Friday, June 22, 2012

G-20 dan Posisi Indonesia

Oleh : Abdul Hakim MS


Time has come where Indonesia can give something to the world, because we are now regional power with global outreach”. Demikian kalimat yang terlontar dari Presiden SBY kala memberikan briefing di pesawat saat akan menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT G20) di Los Cabos, Meksiko pada 17 – 19 Juni 2012. Presiden SBY begitu yakin bahwa Indonesia akan bisa berbuat “sesuatu” dalam pertemuan tahunan yang diikuti oleh kepala negara dan delegasi dari 20 negara maju maupun berkembang itu. 

Optimisme Presiden SBY didasari oleh fakta bahwa Indonesia merupakan salah satu diantara tiga negara (setelah China dan India) yang tetap mampu menjaga pertumbuhan positif di tengah situasi krisis global yang menghantam pada rentang 2008-2009. Dengan pembangunan ekonomi yang tidak pernah lay-off seperti yang terjadi di beberapa negara dunia, Indonesia dipandang sangat remarkable. 

Bahkan kepala Indonesia bisa kian tegak mengingat kita merupakan satu-satunya negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang tergabung dalam G20. Selain itu, penilaian positif Goldman Sachs bahwa Indonesia saat ini layak masuk sebagai negara dalam kelompok negara berkembang dan berpengaruh di percaturan ekonomi global (Brazil, Rusia, India, China/BRIC baru), semakin membuat Presiden SBY pede. 

Ditambah dengan status sebagai negara dengan volume ekonomi nomor 16 dunia, keberadaan Indonesia di G20 tentu akan lebih diperhitungkan. Pemikiran dan posisi tawar Indonesia menjadi lebih kuat ketimbang dulu ketika hanya menjadi 'penggembira' di forum G8. Pertanyaannya, mampukah Indonesia memanfaatkan posisi strategis ini di forum G20? 

Daya Saing 

Meski banyak catatan positif telah ditorehkan selama ini, Indonesia tetap harus waspada dan tak boleh terlalu terlena dengan buaian data-data di atas. Itu dikarenakan masih banyaknya kerikil-kerikil tajam yang siap menghadang laju positif pembangunan ekonomi kita. Yang paling kentara tentulah persoalan rendahnya daya saing yang dimiliki Indonesia dibandingkan dengan negara-negara berkembang satu kawasan. 

Hal itu terlihat dari laporan International Finance Corporation (IFC). Menurut lembaga yang bermarkas di Amerika Serikat ini, untuk negara-negara yang berada di kawasan Asia Pasifik, daya saing Indonesia masih kalah dengan Thailan dan Malaysia. Indonesia hanya menempati posisi 129, jauh di bawah Thailand dan Malaysia yang menduduki peringkat 17 dan 18. Dari data ini bisa dibaca bahwa Nusantara ternyata belum begitu ramah bagi para pengusaha yang menanamkan modalnya disini. 

Seperti kita tahu, persoalan daya saing ini sangat terkait erat dengan keberadaan birokrasi dalam mengelola negara. Hingga detik ini, citra birokrasi Indonesia di mata dunia masih kurang baik. Maraknya pungutan liar (pungli) menyebabkan biaya tak resmi menjadi mahal. Bahkan untuk mendirikan usaha di Indonesia, para pengusaha harus mengeluarkan biaya empat kali lipat dibandingkan dengan mendirikan usaha di Thailand. 

Selain birokrasi, persoalan lain yang menjadikan daya saing Indonesia masih kalah dengan negara tetangga adalah masih lemahnya sektor infrastruktur yang ada. Tak jarang para pengusaha harus memutar otak akibat mahalnya biaya transportasi. Hal ini yang menyebabkan ketimpangan harga antara satu daerah dengan daerah lainnya. Harga barang di Papua misalnya, bisa jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga barang yang ada di pulau Jawa. 

Untuk itu, ke depan pemerintah harus serius menangani kendala ini. Memang, gaung reformasi birokrasi sudah sangat lantang disuarakan. Namun hingga detik ini belum sepenuhnya membuahkan hasil. Demikian pula dengan pembangunan infrastruktur. Meski pemerintah sudah getol melakukan pembenahan, perbaikan disektor ini juga belum maksimal. 

Kita faham bahwa membangun infrastruktur bukan perkara mudah. Dalam lima tahun ke depan saja, misalnya, pemerintah menaksir butuh baiaya sedikitnya Rp 1.500 triliun untuk peningkatan infrastruktur di seluruh Indonesia. Jumlah itu memang tak sedikit karena itu lebih besar dari jumlah APBN Indonesia tiap tahunnya. 

Momentum G20 

Dengan berbagai catatan positif yang ada, tentu kita berharap pemerintah bisa memanfaatkan dengan maksimal forum G20. Masih terbengkalainya pembenahan sektor infrastruktur akibat besarnya biaya yang diperlukan, bisa ditutup dengan meyakinkan para investor untuk mau mendanai proyek-proyek yang ada. Forum G20 bisa dimanfaatkan untuk menggalang dukungan bagi pembangunan Indonesia, terutama untuk perbaikan sarana infrastruktur. Forum G20 merupakan momentum untuk menarik modal besar ke negeri ini.  

Bersamaan dengan itu, pemerintah harus juga serius meyakinkan pengusaha negara lain bahwa Indonesia saat ini sudah lebih ramah dengan dunia usaha. Reformasi birokrasi terus dilakukan sebagai upaya perbaikan. Dan saat ini, meski belum sepenuhnya menggembirakan, reformasi birokrasi sudah memperlihatkan gejala perubahan yang lebih baik. 

Saat ini, Indonesia menentukan empat sasaran dalam forum G-20. Pertama, Indonesia harus mampu meminimalkan dampak buruk gejolak ekonomi dunia. Kedua, Indonesia mampu menjaga pertumbuhan ekonomi. Ketiga, Indonesia bertekad untuk mengubah krisis menjadi peluang sukses di bidang ekonomi. Dan Keempat, Indonesia harus mampu mengambil manfaat, yakni menjalin kemitraan dengan sesama anggota G-20. 

Tujuan keempat adalah yang terpenting. Saat ini, sulit bagi suatu negara untuk berjalan sendirian. Tak bisa dipungkiri, dunia yang makin menyisakan batas yang minim memaksa setiap negara untuk mau terbuka, memanfaatkan setiap peluang yang ada, dan selalu inovatif dalam mewujudkan kepentingan nasionalnya. 

Dengan potensi yang dimiliki Indonesia saat ini yang meliputi kekayaan sumber daya alam, sumber daya manusia, plus trend positif pembangunan ekonomi, Indonesia memiliki peluang besar untuk secara lebih aktif mengutarakan pandangan-pandangan alternatif di luar dominasi negara-negara besar. Indoenesia bisa menelusrkan Isu-isu yang baru di luar kemajuan negara-negar maju. 

Oleh karena itu, partisipasi aktif Indonesia pada setiap pertemuan G20 harus bisa melahirkan peluang yang besar bagi peningkatan kapasitas ekonomi domestik. Forum G20 harus bisa dijadikan amunisi untuk mengarahkan sumber daya global bagai kepentingan ekonomi dalam negeri secara lebih optimal.

Baca Selengkapnya...

Tuesday, June 19, 2012

Pencapresan Ical Lemahkan Golkar

Oleh : Abdul Hakim MS 


Internal Partai Golkar kembali gemuruh. Isu merapatnya dua politisi senior partai beringin, Jusuf Kalla (JK) dan Akbar Tandjung, ke Partai Nasdem adalah pemicunya. Hal ini merujuk pernyataan Ketua Umum Partai Nasdem, Patrice Rio Capella, bahwa JK memang sedang digadang-gadang sebagai capres di pemilu 2014. Dan pada beberapa acara Partai Nasdem, mantan wakil presiden era pemerintahan SBY periode 2004-2009 ini memang kerap muncul diantara petinggi-petinggi Partai besutan Surya Paloh tersebut. 

Seolah ingin mempertegas kebenaran merapatnya JK ke Partai Nasdem, Ketua Dewan Pertimbangan Golkar, Akbar Tandjung, menuturkan bahwa ada peluang JK dicapreskan Nasdem. Akbar menilai, Partai Nasdem memiliki potensi cukup kuat di pemilu dua tahun mendatang. Sementara JK mempunyai kompetensi baik di mata publik. 

Seandainya kondisi ini betul terjadi, Partai Golkar patut was-was. Dua politisi senior tersebut memiliki gerbong panjang di partai beringin. Dengan merapatnya kedua tokoh Partai Golkar ini tentu akan semakin mengancam keberadaan partai yang pernah menjadi penyangga utama rezim Orde baru ini. Kenapa demikian? 

Makin Tenggelam 

Jika menilik kondisi Partai Golkar di dua pemilu legislatif terakhir (2004 dan 2009), posisi Partai Golkar sebetulnya sudah cukup riskan. Perolehan suaranya terus melorot akibat banyak kader yang menyempal atau mendirikan partai sendiri. Akibat penyempalan ini, Partai Golkar harus rela kehilangan 9 juta suara pemilih pada pemilu 2009. Tentu dampak ini bisa dikategorikan sebagai efek yang cukup ekstrim. 

Seperti kita tahu, pada pemilu 2004 Partai Golkar menjadi pemenang pemilu dengan jumlah suara sebesar 24 juta pemilih. Akan tetapi, jumlah suara ini kemudian turun drastis pada pemilu 2009 menjadi hanya 15 juta pemilih. Pertanyaannya, kemana pindahnya 9 juta suara pemilih Golkar pada pemilu 2009? 

Jika ditelusuri, pada pemilu 2009, setidaknya ada tiga partai peserta pemilu yang lahir dari rahim Partai Golkar. Ketiganya adalah Partai Gerindra, Partai Hanura, dan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB). Ketiganya berhasil meraup suara cukup signifikan. Partai Gerindra menggenggam 4,6 juta suara pemilih, Partai Hanura menggamit 3,9 juta suara pemilih, dan PKPB merengkuh 1,4 juta suara pemilih. Jika digabungkan, jumlah suara ketiga partai yang berembrio dari Partai Golkar ini mencapai 9 juta suara pemilih. Jumlah ini sesuai dengan jumlah hilangnya suara Partai Golkar pada pemilu 2009 lalu. Melalui kalkulasi sederhana ini bisa ditafsirkan, bahwa ancaman terbesar partai Golkar bukan berasal dari partai lain yang tak memiliki hubungan histroris, melainkan muncul dari partai-partai yang memiliki tautan sejarah dengan Partai Golkar sendiri. 

Celakanya, pada pemilu 2014, Partai Golkar yang suaranya sudah tereduksi oleh tiga partai di awal, harus kembali terbelah. Kekalahan Surya Paloh dalam kontestasi pemilihan Ketua Umum Partai Golkar oleh Ical, menyebabkan lahirnya Partai Nasional Demokrat (Nasdem). 

Dengan masuknya dua politisi senior sekaliber JK dan Akbar Tandjung ke Partai Nasdem, tentu kondisi ini akan makin menyulitkan upaya Golkar untuk tetap menjaga pemilihnya. Sebelum masuknya dua politisi senior itu saja, merujuk kajian Lembaga Survei Indonesia (LSI), Partai Nasdem sudah meraup dukungan publik sekitar 5 persen. Apalagi ditambah dengan limpahan suara dari gerbong pendukung JK dan Akbar. Tentu posisi partai baru ini bisa semakin kokoh. 

Kelemahan Ical 

Bergolaknya internal partai Golkar saat ini, lebih disebabkan oleh kengototan Aburizal Bakrie (Ical) untuk dideklarasikan secara dini sebagai Capres pada pemilu 2014. Rencananya, pada Rapimnasus yang akan dihelat pada Juli 2012 mendatang, Ical akan ditetapkan sebagai satu-satunya bakal capres dari partai beringin pada pemilu 2014. 

Alih-alih mendukung pencapresan Ical, Akbar malah dengan lantang menyuarakan ketaksetujuannya terhadap pencapresan dini Ical. Sebagai ketua dewan pertimbangan partai golkar, ia malah memberikan nasehat, dari pada menetapkan ical sebagai capres secara dini, Rapimnasus sebaiknya diarahkan untuk melakukan evaluasi internal partai guna menghadapi pemilu 2014. Isunya, Akbar lebih sreg kalau JK yang akan diusung oleh Golkar daripada Ical. 

Sikap Akbar sebetulnya cukup rasional. Disaat ancaman yang akan dihadapi oleh Partai Golkar kian besar pada pemilu 2014, cukup wajar apabila Akbar cukup risau. Itu sebabnya, ia tak kemudian legowo mendukung Ical untuk menjadi capres, mengingat Ical memiliki catatan minus yang mungkin bisa saja makin menenggelamkan suara Partai Golkar. 

Seperti kita tahu, ada dua catatan hitam yang siap menjadi faktor resisten Ical dalam pilpres 2014. Pertama, bencana luapan Lumpur Lapindo. Bencana luapan lumpur yang menimpa Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, itu terjadi akibat kesalahan pengeboran yang dilakukan PT Lapindo Brantas. Bencana ini telah menyebabkan lebih dari ratusan hektare wilayah pemukiman warga tenggelam. 

Tak hanya itu, puluhan ribu orang terpaksa mengungsi. Sudah tak terhitung lagi nilai kerugian material maupun nonmaterial yang timbul akibat bencana tersebut. Namun, meski sudah lima tahun berlalu, mekanisme penyerahan ganti rugi lahan masih terkatung-katung. Naasnya, kejadian ini berada di Pulau Jawa yang jumlah pemilihnya mencapai 60 persen. Saham PT Lapindo Brantas dimiliki secara penuh oleh PT Energi Mega Persada, yang merupakan anak perusahaan kelompok usaha Bakrie. 

Kedua, kasus skandal tunggakan pajak. Selain bencana luapan lumpur Lapindo, Ical juga berpotensi tersandung skandal tunggakan pajak yang dilakukan kelompok usaha Bakrie, yaitu PT Kaltim Prima Coal, PT Bumi Resources, dan PT Arutmin. Di berbagai kesempatan persidangan, terdakwa Gayus H. Tambunan berulang kali mengungkapkan bahwa kelompok usaha Bakrie memberikan uang senilai Rp100 miliar kepada dirinya guna memperlancar urusan tunggakan pajak. 

Merujuk kondisi di atas, tentu yang harus dilakukan Partai Golkar saat ini adalah melakukan konsolidasi total demi menjaga asa menjadi pemenang pada pemilu 2014. Rencana pencapresan dini Ical pada Rapimnasus bulan Juli mendatang sebaiknya ditinjau ulang. Akan lebih bijak apabila Ical memenuhi janjinya bahwa Partai Golkar akan mencapreskan sosok yang menurut survei paling diterima publik. Saat ini, Ical masih kalah moncer dengan tokoh-tokoh lain di Golkar, seperti Jusuf Kalla. 

Pintu pencapresan Partai Golkar akan lebih baik jika ditempuh dengan cara konvensi, seperti yang dilakukan Akbar pada pemilu 1999. Cara itu terbukti cukup mujarab dalam mengerek suara beringin menjadi pemenang. Seandainya Ical nanti tetap ditunjuk menjadi capres tunggal secara dini, sepertinya Partai Golkar harus rela menelan pil pahit pada pemilu 2014 nanti.

Baca Selengkapnya...