Oleh : Abdul Hakim MS
Detik.com, Minggu 29/05/2011 14:19 WIB
Beberapa hari terakhir, media nasional dijejali polemik tentang kasus suap terkait pembangunan Wisma Atlet untuk SEA Games XXVI di Palembang yang melibatkan nama Bendahara Umum Partai Demokrat (PD), M. Nazaruddin. Namun ternyata persoalan tersebut tak berhenti hanya disitu. Kasus ini memanjang hingga melibatkan nama Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, Kemenpora Andi Mallarangeng, hingga nama adik kandung Kemenpora, Choel Mallarangeng. Belum merasa cukup, nazaruddin kemudian juga menyeret nama Jeffry (Bendahara DPD PD Sulawesi Selatan). Semua menjadi drama seru yang dilaporkan secara berseri, baik oleh nama-nama yang tersangkut, maupun oleh media massa sendiri. Kenapa kasus ini bisa begitu menarik?
Kasus ini menjadi menarik, karena yang terlibat langsung adalah sosok penting ditubuh partai yang sekarang berpredikat the rulling party. Uniknya, sosok penting itu, M. Nazaruddin, sebelumnya bukanlah siapa-siapa dalam jagat perpolitikan nasional. Ia baru menjadi terkenal karena terpaan kasus-kasus miring yang menderanya, bukan karena prestasinya sebagai fungsionaris Partai besutan presiden SBY itu.
Seperti sudah banyak dibahas, M. Nazaruddin ditengarai “memanfaatkan” posisinya guna mendapatkan proyek pengadaan batubara ke PLN pada Januari 2011 lalu. Namun sayang, karena batubara yang dikirimkan ke PLN berada dibawah standar, proyek ini harus berujung di kantor polisi. Ia kemudian melaporkan mantan kolega binisnya, Daniel Sinambela, ke polisi dengan tuduhan penipuan. Sebelumnya, ia juga sempat tertimpa isu tidak sedap terkait dugaan pelecehan seksual ketika kongres PD II di Bandung pada Mei 2010 lalu. Dan yang terbaru, adalah kasus suap yang kini sedang santer menjadi sorotan publik. Pertanyaannya, sejatinya apa yang terjadi di Partai Demokrat?
Konsolidasi
Perkara yang muncul dalam internal PD ini, hemat saya, sebagai implikasi belum selesainya konsolidasi internal PD pasca kongres II PD di Bandung lalu. Seperti kita tahu, menjelang kongres PD, ada tiga kandidat yang bertarung sengit, Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng dan Marzuki Alie. Pada pemilihan ketua umum, Andi Mallarangeng yang menggaungkan diri sebagai satu-satunya kandidat yang “direstui” SBY, harus kalah diputaran pertama dengan hanya memperoleh 28 suara. Sementara pada putaran kedua, Anas Urbaningrum berhasil “menyingkirkan” Marzuki Alie, meskipun ia telah didukung oleh Andi mallarengeng.
Walaupun Anas Urbaningrum menjanjikan akan mengakomodasi semua unsur kekuatan kandidat untuk masuk dalam struktur kepengurusan PD yang baru, namun masuknya nama seperti M. Nazaruddin sebagai Bendahara Umum PD, sepertinya menjadikan sesuatu yang kurang memuaskan bagi pihak lain. Bagaimana bisa, Nazaruddin yang masih berusia 33 tahun, belum memiliki track record kinerja apapun terhadap PD, dan merupakan sosok yang pernah menjadi caleg DPR-RI dari partai lain, tiba-tiba menyeruak-masuk diposisi strategis? Satu-satunya alasan yang bisa digunakan untuk menjelaskan cepatnya lesatan karir Nazaruddin di PD adalah ia diduga sebagai penyandang dana utama dalam pencalonan Anas Urbaningrum. Tak heran jika kemudian Anas “mengganjarnya” dengan posisi Bendahara Umum PD.
Kondisi ini sepertinya menimbulkan api dalam sekam dan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja. Dan betul, ketika M. Nazaruddin melakukan kesalahan, bom itu pun menggelegar. Tak terima, M. Nazaruddin kemudian melakukan serangan balik. Naasnya, yang diserang bukannya tokoh-tokoh dari parpol lain, melainkan eli-elit partai bintang mercy ini sendiri.
Ujian Berat
Kondisi internal yang dihadapi PD saat ini, menjadikan ujian yang dijalani menjadi semakin berat untuk menghadapi pemilu 2014. Ujian sebelumnya yang sudah mendera adalah banyaknya arus kritik yang diarahkan kepada simbol partai ini, SBY. Berdasarkan data survei Indo Barometer sejak 2007, suara PD sangat ditentukan tingkat popularitas suami Kristiani Herawati ini. Disaat popularitasnya naik, seiring itu pula suara PD menggelembung. Namun kala popularitas menurun, bersamaan dengan itu suara PD pun turut mengempes.
Arus kritik yang mendera SBY, seperti kasus Bank Century, Kasus Mafia Pajak, deklarasi 18 kebohongan rezim Presiden SBY oleh tokoh lintas agama, serangan terhadap Satgas Mafia pajak, dan sebagainya, ternyata cukup berhasil mereduksi tingkat elektabilitas SBY. Merujuk hasil survei Indo Barometer pada Mei 2011, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja SBY sudah dibawah angka 50%. Tentu kondisi ini menjadi alarm serius bagi PD, mengingat SBY adalah the special one yang menjadi urat nadi PD.
Jebloknya tingkat kepuasan publik terhadap kinerja SBY, ditambah kuatnya konflik internal yang mendera, menjadikan PD saat ini ibarat telur diujung tanduk. Salah mengantisipasi keadaan yang ada, bisa menjadi “neraka” pada pemilu 2014. Naasnya, elit PD sendiri tak tegas dalam menangani kasus internalnya. Jargon berpolitik dengan etika, cerdas, dan santun tak tercermin dalam penanganan kasus M. Nazaruddin. Ia hanya dipecat dari posisi Bendahara Umum PD, melainkan posisinya sebagai anggota DPR dan anggota PD tetap dipertahankan.
Langkah DPP PD ini tentu menjadikan pertanyaan besar dibenak publik. Dimana letak konsistensi jargon politik etika, cerdas dan santun ini? Bukankah seharusnya jika M. Nazaruddin dianggap oleh Dewan Kehormatan PD telah melanggar pedoman itu, juga diberhentikan keanggotaannya di PD dan dicopot pula sebagai anggota DPR RI?
Setidaknya dua arah yang bisa dilakukan PD saat ini guna mengembalikan citra dan reputasinya sebagai parpol pemenang pemilu. Pertama, keberhasilan PD memenangkan kontestasi dua pemilu, pemilu 2004 dan 2009 adalah citra baik pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, mau tidak mau, PD harus melakukan tindakan konkrit terkait kasus internal yang menderanya saat ini. Kedua, dengan tingkat popularitas SBY sebagai the spesial one PD yang jatuh dibawah 50% dan tak bisa lagi maju menjadi capres, jaminan utama agar PD tetap bisa mempertahankan suara sebagai pemenang pemilu pada tahun 2014 adalah memperbaiki manajemen partai. Selain itu, tugas “bersih-bersih” terhadap orang-orang yang dianggap bermasalah yang selama ini “diberi suaka hukum” oleh PD, harus cepat dilakukan.
Momentum itu kini datang. Tugas “bersih-bersih” bisa dimulai dari kasus M. Nazaruddin. Penanganan baik terhadap kasus ini akan memberi dampak dua hal sekaligus, memperbaiki citra PD sebagai Parpol yang komit terhadap pemberantasan korupsi serta mengembalikan citra PD sebagai parpol yang mengusung pedoman berpolitik dengan etika, santun dan cerdas. Jika momentum ini dibiarkan dan tak ditindaklanjuti secara baik, besar kemungkinan suara PD akan mengempis dan prediksi bubble politic akan mewujud jadi nyata.
No comments:
Post a Comment