Friday, January 06, 2012

Hatta dan SBY’s Factor

Oleh : Abdul Hakim MS

detik.com, Kamis, 15/12/2011


Pada 24 November 2011, kisah cinta Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) dan Siti Rubi Aliya Rajasa berakhir di jenjang pernikahan. Melalui acara akad nikah di Istana Cipanas, putra bungsu Presiden SBY dan putri Menko Perekonomian Hatta Rajasa (HR) tersebut telah resmi menjadi sepasang suami istri. Di tengah kebahagiaan Ibas-Aliya, perkawinan antara putra-putri dua pejabat ini ternyata menimbulkan berbagai polemik dan pro-kontra. Ada yang mendesak KPK mengaudit dana pernikahan Ibas-Aliya. Ada pula yang mengatakan pernikahan keduanya tergolong sederhana sebagai anak pejabat tertinggi di negeri ini.

Namun sebenarnya, yang paling menarik untuk dicermati adalah bagaimana pengaruh SBY terhadap karir politik besannya itu pasca pernikahan kedua anak mereka? Apakah SBY bisa menjadi poin positif atau malah negatif bagi pencapresan HR di pemilu 2014?

Seperti kita tahu, menjelang Rakernas PAN pada 10-11 Desember 2011 di JCC, santer terdengar kabar bahwa Ketum PAN itu akan didaulat sebagai capres pada pilpres 2014 mendatang. Sekretaris Jendral PAN, Taufik Kurniawan, mengatakan, saat ini desakan kuat telah lahir dari DPD dan DPW seluruh Indonesia untuk sesegera mungkin mendeklarasikan HR sebagai capres resmi PAN. Hal ini dimaksudkan agar kerja-kerja politik yang dilakukan oleh DPD dan DPW semakin jelas dan terarah dalam menghadapi pemilu 2014.

Faktor SBY

Sepertinya, PAN memang tak punya pilihan untuk mengusung capres selain HR. Secara personal, HR termasuk tokoh papan atas Indonesia yang memiliki modal komunikasi politik yang cukup baik. Sejak menjabat sebagai menteri sekretaris negara pada Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid I, HR juga telah menjadi tokoh yang semakin akrab di telinga publik. Bahkan kabarnya, Ketua Majelis Pertimbangan PAN, Amien Rais, pun sudah memberikan lampu hijau terhadap rencana pencalonan Menkoperekonomian itu.

Pasca pernikahan Ibas-Aliya, HR semakin memiliki modal yang cukup baik untuk menjadi capres karena hadirnya sosok SBY. Merujuk hasil survei DCSC Indonesia pada Oktober 2011, dalam pertanyaan terbuka, tingkat elektabilitas SBY ternyata masih di atas Megawati, Prabowo, dan Ical. Padahal pada pemilu 2014 medatang, SBY sudah tak bisa lagi mencalonkan diri.

Dengan popularitas dan elektabilitas yang masih baik pada diri SBY, tentu menjadi modal positif bagi HR untuk mengerek popularitas. Seperti sudah banyak dilansir lembaga survei, tingkat popularitas Menkoperekonomian itu belum begitu menggigit di mata publik. Dengan acara pernikahan kedua anak mereka yang disiarkan langsung oleh beberapa stasiun televisi, plus liputan dari berbagai media massa, hemat saya, tingkat popularitas HR kok sepertinya bisa terdongkrak pada posisi yang lebih ideal sebagai capres.

Selain itu, saat ini ada semacam kebutuhan SBY untuk mencapreskan HR. Partai Demokrat selaku partai terbesar di pentas politik nasional, belum juga memiliki figur dengan popularitas kuat sekaliber dirinya untuk diusung menjadi capres. Ketua Umum Anas Urbaningrum dan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng dapat dipastikan akan mendapatkan resistensi tinggi dari publik jika tetap memaksakan maju sebagai capres. Mengingat, kedua politisi muda Partai Demokrat itu diduga kuat terlibat kasus suap proyek pembangunan wisma atlet SEA Games yang melilit mantan bendahara umum Partai Demokrat, M Nazaruddin.

Agaknya, SBY sadar betul bahwa ketiadaan figur kuat di jajaran elite Partai Demokrat akan memunculkan polemik internal dalam menentukan capres yang akan diusung. Kondisi itu tentu kurang ideal untuk memilih capres dari kalangan dalam. Oleh karena itu, pilihan untuk mengusung tokoh dari luar partai sebagai capres tahun 2014 menjadi terasa amat penting. Demi menjaga stabilitas Partai Demokrat, besar kemungkinan HR akan digadang-gadang oleh Presiden SBY sebagai calon presiden tahun 2014. Kenapa HR?

Pertimbangan SBY untuk memilih HR sebagai capres adalah adanya kebutuhan untuk mempersiapkan penerus trah Yudhoyono demi menjaga eksistensi di kancah politik nasional. Dengan memilih HR yang notabene merupakan besan, maka kerisauan Presiden SBY terhadap kelanjutan trah Yudhoyono di kancah politik nasional akan terjawab tuntas.

Faktor PAN

Meski demikian, hadirnya SBY dalam lingkungan HR bukan tanpa kelemahan. Naik-turunnya popularitas SBY, tentu akan memiliki imbas terhadap konsistensi politik HR kedepan. Dengan predikat sebagai besan, kelekatan itu akan sulit di hapus dari memori publik. Jika popularitas SBY bisa dijaga dengan baik hingga masa akhir jabatannya, mungkin hal itu akan berimbas positif buat HR. Namun sebaliknya, jika popularitas SBY turun, maka HR pun pasti akan terkena efek psikologis. Apalagi saat ini DPR tengah kencang untuk kembali “mengulik” kasus Bank Century. Saat ini, DPR telah menyiapkan ‘jurus’ hak menyatakan pendapat untuk kasus bailout 6.7 triliun itu. Sasaran tembaknya jelas, mereduksi “kemonceran” prestasi Presiden SBY.

Kelemahan mendasar lainnya yang bisa menjadi “rem” dukungan SBY terhadap HR adalah masih minimnya perolehan suara partai matahari. SBY tentu akan menghitung-hitung dukungan mencapreskan HR jikalau suara PAN masih dikisaran 6 – 7% saja, sementara suara Partai Demokrat ada di atas 20%. Tentu seandainya SBY mencapreskan HR ditengah ketimpangan suara kedua partai itu, akan memunculkan polemik kuat di internal Partai demokrat. Dan hemat saya, SBY tak akan memilih opsi itu.

Merujuk uraian di atas, hemat saya, titik lemah yang paling utama dari upaya pencapresan HR adalah faktor PAN. Oleh karena itu, jikalau PAN memang betul-betul ingin mengusung capresnya sendiri, ada baiknya kegiatan rakernas nanti difokuskan untuk mencari strategi pemenangan yang baik dari pada membahas isu-isu elitis yang telah membuat jengah masyarakat. Karena jika suara PAN masih satu digit pada pemilu 2014, sepertinya langkah HR untuk menjadi capres akan menghadapi jurang yang cukup terjal.

Baca Selengkapnya...

Menakar Pencalonan Hatta Pada Pilpres 2014

Oleh : Abdul Hakim MS

Media Indonesia


Menjelang Rakernas PAN pada 10-11 Desember 2011 di JCC, santer terdengar kabar bahwa Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Hatta Rajasa (HR), akan didaulat sebagai calon presiden (capres) pada pemilihan presiden (pilpres) tahun 2014 mendatang. Kabarnya, Ketua Majelis Pertimbangan PAN, Amien Rais, pun sudah memberikan lampu hijau terhadap rencana pencalonan tersebut.

Meskipun demikian, agar HR pantas jadi Capres, Amien Rais memberikan sejumlah catatan yang harus dipenuhi PAN ketika akan mencalonkan sang ketua umum pada pilpres 2014. Catatan itu antara lain adalah pemenuhan target suara sebesar dua digit pada pemilihan umum (pemilu) 2014. Pada tiga pemilu kebelakang (1999, 2004, 2009), PAN hanya mampu meraih suara pada kisaran angkan 6-7 persen. Pada pemilu 1999 PAN memperoleh suara sebesar 7.1%, pemilu 2004 sebesar 6.4%, dan pemilu 2009 sebesar 6.0%.

Seperti di ditegaskan oleh Sekretaris Jendral PAN, Taufik Kurniawan, beberapa hari menjelang rakernas, desakan kuat lahir dari DPD dan DPW seluruh Indonesia untuk sesegera mungkin mendeklarasikan HR sebagai capres PAN. Hal ini dimaksudkan agar kerja yang dilakukan oleh DPD dan DPW semakin jelas dan terararah dalam menghadapi pemilu 2014.

Yang menarik ditunggu adalah bagaimana sikap HR dalam menghadapi desakan pencapresan dirinya di rakernas nanti?

Potensial

Saat ini, nama Prabowo Subianto dan Aburizal Bakrie memang tengah mendominasi ruang publik terkait wacana tokoh kandidat calon presiden tahun 2014. Harus diakui bahwa kedua calon itu memiliki sumber daya finansial dan jaringan media massa yang sangat mumpuni ketimbang HR.

Namun, dua hal itu tidak lantas serta merta dapat menjadi jaminan bagi kedua tokoh itu untuk melenggang mulus menuju kursi kepresidenan. Publik tentu tidak akan lupa bahwa Aburizal Bakrie memiliki catatan hitam berupa kasus Lumpur Lapindo dan tunggakan pajak kelompok usaha Bakrie. Setali tiga uang dengan Aburizal Bakrie, Prabowo Subianto pun masih memiliki beban hukum terkait dengan dugaan pelanggaran HAM kala ia masih aktif di dunia kemiliteran.

Sementara sosok HR, secara perlahan telah masuk dalam jajaran pejabat birokrasi pemerintahan dan elite politik papan atas Indonesia. Meskipun saat ini elektabilitasnya masih ada dibawah dua tokoh di atas, namun sejak menjabat sebagai menteri sekretaris negara pada Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid I, HR menjadi tokoh yang semakin akrab di telinga publik. Apalagi, baru-baru ini HR melakukan hajatan besar dengan menjadi besan Presiden SBY. Meski belum ada data resmi, perhelatan perkawinan Ibas-Aliya sepertinya akan berdampak pada popularitas HR di kalangan masyarakat.

Dengan kemampuan komunikasi lobi yang baik dan banyaknya jaringan, juga menjadi kelebihan HR dalam perburuan kursi RI-1. Melalui berbagai jaringan organisasi yang digeluti –seperti Ikatan Alumni ITB (IA-ITB), dan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) misalnya¬– bukan perkara sulit bagi HR untuk melicinkan langkah tampil sebagai tokoh kandidat calon presiden potensial. Tak mengherankan apabila kemudian pengurus DPD dan DPW PAN begitu ngebet mencapreskan HR secara dini.

Kelemahan mendasar yang dimiliki HR saat ini adalah perolehan suara partainya yang masih stagnan pada angka 6 – 7%. Tentu dengan modal suara partai sebesar itu, akan sangat sulit bagi HR untuk bargaining position menduduki posisi capres. Jikalau pun bisa, HR tentu akan menghadapi kesulitan kala terpilih. Pengalaman pemilu 2004 menunjukkan, SBY yang terpilih bersama dengan JK, tak bisa berbuat banyak menghadapi “gangguan” DPR. Bahkan ada celetukan disebagian kalangan, the real presiden Indonesia kala itu adalah JK. Hal ini mengacu pada dominasi JK yang cukup kelihatan terhadap SBY dikarenakan sebagai ketua umum Partai Golkar yang menjadi pemenang pimilu legislatif 2004 dan menguasai kursi DPR.

Pertanyaannya, apakah HR mau menerima pencapresan dirinya saat pemilu 2014 masih tiga tahun lagi? Apa untung dan ruginya jikalau HR menjadi capres resmi PAN saat ini?

Prematur

Tentu jikalau HR menerima pinangan pencapresan dirinya oleh pengurus PAN pada rakernas nanti, hal ini akan menjadi terobosan baru di pentas perpolitikan nasional. Ada sebuah partai politik yang telah memiliki capres resmi meskipun pemilu masih tiga tahun lagi. Kondisi ini cukup baik bagi pembelajaran politik masyarakat. Istilah “membeli kucing dalam karung” menjadi tidak berarti lagi. Karena ketika masyarakat memilih PAN, salah satu tafsirannya adalah mereka juga ingin memilih HR sebagai capres.

Akan tetapi, bukan tanpa kendala jikalau HR menerima pinangan pengurus PAN saat rakernas nanti. Posisinya sebagai Menkoperekonomian saat ini, akan rentan menjadi polemik dikalangan elit dan media massa. Semua kinerjanya sebagai menko, nantinya akan selalu dicurigai sebagai “kampanye terselubung” untuk kepentingan pemilu 2014. Tentu kondisi ini sangat mengganggu kinerja ekonomi yang saat ini sudah dalam trend positif.

Idealnya, seandainya HR menerima pinangan sebagai capres resmi PAN, ia harus mundur dari jabatannya sekarang. Namun pertanyaannya, relakah SBY melepas menteri sekaliber HR? Atau pertanyaannya dibalik, relakah HR melepas hasil kreasi ekonominya yang telah menghasilkan public polecy awrd melalui Master Plan MP3EI?

Melihat fakta yang ada, kemungkinan terbesarnya adalah arus dukungan tetap akan kuat dalam rakernas nanti. Namun hemat saya, HR tentu akan berfikir ulang untuk menerima pinangan tersebut. Hal ini berdasar pada, pertama, pemilu 2014 masih cukup lama, tiga tahun. Dalam masa itu, HR masih punya cukup waktu untuk menyusun dukungan secara gerilya sembari masih dapat menunaikan tugas sebagai Menkoperekonomian. Kedua, HR tentu akan menimang masih kecilnya suara PAN. Hemat saya, HR pasti akan melihat dulu perolehan suara pemilu legislatif PAN di 2014 nanti sebelum ia resmi menjadi capres dari PAN.

Merujuk kondisi tersebut, ada baiknya jiakalu rakernas PAN lebih difokuskan untuk mencari strategi pemenangan PAN yang komprehensif, daripada sibuk pada isu pencapresan yang bisa dikatakan masih cukup prematur. PR terbesar PAN adalah bagaimana partai bisa meraih angka dua digit, sehingga HR cukup pantas di capreskan dari partai matahari tersebut, seperti dicatatkan oleh Amin Rais di atas.

Baca Selengkapnya...

Antara Gaya dan Kinerja DPR

Oleh : Abdul Hakim MS

Detik.com, Selasa, 29/11/2011


Untuk kesekian kalinya, wajah DPR kembali tertampar. Adalah Busyro Muqoddas, Ketua KPK saat ini yang menyindir keras gaya perilaku para anggota dewan. Dalam pidato kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2011 di Taman Ismail Marzuki, Busyro secara langsung menyindir pejabat negara dan anggota DPR yang selalu bergaya perlente. Ia menilai, lembaga-lembaga negara banyak dihuni oleh para “pemberhala nafsu” dan “syahwat politik kekuasaan”. Naasnya, moralitasnya mendekati titik nol. Akibatnya, budaya korupsi di Indonesia menjadi kian mengakar.

Kontan, pernyataan Busyro ini sedikit memanaskan situasi politik nasional. Para anggota dewan melakukan “reaksi perlawanan” yang cukup kuat untuk membela diri. Bahkan salah satu petinggi Partai Golkar mengatakan, urusan gaya hidup anggota DPR bukanlah domain KPK untuk menelaahnya, melainkan urusan media massa dan pengamat untuk mengkritisinya.

Memang jika kita cermati, perilaku yang ditunjukkan anggota dewan sedikit mencederai rasa “etika publik”. Ditengah himpitan ekonomi yang mencengkeram masyarakat, anggota dewan malah mempertontonkan kemewahan. Area parkir gedung DPR di Senayan, bak show room mobil-mobil mewah. Dari deretan mobil-mobil tersebut, ditengarai ada mobil yang harganya hingga mencapai 7 miliar. Pertanyaannya, kenapa anggota dewan kita suka mempertontonkan kemewahan ditengah kesulitan ekonomi masyarakat?

Gaya dan Kinerja

Ada dua perkara yang mendorong kenapa anggota DPR berperilaku mewah. Pertama, akumulasi pendapatan ekonomi yang diterima cukup besar. Kedua, besarnya akumulasi pendapatan ekonomi ini tak disertai dengan sikap kenegarawanan yang baik.

Seperti kita tahu, pendapatan anggota DPR setiap bulannya bisa mencapai 51 juta rupiah. Angka sebesar itu diterima anggota DPR yang tak menjabat sebagai alat kelengkapan atau anggota DPR biasa. Pendapatan itu berasal dari gaji pokok dan tunjangan. Artinya, dalam setahun anggota DPR bisa mengumpulkan pendapatan sebanyak 600 juta rupiah. Jika dikalikan 5 tahun masa jabatan yang diemban, anggota DPR bisa meraup uang sebesar 3 miliar rupiah. Belum lagi tunjangan rapat, studi banding dan sebagaianya. Tentu sebuah nilai yang cukup besar.

Rincian di atas adalah ilustrasi pendapatan gaji anggota dewan yang berjalan lurus, yakni murni hidup dari pendapatan gaji dan tunjangan saja. Padahal sudah menjadi rahasia umum, jikalau proses pembuatan undang-undang di DPR penuh sesak dengan praktik “dagang sapi”. Tak sedikit oknum anggota DPR yang harus berurusan dengan meja hijau akibat praktik korupsi. Kasus cek pelawat Miranda Gultom yang menyeret banyak politisi DPR adalah salah satu contohnya.

Sayangnya, besarnya pendatan ekonomi yang diterima anggota DPR ini tak disertai sikap kenegarawanan yang baik. Anggota DPR yang seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat dan menyatukan diri dengan penderitaan masyarakat, malah hidup mewah dan mempertontonkannya ke publik. Seandainya mereka bukan pejabat publik, rasanya tak menjadi persoalan. Namun ketika pendapatan ekonomi yang besar itu didapat dari uang rakyat, disinilah proses pencideraan itu terjadi.

Lebih parah, ditengah hidup gaya parlente dari uang rakyat, anggota DPR belum juga menunjukkan kinerja yang baik. Sepanjang tahun 2010 misalnya, DPR hanya dapat menyelesaikan 16 undang-undang dari 70 undang-undang yang ditargetkan. Masih tersisa sebanyak 54 RUU yang statusnya tidak tuntas dibahas atau malah naskah RUU-nya belum disiapkan. Dari sisi keaktifan kehadiran, anggota DPR juga menyuguhkan semangat yang sangat minim. Dalam beberapa rapat besar DPR, bangku kosong kerap menghiasai media massa.

Itu sebabnya, publik menilai kinerja anggota legislatif menjadi buruk. Merujuk data survei nasional DCSC Indonesia pada rentang waktu 12 – 20 Oktober 2011, mayoritas publik , 52.1%, menilai bahwa anggota legislatif tidak peduli untuk memperjuangkan kepentingan konstituennya. Begitu pula dengan tingkat kemampuan melakukan tugas kedewanan, sebanyak 45.3% publik menilai anggota dewan tidak memiliki kemampuan. Merujuk kondisi tersebut, semestinya anggota DPR lebih mawas diri. Sebagai pejabat publik dan digaji dari uang rakyat, mereka harus sadar bahwa mereka tak bisa lepas dari sorotan.

Pemburu Rente

Apa yang dilakukan oleh anggota DPR seperti terilustrasi di atas, disebabkan besarnya porsi “tujuan memburu rente” dari pada mementingkan “tujuan ideal lembaga DPR”. Tujuan ideal lembaga DPR adalah untuk mengagregasi serta mengartikulasikan kepentingan rakyat. Dan oleh publik, tugas ini dipandang tak berhasil dilakukan oleh anggota dewan merujuk data survei DCSC Indonesia.

Selain tujuan ideal tersebut, setiap anggota DPR juga memiliki tujuan “memburu rente”. Mereka memperebutkan posisi kursi di DPR karena Pertama, ingin melakukan akumulasi ekonomi sebanyak-banyaknya. Yaitu mengumpulkan kekayaan seperti telah dikutip di atas. Tujuan Kedua, adalah memanfaatkan segala sumber daya yang ada untuk tujuan kekuasaan politik, yakni tetap dapat mempertahankan kedudukannya dalam pemilu selanjutnya. Tujuan rente inilah yang melatarbelakangi kenapa sebagian besar anggota dewan bersikap kurang peka terhadap kepentingan masyarakat dan suburnya budaya korupsi.

Dalam konsep akademis, “tujuan memburu rente” tersebut dinamai dengan istilah power-seeking politician. Argumentasi dasar power-seeking politician ini adalah para politisi merupakan makhluk rasional yang tidak steril dari perhitungan untung-rugi dalam setiap mengambil keputusan. Kepentingan utama dari politisi adalah memaksimalkan, dan bila mungkin, mempertahankan kekuasaan yang dimiliki. Untuk tujuan ini, maka para politisi akan dimotivasi oleh keinginan menggunakan sumber daya (resources) apa saja yang dimiliki guna memberikan ganjaran kepada siapa saja yang mendukung mereka, dan memberikan hukuman kepada siapa saja yang mencoba mengganggu (Grindle, 1989).

Melihat kondisi seperti ini, selayaknya anggota DPR tak perlu terlalu reaktif dalam menyikapi kritik ketua KPK. Ada baiknya anggota DPR malah harus menjadikannya sebagai kritik membangun untuk lebih mawas diri. Karena hingga detik ini, sangat minim persepsi terhormat dari masyarakat dari lembaga yang terhormat DPR.

Baca Selengkapnya...

Indonesia Negara Gagal?

Oleh : Abdul Hakim MS

Jurnal Nasional, Selasa, 8 Nov 2011


Melihat Indonesia dari kaca mata media massa dalam beberapa bulan terakhir, ibarat disuguhi sebuah kapal yang seolah mau pecah. Mayoritas headline menyembulkan pesimistis pembangunan bangsa dan negara ke depan. Bahkan beberapa kalangan telah santer menyuarakan jikalau Indonesia saat ini hampir menjadi negara gagal. Betulkah demikian?

Mengutip teori “Media Sebagai Konstruksi Realitas Sosial”, apa yang disuguhkan oleh media massa, terkadang tak mewakili kenyataan yang sebenarnya. McNair Brian (1995) mengatakan, “Media bukanlah ranah yang netral dimana berbagai kepentingan dan pemaknaan dari berbagai kelompok akan mendapatkan perlakuan yang sama dan seimbang. Media justru bisa menjadi subyek yang mengkonstruksi realitas berdasarkan penafsiran dan definisinya sendiri untuk disebarkan pada khalayak. Media berperan dalam mendefinisikan realitas”.

Teori McNair Brian tersebut, sejurus dengan temuan survei nasional DCSC Indonesia tentang kondisi/situasi nasional Indonesia saat ini dan ke depan. Ternyata, apa yang disuguhkan oleh media bahwa Indonesia adalah negara gagal, tak mencermin dari suara mayoritas publik Indonesia.

Dalam temuan survei nasional yang dilakukan terhadap 1.200 responden di 33 provinsi di Indonesia pada rentang waktu 12 – 20 Oktober 2011, mayoritas publik, yakni 52.8% memandang bahwa kondisi/situasi Indonesia saat ini secara umum masih baik. Itu artinya, suara publik ini bertentangan dengan analisis bahwa Indonesia menjadi negara gagal.

Temuan lain yang menarik juga adalah, optimisme publik terhadap kondisi ekonomi nasional setahun ke depan cukup positif. Responden yang menjawab bahwa situasi nasional dalam setahun kedepan akan lebih baik, lebih banyak dibandingkan dengan yang menjawab lebih buruk, yakni 29.5% : 8.6%. Temuan data ini menunjukkan bahwa masyoritas masyarakat Indonesia memandang bahwa analisis Indonesia menjadi negara gagal sebetulnya kurang tepat.

Akselerasi Kinerja

Meskipun wacana Indonesia sebagai negara gagal yang digaungkan sebagian media massa bukanlah cerminan mayoritas suara publik, namun wacana tersebut tetap harus menjadi alarm serius bagi pemerintahan SBY-Boediono dalam sisa masa jabatannya. Hal itu merujuk pada data bahwa yang mengatakan secara umum kondisi/situasi Indonesia secara umum buruk, juga tidak sedikit, yakni sebesar 40.1%. Artinya, meski bukan menjadi negara gagal, banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Ditambah lagi, tingkat kepuasan terhadap Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono juga belum begitu menggembirakan, berada di bawah angka psikologis 50%.

Hemat saya, setidaknya ada tiga perkara yang harus cepat diselesaikan oleh presiden SBY guna kembali mengatrol tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahannya. Pertama, Presiden SBY harus kembali giat mendorong penindakan keras terhadap para koruptor. Hal ini merujuk pada persepsi publik dalam temuan survei DCSC Indonesia yang menjadikan korupsi sebagai “musuh utama” negara. Korupsi menjadi variabel utama ketidakpuasan publik terhadap pemerintah. Oleh karena itu, kasus-kasus korupsi yang saat ini masih menggantung, sebaiknya dengan cepat dituntun oleh SBY guna percepatan penyelesainnya agar tak terus menguap di udara.

Kedua, Presiden SBY harus kembali mendorong percepatan program-program pro rakyat yang hasilnya dapat langsung dirasakan masyarakat. Gap ekonomi saat ini yang terjadi di Indonesia sangat timpang. Berdasarkan laporan AGB pada 2010, penduduk kaya di Indonesia meningkat pesat dalam satu dekade terakhir seiring pertumbuhan ekonomi yang baik. Namun sejurus dengan itu, angka kemiskinan juga turut membengkak. Jurang pemisah ketimpangan ekonomi antara “si miskin” dan “si kaya” harus segera diminimalisasi dengan program yang langsung menyasar ke kalangan bawah. Karena jika tidak, sangat mungkin tingkat kepuasan publik terhadap pemerintah akan kembali melorot.

Ketiga, Presiden SBY harus sesegera mungkin mendorong akselerasi kinerja KIB II pasca reshuffle untuk tetap memelihara asa publik. Harapan masyarakat adalah kunci menstabilkan arus dukungan terhadap pemerintahan yang berjalan. Jika kita menengok revolusi yang terjadi di Mesir dan beberapa negara di Timur Tengah, kata kuncinya karena sebagian besar masyarakat telah pupus harapannya (frustasi sosial) dalam berbagai sendi kehidupan. Dalam konteks Indonesia, frustasi sosial telah berhasil melengserkan rezim Orde Baru.

Pemakzulan

Buntut dari analisis negara gagal seperti di kutip di atas, telah banyak berhembus bahwa saat ini ada wacana timbulnya gerakan “delegitimasi” terhadap pemerintahan SBY-Boediono. Bahkan analisis beberapa kalangan, 2012 adalah masa akhir pemerintahan SBY.

Memang, hasil survei DCSC Indonesia menunjukkan, saat ini 59.8% masyarakat tak mendukung adanya gerakan pemakzulan terhadap pemerintahan SBY-Boediono. Ini merupakan suara mayoritas publik. Akan tetapi, jika tak ada geliat perbaikan serius dari pemerintah dan angka kepuasan terhadap pemerintah terus menurun, bisa dijadikan legitimasi kelompok-kelompok tertentu untuk memunculkan social movement guna melengserkan pemerintahan yang ada.

Satu-satunya jalan untuk menanggulangi social movement, SBY harus berhasil mengembalikan harapan masyarakat seperti pada situasi beberapa bulan ketika ia terpilih dipilpres 2009 yang lalu. Pemunculan harapan masyarakat, dapat mencegah dukungan terhadap gerakan delegitimasi yang telah santer diwacanakan. Reshuffle yang dilakukan SBY beberapa waktu lalu terhadap para menterinya yang terpersepsikan negatif, adalah langkah awal.

Dengan mengganti para menterinya yang tak perform, setidaknya akan menujukkan kepada publik bahwa situasi sosial, ekonomi, dan politik akan membaik. Pemerintah terlihat akan kembali bekerja keras untuk mengelola negara ini. Dengan cara itu, wacana pemberhentian presiden di tengah masa tugasnya yang belum selesai (pemakzulan) bisa diredam sehingga tidak menjadi implikasi buruk dalam pembangunan negara kedepan. Karena sebagaimana kita tahu, pemakzulan selalu berimplikasi kerusuhan sosial seperti pada kasusu 98 dan negara-negara di Timur Tengah.

Baca Selengkapnya...

Pentingnya menjawab harapan Publik

Oleh : Abdul Hakim MS

Ivestor Daily, Senin, 10 Oktober 2011


Polemik reshuffle kabinet kembali mengemuka. Sinyalnya kali ini lebih kuat dibanding polemik yang sama pada 2010 tahun lalu. SBY dalam beberapa pidatonya semakin jelas menyiratkan adanya pergantian pembantunya. Tak heran jika kemudian bursah nama-nama menteri yang akan digeser atau di copot “mejeng” dihalaman depan berbagai media massa. Pertanyaannya, akankah reshuffle kabinet kali ini direalisasikan oleh SBY? Dan seberapa penting reshuffle kali ini bagi SBY?

Membaca dari pengalaman pada 2010, wacana reshuffle yang kuat kala itu ternyata tak mewujud. Keyakinan yang luar biasa dari Prof. Tjipta Lesmana bahwa reshuffle kabinet pasti ada, menguap diudara. Ujungnya, SBY ternyata lebih suka mempertahankan jajaran kabinetnya. Memang, dalam merombak pembantu-pembantunya, hanya SBY dan Tuhan saja yang tahu ending-nya.

Namun, apabila kita merujuk pada kondisi faktual saat ini, hemat saya, reshuffle kabinet sepertinya akan nyata. Hal ini dikarenakan SBY membutuhkan perombakan struktur KIB II demi menjaga survival pemerintahan hingga tiga tahun kedepan. Jika momen saat ini hilang, sangat mungkin sisa tiga tahun masa pemerintahan SBY akan goyah. Kenapa demikian?

Tiga Alasan

Paling tidak, ada tiga alasan kuat kenapa SBY harus merealisasikan reshuffle kabinet kali ini. Alasan nomor satu, pemerintahan SBY perlu membarui persepsi yang saat ini sedang berada dititik nadhir.

Seperti telah dirilis salah satu lembaga survei nasional, LSI, saat ini persepsi publik terhadap kinerja kabinet indonesia bersatu (KIB) jilid II cukup kritis. Tingkat kepuasan masyarakat berada di angka 37.7%. Ditambah lagi dari hasil evaluasi lembaga Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) menyatakan, bahwa mayoritas kinerja lembaga kementrian saat ini berapor merah. Hemat saya, cara yang paling baik untuk membarui persepsi miring ini, SBY harus melakukan penggantian pembantu-pembantunya.

Alasan nomor dua, saat ini SBY membutuhkan papan pijakan yang kuat untuk kembali melakukan pantulan citra ke atas (rebound) di mata masyarakat.

Situasi yang dihadapi oleh SBY saat ini, sebetulnya merupakan ulangan kondisi yang sama pada periode Juni 2008 silam. Kala itu, citra SBY menukik tajam. Hasil survei Indo Barometer kala itu menempatkan tingkat kepuasan masyarakat berada pada angka 36.5%. Penyebabnya, pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang dipicu oleh melambungnya harga minyak dunia yang melonjak tajam.

Akan tetapi pada saat itu, SBY dalam beberapa bulan kemudian bisa menemukan papan pijakan kuat untuk memantulkan kembali citranya ke atas (rebound). Menurunnya kembali harga minyak dunia, memungkinkan SBY untuk kembali menurunkan harga BBM. Polemik BBM mereda dan citra SBY kembali baik di mata publik. Bahkan merujuk pada survei Indo Barometer, citra SBY dalam beberapa bulan menjelang Pilpres 2009 bisa terkatrol hingga ke angka 83.8%. Beberapa bulan setelah pilpres, tepatnya pada Agustus 2009, tingkat kepuasan publik terhadap SBY bahkan bisa menyentuh angka 90.4%. Angka terakhir merupakan citra terbaik yang dimiliki oleh SBY.

Kondisi saat ini juga sama. Survei LSI menujukkan tingkat kepuasan terhadap kinerja KIB II ada pada angka 37.7%. Memang, angka ini masih sedikit di atas angka pada Juni 2008 yang lalu. Namun kondisi ini tentu sangat kritis. Itu sebabnya SBY memerlukan papan pijakan kuat untuk kembali rebound. Jika pada Juni 2008 SBY memiliki momentum penurunan harga BBM sebagai pijakan untuk rebound, saat ini, reshuffle kabinetlah yang menurut hemat saya cukup pas untuk dijadikan papan pijakan untuk rebound.

Alasan nomor tiga, saat ini SBY memerlukan pememeliharaan terhadap asa publik. Harapan masyarakat adalah kunci menstabilkan arus dukungan terhadap pemerintahan yang berjalan. Jika kita menengok revolusi yang terjadi di Mesir dan beberapa negara di Timur Tengah, kata kuncinya karena sebagian besar masyarakat telah pupus harapannya (frustasi sosial) dalam berbagai sendi kehidupan. Dalam konteks Indonesia, frustasi sosial telah berhasil melengserkan rezim Orde Baru.

Telah banyak berhembus, bahwa saat ini ada wacana timbulnya gerakan “delegitimasi” terhadap pemerintahan SBY. Bahkan analisis beberapa kalangan, 2012 adalah masa akhir pemerintahan SBY. Akan ada social movement kuat yang akan menuju ke arah itu.

Satu-satunya cara untuk menanggulangi terjadinya social movement, SBY harus berhasil mengembalikan harapan masyarakat seperti pada situasi beberapa bulan ketika ia terpilih dipilpres 2009 yang lalu. Pemunculan harapan masyarakat, dapat mencegah dukungan terhadap gerakan delegitimasi yang telah santer diwacanakan. Dan penggantian para pembantunya saat ini yang terpersepsikan negatif, adalah pilihan tepat. Dengan mengganti menteri yang tak perform, setidaknya akan menujukkan kepada publik bahwa situasi sosial, ekonomi, dan politik akan membaik. Pemerintah terlihat akan kembali bekerja keras untuk mengelola negara ini.

Salah Pilih

Mengingat tiga alasan di atas, maka reshuffle kabinet dalam konteks saat ini telah menjadi kebutuhan. Namun untuk bisa mewujudkan tiga situasi di atas, catatan pentingnya adalah SBY tak boleh ganti pembantu asal-asalan. Harus ada kriteria jelas yang dipilih. Paling tidak, hasil evaluasi UKP4, hasil evaluasi internal kementrian, hasil evaluasi persepsi publik, dan hasil evaluasi koalisi partai politik harus menjadi pertimbangan serius.

Pilihan Reshuffle kabinet juga tanpa resiko. Selain bisa menciptakan tiga situasi di atas, Ia juga bisa menjadi kapak bermata ganda. Jikalau SBY mereshuffle kabinet dan tak bisa memuaskan sebagian besar kalangan, baik masyarakat, akademisi, politisi dan kalangan usahawan, bukan tak mungkin pergantian menteri akan menjadi penegas citra negatif saat ini. Implikasinya sangat jelas, goyahnya pemerintahan SBY karena akan derasnya arus kritik. Namun apabila reshuffle kabinet berhasil melegakan sebagian besar kalangan di atas, bukan tidak mustahi SBY bisa rebound seperti situasi pada Juni 2008.

Merujuk pada analisis di tas, SBY sebaiknya melakukan pergantian pembantunya saat ini. Saat usia KIB II genap dua tahun. Tak bisa ditunda-tunda lagi. Namun yang harus dicatat, SBY tidak boleh salah pilih.

Baca Selengkapnya...

SMI, SRI dan Peluang 2014

Oleh : Abdul Hakim MS


Langkah persiapan Sri Mulyani Indrawati (SMI) mengikuti kontestasi pemilu 2014 sepertinya serius. Setelah beberapa bulan yang lalu sempat melakukan tes pasar melalui peluncuran situs pemikirannya di www.srimulyani.net dan membentuk gerakan Ormas Solidaritas Masyarakat Indonesia (SMI) untuk Keadilan, kini para pendukungnya telah pula membuat sebuah perahu politik untuk dijadikan kendaraan oleh mantan menteri keuangan itu, Partai Solidaritas Rakyat Independen (SRI).

Tokoh-tokoh yang bergabung dalam partai ini juga bukan nama asing dalam kancah politik nasional. Ada nama Todung Mulya Lubis, Arbi Sanit, Rocky Gerung. Diluar itu, masih ada nama seperti Wimar Witoelar, dan Rosiana Silalahi.

Meski demikian, langkah SMI menuju pemilu 2014 dipandang banyak kalangan sebagai ambisi yang cukup berat. Berat, karena perempuan kelahiran Bandar Lampung ini belum punya cerita bagus yang ada dibenak masyarakat. Ketenarannya hanya sebatas “skandal Bank Century’. Tak heran jika kemudian seorang Indonesianis asal Amerika Serikat sekelas Prof Jeffrey Winters, menduga peluang SMI mendekati nol. “I think indonesian wartawan need to learn how to tell the difference between an academic lecture and a political endorsement. I didnt say a single word to endorse SMI (Sri Mulyani Indrawati). in fact I told her tim, I thought her chance was almost zero” analisis winter. Apa yang membuat penilaian peluang SMI cukup kecil memenangi pertarungan di pemilu 2014? Betulkah demikian?

Perahu Politk

Selain kasus skandal Bank Century, persoalan besar yang menghadang laju SMI pada pemilu 2014 setidaknya ada beberapa perkara. Pertama, SMI belum memiliki kendaraan yang cukup mumpuni sebagai pengusung calon presiden. Memang, Partai SRI telah dibentuk. Pertanyaannya, mampukah partai ini bersaing dan lolos Parliamentary Threshold (PT) yang kemungkinan besar ada diangka 5%? Hal ini berbeda dengan beberapa calon lain yang telah muncul sebelumnya, seperti Ical dengan Golkarnya, Hatta Rajasa dengan PAN, Prabowo Subianto dengan Gerindra, Wiranto dengan Hanura, atau Surya Paloh dengan Nasdem.

Beberapa waktu lalu, salah satu petinggi Partai Demokrat, Ahmad Mubarok, memang telah menggaungkan nama untuk capres 2014. Dan salah satunya adalah SMI. Akan tetapi, dengan label neoliberalis yang menempel kuat di tubuh SMI, maukah PD mempertaruhkan reputasinya? Bukankah itu akan banyak menyimpan mudhorot bagi potensi suara PD? Seperti kita tahu, neoliberalisme adalah “musuh” kuat di negeri ini. Bahkan SBY sendiri dalam berbagai pidatonya, menentang aliran yang kerap dialamatkan terhadap pemerintahannya itu.

Kedua, fragmentasi calon dari asal kelahiran SMI juga menjadi pengganjal serius. Seperti kita tahu, Ical dan Hatta Rajasa adalah calon kandidat lain dari pulau Sumatera. Itu artinya, peluang meraup suara dikampung halaman sendiri menjadi semakin sulit sebelum ‘bertarung’ di kampung halaman kandidat lain.

Ketiga, terjadinya repetisi pertarungan ‘lawan lama’, yakni Ical vs SMI. Telah menjadi rahasia umum, bahwa SMI yang harus ”tersingkir” dari urusan dalam negeri akibat kasus skandal Bank Century, adalah implikasi dari pergelutannya melawan Ical. Ical dengan kekuatan Partai Golkar di DPR, mampu “membuang” SMI dari kancah perpolitikan nasional. Dan seperti diketahui, ia kemudian ‘diselamatkan’ oleh IMF.

Kembalinya SMI ke Indonesia dan langsung mencalonkan diri sebagai presiden, tentu pertama kali yang harus dihadapi adalah Ical. Karena kemungkinan jika SMI terpilih, bisa jadi ia akan melakukan “serangan balik” kepada Ical. Tentu Ical tak begitu saja membiarkannya. Ical, yang saat ini juga sudah massif mempersiapkan diri untuk pemilu 2014, tentu punya kepentingan untuk membendung laju SMI. Dan pergulatan ini akan menjadi kendala serius yang harus dihadapi SMI.

Logistik

Saat ini, kekuatan utama yang dimiliki SMI yang bisa diandalkan adalah (sepertinya) banyaknya sokongan dana yang akan mendukung. Posisinya sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia plus reputasi yang cukup baik di luar negeri, akan memudahkan penggalangan dana guna kepentingan kampanye. Kelebihan lain, ia seorang intelektual yang mumpuni. Dan selama menjadi menteri keuangan, reputasinya memperbaiki birokrasi dibawahnya cukup baik.

Namun demikian, hanya mengandalkan tiga kekuatan di atas guna menangkis ancaman yang mengarah, sepertinya cukup berat. SMI bisa saja menggelontor pemilih dengan iklan massif. Namun sekali lagi, ia harus berhadapan dengan Prabowo Subianto, misalnya, yang telah membawa jargon politik ‘anti neoliberalisme”. Dan sekali lagi, “cap neolib” yang lekat menempel dalam pribadi SMI adalah serangan empuk bagi lawan-lawan politiknya. Selain itu, persoalan utama lain SMI adalah masih minimnya tingkat popularitas dan elektabilitasnya. Saat ini, ia masih kalah jauh dibandingkan nama-nama lain yang telah disebutkan di atas.

Merujuk kondisi di atas, dengan mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan yang ada pada diri SMI, sepertinya peluangnya cukup minim memenangi kontestasi menuju RI-1. Kita menjadi mafhum jika kemudian jeffry Winter mengatakan peluang SMI almost zero. Apalagi jargon yang sekarang dipakai, I’ll be back, bisa dimaknai sebagai upaya kembali untuk “balas dendam” atas tersingkirnya ia dari kancah perpolitikan nasional. Jika kondisinya demikian, tentu para pendukung SMI yang sekarang sedang bergairah, akan menghadapi PR serius guna menyukseskan calonnya. Apakah SMI mampu bersaing? Kita tunggu langkah lanjutan dari janji kembalinya SMI ke tanah air.

Baca Selengkapnya...

Geliat Politik Pangeran Cendana

Oleh : Abdul Hakim MS

Kompasian, 06 July 2011


“Pangeran Cendana” Hutomo Mandala Putra atau lebih akrap dipanggil Tommy Soeharto, kembali ke ranah politik. Ia sepertinya tak setengah-setengah. Setelah gagal mencoba peruntungan untuk menjadi Ketua Umum Partai Golkar pada Munas ke-VIII awal Oktober 2009 di Riau lalu, kini ia mencari arah lain, mendirikan partai politik sendiri. Selain mendirikan Parpol sendiri, ia juga aktif menggandeng partai yang tak lolos PT pada pemilu 2009 lalu.

Seperti kita tahu, saat ini Tommy sedang menggagas sebuah parpol baru bernama Nasional Republik (Nasrep). Partai ini digadang-gadang bisa lolos aturan Parliamentary threshold (PT) guna dijadikan kendaraan politik menuju pilpres 2014. Selain Nasrep, Tommy juga menggarap Partai Buruh yang telah mencalonkannya sebagai capres. Kedua parpol itu kini sedang mendaftar di Kemenkumham. Pertanyaannya, bagaimana peluang putra kesayangan mantan presiden Soeharto ini?

Untuk menilik peluang Tommy Soeharto, setidaknya ada tiga variabel penting yang harus dilihat. Pertama dari sudut pandang pengalamannya sebagai politisi. Kedua, kendaraan politiknya. Ketiga, dan ini yang paling penting, dilihat dari sisi administratif persyaratan menjadi calon presiden/wakil presiden.

Kue Lapis

Dari sudut pandang pengalaman sebagai politisi, rekam jejak Tommy dibidang politik sebetulnya kurang begitu mengesankan. Ia bisa dibilang bukan sosok politisi handal. Meski lama menjadi anggota Partai Golkar, kiprahnya tak mengkilap-mengkilap amat. Tak mengherankan apabila kemudian kala ia mencalonkan diri menjadi Ketua Umum partai ini, tak satupun suara yang berhasil digondol. Indikasi ini bisa dimaknai bahwa kemampuan lobby-nya sebagai politisi masih kalah kelas dibandingkan Surya Paloh dan Aburizal bakrie. Kelebihan utama Tommy sebagai politisi adalah posisinya sebagai pebisnis dan “putra kesayangan” Cendana. Dengan status itu, tentunya ia tak akan bermasalah dengan logistik.

Kedua, dari sisi kendaraan politik, Tommy memiliki persoalan serius. Meski survei Indo Barometer pada Mei 2011 menemukan sebagian besar publik cenderung rindu terhadap situasi di era Orde Baru, akan tetapi bukan berarti publik mengharapkan keluarga Cendana untuk kembali menjadi pemimpin politik. Hal ini bisa kita lihat dari hasil perolehan suara partai yang berafiliasi dengan keluarga Cendana, Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), misalnya. Partai yang mengusung Siti Hardiyanti Rukmana atau Mbak Tutut Soeharto sebagai calon presiden, pada pemilu 2004 dan 2009 tak begitu baik direspon oleh publik. Pada pemilu 2004, PKPB hanya berhasil menempatkan dua wakilnya di Senayan dengan perolehan suara 2.399.290 (2.11%). Pada pemilu 2009, suara PKPB malah meredup menjadi 1.461.182 (1.40%) dan tak lolos Parliamentary Threshold (PT).

Dari ilustrasi ini bisa dibaca, bahwa parpol yang mengusung sosok penting Cendana sekelas Mbak Tutut saja tak mampu merayu hasrat publik, apakah Tommy dengan Nasrep-nya bisa memikat hati masyarakat di tengah reputasinya yang agak miring sebagai mantan terpidana dan polemik PT yang kabarnya akan dinaikkan menjadi 4 – 5 persen? Sementara mengandalkan parpol seperti Partai Buruh juga kurang meyakinkan. Pada pemilu 2009, partai ini hanya memperoleh suara 265,203 (0.25%).

Ketiga, dan ini yang paling penting, adalah sisi administratif persyaratan menjadi calon presiden/wakil presiden. Mungkin bisa kita andaikan Nasrep bisa lolos PT sehingga mampu mencalonka capres/wapres. Atau kalau tidak Nasrep, katakanlah Tommy berhasil membangun partai koalisi untuk mengusungnya menjadi capres/cawapres. Meski demikian, Tommy Soeharto masih mempunyai ganjalan serius lainnya, yakni tak akan lolos persyaratan menjadi capres/cawapres. Kenapa demikian?

Dalam UU no 24 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Pasal 5 poin n menyebutkan, Capres/Wapres harus tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Sementara dalam penjelasan pasal 5 poin n ini mengatakan, hanya orang yang dipidana penjara karena kealpaan atau alasan politik yang dikecualikan dari ketentuan ini.

Sementara kita semua tahu, bahwa Tommy pernah dua kali terlibat kasus hukum yang kedua-duanya divonis bersalah oleh pengadilan. Pertama Tommy dihukum 18 bulan penjara dan denda Rp. 30.6 miliar oleh putusan Mahkamah Agung pada tahun 2002 atas dakwaan perkara korupsi tukar guling tanah gudang beras milik Bulog di kawasan Kelapa Gading ke PT Goro Batara Sakti. Kasus kedua, Tommy diganjar hukuman 15 tahun penjara atas tuduhan pembunuhan terhadap Hakim Agung M. Syafiuddin Kartasasmita. Syafiuddin sendiri merupakan ketua majelis hakim yang memngganjar Tomy atas kasus pertama.

Meski Tomy sudah bebas pada tahun 2008, dengan dua vonis pengadilan yang masing-masing berjumlah 18 bulan penjara dan 15 tahun penjara, adalah jumlah yang melebihi batasan hukuman sesuai undang-undang, 5 tahun. Itu artinya, putra kesayangan mantan Presiden Soeharto ini akan sulit lolos memenuhi persyaratan administratif sebagai capres/cawapres.

Merujuk analisis terhadap tiga variabel di atas, tantangan Tomy untuk ikut bursa kontestasi pilpres/pilwapres pada 2014 memang berlapis. Selain harus memperbaiki citra diri yang terlanjur tercoreng dan meraih kendaraan politik untuk sebagai salah satu syarat menjadi capres/cawapres, Tomy juga harus berjuang untuk menghapuskan pasal persyaratan capres/cawapres yang akan menghalangi dirinya untuk maju menjadi kandidat. Tentu hal ini tidak mudah, karena Tomy harus berhadapan dengan partai-partai besar di DPR yang telah memiliki jagoan mereka sendiri-sendiri.

Bisa diibaratkan, tantangan yang akan dihadapi Tomy untuk comeback ke dunia politik seperti mengupas kue lapis. Seandaninya masalah lapis pertama bisa diselesaikan, lapis-lapis berikutnya sudah menunggu untuk menghadang. Melihat kondisi tersebut, peluang Tomy sepertinya sangat kecil untuk bisa ikut kontestasi pemilihan capres/cawapres pada pemilu 2014, jika tak boleh dikatakan tertutup. Kita tunggu saja bagaimana geliat politik “Pangeran Cendana” berikutnya.

Baca Selengkapnya...

Ambang Batas PT dan Pemburu Rente

Oleh : Abdul Hakim MS


Pemilu Legislatif 2014 kira-kira tinggal 34 bulan lagi. Namun demikian, revisi terhadap UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD masih juga belum selesai. Perdebatan rumit yang hingga detik ini belum diperoleh titik temu diantara parpol di DPR adalah masalah ambang batas terkecil partai politik dapat diikutkan dalam penghitungan kursi di DPR (Parliamentary Thrshold/PT).

Saat ini, pendapat fraksi di DPR setidaknya terbelah menjadi tiga. Fraksi Partai Golkar dan PDIP menginginkan ambang batas PT sebesar lima persen. Sementara Partai Demokrat dan PKS berharap PT sebesar empat persen. Sedangkan 5 partai menengah, PAN, PPP, PKB, Gerindra dan Hanura kukuh dengan ambang batas antara dua setengah sampai tiga persen.

Dengan simulasi hasil perolehan suara pada pemilu 2009, penerapan PT sebesar lima persen, akan menyebabkan tersingkirnya PKB (4.94%), Gerindra (4.46%), dan Hanura (3.77%) dari perhitungan kursi di DPR-RI. Itu artinya DPR-RI akan diisi oleh enam partai, yakni Demokrat (20.85%), Golkar (14.45%), PDIP (14.03%), PKS (7.88%), PAN (6.01%), dan PPP (5.32%). Untuk mendukung sistem presidensial yang kita anut, memang cukup ideal. Namun disisi lain, jika ini diterapkan akan mengabaikan sebanyak 33.76 juta suara pemilih atau setara dengan 31.5% suara sah. Jumlah ini lebih besar dibandingkan suara pemenang pemilu (Parta Demokrat) yang memperoleh sebanyak 21.70 juta suara.

Sementara jika PT diterapkan sebesar empat persen, maka yang tereliminasi dalam penghitungan kursi DPR-RI hanya Partai Hanura. Tak cukup ideal memang dalam proses penyederhanaan partai politik di DPR-RI. Namun suara pemilih yang terabai sebesar 22.96 juta suara atau setara dengan 22.06%. Jumlah ini juga masih lebih besar dibandingkan dengan suara partai pemenang pemilu. Dan seandainya PT diterapkan sebesar empat persen, maka tak ada satupun partai yang saat ini duduk di DPR tereliminasi dari perhitungan kursi di DPR-RI. Dengan PT sebesar tiga persen, maka suara pemilih yang terabai sebesar 19.04 juta suara.

Penistaan Suara

Berapapun besarannya, kebijakan PT dalam UU Pemilu sebetulnya cukup mencederai proses demokrasi langsung. Hakikat demokrasi langsung adalah penjunjungan tinggi terhadap aspirasi masyarakat yang terejahwantahkan memalui pemberian suara dalam pemilu. Suara presiden dan suara tukang becak tak terbedakan melaui hukum one man one vote. Dan merujuk ilustrasi di atas, berapapun besaran jumlah PT yang diterapkan, selalu menistakan suara masyarakat yang sangat besar.

Kita semua faham bahwa kebijakan PT dimaksudkan untuk mereduksi jumlah partai politik yang ada. Banyaknya jumlah partai politik, dipandang menyulitkan sistem pemerintahan kita yang menganut model presidensial. Dalam model ini, presiden kerap kali kesulitan menelurkan keputusan politik karena berbelit-belitnya urusan di DPR. Hal itu disebabkan banyaknya kepentingan seiring banyaknya jumlah perwakilan partai politik di DPR. Itu sebabnya, penyederhanaan jumlah partai diyakini akan mendukung pemberlakukan model presidensial secara efektif. Pertanyaannya, haruskan penyederhanaan ini dengan menggunakan kebijakan ambang batas PT yang mengorbankan banyak suara pemilih?

Sebetulnya banyak cara untuk mereduksi jumlah partai politik. Mungkin kita bisa berkaca dan belajar terhadap sistem pemilu Jerman yang berhasil menyederhanakan jumlah partai. Pada masa lampau, negeri asal Beethoven ini mempunyai terlalu banyak partai sebagai akibat dipakainya sistem proporsional. Dewasa ini, Jerman mengadopsi dua sistem pemilu sekaligus, yakni proporsional plus distrik. Setengah anggota Parlemen dipilih dengan sistem distrik dan setengah lagi dengan sistem proporsional. Setiap pemilih mempunyai dua suara, yakni untuk memilih caleg atas dasar sistem distrik (sebagai suara pertama) dan memilih partai atas dasar sistem proporsional (sebagai suara kedua). Dengan penggabungan ini, diharapkan distorsi tidak terlalu besar efeknya dan jumlah sisa suara juga tidak terlalu besar. Dengan demikian akan terjadi semacam keseimbangan antara masalah stabilitas (karena jumlah partai terbatas) dan masalah keterwakilan (representatif).

Pemburu Rente

Namun lagi-lagi, pencarian formula sistem pemilu yang tak merugikan demokrasi secara substansif tak begitu menjadi pertimbangan para politisi di DPR-RI. Politisi senayan malah asik berdebat menerapkan PT yang “membabat” suara masyarakat. Bisa dibayangkan, jika PT betul-betul diterapkan lima persen misalnya, berapa banyak kursi DPR-RI yang terisi tidak berdasarkan pilihan suara rakyat?

Itu semua terjadi, karena politisi senayan tak lebih hanya sebagai manusia pemburu rente kekuasaan. Grindle 1989, telah menyindirnya dengan keras melalui konsep power seeking politicians. Argumentasi dasar konsep ini adalah para politisi merupakan makhluk rasional yang tidak steril dari perhitungan untung-rugi dalam setiap mengambil keputusan. Kepentingan utama dari politisi adalah memaksimalkan, dan bila mungkin, mempertahankan kekuasaan yang dimiliki. Untuk tujuan ini, maka para politisi akan dimotivasi oleh keinginan menggunakan sumber daya (resources) apa saja yang dimiliki guna memberikan ganjaran kepada siapa saja yang mendukung mereka, dan memberikan hukuman kepada siapa saja yang mencoba mengganggu.

Implikasi dari argumentasi Grindle di atas, politisi cenderung berfikir kepentingan jangka pendek. Tidak penting bagi para politisi keputusannya nanti akan berdampak seperti apa kepada orang lain. Pertimbangan utamanya adalah keputusan itu tidak merugikan diri mereka sendiri. Selain itu, dampak dari pola dasar pemikiran seperti ini adalah adanya praktik-praktik kesepakatan di bawah meja atau “politik dagang sapi”.

Merujuk kondisi di atas, maka besar kemungkinan perdebatan sengit terkait ambang batas PT akan diselesaikan dengan cara kesepakatan dibawah meja. Meski Partai Golkar dan PDIP keukeuh diangka lima persen, namun sepertinya angka itu cukup sulit terealisasi. Hal itu dikarenakan jika sampai terjadi voting, jumlah kursi Golkar dan PDIP jika digabung hanya berkisar 36.1%. Sementara kursi Demokrat dan PKS yang mengusung angka empat persen, jumlah kursi gabungannya sebesar 37.0%. Sementara gabungan kursi partai-partai yang mengusung angka dua setengah hingga tiga persen, 27.0%. Itu artinya, yang paling mungkin adalah kompromi ambang batas PT pemilu 2014 adalah tiga hingga empat persen, sebagai akibat tak akan adanya partai lain yang menyokong ide Golkar dan PDIP.

Baca Selengkapnya...

Kala Politik Menjadi Panglima

Oleh : Abdul Hakim MS

Investor Daily, Jumat, 24 Juni 2011


Dalam membangun sebuah negara, ada perdebatan klasik dalam menelaah mana yang harus diprioritaskan terlebih dahulu. Apakah pembangunan politik atau ekonomi? Perdebatan ini bak mempertanyakan mana yang lebih dulu ada, telur atau ayam.

Meski demikian, saat konferensi internasional World Ekonomic Forum on Asia, di Jakarta beberapa waktu yang lalu, penasehat Sekjen PBB untuk program tujuan pembangunan Milenium, Jeffrey D sachs, lebih memilih perspektif politik yang mesti dijadikan sebagai panglima. Saat berbicara mengenai “Inclusive Asia: Reinvigorating the Millineum Develepment Goals”, ia menilai maju tidaknya ekonomi sebuah negara tergantung iklim politik. Jika iklim politiknya kondusif, maka pembangunan ekonomi berjalan baik. Oleh karena itu, yang paling pertama untuk dilakukan sebuah negara adalah menciptakan iklim politik yang kondusif.

Apa yang disampaikan oleh jeffrey, sebetulnya memperkuat analisis pakar studi Ekonomi-politik, Grindle (1989). Ia menilai, salah satu faktor penyebab dari kegagalan para analis dalam memahami proses pembangunan di negara-negara berkembang, karena mereka cenderung memberi arti kecil terhadap peran dimensi politik. Para ekonom, selalu merekomendasikan perlu adanya structur adjustment, liberalisasi, privatisasi, dan desentralisasi, sebagai elemen penting strategi pembangunan. Namun mereka kemudian kecewa karena terbukti banyak negara sedang berkembang ternyata menolak, atau melakukan dengan setengah ahti, kendati di bawah tekanan institusi internasional, seperti IMF misalnya. Fenomena ini kemudian menjadi pembelajaran penting bagi para analis untuk tidak menganggap kecil aspek politik. Bagaimana dengan konteks Indonesia?

Meski banyak pihak memandang Indonesia cenderung mendekati negara gagal, namun saat ini ekonomi Indonesia sebetulnya dalam trens positif. Pada 2010, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6.1%. Tak mengherankan bila kemudian pemerintah optimis pertumbuhan ekonomi dalam 5–10 tahun mendatang bisa menembus angka tujuh sampai delapan persen. Selain itu, target Produk Domestik Bruto juga di perkirakan dapat mencapai 1 triliun dolar AS. Pertanyaannya, bisakah itu terwujud?

Bising Politik

Tantangan terbesar dan terberat dalam merealiasikan target pemerintah dalam bidang ekonomi itu, adalah adanya kecenderungan tidak kondusifnya situasi politik nasional saat ini. Makin dekatnya pemilu 2014, menyembulkan banyak ‘pertikaian’ antar elit parpol guna meraih kekuasaan. Tentu jika hal itu terus berlanjut tanpa kontrol, akan berimplikasi pada terjadinya “bising politik”. Dan kebisingan politik akan berimplikasi terhadap pembangunan ekonomi.

“Bising politik” di tanah air telah muncul sejak akhir 2009 lalu. Kasus skandal Bank Century menjadi konsumsi politik yang cukup sengit di DPR. Ending polemik saat itu adalah opsi menyalahkan kebijakan pemerintah. Meski melalui perdebatan dramatis yang cukup panjang bak sinetron, namun kasus Bank Century akhirnya melempen di tengah jalan. Kasus ini hanya berhasil ”mengusir” Menteri Keungan Sri Mulyani dari tanah air, tanpa berhasil memprosesnya secara hukum.

Situasi politik nasional yang sudah mulai kondusif, tiba-tiba dibisingkan kembali oleh deklarasi tokoh lintas agama terkait ”kebohongan rezim Presiden SBY”. Tokoh-tokoh agama ini mengidentifikasi setidaknya ada 18 kebohongan yang dilakukan pemerintahan SBY. Tak berselang lama, perkara Gayus Tambunan muncul kepermukaan. Gayus, yang beberapa saat setelah divonis 7 tahun penjara, “bernyanyi” bahwa yang merekayasa kasusnya adalah tiga anggota Satgas Mafia Hukum. Pernyataan Gayus ini pun mendapat sambutan langkah politik kalangan DPR dengan pengajuan hak angket, meski kemudian tak sempat memanas.

Dan yang sangat menggaggu, tentulah kebisingan politik yang berhulu dari the rulling party, Partai Demokrat. Bendahara Umum partai ini yang akhirnya diberhentikan, M. Nazaruddin, tersangkut kasus penyuapan terkait penyediaan sarana Sea Games di Palembang. Tak mau diproses secara hukum, ia kemudian menyingkir ke Singapura dan mangkir dari pemeriksaan KPK. Saat ini, mangkirnya Nazaruddin menjadi polemik hebat di media massa dan menjadi laporan berseri. Yang treranyar, adalah kebisingan politik terkait hukuman mati dengan cara dipancung yang meimpa Ruyati. Kasus ini telah menjadi konsumsi politik oleh para politisi. Dan saat ini, kebisingannya telah mengalahkan kebisingan kasus M. Nazaruddin.

Naasnya, deretan daftar “bising politik” yang telah disebutkan di atas, dalam waktu-waktu mendatang sepertinya belum akan berhenti. Menjelang helatan pemilu 2014, sepertinya kita harus rela menyaksikan manuver, trik, dan intrik para politisi untuk meraup suara pemilih. Kita semua akan dijejali dan disuguhi tontonan-tontonan ‘peperangan strategi’ tanpa henti dari para pemburu kuasa. Entah bising politik apalagi yang akan muncul.

Kita memang tak bisa menyalahkan adanya “perang strategi” yang dilakukan oleh para politisi. Hal ini muncul sebagai implikasi pilihan kita menggunakan model pemerintahan demokrasi langsung. Mau tak mau, jika ingin mendapatkan suara, partai politik harus berdagang. Namun setidaknya kita bisa berharap dan menghimbau, konsep dagang yang akan diusung, bukan strategi penggerogotan lawan yang bisa menuai “bising politik” yang lebih besar. Partai politik harus elegan. Dalam memasarkan partainya, parpol diharapkan lebih memilih jalan melalui penawaran program konkrit kepada masyarakat, bukan “menghabisi lawan” dengan cara yang tidak sehat.

Merujuk pandangan jeffrey dan Grindle, politik adalah panglima dalam pembangunan. Jika kebisingan politik ini terus berlanjut, harga yang harus kita bayar cukup jelas. Investor menjadi tak nyaman berusaha di negeri ini sehingga laju perekonomian menjadi terhambat. Kondisi ini dapat mengerem tren positif ekonomi yang sudah berjalan. Kita semua berharap, para politisi tak belaku kerdil dalam upaya memburu kuasa agar situasi politik nasional menjadi kondusif. Sehingga target pertumbuhan ekonomi yang telah dicanangkan oleh pemerintah dapat terealisasi yang berujung pada kesejahteraan masyarakat. Kita juga berharap, pemerintah tetap fokus dan tidak larut dan terlarut dalam kebisingan ini. Jangan sampai pemerintah kemudian lalai akibat banyaknya kebisingan politik yang terus menghujani tanpa henti.

Baca Selengkapnya...

WEF dan Momentum Kebangkitan Ekonomi Kita

Oleh : Abdul Hakim MS

Jurnal nasional, Jum'at, 17 Jun 2011


Pada 12–13 Juni 2011, Indonesia mendapat kehormatan untuk menjadi tuan rumah pertemuan Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF) di Asia Timur ke-20. Forum Ekonomi Dunia diselenggarakan setiap tahun dengan tujuan untuk memperbaiki keadaan ekonomi dunia. Pertemuan Forum Ekonomi Dunia kali ini akan dihadiri oleh para pemimpin pemerintahan, pimpinan dunia usaha, think tank terkemuka, organisasi masyarakat sipil, filantropis, dan kalangan aktivis dalam rangka membahas isu global dan mencari kerangka solusi.

Sebelumnya, pada penyelenggaraan World Economic Forum/WEF di Davos, Swiss, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hadir mewakili Indonesia dan menyampaikan pidato khusus (special address). Ini merupakan kali pertama presiden Indonesia diundang di forum ini. Menurut Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa, kehadiran Indonesia tersebut tidak terlepas dari status Indonesia sebagai ketua Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) tahun 2011 dan tuan rumah Pertemuan Asia Timur Juni ini. Apa yang bisa dimaknai dari kegiatan ini?

Momentum

Secara tidak langsung khadiran Indonesia di WEF Swiss dan posisi strategis sebagai tuan rumah, merupakan wujud dari pengakuan dunia terhadap kedudukan dan peran strategis Indonesia di dalam tatanan perekonomian global. Karena itu, menjadi sebuah keharusan bagi Indonesia untuk dapat memaksimalkan posisi tersebut sebagai pintu masuk untuk secara lebih aktif mengutarakan pandangan-pandangan alternatif di luar dominasi negara-negara besar.

Momentum itu telah tiba. Menjelang pagelaran WEF Juni ini, Indonesia mendapat rapor istimewa dari WEF. Secara resmi, lembaga ini meluncurkan Laporan Daya Saing 2011 yang merupakan hasil penilaian lembaga itu khusus tentang Indonesia. Laporan tersebut mengacu pada temuan Indeks Daya Saing Global (Global Competitiveness Index/GCI) 2010–2011. Indonesia menempati posisi ke-44 dari 139 negara di dunia dalam peringkat GCI

Indeks Daya Saing yang dikeluarkan oleh WEF, mendapat konfirmasi jika kita tengok sebentar kinerja ekonomi pemerintah. SBY telah banyak melakukan terobosan penting dalam persoalan ekonomi. Data BPS menunjukkan, saat ini pemerintah telah mampu mencapai target pertumbuhan ekonomi yang mengesankan. Pada tahun 2010, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6.1%. Tak mengherankan bila kemudian pemerintah optimis pertumbuhan ekonomi dalam 5–10 tahun mendatang bisa menembus angka tujuh sampai delapan persen. Selain itu, target Produk Domestik Bruto juga di perkirakan mampu mencapai 1 triliun dolar AS.

Dalam mengatasi pengangguran, dalam rentang waktu 6 tahun, pemerintah telah berhasil menurunkan tingkat pengangguran terbuka dari 11.9 juta orang pada 2005 menjadi 8.3 juta orang pada 2010. Pun demikian halnya dengan program penanggulangan kemiskinan. Pemerintah juga berhasil menurunkan angka kemiskinan dari 32.53 juta (14.15%) pada 2009 menjadi 31.02 juta (13.33%) pada 2010. Artinya, dalam satu tahun pemerintah berhasil mengentaskan penduduk miskin sebanyak 1.51 juta penduduk.

Promosi Indonesia

Dengan status sebagai tuan rumah dan ketua ASEAN tahun 2011, Indonesia dapat menggunakan forum WEF sebagai sarana promosi diri untuk kemudian diarahkan bagi pengokohan posisi ekonomi dan pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Bila disertai political will kuat dari para pemangku kebijakan di tingkat pusat, agaknya bukan perkara sulit bagi Indonesia untuk mewujudkan hal itu, terlebih ada sejumlah modal penting yang kita miliki sebagai sebuah bangsa.

Pertama, Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar di kawasan Asia Tenggara. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 237,6 juta jiwa atau bertambah 32,5 juta dari sensus penduduk tahun 2000. Dari perspektif ekonomi, fakta ini tentu menggambarkan bahwa Indonesia merupakan pasar besar dan potensial bagi negara-negara lain.

Kedua, Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang cenderung lengkap ketimbang negara-negara ASEAN lain. Sejumlah komoditas utama di sektor pertanian dan pertambangan yang dikonsumsi negara-negara ASEAN berasal dari Indonesia. Ketiga, Indonesia memiliki pengalaman penting dan berharga dalam menghadapi berbagai tantangan dan kendala, terutama saat diterpa krisis moneter pada kurun waktu 1997-1998. Pengalaman pahit ini telah menjadikan Indonesia jauh lebih matang dan siap dalam mengarungi lautan ekonomi global.

Keempat, keanggotaan Indonesia di berbagai forum kerjasama ekonomi global, terutama G20. G20 adalah forum resmi kerja sama ekonomi internasional pengganti Kelompok 8 (G8). Forum ini dibentuk untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dunia dengan memperkokoh fondasi keuangan internasional. G20 merupakan reperesentasi produk domestik bruto (PDB) dua per tiga penduduk dunia. Indonesia merupakan satu-satunya negara ASEAN yang tergabung di dalam G20.

Kelima, pertumbumbuhan ekonomi Indonesia yang selalu positif dalam beberapa tahun terakhir sebagai buah keberhasilan mengelola ekonomi makro. Komite Ekonomi Nasional meyakini laju ekonomi Indonesia tahun 2011 akan jauh lebih cepat. Dengan kebijakan ekonomi yang tepat, perekonomian Indonesia tahun 2011 diyakini akan mampu tumbuh mencapai 6,4 persen. Tingkat konsumsi, investasi, dan ekspor akan mendorong pertumbuhan ekonomi secara serentak.

Merujuk fakta-fakta di atas, sangat disayangkan apabila forum WEF terlewat tanpa bisa membuatnya sebagai momentum kebangkitan ekonomi kita. Tingginya pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini cukup diperhitungkan dunia internasional. Bersama China dan India, Indonesia merupakan negara yang memiliki pertumbuhan positif di saat krisis melanda ekonomi global selama rentang waktu 2008-2009.

Sulit dimungkiri bahwa selama ini kepentingan negara-negara berkembang, tidak terkecuali di kawasan Asia Tenggara, seringkali tersingkirkan akibat ketiadaan sosok negara pemimpinan yang kuat. Posisi Indonesia sebagai pemimpin ASEAN tahun 2011 sudah seharusnya harus dapat difungsikan secara maksimal untuk mengatasi masalah itu. Indonesia harus lebih berani menyuarakan kepentingan negara-negara ASEAN di setiap pertemuan ekonomi global, tidak terkecuali Forum Ekonomi Dunia.

Baca Selengkapnya...

Menengok Kinerja Ekonomi SBY

Oleh : Abdul Hakim MS


Orde baru lebih baik dibandingkan Orde Reformasi. Demikian salah satu temuan Indo Barometer kala melakukan survei nasional pada Mei 2011 dalam rangka evaluasi 13 tahun Orde Reformasi. Kita semua dibuat kaget olehnya. Mayoritas publik ternyata memiliki persepsi miring terhadap kondisi Orde yang dimulai sejak 1998 yang lalu itu.

Temuan yang tak kalah mengagetkan adalah “kegagalan Reformasi”, terkesan dibebankan sepenuhnya kepada pemerintahan SBY. Padahal, presiden dalam era Orde Reformasi telah berganti sebanyak empat kali (Bj habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY). Pembebanan “kegagalan” Orde Reformasi hanya kepada SBY, terekam dalam temuan dua variabel yang linier, yakni antara responden yang menganggap reformasi belum berhasil, memiliki kecenderungan tidak puas terhadap kinerja SBY. Sebalinya, responden yang menganggap Orde Reformasi telah sukses, memiliki kecenderungan puas terhadap kinerja SBY. Pertanyaannya, kenapa bisa demikian?

Kinerja Ekonomi

Kondisi pembebanan “kegagalan reformasi” hanya kepada SBY, hemat saya, dikarenakan publik menilai kinerja ekonomi pemerintahan SBY yang dianggap masih belum melaju dengan maksimal. Merujuk data Indo Barometer, rapor paling merah yang diberikan publik terhadap kinerja pemerintahan SBY adalah persoalan ekonomi.

Sejak 2007, memang kinerja ekonomi pemerintahan SBY kurang memuaskan publik. Bahkan ketika tingkat kepuasan terhadap kinerja menantu Sarwo Edhi Wibowo berada dilevel tertinggi pada Agustus 2009, yakni 90.4%, angka kepuasan dibidang ekonomi dipandang yang terendah, meski tak jelek-jelek amat, yaitu 76%. Bandingkan dengan tingkat kepuasan dibidang politik yang mencapai 88.9%, sosial 85.4%, keamanan 81.9%, penegakan hukum 88.0% dan bidang hubungan luar negeri 78.8%. Setahun kemudian, Agustus 2010, ketika tingkat kepuasan publik menurun drastis terhadap pemerintahan SBY, yakni 50.9%, angka kepuasan terendah diberbagai bidang juga disandang oleh persoalan ekonomi, yakni 37.8%. Sementara kepuasan dibidang politik masih 51.9%, sosial 53.4%, keamanan 65.8%, penegakan hukum 49.6%, dan hubungan luar negeri 55.5%. Pun demikian ketika tingkat kepuasan publik kembali turun terhadap kinerja pemerintahan SBY pada Mei 2011 ini, yakni 48.9%. Lagi-lagi, bidang ekonomi tertulis dengan tinta merah dengan angka kepuasan sebesar 41.2%. Sementara bidang politik masih 56.7%, penegakan hukum 46.7%, keamanan 58.7%, dan hubungan luar negeri 57.9%. pertanyaanya, kenapa bisa demikian?

Jika kita tengok sebentar kinerja ekonomi pemerintah, sebenarnya SBY telah banyak melakukan terobosan penting dalam persoalan ekonomi. Data BPS menunjukkan, saat ini pemerintah telah mampu mencapai target pertumbuhan ekonomi yang mengesankan. Pada tahun 2010, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6.1%. Tak mengherankan bila kemudian pemerintah optimis pertumbuhan ekonomi dalam 5–10 tahun mendatang bisa menembus angka tujuh sampai delapan persen. Selain itu, target Produk Domestik Bruto juga di perkirakan mampu mencapai 1 triliun dolar AS.

Dalam mengatasi pengangguran, dalam rentang waktu 6 tahun, pemerintah telah berhasil menurunkan tingkat pengangguran terbuka dari 11.9 juta orang pada 2005 menjadi 8.3 juta orang pada 2010. Pun demikian halnya dengan program penanggulangan kemiskinan. Pemerintah juga berhasil menurunkan angka kemiskinan dari 32.53 juta (14.15%) pada 2009 menjadi 31.02 juta (13.33%) pada 2010. Artinya, dalam satu tahun pemerintah berhasil mengentaskan penduduk miskin sebanyak 1.51 juta penduduk. Belum lagi program Kredit Usaha Rakyat (KUR), PNPM Mandiri, BLT, dan beberapa program lainnya. Pertanyaannya, kenapa publik masih merasa tidak puas?

Ketidakpuasan dibidang ekonomi ini, disebabkan “kesederhanaan” publik dalam menilai keberhasilan pemerintah. Pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6.1% misalnya, tak dirasakan langsung oleh masyarakat. Yang dirasakan mayoritas Publik saat ini, mencari lapangan pekerjaan masih sulit, kemiskinan masih tak kunjung diatasi, dan harga sembako yang terus melambung mengikuti harga pasar. Maka tak heran jika tingkat kepuasan rakyat terhadap ketiga persoalan tersebut masih minim. Kinerja dalam pembukaan lapangan kerja berada diangka 23.2%, kepuasan terhadap pengentasan kemiskinan berada diangka 25.8%, dan kepuasan terhadap penanganan masalah harga sembako diangka 28.6%. dari hal yang sederhana inilah masyarakat menilai kinerja sebuah pemerintahan.

Mengelola Harapan

Analisis yang bisa dimunculkan terkait kenapa terjadi paradoks antara persepsi publik dan data pemerintah terkait keberhasilan kineja ekonomi bisa ditelaah dari dua arah. Pertama, persoalan pemerataan kesejahteraan. Saat ini, gap status ekonomi masyarakat kian senjang. Kemakmuran yang terjadi tidak menetes ke bawah. Yang kaya terlihat semakin pongah. Pada saat yang bersamaan, masyarakat awam merasa terhimpit secara ekonomi. Harga sembako mahal, mencari pekerjaan susah, dan lindasan kemiskinan makin menyesakkan dada mereka. Kondisi ini memposisikan publik pada situasi hopeless. Pada sisi inilah sepertinya salah satu kelemahan pemerintah saat ini.

Kedua, analisis masyarakat tidak berada pada tingkat penilaian mercusuar. Artinya, mereka menilai tingkat keberhasilan pemerintahan dari hal yang paling sederhana. Keberhasilan dibidang ekonomi misalnya, bukan dinilai melalui data BPS. Meski secara statistik angka kemiskinan menurun, tingkat pengangguran terbuka bisa direduksi, atau harga sembako naik karena inflasi. Publik tidak menilai dari situ. Yang dilihat publik adalah realitas yang mereka hadapi sehari-hari, seperti bagaimana harga sembako, bagaimana mencari pekerjaan, dan bagaimana tingkat pendapatannya. Dari sinilah bisa diketahui kenapa terjadi paradoks antara data pemerintah dan pendapat publik.

Merujuk data Indo Barometer sejak 2007, SBY adalah seorang Master of rebound. Di saat tingkat kepuasan publik menurun terhadap SBY, dengan cepat ia bisa melakukan recovery. Oleh karena itu, sudah sepatutnya jika SBY dalam tiga tahun sisa pemerintahannya, melakukan “pembenahan reputasi” dengan menggelindingkan program baru yang bisa menyejukkan dan membangkitkan asa publik secara positif. Karena sebenarnya, tugas pemerintah ada dua. Pertama, melakukan pekerjaan riil untuk rakyat. Kedua, mengelola harapan publik agar tidak berada pada situasi hopeless. Dua tugas inilah yang menjadi PR SBY saat ini.

Baca Selengkapnya...

Jalan Terjal Partai Demokrat

Oleh : Abdul Hakim MS

Detik.com, Minggu 29/05/2011 14:19 WIB


Beberapa hari terakhir, media nasional dijejali polemik tentang kasus suap terkait pembangunan Wisma Atlet untuk SEA Games XXVI di Palembang yang melibatkan nama Bendahara Umum Partai Demokrat (PD), M. Nazaruddin. Namun ternyata persoalan tersebut tak berhenti hanya disitu. Kasus ini memanjang hingga melibatkan nama Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, Kemenpora Andi Mallarangeng, hingga nama adik kandung Kemenpora, Choel Mallarangeng. Belum merasa cukup, nazaruddin kemudian juga menyeret nama Jeffry (Bendahara DPD PD Sulawesi Selatan). Semua menjadi drama seru yang dilaporkan secara berseri, baik oleh nama-nama yang tersangkut, maupun oleh media massa sendiri. Kenapa kasus ini bisa begitu menarik?

Kasus ini menjadi menarik, karena yang terlibat langsung adalah sosok penting ditubuh partai yang sekarang berpredikat the rulling party. Uniknya, sosok penting itu, M. Nazaruddin, sebelumnya bukanlah siapa-siapa dalam jagat perpolitikan nasional. Ia baru menjadi terkenal karena terpaan kasus-kasus miring yang menderanya, bukan karena prestasinya sebagai fungsionaris Partai besutan presiden SBY itu.

Seperti sudah banyak dibahas, M. Nazaruddin ditengarai “memanfaatkan” posisinya guna mendapatkan proyek pengadaan batubara ke PLN pada Januari 2011 lalu. Namun sayang, karena batubara yang dikirimkan ke PLN berada dibawah standar, proyek ini harus berujung di kantor polisi. Ia kemudian melaporkan mantan kolega binisnya, Daniel Sinambela, ke polisi dengan tuduhan penipuan. Sebelumnya, ia juga sempat tertimpa isu tidak sedap terkait dugaan pelecehan seksual ketika kongres PD II di Bandung pada Mei 2010 lalu. Dan yang terbaru, adalah kasus suap yang kini sedang santer menjadi sorotan publik. Pertanyaannya, sejatinya apa yang terjadi di Partai Demokrat?

Konsolidasi

Perkara yang muncul dalam internal PD ini, hemat saya, sebagai implikasi belum selesainya konsolidasi internal PD pasca kongres II PD di Bandung lalu. Seperti kita tahu, menjelang kongres PD, ada tiga kandidat yang bertarung sengit, Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng dan Marzuki Alie. Pada pemilihan ketua umum, Andi Mallarangeng yang menggaungkan diri sebagai satu-satunya kandidat yang “direstui” SBY, harus kalah diputaran pertama dengan hanya memperoleh 28 suara. Sementara pada putaran kedua, Anas Urbaningrum berhasil “menyingkirkan” Marzuki Alie, meskipun ia telah didukung oleh Andi mallarengeng.

Walaupun Anas Urbaningrum menjanjikan akan mengakomodasi semua unsur kekuatan kandidat untuk masuk dalam struktur kepengurusan PD yang baru, namun masuknya nama seperti M. Nazaruddin sebagai Bendahara Umum PD, sepertinya menjadikan sesuatu yang kurang memuaskan bagi pihak lain. Bagaimana bisa, Nazaruddin yang masih berusia 33 tahun, belum memiliki track record kinerja apapun terhadap PD, dan merupakan sosok yang pernah menjadi caleg DPR-RI dari partai lain, tiba-tiba menyeruak-masuk diposisi strategis? Satu-satunya alasan yang bisa digunakan untuk menjelaskan cepatnya lesatan karir Nazaruddin di PD adalah ia diduga sebagai penyandang dana utama dalam pencalonan Anas Urbaningrum. Tak heran jika kemudian Anas “mengganjarnya” dengan posisi Bendahara Umum PD.

Kondisi ini sepertinya menimbulkan api dalam sekam dan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja. Dan betul, ketika M. Nazaruddin melakukan kesalahan, bom itu pun menggelegar. Tak terima, M. Nazaruddin kemudian melakukan serangan balik. Naasnya, yang diserang bukannya tokoh-tokoh dari parpol lain, melainkan eli-elit partai bintang mercy ini sendiri.

Ujian Berat

Kondisi internal yang dihadapi PD saat ini, menjadikan ujian yang dijalani menjadi semakin berat untuk menghadapi pemilu 2014. Ujian sebelumnya yang sudah mendera adalah banyaknya arus kritik yang diarahkan kepada simbol partai ini, SBY. Berdasarkan data survei Indo Barometer sejak 2007, suara PD sangat ditentukan tingkat popularitas suami Kristiani Herawati ini. Disaat popularitasnya naik, seiring itu pula suara PD menggelembung. Namun kala popularitas menurun, bersamaan dengan itu suara PD pun turut mengempes.

Arus kritik yang mendera SBY, seperti kasus Bank Century, Kasus Mafia Pajak, deklarasi 18 kebohongan rezim Presiden SBY oleh tokoh lintas agama, serangan terhadap Satgas Mafia pajak, dan sebagainya, ternyata cukup berhasil mereduksi tingkat elektabilitas SBY. Merujuk hasil survei Indo Barometer pada Mei 2011, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja SBY sudah dibawah angka 50%. Tentu kondisi ini menjadi alarm serius bagi PD, mengingat SBY adalah the special one yang menjadi urat nadi PD.

Jebloknya tingkat kepuasan publik terhadap kinerja SBY, ditambah kuatnya konflik internal yang mendera, menjadikan PD saat ini ibarat telur diujung tanduk. Salah mengantisipasi keadaan yang ada, bisa menjadi “neraka” pada pemilu 2014. Naasnya, elit PD sendiri tak tegas dalam menangani kasus internalnya. Jargon berpolitik dengan etika, cerdas, dan santun tak tercermin dalam penanganan kasus M. Nazaruddin. Ia hanya dipecat dari posisi Bendahara Umum PD, melainkan posisinya sebagai anggota DPR dan anggota PD tetap dipertahankan.

Langkah DPP PD ini tentu menjadikan pertanyaan besar dibenak publik. Dimana letak konsistensi jargon politik etika, cerdas dan santun ini? Bukankah seharusnya jika M. Nazaruddin dianggap oleh Dewan Kehormatan PD telah melanggar pedoman itu, juga diberhentikan keanggotaannya di PD dan dicopot pula sebagai anggota DPR RI?

Setidaknya dua arah yang bisa dilakukan PD saat ini guna mengembalikan citra dan reputasinya sebagai parpol pemenang pemilu. Pertama, keberhasilan PD memenangkan kontestasi dua pemilu, pemilu 2004 dan 2009 adalah citra baik pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, mau tidak mau, PD harus melakukan tindakan konkrit terkait kasus internal yang menderanya saat ini. Kedua, dengan tingkat popularitas SBY sebagai the spesial one PD yang jatuh dibawah 50% dan tak bisa lagi maju menjadi capres, jaminan utama agar PD tetap bisa mempertahankan suara sebagai pemenang pemilu pada tahun 2014 adalah memperbaiki manajemen partai. Selain itu, tugas “bersih-bersih” terhadap orang-orang yang dianggap bermasalah yang selama ini “diberi suaka hukum” oleh PD, harus cepat dilakukan.

Momentum itu kini datang. Tugas “bersih-bersih” bisa dimulai dari kasus M. Nazaruddin. Penanganan baik terhadap kasus ini akan memberi dampak dua hal sekaligus, memperbaiki citra PD sebagai Parpol yang komit terhadap pemberantasan korupsi serta mengembalikan citra PD sebagai parpol yang mengusung pedoman berpolitik dengan etika, santun dan cerdas. Jika momentum ini dibiarkan dan tak ditindaklanjuti secara baik, besar kemungkinan suara PD akan mengempis dan prediksi bubble politic akan mewujud jadi nyata.

Baca Selengkapnya...

Menerawang Potensi Golkar dan Ical

Oleh : Abdul Hakim MS


Konstelasi dalam kontestasi menuju pemilu 2014 telah dimulai. Meski masih tiga tahun lagi, semua stakeholder yang memiliki kepentingan telah memasang kuda-kuda. Ada yang sibuk melakukan sosialisasi melalui media massa, mencoba ”tes pasar” dengan medeklarasikan pemikiran-pemikirannya, mendeklarasikan calon presidennya secara dini, hingga ”percobaan peruntungan” dengan mendirikan partai politik baru.

Upaya “tes pasar” misalnya telah dilakukan oleh Sri Mulyani. Tokoh ekonomi yang harus ”tersingkir” dari urusan dalam negeri akibat kasus skandal Bank Century ini, telah meluncurkan situs pemikirannya di www.srimulyani.net. Banyak kalangan menduga, peluncuran ini adalah langkah awal penjajakan menuju pemilu 2014. Dugaan ini didasarkan pada argumentasi saat peluncuran situs yang mirip-mirip deklarasi calon presiden. Ada pula “tes pasar” yang dikeluarkan oleh politisi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul. Dengan semangat, politisi sekaligus pemain sinetron ini mengatakan, Ibu Ani Yudhoyono adalah figur yang pas melanjutkan tampuk kepemimpinan SBY. Sementara “percobaan peruntungan” dengan mendirikan partai politik baru dilakukan oleh Surya Paloh dan Tommy Soeharto yang mendirikan Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan Partai Nasional Republik (Nasrep).

Namur akhir-akhir ini yang cukup serius mempersiapkan diri menghadapi pemilu 2014 adalah Partai Golkar dan Aburizal Bakrie. Dengan massif, Partai Golkar “memberondong” masyarakat dengan iklan politik yang cukup massif. Televisi, radio, media online, dan cetak, secara serempak memajang iklan politik yang memuat tagline “Bersama bangkitkan Usaha Kecil dari Aceh Hingga Papua”. Dalam iklan politik tersebut, foto Ical – saapaan akrab Aburizal Bakrie – terpampang dengan besar. Jika kita baca kondisi ini, bagiamanakan peluang Ical dan Partai Golkar pada pemilu 2014?

Pengenalan Publik

Secara pribadi, Ical memang belum resmi mendeklarasikan diri sebagai calon presiden dari Partai Golkar. Ia berkilah masih menunggu hasil survei untuk mengetahui persepsi masyarakat terkait dirinya. Padahal kita tahu, DPD Partai Golkar diseluruh Indonesia telah sepakat mengangkatnya untuk diplot sebagai satu-satunya kandidat presiden pada pemilu 2014.

Apa yang dilakukan Ical dengan tidak secara dini mendeklarasikan diri sebagai capres, meskipun Partai Golkar telah menghendakinya, mungkin dilandasi oleh faktor masih kurang baiknya tingkat pengenalan dan kesukaan publik kepadanya. Pun demikian halnya dengan tingkat elektabilitasnya yang masih kurang memadai. Merujuk hasil survei Indo barometer pada Agustus 2010, ia masih kalah dengan Megawati, Prabowo, dan Wiranto.

Seperti telah dirilis oleh Indo Barometer pada Agustus 2010, tingkat pengenalan Ical baru pada angka 71.8%. Dari masyarakat yang mengenal Ical, ternyata hanya sekitar 50.3% saja yang menyukainya. Hal ini berbeda dengan tingkat pengenalan dan kesukaan megawati, Prabowo, dan Wiranto. Megawati berada pada tingkat pengenalan 99.0% dengan tingkat kesukaan 70.6%. Prabowo angka pengenalannya 85.3% dengan tingkat kesukaan 74.4%. Sementara Wiranto dengan tingkat pengenalan 88.0% dengan tingkat kesukaan 70.4%. Dalam logika pemilihan langsung, tingkat pengenalan dan kesukaan sangat mempengaruhi tingkat elektabilitas seorang kandidat. Logikanya adalah tak kenal maka tak mungkin disuka. Dikenal juga belum tentu disuka. Kalau sudah dikenal dan disuka, tentu pilihan akan jatuh kepadanya.

Logika tersebut terbukti pada pertanyaan tingkat elektabilitas Ical. Ia masih berada dibawah SBY, 40.3%, Megawati 15.6%, Prabowo Subianto 8.0%, Wiranto 3.8%. Tingkat elektabilitas Ical sendiri baru pada angka 3.3%. Pun demikian halnya ketika nama SBY dihilangkan dan menggantinya dengan nama Anas Urbaningrum tau Ani Yudhoyoni. Lagi-lagi, Ical masih kalah dan berada dibawah Megawati, Prabowo Subianto, dan Wiranto. Kelemahan inilah yang cukup dipahami oleh Ical. Tak mengherankan apabila kemudian ia dan Partai Golkar begitu gencar melakukan sosialisasi dengan eskalasi tinggi untuk mengejar tingkat elektabilitas yang masih minim.

Pembelahan Partai

Problem lain yang dihadapi Ical adalah terkait Partai Golkar sendiri. Seperti kita tahu, Partai Golkar terus “membelah diri” menjadi parpol-parpol kecil lainnya sehingga suaranya terus menyusut. Pada pemilu 2009, sempalan Partai Golkar seperti Hanura, PKPB, dan gerindra telah mereduksi suara cukup signifikan. Dari pemenang pemilu legislatif dengan perolehan suara sebesar 21.58% pada pemilu 2004, menjadi hanya posisi runner up dengan perolehan suara 14.45% pada pemilu 2009. Naasnya, pada pemilu 2014 hal serupa kembali terjadi. Partai Nasional Demokrat (Nasdem) yang digawangi tokoh gaek Partai Golkar, Surya paloh dan Sri Sultan HB X, diprediksi akan kembali mereduksi suara Partai Beringin. Pun demikian dengan Partai Nasional republik (Nasrep) besutan Tommy Soeharto. Karena petinggi-petinggi kedua partai baru tersebut banyak dari kader matang Partai penyangga utama Orde Baru ini.

Belum lagi bicara soal reputasi grup usaha keluarga bakrie yang banyak mendapat sorotan. Semburan lumpur lapindo di Sidoarjo selalu dilekatkan dengan “kesalahan” keluarga bakrie. Hingga kini, mekanisme penyerahan ganti rugi lahan masih terkatung-katung. Pun demikian halnya dengan kasus gagal bayarnya salah satu perusahaan asuransi keluarga Bakrie, Bakrie Life, terhadap para nasabahnya. Torehan citra kurang sedap yang menimpa grup usaha Bakrie ini tentunya akan menjadi amunisi baik buat lawan-lawan politik pada pemilu 2014 mendatang.

Melihat geliat Partai Golkar yang “menggelontor” masyarakat dengan iklan politik dengan intensitas yang cukup tinggi, sepertinya Partai Golkar dan Ical menyadari hal tersebut. Masih kecilnya tingkat elektabilitas Ical, banyaknya reputasi miring, plus ditambah dengan ancaman pembelahan partai adalah kelemahan-kelemahan yang akan dihadapi menuju pomilu 2014. Meski demikian, kekuatan utama Partai Golkar adalah kemampuan para politisinya yang tak lekang dimakan zaman. Tak mengherankan apabila kemudian ancang-ancang menghadapi pemilu 2014 telah dicanangkan ketika partai lain masih adem-ayem. Partai Golkar dan Ical sepertinya ingin memperbaharui citra yang diharapkan berujung pada terkerekanya elektabilitas partai secara umum, dan Ical secara khusus. Keberhasilan pada pemilu 1999 sepertinya ingin diulangi, yakni ketika buruknya persepsi Partai Golkar sebagai parpol Orde Baru, namun masih dapat bertahan diposisi ke-2 setelah PDI-Perjuangan.

Melihat kondisi pemilu 2014 yang tidak akan melibatkan kembali sosok SBY dipanggung pemilihan presiden, peluang tokoh baru muncul kepermukaan memang cukup terbuka. Namun untuk saat ini, nama-nama yang telah tersebut di atas lah yang paling punya potensi untuk menjadi pemenang. Khusus untuk Ical dan Partai Golkar, dengan pertimbangan faktor-faktor di atas, sepertinya peluangnya cukup berat. Sosok seperti megawati yang memiliki basis pemilih loyal, Prabowo Subianto yang telah memiliki citra baik, dan Wiranto yang elektabilitasnya masih di atas Ical, menjadi pengganjal serius. Langkah yang telah dilakukan sejak dini ini, akan sia-sia jika tak ada terobosan kongkrit yang diberikan kepada masyarakat, misalnya menyelesaikan dengan segera problem lumpur Lapindo atau memperbaiki citra usaha Grup bakrie.

Baca Selengkapnya...