Oleh : Abdul Hakim MS
Pemilu Legislatif 2014 kira-kira tinggal 34 bulan lagi. Namun demikian, revisi terhadap UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD masih juga belum selesai. Perdebatan rumit yang hingga detik ini belum diperoleh titik temu diantara parpol di DPR adalah masalah ambang batas terkecil partai politik dapat diikutkan dalam penghitungan kursi di DPR (Parliamentary Thrshold/PT).
Saat ini, pendapat fraksi di DPR setidaknya terbelah menjadi tiga. Fraksi Partai Golkar dan PDIP menginginkan ambang batas PT sebesar lima persen. Sementara Partai Demokrat dan PKS berharap PT sebesar empat persen. Sedangkan 5 partai menengah, PAN, PPP, PKB, Gerindra dan Hanura kukuh dengan ambang batas antara dua setengah sampai tiga persen.
Dengan simulasi hasil perolehan suara pada pemilu 2009, penerapan PT sebesar lima persen, akan menyebabkan tersingkirnya PKB (4.94%), Gerindra (4.46%), dan Hanura (3.77%) dari perhitungan kursi di DPR-RI. Itu artinya DPR-RI akan diisi oleh enam partai, yakni Demokrat (20.85%), Golkar (14.45%), PDIP (14.03%), PKS (7.88%), PAN (6.01%), dan PPP (5.32%). Untuk mendukung sistem presidensial yang kita anut, memang cukup ideal. Namun disisi lain, jika ini diterapkan akan mengabaikan sebanyak 33.76 juta suara pemilih atau setara dengan 31.5% suara sah. Jumlah ini lebih besar dibandingkan suara pemenang pemilu (Parta Demokrat) yang memperoleh sebanyak 21.70 juta suara.
Sementara jika PT diterapkan sebesar empat persen, maka yang tereliminasi dalam penghitungan kursi DPR-RI hanya Partai Hanura. Tak cukup ideal memang dalam proses penyederhanaan partai politik di DPR-RI. Namun suara pemilih yang terabai sebesar 22.96 juta suara atau setara dengan 22.06%. Jumlah ini juga masih lebih besar dibandingkan dengan suara partai pemenang pemilu. Dan seandainya PT diterapkan sebesar empat persen, maka tak ada satupun partai yang saat ini duduk di DPR tereliminasi dari perhitungan kursi di DPR-RI. Dengan PT sebesar tiga persen, maka suara pemilih yang terabai sebesar 19.04 juta suara.
Penistaan Suara
Berapapun besarannya, kebijakan PT dalam UU Pemilu sebetulnya cukup mencederai proses demokrasi langsung. Hakikat demokrasi langsung adalah penjunjungan tinggi terhadap aspirasi masyarakat yang terejahwantahkan memalui pemberian suara dalam pemilu. Suara presiden dan suara tukang becak tak terbedakan melaui hukum one man one vote. Dan merujuk ilustrasi di atas, berapapun besaran jumlah PT yang diterapkan, selalu menistakan suara masyarakat yang sangat besar.
Kita semua faham bahwa kebijakan PT dimaksudkan untuk mereduksi jumlah partai politik yang ada. Banyaknya jumlah partai politik, dipandang menyulitkan sistem pemerintahan kita yang menganut model presidensial. Dalam model ini, presiden kerap kali kesulitan menelurkan keputusan politik karena berbelit-belitnya urusan di DPR. Hal itu disebabkan banyaknya kepentingan seiring banyaknya jumlah perwakilan partai politik di DPR. Itu sebabnya, penyederhanaan jumlah partai diyakini akan mendukung pemberlakukan model presidensial secara efektif. Pertanyaannya, haruskan penyederhanaan ini dengan menggunakan kebijakan ambang batas PT yang mengorbankan banyak suara pemilih?
Sebetulnya banyak cara untuk mereduksi jumlah partai politik. Mungkin kita bisa berkaca dan belajar terhadap sistem pemilu Jerman yang berhasil menyederhanakan jumlah partai. Pada masa lampau, negeri asal Beethoven ini mempunyai terlalu banyak partai sebagai akibat dipakainya sistem proporsional. Dewasa ini, Jerman mengadopsi dua sistem pemilu sekaligus, yakni proporsional plus distrik. Setengah anggota Parlemen dipilih dengan sistem distrik dan setengah lagi dengan sistem proporsional. Setiap pemilih mempunyai dua suara, yakni untuk memilih caleg atas dasar sistem distrik (sebagai suara pertama) dan memilih partai atas dasar sistem proporsional (sebagai suara kedua). Dengan penggabungan ini, diharapkan distorsi tidak terlalu besar efeknya dan jumlah sisa suara juga tidak terlalu besar. Dengan demikian akan terjadi semacam keseimbangan antara masalah stabilitas (karena jumlah partai terbatas) dan masalah keterwakilan (representatif).
Pemburu Rente
Namun lagi-lagi, pencarian formula sistem pemilu yang tak merugikan demokrasi secara substansif tak begitu menjadi pertimbangan para politisi di DPR-RI. Politisi senayan malah asik berdebat menerapkan PT yang “membabat” suara masyarakat. Bisa dibayangkan, jika PT betul-betul diterapkan lima persen misalnya, berapa banyak kursi DPR-RI yang terisi tidak berdasarkan pilihan suara rakyat?
Itu semua terjadi, karena politisi senayan tak lebih hanya sebagai manusia pemburu rente kekuasaan. Grindle 1989, telah menyindirnya dengan keras melalui konsep power seeking politicians. Argumentasi dasar konsep ini adalah para politisi merupakan makhluk rasional yang tidak steril dari perhitungan untung-rugi dalam setiap mengambil keputusan. Kepentingan utama dari politisi adalah memaksimalkan, dan bila mungkin, mempertahankan kekuasaan yang dimiliki. Untuk tujuan ini, maka para politisi akan dimotivasi oleh keinginan menggunakan sumber daya (resources) apa saja yang dimiliki guna memberikan ganjaran kepada siapa saja yang mendukung mereka, dan memberikan hukuman kepada siapa saja yang mencoba mengganggu.
Implikasi dari argumentasi Grindle di atas, politisi cenderung berfikir kepentingan jangka pendek. Tidak penting bagi para politisi keputusannya nanti akan berdampak seperti apa kepada orang lain. Pertimbangan utamanya adalah keputusan itu tidak merugikan diri mereka sendiri. Selain itu, dampak dari pola dasar pemikiran seperti ini adalah adanya praktik-praktik kesepakatan di bawah meja atau “politik dagang sapi”.
Merujuk kondisi di atas, maka besar kemungkinan perdebatan sengit terkait ambang batas PT akan diselesaikan dengan cara kesepakatan dibawah meja. Meski Partai Golkar dan PDIP keukeuh diangka lima persen, namun sepertinya angka itu cukup sulit terealisasi. Hal itu dikarenakan jika sampai terjadi voting, jumlah kursi Golkar dan PDIP jika digabung hanya berkisar 36.1%. Sementara kursi Demokrat dan PKS yang mengusung angka empat persen, jumlah kursi gabungannya sebesar 37.0%. Sementara gabungan kursi partai-partai yang mengusung angka dua setengah hingga tiga persen, 27.0%. Itu artinya, yang paling mungkin adalah kompromi ambang batas PT pemilu 2014 adalah tiga hingga empat persen, sebagai akibat tak akan adanya partai lain yang menyokong ide Golkar dan PDIP.
No comments:
Post a Comment