesat dari posisi “zona aman” perolehan suara 6 – 7 persen, namun disisi lain, reposisi ini juga bisa makin menenggelamkan PAN karena akan ditinggal oleh pemilih loyalnya.

Merujuk pengalaman tahun 2008, Ketua Umum PAN saat itu, Soetrisno Bachir (SB), juga pernah berkehendak untuk melebarkan sayap terhadap pemilih diluar basis Muhammadiyah. Ketika itu, SB juga ingin meraup suara dari kalangan pemilih Nahdlatul Ulama (NU) dengan cara mengikuti salat Idul Adha yang pelaksanaannya berbeda dengan apa yang telah ditetapkan oleh PP Muhammadiyah. Perilaku SB ini bukan malah mendatangkan simpati, namun medapatkan kecaman keras dari Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin. Saat itu Din berkomentar bahwa apa yang dilakukan Soetrisno Bachir telah menyakiti dan melukai warga Muhammadiyah. Makanya PAN akan ditinggalkan oleh warga Muhammadiyah. 

Itulah sebabnya, reposisi yang dilakukan PAN saat ini harus menyasar ke dua arah sekaligus. Selain PAN harus terus memasifkan langkah untuk merangkul pemilih diluar basis Muhammadiyah, disaat bersamaan, DPP PAN juga harus mampu meyakinkan para pemilih loyalnya agar mereka tak berpaling arah. Karena jika hal itu tidak dilakukan, seperti kata pepatah, “ingin hati memeluk gunung, barang tergenggam jatuh terlepas”. Atau ingin hati PAN melebarkan sayap ke basis pemilih diluar Muhammadiyah, malah pemilih Muhammadiyah yang sudah pasti dienggaman akan meninggakannya. Ujungnya, pemilih di luar Muhammadiyah tak didapat, pemilih Muhammadiyah pun terlanjur pergi entah kemana. Jika ini terjadi, tentu merupakan sebuah blunder politik upaya reposisi ini.

No comments: