Friday, March 10, 2006

Menimbang Hak Pilih Anggota TNI

Share on :

Oleh : Abdul Hakim MS.

Sinar Harapan, 13 Oktober 2006

Pemilihan umum 2009 masih tiga tahun lagi digulirkan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang baru pun masih belum dibentuk. Revisi terhadap UU Pemilu juga belum dilakukan. Akan tetapi, isu panas sudah mulai menggelinding terkait dengan pesta demokrasi ini. Sepekan terakhir, partai politik, para pengamat, dan kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM), sibuk berdebat, berdiskusi, dan mencari solusi tentang hak pilih anggota TNI yang pada pemilu 2009 mendatang, akan aktif kembali.

Mengacu pada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri, memang, anggota kedua institusi ini tidak akan menggunakan hak pilihnya paling lama hingga tahun 2004. Tap MPR ini kemudian dipertegas dengan keluarnya UU Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilu. Dalam pasal 145 UU no. 12 tahun 2003 menyebutkan, anggota TNI dan anggota Polri tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu 2004 lalu. Itu artinya, besar kemungkinan, atau bahkan pasti, hak pilih TNI akan pulih pada pemilu 2009 mendatang.

Kondisi ini kemudian menyulut pro dan kontra di tengah masyarakat. Sebagian kalangan khawatir, ketika hak pilih anggota TNI dikembalikan, secara lambat laun, ia akan come back lagi ke dunia politik. Implikasinya, TNI akan berperan ganda seperti masa Orde Baru (Orba). Lebih ekstrem lagi, TNI ditakutkan hanya akan menjadi alat kekuasaan bagi status quo guna melanggengkan jabatannya.

Bagi yang sepakat dengan diberikannya hak pilih anggota TNI, mereka mempunyai argumentasi tersendiri. sebagai warga negara, TNI juga memiliki hak untuk menyuarakan aspirasinya. Dan hak yang sudah melekat itu tidak bisa dibatasi hanya karena alasan profesi. Sebagai negara demokrasi, tidak dibenarkan ada diskriminasi. Dan jika ada pembatasan terhadap hak memilih ini, berarti ada pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).
Pro dan kontra seperti ini, sah-sah saja dalam bingkai negara demokrasi. Namun yang menggelitik untuk dicari jawabannya, kenapa hak pilih TNI ini begitu sensitif? Padahal secara nominal, sebenarnya jumlah TNI tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan jumlah pemilih yang lain?

Trauma berkepanjangan

Memang, secara nominal, jumlah anggota TNI sebenarnya tidak terlalu signifikan untuk mempengaruhi hasil pemilu. Personil TNI yang ada di negeri ini tidak sampai pada angka 400.000 orang. Jumlah ini sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah pemilih pada pemilu tahun 2004 misalnya, yang mencapai 113 juta lebih pemilih. Jumlah TNI ini hanya sekitar 0,35 persennya!

Namun sepertinya bukan masalah jumlah pemilih yang menjadi polemik, melainkan masalah ekses. Sejarah panjang perjalanan TNI dan Polri, telah memberikan ”stempel hitam” bagi kedua lembaga ini. Pengalaman kita sebagai bangsa, telah lengkap menghadirkan potret buram relasi penguasa dengan TNI. Di masa Orde Baru, hubungan antara Presiden dan TNI amatlah kolutif. Keduanya tidak lebih bagai seorang tuan dan budak. Apa pun kebijakan yang dikeluarkan oleh Soeharto, akan disambut dengan baik oleh TNI. Bahkan bila perlu, akan dilakukan dengan berbagai cara. Akibatnya, Soeharto dapat bertahan hingga lebih dari 32 tahun.

Melalui peran dwifungsi saat itu, TNI menjadi alat yang efektif bagi penguasa untuk mengukuhkan kekuasaanya. TNI dijadikan ”alat gebuk” pemerintah untuk menghantam lawan-lawan politiknya. Masih hangat dalam ingatan kita tentang kasus yang menimpa salah satu partai nasionalis ”pembangkang” pemerintah pada 1996 lalu. partai ini harus rela menerima kenyataan kantornya diobrak-abrik. Disinyalir, pelakunya adalah kalangan anggota TNI.
Belum lagi, sistem komando yang kuat dalam lingkup TNI. Bisa jadi, TNI nantinya dijadikan sebagai sarana mobilisasi massa untuk mengumpulkan suara. Contoh kasus betapa TNI dan Polri sangat berpengaruh dalam pengumpulan suara, terjadi pada pemilu 2004 lalu. Seorang anggota Polri bisa mempengaruhi pemilih dilingkungan keluarga besar Polri yang menggunakan hak pilih, baik anak, mertua, istri, veteran dan lainnya. Bahkan, mobil TNI pernah terlibat dalam mobilisasi pengumpulan suara di pesantren Az Zaitun.

Trauma seperti inilah yang kemudian menjadi landasan kenapa TNI tidak harus diberikan hak memilih dalam pemilu. Bahkan, suara mayoritas masyarakat, yang tercermin dari sebuah hasil poling harian terkemuka di jakarta, mengharap agar hak memilih TNI ditiadakan pada pemilu 2009 nanti. Mengingat, reformasi internal TNI belum selesai dilakukan.

Reformasi internal TNI

Sejatinya, kehawatiran memang perlu ada agar kita selalu waspada. Namun, kehati-hatian jangan sampai memotong hak-hak orang lain, termasuk hak anggota TNI untuk menentukan pilihannya dalam pemilu. Siapapun ia, apapun profesinya, sebagai warga negara, seharusnya diberikan kesempatan untuk bisa menentukan siapa yang akan memimpinnya, tidak terkecuali TNI.

Terkait dengan kehawatiran tentang kembalinya TNI ke pentas politik, bukan berarti menjadikan kita membabi buta dalam membatasi hal-hak anggota TNI. Semangat reformasi internal yang tertuang dalam ”paradigma Baru Peran TNI” yang ditandatangani oleh Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada 5 Oktober 1998, adalah cerminan TNI sudah mulai berubah.

Niat dan komitmen untuk mereformasi diri tersebut, kemudian diwadahi secara formal oleh wakil-wakil rakyat melalui TAP MPR-RI Nomor : VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, dan Tap MPR-RI Nomor : VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Dan dikukuhkan kembali melalui UU Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.

Dalam kedua Tap MPR ini, TNI bertekad akan menjadi alat pertahanan yang profesional dan menarik diri dari panggung politik. Bahkan sebagai konsekwensinya, TNI harus rela keluar dari gedung wakil rakyat sesuai amanat Tap MPR-RI Nomor : VII/MPR/2000. Pada pasal 5 ayat (4) disebutkan, keikutsertaan TNI dalam menentukan arah kebijakan nasional disalurkan melaui MPR paling lama sampai dengan 2009. Dan sebelum tahun itu datang, TNI sudah dengan ”legowo” menyingkir dari gedung wakil rakyat.

Dalam UU Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara –menggantikan UU RI Nomor 20 tahun 1982— menyebutkan, kewenangan TNI antara lain, mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah, melindungi kehormatan dan keselamatan bangsa, melaksanakan Operasi Militer selain perang dan ikut serta secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional.

Implikasi dari kewenangan tersebut, maka TNI harus menghapus Dwi Fungsi ABRI, melikuidasi fungsi kekaryaan serta sosial politik TNI, serta penghapusan keberadaan Fraksi TNI/Polri di lembaga legislatif. Dan itu semua sudah dilakukan secara baik oleh TNI. Akankah kita masih membatasi haknya untuk memilih dalam pemilu?

Perketat aturan

Di negara-negara yang boleh dibilang sudah demokrastis, tidak ada lagi pembatasan terhadap hak pilih anggota TNI. Semua warga negara dianggap sama untuk bisa menyuarakan aspirasinya melalui pemilu. Amerika, sebagai kiblat demokrasi, juga tidak melarang tentaranya mengeluarkan pilihannya dalam pemilu.

Sudah saatnya, TNI diberikan hak pilih pada pemilu 2009 mendatang. Karena jika tidak, kita akan memposisikan TNI pada masa transisi yang permanen. Dan hal itu sangat tidak kondusif bagi TNI untuk bisa mereformasi dirinya sendiri.

Masalah ketakutan TNI akan menyalahgunakan wewenangnya, bisa diatasi dengan memperketat aturan main pada saat pemungutan suara. Misalnya, TNI tidak boleh memakai seragam ketika mencoblos, atau TNI tidak boleh mencoblos dibarak, serta aturan-aturan lain yang bisa mengeliminasi kecenderungan penyimpangan. Dan ini bisa dibahas dan dimasukkan dalam revisi UU tentang Pemilu mendatang.

No comments: