Tuesday, July 31, 2007

Babak Akhir SBY vs Zaenal?

Drama edpisode ”Fitnah” Zaenal Maarif vs SBY berada dititik puncak. Senin (30/7), Zaenal melakukan pertunjukan road show dengan mengusung topik “dokumen rahasia” SBY pernah menikah dengan seorang perempuan asal Filipina sebelum masuk Akademi Militer ke MPR, DPR, DPD dan MK.



Road show Zaenal terbilang cukup sukses. Media massa, baik elektronik ataupun cetak, ramai-riuh mengiringinya bak bintang superstar. Bedanya, yang mengelilinginya bukan wartawan infotainment, melainkan wartawan yang sehari-harinya kebagian pos untuk meliput persoalan-persoalan politik.

Diluar itu semua, ada pertanyaan yang mungkin terus menumpuk dibenak publik, apa gerangan bukti yang dimiliki oleh Zaenal Maarif? Validkah bukti yang disebarkannya? Kira-kira, bagaimana episode akhir dari kasus yang juga sempat menimpah presiden-presiden terdahulu ini?

Kiranya pertanyaan-pertanyaan itu masih sulit untuk diungkap saat ini. Itu karena dokumen yang diserahkan oleh Zaenal, belum dipublikasikan secara massal. Meski begitu, ada beberapa kemungkinan yang terjadi terkait publikasi dokumen-dokumen Zaenal ini.

Pertama, jika terbukti dokumen itu benar, secara politis, Zaenal sebenarnya tidak mendapatkan apa-apa. Recall terhadap dirinya juga tak akan bisa dibatalkan. Pengungkapan fakta yang dilakukannya ketika sudah direcall, turut memberikan image bahwa politisi asal Solo ini hanya merasa sakit hati. Tentu ini akan menimbulkan pandangan kurang etis terhadap dirinya. Namun, namanya pasti akan terus menjadi catatan sejarah perpolitikan Indonesia dan popularitasnya akan membumbung ke angkasa. Kiranya, hanya target inilah yang ingin diperoleh oleh Zaenal.

Kedua, jika terbukti dokumen itu tidak benar, maka Zaenal harus bersiap-siap untuk ”angkat koper” dari geliat perpolitikan nasional. Bisa jadi, ia malah harus menjadi penghuni baru hotel prodeo. Seperti kita tahu, SBY sudah meranah-hukumkan kasus ini dengan melaporkan Zaenal ke Polisi beberapa hari yang lalu.

Ketiga, bagi SBY, jika tuduhan ini benar, sepertinya jabatan Presiden akan sedikit tergoncang. Bisa jadi, kasus ini akan dijadikan alat oleh kelompok tertentu untuk menggalang dukungan melakukan impeachment terhadap dirinya. Dan jika hal ini terjadi, kembali situasi politik nasional akan semrawut karena SBY harus merelakan jabatannya diambil alih oleh Jusuf Kalla hingga 2009 mendatang karena Presiden berhalangan.

Keempat, bagi SBY, jika tuduhan ini tidak benar, maka posisi SBY akan semakin kuat menghadapi pemilu 2009 mendatang. Hal ini terjadi karena kredibilitas SBY kembali teruji. Ia menjadi figur yang selalu lekat dengan fitnah, akan tetapi semuanya hanyalah black campaing untuk politisi asal Pacitan ini. Itu artinya, SBY memang pemimpin yang punya integritas plus popularitas yang cukup tinggi.

Jika melihat kondisi ini, sebenarnya tidak ada untungnya sama sekali buat Zaenal Maarif memunculkan isu perkawinan SBY. Jika tudingannya benar, ia hanya akan mendapatkan popularitas –itu juga masih diiringi label politisi kurang etis karena caranya dengan membuka privasi seseorang, bukan dengan cara yang elegan dan profesional.

Sebaliknya bagi SBY, isu ini akan menambah popularitas dan integritasnya sebagai seorang pemimpin –dengan catatan isu ini terbukti tidak benar. Dengan demikian, akan sulit bagi tokoh lain untuk menandinginya pada pemilu 2009 mendatang. SBY kembali akan bersinar dan menjadi tokoh the special one yang akan sulit untuk disaingi.

Baca Selengkapnya...

Monday, July 30, 2007

Kerjaan Elit Bukan Ngegosip

Kembali, drama perlawanan dengan aksi “gosip-menggosip” dikeluarkan para elit kita. Kali ini, datang dari mantan wakil ketua DPR yang terkena recall, Zaenal Ma’arif. Merasa dizalimi karena presiden menyetujui recall terhadap dirinya, politisi asal PBR ini kemudian ”bernyanyi” dengan syair lagu, ”SBY pernah menikah sebelum masuk Akademi Militer (Akmil) di Magelang sekitar tahun 1968”.

Sebenarnya, kabar ini bukan berita baru. Menjelang pemilu 2004 yang lalu, publik juga pernah dijejali informasi semacam ini. Masyarakat –terutama para ibu-ibu— riuh-rendah menanggapinya. Banyak yang berspekulasi ketika itu, kabar ini dihembuskan untuk mengurangi suara dari ibu-ibu yang notabene banyak dan sangat mengidolakan SBY.

Setelah tiga tahun bergulir, kabar lama ini kembali menghangat. Tudingan bahwa SBY pernah menikah sebelum mempersunting Kristiani Herawati –yang merupakan putri Sarwo Edhi Wibowo— ramai diperguncingkan. Sangat disayangkan apabila kabar ini kembali tidak benar. Itu artinya, kabar ini dihembuskan karena Zaenal Maarif ”hanya” karena merasa sakit hati dengan melakukan fitnah tak berdasar.

Kiranya, harus mulai dikembangkan rasa besar hati dan sikap legowo dikalangan elit kita. Kerjaan politisi DPR bukan untuk membuat gosip, melainkan berdebat persoalan masyarakat. Patut disayangkan apabila politisi sekaliber Zaenal Maarif harus mengumbar fitnah karena merasa sakit hati. Jika memang tujuan menjadi politisi untuk mensejahterkan konstituennya, Zaenal seharusnya lebih mawas diri dan kembali membangun karir politiknya dengan cara-cara yang rasional dan profesional.

Baca Selengkapnya...

Wednesday, July 25, 2007

Quovadis Komitmen Golkar?

Pertemuan demi pertemuan antara Golkar dan PDI-P bak gelombang yang menghenyak jagat perpolitikan nasional. Pertemuan ini berawal di Medan pada 20 Juni 2007, kemudian berlanjut di Palembang pada 24 Juli 2007 dan rencananya, pertemuan ini akan bergeser ke pulau Jawa yang dimulai dari Jawa Barat.

Melihat aksi kedua parpol ini, tentu banyak menimbulkan pertanyaan, ada apa dibalik pertemuan itu?

Secara faktual, pertemuan ini bisa dibilang aneh bin ajaib. Ini tak lain karena posisi Partai Golkar merupakan partainya pemerintah. Sedangkan PDI-P, sudah menancapkan dirinya sebagai partai oposisi. Tentu menjadi sebuah hal yang lucu apabila keduanya bisa bersanding, padahal PDI-P seharusnya menjadi partai yang mengkritik Golkar apabila pemerintahan yang selama ini berjalan dipandang kurang baik.

Ironisnya, koalisi ini dimaksudkan untuk mengatasi keguncangan politik nasional dibidang politik dan keamanan. Taufik Kiemas mengklaim, bahwa adanya tarian cakalele di depan Presiden dan pengibaran bendera RMS di Lapas Abipura, merupakan indikasi ketidakstabilan keamanan politik nasional. Justeru karena klaim itu, PDI-P malah melah menggandeng Partai Golkar. Logika politik yang paradoksal.

Alasan lain, pertemuan ini karena PDI-P dan PG memiliki ideologi yang sama. Ini tentu sangat ironis. Seperti kita tahu, Golkar merupakan pilar utama penyangga pemerintahan Orde Baru selain TNI. Sedangkan PDI-P berdiri karena merasa selalu dideskriditkan oleh Orba –yang didalamnya termasuk juga Golkar. Tentu alasan ini sangat mengada-ada.

Melihat hal ini, sangat patut dipertanyakan terkait komitmen Golkar sebagai partainya pemerintah. Seharusnya, jika terjadi ketidakstabilan keamanan, jalan keluarnya bukan dengan menggandeng partai oposisi. Melainkan melakukan koordinasi dijajaran partai-partai politik gerbong pemerintah. Sangat memalukan apabila ketidakmampuan mengatasi persoalan nasional, kemudian menyandarkannya terhadap partai opoisisi. Memang patut dipertanyakan komitmen Partai Golkar terhadap jalannya pemerintahan yang ada sekarang.

Hemat saya, pertemuan ini tak lain untuk menyongsong pemilu 2009. Kedua partai yang merasa mempunyai suara paling besar, akan sangat diuntungkan jika keduanya saling melengkapi. JK menguasai Indonesia bagian timur dan Megawati sangat populis di pulau Jawa. Tentu kolaborasi keduanya menjanjikan kemenangan yang manis. Hanya, dimanakah komitmen Golkar terhadap pemerintahan sekarang?

Baca Selengkapnya...

Parpol vs Independen

Akhirnya, penantian panjang publik terhadap lahirnya calon pemimpin daerah dan nasional dari kalangan independen datang jua. Harapan ini mencuat setelah Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (23/7) lalu membacakan putusan uji materil terhadap UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam putusannya, MK membolehkan calon independen untuk mengikuti pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Tentu hal ini menjadi terobosan baru dalam perkembangan demokrasi kita. Seleksi pemimpin daerah yang selama ini menjadi kemutlakan monopoli partai politik, harus segera ditinggalkan. Tak akan ada lagi silang-sengkarut perdebatan calon yang harus menyetor “uang tak berjudul” lagi kepada partai politik agar dirinya dapat menjadi calon kepala daerah.

Keputusan MK ini juga mendapatkan apreseasiasi luar biasa dari masyarakat. Hal ini terekam dari hasil survei LSI yang dipublikasikan pada Selasa (24/7). Dari hasil survei, masyarakat yang mendukung calon independen terhadap pemilihan kepala daerah (Pilkada), angkanya di atas 80 persen yakni 82,2 persen untuk dukungan calon independen Gubernur dan 80,4 persen untuk Bupati. Sedangkan yang mendukung calon independen Pilpres angkanya mencapai 75 persen.

Memang ada sedikit ganjalan administratif terkait dengan putusan MK ini, karena tak bisa dengan sendirinya langsung dapat diberlakukan. Ini tak lain karena UU tentang Pemerintahan Daerah harus di amandemen terlebih dahulu atau nantinya harus dibuat peraturan pemerintah secara tersendiri. Padahal, hingga Februari 2008, bakal ada 14 Pilkada Gubernur.

Meski demikian, adanya putusan MK membolehkan calon independen untuk bersaing dalam Pilkada, memberikan angin segar bagi publik ditengah carut-marutnya kinerja dan manajemen partai politik. Karena selama ini, partai politik dalam menjaring calonnya hanya didasarkan pada seberapa tebal kantong sang calon dan bukan seberapa qualified calon yang akan diusung. Patut kita tunggu hasil parpol vs independen ini.

Baca Selengkapnya...

“Senang Melihat Orang Susah, Susah Melihat Orang Senang"

Kemiskinan sangat lekat dengan kekufuran! Maka, jangan menjadi manusia miskin. Begitulah kira-kira isi pesan yang keluar dari manusia suci, Muhammad SAW. Nabi umat muslim ini jauh-jauh hari sudah mengingatkan bahwa keadaan miskin akan menimbulkan sejuta masalah. Tidak mengherankan apabila kemudian semua negara di dunia menjadikan kemiskinan sebagai musuh bersama yang harus dibasmi di muka bumi.

Baru-baru ini, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data yang menunjukan jumlah orang miskin di Indonesia mengalami penurunan sebesar lebih dari satu persen, yaitu dari 39.30 juta orang miskin pada Maret 2006 (17,75%) menjadi 31,17 juta orang pada Maret 2007 (16,58%). Secara data, angka ini cukup menggembirakan karena orang miskin di Indonesia makin berkurang. Akan tetapi, data ini menimbulkan pro-kontra. Banyak kalangan menilai, BPS dalam merilis hasil surveinya ini sudah diintervensi oleh pemerintah. Argumennya, secara faktual, masih banyak terlihat orang yang hidup susah di sana-sini.

Setiap BPS memunculkan data tentang jumlah orang miskin, memang selalu menimbulkan kecurigaan. Jika angkanya mengecewakan pemerintah, maka pemerintah yang meradang. Sementara jika angkanya menunjukan keberhasilan pemerintah, giliran para pengamat dan oposisi yang mencerca.
Sejatinnya data yang dihasilkan lewat metode yang bisa dipertanggung jawabkan adalah suatu acuan yang pastinya berguna. Tinggal bagaimana independensi penghasil data yang menjadi taruhannya.

Meski menggembirakan buat pemerintah, yang perlu digarisbawahi dari hasil survei BPS ini, masih ada 31 Juta orang miskin! Tentu ini bukan angka yang baik untuk di sukuri. 31 juta orang miskin berarti 1/7 penduduk Indonesia hidup menderita. 31 Juta orang yang setiap harinya takkan pernah tau apakah mereka bisa makan hari ini atau tidak. 31 juta orang miskin, adalah tragedi kemanusian yang masih sangat besar jumlahnnya.

Oleh karena itu, masih banyak PR pemerintah yang harus diselesaikan. Kegembiraan dengan menurunnya angka kemiskinan, tentunya sah-sah saja karena ini menjadi indikator keberhasilan pemerintah dalam memberantas kemiskinan. Akan tetapi, angka 31,17 juta bukanlah angka sedikit!

Dan buat kalangan yang meragukan data BPS, seharusnya tidak terlalu reaktif. Karena itu artinya kita menjadi orang yang senang melihat orang susah, dan susah melihat orang senang!

Baca Selengkapnya...

Lagi-lagi Borok DPR

Membaca headline Koran Tempo edisi Jumat, 13 Juli 2007, kembali membuat hati kita semua mendidih. Artikel dengan judul “Hentikan Setoran ke DPR”, kembali menelanjangi betapa buruknya kinerja DPR yang ”terhormat”, --yang memang sudah tercoreng di mata publik.

Lihatlah berbagai survei yang telah dilakukan terkait kinerja DPR. Tidak satupun yang menunjukan hasil positif buat para politisi senayan. LSI, LP3ES, dan lemaga-lembaga survei lainnya menilai kinerja DPR sangat buruk. Berdasarkan hasil polling yang dilakukan oleh media massa, juga tidak menujukkan hasil berbeda.

Penilaian itu kiranya wajar bila menilik kinerja DPR. Salah satunya seperti ”menerima setoran” sebagaimana di ulas oleh Koran Tempo. DPR yang memang seharusnya melakukan tugas legislasi sebagai salah satu kewajibannya, meski meminta ”sumbangan” lagi kepada pemerintah demi menjalankan tugasnya itu. Parahnya, hal itu dianggap sesuatu yang biasa! Padahal, anggaran untuk tugas legislasi sudah disiapkan dalam APBN.

Ironisnya, kinerja DPR dibidang legislasi ini malah jauh panggang daripada api. Sebagai contoh, pada tahun 2005, DPR menargetkan 55 UU dapat diselesaikan. Akan tetapi pada realisasinya, sampai penutupan sidang paripurna 30 September 2005, hanya 10 UU yang bisa disetujui atau hanya tercapai 18 persen dari target. Dari 10 UU itu pun hanya 2 UU yang dibuat oleh DPR atas dasar inisiatif yaitu UU mengenai Pengadilan Tinggi dan Olahraga. Melihat capaian UU selama tahun 2005, maka sangatlah tepat apabila kinerja DPR dalam melaksanakan fungsi legislasi dinilai sangat buruk.

Yang menjadikannya semakin paradoks, DPR malah sibuk mengurusi hal-hal yang tidak substansial. Mempermasalahkan ketidakhadiran Presiden dalam sidang interpelasi dan terus-menerus mencari kesalahan pemerintah. Memang tidak di haramkan, karena salah satu tugas DPR adalah menjadi lembaga kontrol pemerintah. Akan tetapi, benahilah kinerja DPR dibidang legislasi dulu sebelum menggunakan hak-haknya yang lain. Yang harus dijadikan catatan, ”jangan lagi minta-minta setoran untuk menyetujui atau membuat UU”, karena itu sangat memalukan!

Baca Selengkapnya...

Jangan Korbankan Indonesia!!!

Setelah sekian lama tak lagi dihangatkan oleh isu separatisme, beberapa pekan terakhir, Indonesia kembali diguncang oleh tiga peristiwa beruntun berbau disintegrasi. Kisah berseri ini diawali oleh insiden pegibaran bendera Republik Maluku Selata (RMS) lengkap dengan tarian cakalele (tarian perang) pada 29 Juni 2007. Ironisnya, pengibaran yang dilakukan aktivis RMS ini langsung dihadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kala memperingati Hari Keluarga Nasional (Harganas). Cukup mencengangkan!

Peristiwa kedua, datang dua hari berselang. Sekelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang sedang mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Abepura, mengibarkan bendera Bintang Kejora pada Minggu 1 Juli 2007. Mereka melakukannya untuk merayakan HUT OPM (1 Juli 1969-2007). Ini juga cukup mencengangkan!

Peristiwa terakhir, terjadi seminggu menjelang, tepatnya pada tanggal 7 Juli 2007. Pada tanggal ini, Partai GAM dideklarasikan sebagai partai lokal di Aceh. Yang menjadi persoalan, partai GAM menggunakan atribut bendera yang sama persis dengan bendera GAM kala masih menjadi gerilyawan. Sontak, meski kata GAM bukan diartikan sebagai Gerakan Aceh Merdeka— deklarasi ini membuat ”gerah” seluruh elit politik dan masyarakat Indonesia.

Apa tafsir politik dari kejadian ini? Hemat saya, setidaknya ada tiga tafsir yang bisa kita baca. Pertama, aksi separatisme masih sangat kuat dalam menggalang dukugan, baik dari dalam maupun luar negeri, untuk dapat terus eksis bumi nusantara. Ini harus diwaspadai!

Kedua, ada dukungan yang terus mengalir dari dalam negeri untuk membuat mereka tetap ”hidup”. Tafsir ini didasarkan pada fakta adanya kejadian pengibaran bendera yang justeru ada didalam lingkaran pemerintahan sendiri –pengibaran bendera RMS dihadapan Presiden dan OPM di dalam Lapas.

Ketiga, ada pihak ketiga yang ingin menumpang secara gratis sebagai komoditas menghadapi pemilu 2009. Targetnya jelas, mengurangi popularitas SBY. Seperti kita tahu, keberhasilan terbesar SBY selama memerintah –yang ditunjukkan dari hasil berbagai survey—adalah bidang Polkam. Dengan tiga deret kejadian ini, tentu dapat meminimalisasi kepopuleran SBY dibidang Polkam.

Tentunya sah-sah saja menggunakan hal-hal di atas untuk memenangkan pemilu. Akan tetapi, komoditas yang digunakan seharusnya masih dalam batas yang wajar. Jangan sampai, hanya karena ingin cepat merengkuh kekuasaan, akan mengorbankan kerangka Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI). Sebaiknya kita melakukan evaluasi dan instriopeksi diri.

Baca Selengkapnya...

Ironi Interpelasi

Tak kenal jera, apalagi lelah, politisi DPR kembali mengusung hak interpelasinya. Setelah gagal menghadirkan Presiden terkait interpelasi dukungan Indonesia terhadap Resolusi 1747 Dewan Keamanan PBB, kini politisi Senayan mengusung interpelasi yang bersifat lokal, Lapindo. Untuk interpelasi kali ini, para pengusul yang berjumlah 139 tidak akan mempermasalahkan Presiden hadir atau tidak. Kenapa interpelasi begitu marak mengalir?

Jika dicermati secara seksama, setidaknya ada tiga tafsir politik terkait interpelasi Lapindo. Pertama, DPR ingin membuka front yang lebih luas dengan pemerintah melalui interpelasi ini. Seperti kita tahu, sikap kritis DPR tentang masalah luar negeri, baik interpelasi Iran, perjanjian ekstradisi dan pertahanan dengan Singapura, serta masalah blok Ambalat belum dapat menimbulkan gejolak politik yang serius.

Kedua, DPR sedang mengalihkan isu-isu menyangkut kelambanan kinerja DPR sendiri dalam bidang legislasi. Seperti kita tahu, DPR kini sedang dihadapkan pada PR berat untuk menyelesaikan Paket UU Politik. Dengan perhatian berlebih kepada kinerja pemerintah (fungsi pengawasan), tentunya akan menyita perhatian publik dan pers ketimbang menilik kinerja DPR sendiri.

Ketiga, DPR sedang mengumbar isi peti persoalan bangsa sebelum pemilu 2009. targetnya jelas, mengarahkan semua persoalan bangsa kepada sosok Susilo Bambang Yudhoyono. Seperti diyakini banyak pengamat, pada pemilu 2009 nanti, SBY diyakini masih memegang kendali penuh. Oleh karenanya perlu “amunisi” tepat untuk membuatnya “meredup”.

Padahal, kalau mau objektif, sebetulnya DPR sudah harus terlibat sejak awal lumpur menyembur, yakni dengan melakukan pengawasan atas kinerja pemerintah dan lembaga-lembaga nondepartemen lain dalam sidang-sidang komisi dan panitia anggaran.

DPR memiliki hak dibidang legislasi, pengawasan, dan anggaran sehingga tidak perlu harus membawa ke forum politik paripurna seperti hak interpelasi. Kalaupun DPR membawa ke forum sepenting itu, tentu yang harus dilakukan adalah mengevaluasi seluruh knerja anggota dan alat kelengkapan DPR lain, termasuk yang berhubungan dengan kinerja lembaga-lembaga pemerintahan daerah. Kecuali memang DPR sedang menurunkan wibawa hak interpelasi sebagai hak yang biasa, tidak lagi prestisius, istimewa, apalagi sakral. Sungguh sebuah Ironi!

Baca Selengkapnya...

DKP dan Kejujuran Amin

“Lah karam maka bertimba” atau “Setelah mendapat celaka, barulah seseorang akan ingat.” Itulah peribahasa penggambaran sifat harfiah manusia. Ketika masih jaya, manusia tak akan pernah ingat kesalahannya. Namun ketika sudah celaka, baru dia mengakui dan instropeksi diri. Uniknya, manusia tidak akan pernah mau celaka sendirian. Dia akan berusaha mencari kambing hitam atau mencari teman untuk sama-sama celaka.

Peribahasa ini seiring sejalan dengan kasus aliran dana DKP yang telah mengantarkan Rokhmin Dahuri menjadi tersangka. Menteri masa pemerintahan Megawati inipun “bernyanyi” membeberkan nama-nama penerima aliran dana “haram” itu. Tak tanggung-tanggung Bapak Reformasi Amin Rais, adalah salah satu penadahnya. Dan Amin sendiri kemudian mengakui bahwa pihaknya meneria aliran dana itu senilai Rp. 400 juta.

Yang mengherankan, karena testimonialnya itu, berbagai kalangan masyarakat awam ‘memuja-muji’ Amin bak “pahlawan”. Keberaniannya mengakuipengamat, politisi dan kesalahan, dipandang sebuah prestasi. Padahal, bukankah pengakuan Amin ini merupakan borok yang memalukan? Bukankah statusnya sebagai bapak reformasi, tidak sepatutnya menerima dana negara untuk kepentingan kampanye? Bukankah seharusnya ia mengungkap hal ini jauh-jauh hari setelah pemilu selesai, atau pada saat pemilu berlangsung sebagai pelanggaran pemilu?

Dalam konteks itu, kejujuran Amin ini harus dimaknai proporsional. Artinya, kejujuran ini lebih dilatarbelakangi oleh keterpaksaan daripada niat baik menguak fakta yang sesungguhnya. Apalagi upayanya kembali menyinggung-nyinggung soal dana asing yang diterima capres-cawapres pemilu 2004 lalu, bisa dimaknai sebagai usaha “mencari teman celaka” seperti peribahasa di atas. Sangat disayangkan apabila ikon reformasi ini mencari popularitas dari hal yang tidak sewajarnya.

Baca Selengkapnya...

Monday, July 23, 2007

Belajar dari Bola

Timijo_2 Sangat membanggakan! Itulah mungkin kata pembuka paling tepat guna mengomentari keikutsertaan Indonesia di pentas Piala Asia 2007. Meski sempat sedikit tercoreng sebagai penyelenggara akibat insiden mati lampu kala laga Arab Saudi vs Korea Selatan, namun insiden itu seolah tertutup dengan prestasi dan perjuangan Timnas yang luar biasa!

Laga pertama dilalui Indonesia dengan manis kala menghempaskan Bahrain 2 : 1 yang notabene peringkat empat kualifikasi Piala Dunia 2006 lalu. Dilaga kedua,

Indonesia

hampir saja meraih satu poin dari Arab Saudi seandainya tak ada gol pada saat injury time. Dan dipertandingan ketiga, meski menyerah 1 : 0 dari Korea Selatan, standing ovation tetap patut diberikan melihat perjuangan Bambang Pamungkas dkk. yang tak kenal lelah!

Diluar itu semua, ada satu catatan terpenting yang mungkin wajib ditulis dalam sejarah persepakbolaan Indonesia, aksi simpatik penggila bola kita!

Menang_3 Setidaknya, ada empat catatan membanggakan dari suporter kita. Pertama, mungkin hanya saat inilah jiwa nasionalisme masyarakat Indonesia muncul dengan sempurna seusai perang kemerdekaan melawan penjajah. Semua orang terintegrasi dalam satu kata. Perbedaan ras, etnis, agama, kelas sosial tak lagi menjadi kendala. Semua sepakat untuk menyerukan satu ucapan, INDONESIA!

Kedua, citra penggila bola (gibol) Indonesia yang ”rusuh”, kontan hilang kala menyaksikan laga Indonesia vs Arab Saudi. Meski kalah, pemain kedua belas dengan jumlah hampir 100 ribu ini tak kemudian berprilaku anarkis. Meski ”dikerjai” wasit habis-habisan, mereka tetap menerimanya dengan jiwa sportivitas yang tinggi. Protes memang diayangkan, akan tetapi masih dalam batas yang cukup wajar.

Ketiga, Indonesia memang ”biangnya bola” di kawasan Asia. Fanatisme suporter Indonesia memang lain dari negara lainnya. Penonton yang memadati stadion utama Gelora Bung Karno pada laga Arab vs Indonesia, adalah rekor penonton terbanyak dipentas paling akbar di benua ras kuning. Dengan jumlah 88 ribu penonton yang hadir, GBK mencatatkan diri sebagai stadion yang paling banyak menampung penonton selama sejarah pentas Piala Asia.

Spirit Keempat, Piala Asia telah memberikan pelajaran cukup berharga guna mengontrol fanatisme suporter Indonesia dalam mendukung tim kesayangannya. Menang adalah harga mati buat timnas Indonesia. Akan tetapi bukan berarti kemutlakan itu menjadi alasan untuk berbuat yang tak semestinya. Kemarahan, keresahan, kesedihan dan kepedihan tatkala kalah, tak kemudian dilampiaskan dengan amarah. Sebaliknya, kekalahan dijadikan cambuk untuk melangkah dengan lebih baik dan lebih gagah!

Yang menjadi catatan akhir, kita bisa bersatu dalam bola. Seharusnya, kita juga bisa bersatu dalam segi kehidupan bernegara lainnya. Mari kita belajar dari Sepak Bola

Baca Selengkapnya...

Wednesday, July 11, 2007

Lolos, Bisa!

Lama tak mengutak-atik blog, hari ini tanganku gatal untuk manarikan kembali jariku di atas keyboard untuk mengisinya. Tak lain, Timnas Indonesialah yang mendorongku untuk melakukannya. Usai menyaksikan secara langsung laga Indonesia vs Bahrain di stadion GBUK, darahku mengalir deras, dadaku berdegup kencang dan emosiku berada dititim puncak. Aku salut..!!! ternyata, dengan semangat juang membumbung dan kerja keras tak kenal lelah, telah membuahkan hasil yang cukup manis bagi Indonesia.

Bangga...??? pasti iya.!! Sangat manis...??? Tentu saja..!!! Indonesia bisa mengalahkan Bahrain 2:1 yang notabene urutan empat babak kualifikasi piala dunia 2006 lalu. Sebuah prestasi yang cukup menyejukkan di tengah dahaga dan kehausanku melihat prestasi timnas yang selama ini masih seperti tikus melihat kucing.

Untuk sementara, saya berlega dahulu. hanya, hadangan di depan masih cukup berat. masih ada Arab saudi dan Korea Selatan yang siap menjadi batu sandungan.

Akan tetapi, dengan semangat nasionalisme dan kerja keras, saya yakin timnas akan lolos untuk yang pertama kalinya dalam sejarah selama keikutsertaanya dalam pagelaran Piala Asia. Lolos...??? Pasti Bisa..!!!! darahku dan tulangkua yang berwarna merah dan putih, akan selalu mengiringi LANGKAHMU TIMNAS..!!!! BERJUANGLAH SAMPAI DARAH MENETES DARI PELUHMU...!!!!!

Baca Selengkapnya...