“Lah karam maka bertimba” atau “Setelah mendapat celaka, barulah seseorang akan ingat.” Itulah peribahasa penggambaran sifat harfiah manusia. Ketika masih jaya, manusia tak akan pernah ingat kesalahannya. Namun ketika sudah celaka, baru dia mengakui dan instropeksi diri. Uniknya, manusia tidak akan pernah mau celaka sendirian. Dia akan berusaha mencari kambing hitam atau mencari teman untuk sama-sama celaka.
Peribahasa ini seiring sejalan dengan kasus aliran dana DKP yang telah mengantarkan Rokhmin Dahuri menjadi tersangka. Menteri masa pemerintahan Megawati inipun “bernyanyi” membeberkan nama-nama penerima aliran dana “haram” itu. Tak tanggung-tanggung Bapak Reformasi Amin Rais, adalah salah satu penadahnya. Dan Amin sendiri kemudian mengakui bahwa pihaknya meneria aliran dana itu senilai Rp. 400 juta.
Yang mengherankan, karena testimonialnya itu, berbagai kalangan masyarakat awam ‘memuja-muji’ Amin bak “pahlawan”. Keberaniannya mengakuipengamat, politisi dan kesalahan, dipandang sebuah prestasi. Padahal, bukankah pengakuan Amin ini merupakan borok yang memalukan? Bukankah statusnya sebagai bapak reformasi, tidak sepatutnya menerima dana negara untuk kepentingan kampanye? Bukankah seharusnya ia mengungkap hal ini jauh-jauh hari setelah pemilu selesai, atau pada saat pemilu berlangsung sebagai pelanggaran pemilu?
Dalam konteks itu, kejujuran Amin ini harus dimaknai proporsional. Artinya, kejujuran ini lebih dilatarbelakangi oleh keterpaksaan daripada niat baik menguak fakta yang sesungguhnya. Apalagi upayanya kembali menyinggung-nyinggung soal dana asing yang diterima capres-cawapres pemilu 2004 lalu, bisa dimaknai sebagai usaha “mencari teman celaka” seperti peribahasa di atas. Sangat disayangkan apabila ikon reformasi ini mencari popularitas dari hal yang tidak sewajarnya.
Peribahasa ini seiring sejalan dengan kasus aliran dana DKP yang telah mengantarkan Rokhmin Dahuri menjadi tersangka. Menteri masa pemerintahan Megawati inipun “bernyanyi” membeberkan nama-nama penerima aliran dana “haram” itu. Tak tanggung-tanggung Bapak Reformasi Amin Rais, adalah salah satu penadahnya. Dan Amin sendiri kemudian mengakui bahwa pihaknya meneria aliran dana itu senilai Rp. 400 juta.
Yang mengherankan, karena testimonialnya itu, berbagai kalangan masyarakat awam ‘memuja-muji’ Amin bak “pahlawan”. Keberaniannya mengakuipengamat, politisi dan kesalahan, dipandang sebuah prestasi. Padahal, bukankah pengakuan Amin ini merupakan borok yang memalukan? Bukankah statusnya sebagai bapak reformasi, tidak sepatutnya menerima dana negara untuk kepentingan kampanye? Bukankah seharusnya ia mengungkap hal ini jauh-jauh hari setelah pemilu selesai, atau pada saat pemilu berlangsung sebagai pelanggaran pemilu?
Dalam konteks itu, kejujuran Amin ini harus dimaknai proporsional. Artinya, kejujuran ini lebih dilatarbelakangi oleh keterpaksaan daripada niat baik menguak fakta yang sesungguhnya. Apalagi upayanya kembali menyinggung-nyinggung soal dana asing yang diterima capres-cawapres pemilu 2004 lalu, bisa dimaknai sebagai usaha “mencari teman celaka” seperti peribahasa di atas. Sangat disayangkan apabila ikon reformasi ini mencari popularitas dari hal yang tidak sewajarnya.
No comments:
Post a Comment