Monday, January 21, 2013

Menyoal Netralitas Pers dalam Kontestasi Pilpres 2014

Share on :

Oleh : Abdul Hakim MS


Dalam sistem politik yang terbuka, pers berperan sangat penting dalam menentukan berkembang atau tidaknya demokrasi. Itu sebabnya, Edmund Burke tak segan menyebut pers sebagai pilar keempat demokrasi setelah Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Hal itu merujuk pada empat peran ideal pers yang antara lain sebagai sumber informasi yang berimbang dan mendidik masyarakat (pendidikan politik), menjadi pengawas penguasa (watchdog) dalam menjalankan pemerintahan, sebagai penyambung lidah (mediator) publik dengan pemerintah, dan sebagai ruang advokasi publik.

Namun disisi lain, keberadaan pers juga tak lekang dari kritik tajam. Hal ini disebabkan oleh (terkadang) adanya peran ganda yang dimainkan. Selain melakukan fungsi ideal seperti tertera di atas, pers kerap kali terjebak dan tak kuasa melawan kungkungan kapitalisme (baca pemilik modal). Bahkan dengan sinis McNair Brian (1995) pernah mengatakan, “Media bukanlah ranah yang netral dimana berbagai kepentingan kelompok akan mendapatkan perlakuan yang sama dan seimbang. Media justru bisa menjadi subyek yang mengkonstruksi realitas berdasarkan penafsiran dan definisinya sendiri untuk disebarkan kepada khalayak”.


Melihat paradoks ini, tak mengherankan apabila kemudian presiden SBY terus mengingatkan para pekerja pers agar tetap mawas diri. Menjelang pemilu 2014, tentu kondisi politik nasional akan memanas. Itu sebabnya Presiden SBY sangat berharap pers bisa berlaku adil dan seimbang dalam memberikan infomasi kepada masyarakat. Pers diharapkan bisa memberikan pendidikan politik yang baik. Dalam konteks menghadapi pilpres 2014, Presiden SBY mewanti-wanti kepada para awak pers agar semua kandidat, yang ia identifikasi setidaknya berjumlah 36 orang, yang akan maju menjadi capres pada pemilu 2014 bisa mendapat porsi pemberitaan yang sama di hadapan publik. Pertanyaanya, akan kah itu bisa terjadi?


Berat Sebelah

Harapan Presiden SBY agar awak media bisa memberi porsi adil dalam memberitakan kandidat capres bukanlah tanpa alasan. Jika melihat gejala perkembangan pers akhir-akhir ini, kita semua patut cemas terhadap sikap netral awak media. Hal itu mengacu pada indikasi bahwa kerap kali media massa berpengaruh Indonesia hanya menjadi corong politik bagi para pemilik modalnya. Hal itu bisa kita lihat dari kasus TV One dan Metro TV misalnya. Sejak 2009, dua televisi nasional ini sudah 3 kali diperiksa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terkait netralitas penyiaran. 

Kasus pemeriksaan pertama KPI terhadap dua stasiun televisi itu terjadi ketika berlangsungnya Kongres Partai Golkar di Riau pada 2009 silam. Kala itu, KPI mendapatkan banyak keluhan dari publik terkait pemberitaan TV One dan Metro TV yang dipandang berat sebelah. Karena para pemilik modalnya maju menjadi kandidat ketua umum (Abrurizal Bakrie di TV One dan Surya Paloh di Metro TV), framing berita yang diturunkan seolah hanya menjadi corong politik bos mereka.

Kasus yang sama terulang kembali pada Januari 2011. Berdasarkan laporan masyarakat dan analisis isi netralitas penyiaran yang dilakukan KPI, untuk kedua kalinya TV One dan Metro TV menerima teguran. KPI menilai, kedua stasiun televisi itu kerap memperlihatkan kepentingan tertentu yang masuk dalam isi siaran mereka. Akibatnya, aspek jurnalistik yang benar, profesional, dan obyektif agak terpinggirkan. 

Dan yang terakhir, TV One dan Metro TV kembali harus menjalani pemerikasaan KPI terkait pengaduan salah satu kader Partai Demokrat, Ferry Juliantono, pada Ferbruari 2012 silam. Dalam pengaduannya, Ferry menyebut bahwa pemberitaan kedua stasiun televisi itu kurang objektif dan tendensius, serta kerap menempatkan Partai demokrat pada posisi yang dirugikan.

Tak hanya media televisi, kasus netralitas pemberitaan ini juga menimpa media cetak. Masuknya kepentingan para pemilik modal bisa dilihat dari hasil analisis isi media yang dilakukan DCSC Indonesia pada rentang waktu 6 bulan (Januari – Juni 2011) terhadap 7 surat kabar nasional, yakni Kompas, Media Indonesia, Indo Pos, Republika, Rakyat Merdeka, Suara Pembaruan, dan Seputar Indonesia.

Dalam analisis tersebut, pemberitaan terbesar Surya Paloh, misalnya, 49.2 persen ada di Media Indonesia. Sisanya tersebar di 6 surat kabar lainnya. Uniknya, tema terbesar Surya Paloh adalah terkait informasi Ormas Nasional Demokrat (Nasdem) yang semuanya ada di Media Indonesia. Sementara tak satupun koran lain memuat tema Nasdem ketika menurunkan berita tentang Surya Paloh. Media Indonesia adalah surat kabar yang berada di bawah naungan Media Group yang pemiliknya adalah Surya Paloh sendiri. 

Kepentingan Politik 2014

Naasnya, menjelang pemilu 2014, gelagat netralitas penyiaran pers itu sepertinya tak surut begitu saja. Hal ini mengacu pada realitas bahwa bos media-media besar, terutama televisi, adalah mereka yang memiliki kepentingan di Pemilu mendatang. Aburizal Bakrie misalnya yang memiliki kendali atas TV One dan ANTV telah pasti maju menjadi capres dari Partai Golkar. Sementara Surya Paloh yang memegang kendali atas Metro TV juga akan maju menjadi capres kala Partai Nasdem meraih suara positif. Masuknya Hary Tanoesoedibjo ke Partai Nasdem, membuat kita lebih cemas, jangan-jangan media yang dimiliki hanya akan dijadikan alat penggiringan opini publik untuk memilih partai tertentu. 

Seperti kita tahu, Hary Tanoesoedibjo adalah penguasa MNC Group yang memegang kendali terhadap RCTI, Global TV, dan MNC TV. Bergabungnya Hary Tanoesoedibjo telah membawa efek terhadap derasnya iklan partai nasdem di telivis MNC Group ini. Berdasarkan survei LSI, derasnya iklan politik ini telah membawa dampak terkereknya elektabilitas partai Nasdem. Padahal, partai-partai lain masih jarang yang berpikir untuk beriklan di televisi disebabkan mahalnya biaya.

Memang, kita tidak bisa melarang dan menyalahkan para penggiat pers masuk ke ranah politik, karena itu menjadi hak asasi mereka. Namun kita tak bisa membiarkan begitu saja apabila kemudian mereka menyalahgunakan pers yang mereka miliki. Masyarakat berhak mendapatkan informasi yang baik, bukan informasi yang dipaksakan para pemilik modal untuk membentuk realitas opini masyarakat.

Kasus Suwandi (korban lumpur lapindo yang berjalan kaki dari Surabaya ke Jakarta untuk menuntut keluarga bakrie) yang meminta maaf kepada keluarga bakrie yang ditayangkan langsung oleh TV One juga patut dicurigai. Banyak yang menganggap bahwa tayangan ini hanya untuk kebutuhan Ical, sapaan akrab Aburizal bakrie, menghadapi pemilu 2014. KPI tentu perlu memeriksa kembali kasus ini. Jangan sampai apa yang dilakukan TV One semakin melukai perasaan para korban Lumpur Lapindo.

Merujuk kondisi di atas, pemerintah, dalam hal ini KPI, tentu dituntut lebih keras dan serius untuk menelaah semua program-program televisi yang ada. KPI harus berani bertindak tegas ketika ada program yang menyeleweng dari kepentingan publik. Selain KPI, Semua civil society juga harus bergerak mengawasi geliat media massa. Karena tanpa keseriusan pengawasan terhadap media massa, publik akan sangat dirugikan dengan banyaknya “informasi sampah” yang menjejali ruang kehidupan mereka.

No comments: