Monday, March 27, 2006

Malu Aku Jadi orang Indonesia..!!!

Indonesia Pun Terperangah
Banyak orang terperangah atas pemberian visa tinggal sementara oleh Australia kepada 42 dari 43 pencari suaka Indonesia asal Papua.


Bahkan, ada yang bergumam, rupanya Indonesia sudah tidak diperhitungkan lagi! Perasaan disepelekan, diremehkan, bahkan dilecehkan mendominasi reaksi pemerintah dan rakyat Indonesia atas pemberian visa oleh Australia kepada 42 pencari suaka Papua.

Segala upaya diplomatik Indonesia bagi pemulangan para pencari suaka tampaknya tidak dihargai dan hanya dipandang sebelah mata. Timbul kesan kuat pula, Australia tidak mau tahu atas kerumitan yang sedang dihadapi Indonesia di Papua.

Pemberian visa tinggal sementara kepada 42 pencari suaka hanya menambah kekisruhan persoalan Papua. Juga memberikan sensasi tinggi untuk menarik perhatian masyarakat internasional bahwa di Papua ada masalah.

Indonesia tentu saja terkecoh oleh buaian pernyataan Australia yang menegaskan pentingnya kerja sama dan pengakuan kedaulatan Indonesia atas Papua. Perasaan terkecoh itu sebenarnya sudah ada presedennya dalam kasus Timor Timur. Semula Australia melambung-lambungkan integrasi Timtim dengan Indonesia, tetapi pada ujungnya mendukung perpisahan Timtim.

Perilaku penuh percaya diri Australia merefleksikan penilaian negara itu terhadap Indonesia. Ekspresi percaya diri serupa diperlihatkan Malaysia dalam kasus Ambalat setelah berhasil mendapatkan Sipadan dan Ligitan tahun 2002.

Terkesan sudah tidak ada lagi rasa segan, hormat, dan takut. Padahal, di masa lalu, kawan atau lawan segan atas kewibawaan Indonesia. Tidak ada yang berani mempermainkan kepentingan Indonesia. Namun sekarang Indonesia diremehkan karena kerapuhannya.

Berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia memang sedang kedodoran. Kaum elite tidak kompak dalam menyelesaikan berbagai persoalan strategis bangsa, seperti menghentikan praktik korupsi, mengatasi kesenjangan ekonomi, mengakhiri konflik secara bermartabat seperti di Papua.

Selama berbagai persoalan dalam negeri tidak dibereskan, Indonesia akan tetap diremehkan dan dilecehkan. Negara-negara yang maju secara sosial, ekonomi, dan politik, sekalipun kecil dalam ukuran wilayah dan penduduk, akan disegani, bahkan ditakuti.

Tantangan bagi Indonesia tentu saja bagaimana membangun kewibawaannya, yang bertumpu pada birokrasi yang tidak korup, dan peningkatan kesejahteraan kehidupan rakyat dari Sabang sampai Merauke. (tajuk rencana Kompas, 25-03-2006)

Baca Selengkapnya...

Friday, March 10, 2006

Interpelasi Setengah Hati

Ada hal menarik apabila kita menengok pelaksanaan Rapat Paripurna DPR dengan agenda penyampaian jawaban pemerintah atas hak interpelasi masalah busung lapar dan polio selasa (7/3) kemarin. Atraksi para politisi parlemen begitu kental menghiasi jalannya persidangan. Sesaat setelah dibuka, hujan interupsi dilontarkan para anggota dewan kepada pimpinan sidang. Mereka mempertanyakan, kenapa presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak hadir dalam rapat tersebut. Padahal, Menko Kesra Aburizal Bakrie, Menkes Siti Fadila Supari dan Mensesneg Yusril Ihza Mahendra sudah datang untuk mewakili presiden memenuhi undangan DPR untuk memberikan keterangan.

Anggota DPR lagi berantem

Sangat disayangkan, kesempatan interpelasi yang jarang diperoleh ini disia-siakan oleh “bapak-bapak” di parlemen. Seharusnya, kesempatan ini menjadi “ajang” menunjukkan integritas lembaga yang sangat “terhormat” ini, bahwa mereka peduli kepada masyarakat. Namun kenapa setelah keterangan selesai di perdengarkan, tidak ada pertanyaan yang bersifat substansial tentang masalah yang mengiris hati nurani rakyat Indonesia ini? Kenapa harus memaksa presiden yang datang, padahal delegasi dari istana sudah hadir? Ada apa dibalik hak interpelasi ini?


Pertanyaan-pertanyaan ini patut untuk dikeluarkan. Mengingat, masalah busung lapar dan polio merupakan kasus “biadab” yang muncul dalam kondisi negara seperti sekarang. Masih ada saudara-saudara kita yang kelaparan dan kekurangan gizi ditengah pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat. Sebuah ironi yang menyedihkan!


Kepentingan Politik Sesaat


Melihat kondisi ini, setidaknya ada dua hal yang bisa kita simpulkan. Pertama, hak interpelasi yang sudah digalang oleh fraksi-fraksi di DPR sejak awal tahun lalu ini, merupakan komoditas politik sesaat. Ada keinginan untuk melakukan “black campaign” terhadap pemerintahan sekarang dengan menggunakan isu polio dan busung lapar sebagai instrumen.


Analisa sederhana ini muncul, didasarkan pada kenyataan tidak antusiasnya para wakil rakyat ketika mengetahui presiden tidak bisa hadir untuk memberikan keterangan. Padahal, seandainya para “koboi” parlemen ini jeli, dengan mengusut tuntas masalah buruk gizi dan polio kepada delegasi yang hadir, toh imbasnya juga pasti akan ke presiden.


Namun sayang, setelah Menko Kesra Aburizal Bakrie selesai memberikan keterangan, tidak ada pertanyaan sama sekali dari fraksi-fraksi yang sudah menggalang bergulirnya hak interpelasi ini selama hampir 3 bulan. Sebuah perjuangan yang sia-sia! para “wakil” kita terjebak pada hal-hal teknis, bukan substansi.


Kedua, dengan tidak dibahasnya masalah substansi persoalan yang menjadi agenda, yakni busung lapar dan polio, semakin memperparah citra lembaga yang dikatakan oleh Gus Dur sebagai “taman kanak-kanak” ini. Setelah sekian panjang daftar “borok parlemen” yang sudah terungkap ke publik, kini ditambah satu lagi dengan “borok” gagalnya hak interpelasi. Anggota parlemen lebih asik bertanya kenapa presiden tidak datang daripada kenapa masalah busung lapar dan polio masih terjadi ditengah kondisi perekonomian yang terus membaik.


Dewan Perwakilan Partai


Sekali lagi, hati masyarakat terluka. Dewan Perwakilan Rakyat yang diharpakan bisa memperjuangkan kepentingan masyarakat, jauh panggang dari api. Anggota DPR, malah menjadikan penderitaan masyarakat sebagai komoditi politik untuk memperoleh keuntungan sesaat. Gagalnya hak interpelasi, dengan tidak menyentuh masalah substansi sama sekali, lagi-lagi menjadi bukti bahwa DPR bukan merupakan Dewan Perwakilan Rakyat. Melainkan, Dewan Perwakilan Partai.


Parlemen yang seharusnya bisa menjadi kekuatan penyeimbang pemerintah (check and balance) guna memperjuangkan kepentingan masyarakat, malah terjebak oleh kepentingannya sendiri. Kekuatan oposisi yang ada diparlemen selama ini, hanya bertujuan untuk “menjatuhkan”, bukan mencari jalan keluar!


Sebenarnya, kampanye yang dilakukan oleh para “wakil partai” ini sudah tepat. Yakni, melakukan koreksi terhadap kinerja pemerintah tentang masalah sosial kemasyarakatan yang menimpa negeri ini. Hanya, sekali lagi, cara yang mereka tempuh kurang elegan. Seandainya mereka bisa “mempercantik kampanye terselubung” ini, maka hati masayarakat, ke depan, akan jatuh kepangkuan partai-partai yang ada.


Namun lagi-lagi, “permainan kasar” ditunjukkan oleh DPR kita. Kepentingan untuk mencari popularitas, ditempuh dengan cara-cara yang salah. Yang mereka pikirkan bukan bagaimana cara memberantas busung lapar dan polio di negeri ini. Melainkan, hanya ingin menunjukkan bahwa partai mereka, seolah-olah, peduli kepada masyarakat. Padahal, mereka hanya “mencari muka” dan “menjilat” simpati rakyat.


Memang, eksistensi partai politik tetap diperlukan. Tetapi, kita semua tidak perlu atau tidak boleh terlalu menggantungkan harapan. Karena fungsi partai saat ini yang mereka jalankan, masih pada batas bagaimana cara memperoleh dan mempertahankan kekuasaan politik semata.


Karena itu, dalam menghadapi kehidupan sehari-hari yang makin sulit saat ini, rakyat sudah tidak bisa terlalu banyak berharap kepada DPR. Rakyat harus memperjuangkan kepentingannya sendiri. Oleh karena itu, jika DPR ingin memperbaiki citranya, maka sudah waktunya mereka “bermain” secara elegan untuk mengambil hati masyarakat. Agar, pada pemilu berikutnya, kepercayaan masyarakat kepada mereka menjadi lebih baik. Dan stempel DPR sebagai Dewan perwakilan Partai bisa diperbaiki menjadi Dewan Perwakilan Rakyat yang sebenarnya. Aab

Baca Selengkapnya...

Menimbang Hak Pilih Anggota TNI

Oleh : Abdul Hakim MS.

Sinar Harapan, 13 Oktober 2006

Pemilihan umum 2009 masih tiga tahun lagi digulirkan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang baru pun masih belum dibentuk. Revisi terhadap UU Pemilu juga belum dilakukan. Akan tetapi, isu panas sudah mulai menggelinding terkait dengan pesta demokrasi ini. Sepekan terakhir, partai politik, para pengamat, dan kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM), sibuk berdebat, berdiskusi, dan mencari solusi tentang hak pilih anggota TNI yang pada pemilu 2009 mendatang, akan aktif kembali.

Mengacu pada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri, memang, anggota kedua institusi ini tidak akan menggunakan hak pilihnya paling lama hingga tahun 2004. Tap MPR ini kemudian dipertegas dengan keluarnya UU Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilu. Dalam pasal 145 UU no. 12 tahun 2003 menyebutkan, anggota TNI dan anggota Polri tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu 2004 lalu. Itu artinya, besar kemungkinan, atau bahkan pasti, hak pilih TNI akan pulih pada pemilu 2009 mendatang.

Kondisi ini kemudian menyulut pro dan kontra di tengah masyarakat. Sebagian kalangan khawatir, ketika hak pilih anggota TNI dikembalikan, secara lambat laun, ia akan come back lagi ke dunia politik. Implikasinya, TNI akan berperan ganda seperti masa Orde Baru (Orba). Lebih ekstrem lagi, TNI ditakutkan hanya akan menjadi alat kekuasaan bagi status quo guna melanggengkan jabatannya.

Bagi yang sepakat dengan diberikannya hak pilih anggota TNI, mereka mempunyai argumentasi tersendiri. sebagai warga negara, TNI juga memiliki hak untuk menyuarakan aspirasinya. Dan hak yang sudah melekat itu tidak bisa dibatasi hanya karena alasan profesi. Sebagai negara demokrasi, tidak dibenarkan ada diskriminasi. Dan jika ada pembatasan terhadap hak memilih ini, berarti ada pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).
Pro dan kontra seperti ini, sah-sah saja dalam bingkai negara demokrasi. Namun yang menggelitik untuk dicari jawabannya, kenapa hak pilih TNI ini begitu sensitif? Padahal secara nominal, sebenarnya jumlah TNI tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan jumlah pemilih yang lain?

Trauma berkepanjangan

Memang, secara nominal, jumlah anggota TNI sebenarnya tidak terlalu signifikan untuk mempengaruhi hasil pemilu. Personil TNI yang ada di negeri ini tidak sampai pada angka 400.000 orang. Jumlah ini sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah pemilih pada pemilu tahun 2004 misalnya, yang mencapai 113 juta lebih pemilih. Jumlah TNI ini hanya sekitar 0,35 persennya!

Namun sepertinya bukan masalah jumlah pemilih yang menjadi polemik, melainkan masalah ekses. Sejarah panjang perjalanan TNI dan Polri, telah memberikan ”stempel hitam” bagi kedua lembaga ini. Pengalaman kita sebagai bangsa, telah lengkap menghadirkan potret buram relasi penguasa dengan TNI. Di masa Orde Baru, hubungan antara Presiden dan TNI amatlah kolutif. Keduanya tidak lebih bagai seorang tuan dan budak. Apa pun kebijakan yang dikeluarkan oleh Soeharto, akan disambut dengan baik oleh TNI. Bahkan bila perlu, akan dilakukan dengan berbagai cara. Akibatnya, Soeharto dapat bertahan hingga lebih dari 32 tahun.

Melalui peran dwifungsi saat itu, TNI menjadi alat yang efektif bagi penguasa untuk mengukuhkan kekuasaanya. TNI dijadikan ”alat gebuk” pemerintah untuk menghantam lawan-lawan politiknya. Masih hangat dalam ingatan kita tentang kasus yang menimpa salah satu partai nasionalis ”pembangkang” pemerintah pada 1996 lalu. partai ini harus rela menerima kenyataan kantornya diobrak-abrik. Disinyalir, pelakunya adalah kalangan anggota TNI.
Belum lagi, sistem komando yang kuat dalam lingkup TNI. Bisa jadi, TNI nantinya dijadikan sebagai sarana mobilisasi massa untuk mengumpulkan suara. Contoh kasus betapa TNI dan Polri sangat berpengaruh dalam pengumpulan suara, terjadi pada pemilu 2004 lalu. Seorang anggota Polri bisa mempengaruhi pemilih dilingkungan keluarga besar Polri yang menggunakan hak pilih, baik anak, mertua, istri, veteran dan lainnya. Bahkan, mobil TNI pernah terlibat dalam mobilisasi pengumpulan suara di pesantren Az Zaitun.

Trauma seperti inilah yang kemudian menjadi landasan kenapa TNI tidak harus diberikan hak memilih dalam pemilu. Bahkan, suara mayoritas masyarakat, yang tercermin dari sebuah hasil poling harian terkemuka di jakarta, mengharap agar hak memilih TNI ditiadakan pada pemilu 2009 nanti. Mengingat, reformasi internal TNI belum selesai dilakukan.

Reformasi internal TNI

Sejatinya, kehawatiran memang perlu ada agar kita selalu waspada. Namun, kehati-hatian jangan sampai memotong hak-hak orang lain, termasuk hak anggota TNI untuk menentukan pilihannya dalam pemilu. Siapapun ia, apapun profesinya, sebagai warga negara, seharusnya diberikan kesempatan untuk bisa menentukan siapa yang akan memimpinnya, tidak terkecuali TNI.

Terkait dengan kehawatiran tentang kembalinya TNI ke pentas politik, bukan berarti menjadikan kita membabi buta dalam membatasi hal-hak anggota TNI. Semangat reformasi internal yang tertuang dalam ”paradigma Baru Peran TNI” yang ditandatangani oleh Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada 5 Oktober 1998, adalah cerminan TNI sudah mulai berubah.

Niat dan komitmen untuk mereformasi diri tersebut, kemudian diwadahi secara formal oleh wakil-wakil rakyat melalui TAP MPR-RI Nomor : VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, dan Tap MPR-RI Nomor : VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Dan dikukuhkan kembali melalui UU Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.

Dalam kedua Tap MPR ini, TNI bertekad akan menjadi alat pertahanan yang profesional dan menarik diri dari panggung politik. Bahkan sebagai konsekwensinya, TNI harus rela keluar dari gedung wakil rakyat sesuai amanat Tap MPR-RI Nomor : VII/MPR/2000. Pada pasal 5 ayat (4) disebutkan, keikutsertaan TNI dalam menentukan arah kebijakan nasional disalurkan melaui MPR paling lama sampai dengan 2009. Dan sebelum tahun itu datang, TNI sudah dengan ”legowo” menyingkir dari gedung wakil rakyat.

Dalam UU Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara –menggantikan UU RI Nomor 20 tahun 1982— menyebutkan, kewenangan TNI antara lain, mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah, melindungi kehormatan dan keselamatan bangsa, melaksanakan Operasi Militer selain perang dan ikut serta secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional.

Implikasi dari kewenangan tersebut, maka TNI harus menghapus Dwi Fungsi ABRI, melikuidasi fungsi kekaryaan serta sosial politik TNI, serta penghapusan keberadaan Fraksi TNI/Polri di lembaga legislatif. Dan itu semua sudah dilakukan secara baik oleh TNI. Akankah kita masih membatasi haknya untuk memilih dalam pemilu?

Perketat aturan

Di negara-negara yang boleh dibilang sudah demokrastis, tidak ada lagi pembatasan terhadap hak pilih anggota TNI. Semua warga negara dianggap sama untuk bisa menyuarakan aspirasinya melalui pemilu. Amerika, sebagai kiblat demokrasi, juga tidak melarang tentaranya mengeluarkan pilihannya dalam pemilu.

Sudah saatnya, TNI diberikan hak pilih pada pemilu 2009 mendatang. Karena jika tidak, kita akan memposisikan TNI pada masa transisi yang permanen. Dan hal itu sangat tidak kondusif bagi TNI untuk bisa mereformasi dirinya sendiri.

Masalah ketakutan TNI akan menyalahgunakan wewenangnya, bisa diatasi dengan memperketat aturan main pada saat pemungutan suara. Misalnya, TNI tidak boleh memakai seragam ketika mencoblos, atau TNI tidak boleh mencoblos dibarak, serta aturan-aturan lain yang bisa mengeliminasi kecenderungan penyimpangan. Dan ini bisa dibahas dan dimasukkan dalam revisi UU tentang Pemilu mendatang.

Baca Selengkapnya...