Saturday, March 31, 2012

Harga BBM dan Ambivalensi Oposisi

Oleh : Abdul Hakim MS


Jurnal Nasional, 31 Maret 2012

POLEMIK terkait rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi April besok terus saja menggelinding. Sejauh ini, riak-riak kecil dari kelompok yang menetang rencana tersebut bersemburan. Ada yang mewujudkannya dengan aksi demonstrasi, beropini di media massa, hingga pemasangan spanduk masif di beberapa jalanan Ibu Kota.

Sejatinya, kenaikan harga BBM memang tak terelakkan. Ketegangan antara Iran dan Amerika Serikat di Selat Hormuz telah menjadi pemicu utama meroketnya harga minyak dunia. Akibat pertikaian kedua negara tersebut, harga minyak global sampai menembus US$120 per barel. Bahkan, salah satu pejabat senior perminyakan Kuwait, Ali al-Hajeri, menyatakan, jika ketegangan Iran-AS tak berhenti dalam waktu dekat, harga minyak diprediksi bakal meroket hingga US$160 per barel.

Seiring dengan lompatan harga minyak dunia tersebut, pemerintah kelimpungan mengencangkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2012. Itu dikarenakan, asumsi Indonesia Crude Price (ICP) dalam APBN tahun 2012 hanya sebesar US$90 per barel. Untuk mempersempit gap yang ada, pilihan rasional satu-satunya adalah dengan menaikkan harga BBM.

Adanya gap yang curam antara ICP dan harga minyak dunia sebenarnya sudah terjadi setahun lalu. Akibatnya, pemerintah harus menyediakan dana subsidi BBM sebesar Rp165,2 triliun pada APBN tahun 2011. Padahal, alokasi dana untuk subsidi BBM pada tahun tersebut hanya sebesar Rp129,7 triliun. Sementara pada APBN tahun 2012, pemerintah berencana hanya akan memberikan anggaran dana untuk subsidi BBM sebesar Rp123,6 triliun. Namun, lagi-lagi, karena harga minyak dunia tak kunjung mengempis, pemerintah diperkirakan akan mengeluarkan dana hingga Rp178,7 triliun.

Celakanya, subsidi yang sangat besar itu ternyata tak sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat miskin. Merujuk data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), ternyata hampir 50 persen orang kaya di indonesia yang sebenarnya menikmati 90 persen subsidi BBM. Sedangkan orang miskin yang mengenyamnya hanya sekitar empat persen.

Ambivalensi Oposisi

Merujuk kondisi di atas, tidak mengherankan apabila kemudian Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan yang menggariskan diri sebagai partai oposisi, mendorong pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Saran ini ia kemukakan Januari 2012 yang lalu kala harga minyak dunia belum menyentuh level US$120 per barel. Menurut putri Bung Karno ini, konflik AS-Iran yang tak kunjung mereda di Selat Hormuz akan terus menjadikan ketidakpastian harga minyak global. (tempo.co, Selasa, 12 Januari 2012)

Pengalaman sebagai presiden yang juga pernah dengan terpaksa menaikkan harga BBM karena lilitan masalah APBN, menyebabkan Megawati memahami betul apa yang sedang dihadapi oleh Presiden SBY. Dorongan agar pemerintah menaikkan harga BBM adalah solusi realistis untuk keluar dari jeratan devisit anggaran.

Aneh, apa yang diinginkan Megawati tiga bulan lalu itu berubah ketika pemerintah betul-betul akan menaikkan harga BBM. PDI Perjuangan malah menolak keras dengan berbagai cara, mulai dari pernyataan keras di media massa hingga pemajangan spanduk di jalanan. PDI Perjuangan seolah ingin menegaskan bahwa partainya adalah pendukung wong cilik.

Yang lebih menarik lagi, upaya penolakan tersebut tidak cukup hanya dengan jalur resmi, yakni melalui DPR yang memiliki akses langsung untuk membahas rencana kenaikan ini dengan pemerintah. Partai "banteng moncong putih" ini juga berupaya menggunakan "parlemen jalanan" dengan cara memprovokasi masyarakat melalui pemasangan spanduk bertuliskan penentangan terhadap kenaikan harga BBM.

Memang, kenaikan harga BBM ini merupakan isu seksi yang bisa menuai simpati publik. Akan tetapi, hal itu seyogianya tak kemudian membuat sikap berubah-ubah. Kala PDI Perjuangan telah menentukan sikap mendukung kenaikan, jangan kemudian berubah hanya karena ingin menuai simpati rakyat.

Politisasi BBM

Ambivalensi PDI Perjuangan dalam menyikapi kenaikan harga BBM ini tentu menimbulkan tanda tanya besar: apakah PDI Perjuangan hanya menjadikannya sebagai ajang untuk politik pencitraan? Apakah PDI Perjuangan yang menggariskan diri sebagai opisisi menggunakan isu kenaikan harga BBM agar bisa berbeda dengan pemerintah? Ataukah sikap mendua ini untuk kepentingan penegasan kembali bahwa mereka adalah partainya wong cilik?

Jika pertanyaan-pertanyaan itu benar, maka sikap penolakan yang dilakukan PDI Perjuangan tak lebih hanya sebagai wujud politisasi. Sikap ambivalensi bisa ditafsirkan bahwa elite PDI Perjuangan hanya menjadikan isu-isu kesulitan hidup rakyat sehari-hari untuk memenuhi hasrat politik jangka pendek mereka.

Dalam situasi seperti ini, tentu publik dituntut lebih cermat dalam memilah-milah mana elite politik yang benar-benar berjuang untuk rakyat dan mana elite politik yang berjuang untuk kepentingan politik mereka sendiri. Sudah saatnya publik mengetahui bahwa sikap resisten terhadap pemerintah bukanlah ukuran valid guna menilai bahwa elite politik bersangkutan berjuang bagi kepentingan masyarakat luas. Apalagi sikap resisten tersebut tak disertai perilaku konsisten, seperti terjadi di PDI Perjuangan.

Idealnya, dalam menyikapi kenaikan harga BBM, hendaklah partai politik bersikap ajek. Jika telah memandang kenaikan harga BBM sebagai sebuah keniscayaan, janganlah kemudian menelan ludah sendiri. Sudah tak zaman lagi politik kita disertai sikap "pagi tempe sore kedelai", karena hanya menguatkan dugaan adanya politisasi semata.

Karena itu, ada baiknya para politisi mulai belajar bersikap elegan. Sudah waktunya partai politik memunculkan diri sebagai wadah yang memiliki karakter. Sikap ambivalens hanya akan menghambat perkembangan demokrasi kita yang sudah mulai mapan.

Baca Selengkapnya...

Monday, March 26, 2012

BBM dan Ambivalensi Partai Politik

Oleh : Abdul Hakim MS

Harian Detik, 22 Maret 2012

Rencana pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minya (BBM) bersubsidi pada April 2012 mendatang tak henti-hentinya menuai kontroversi. Banyak kalangan yang mengatakan bahwa kenaikan harga BBM adalah sesuatu yang tak terelakkan. Namun tak sedikit pula yang menyebut bahwa kenaikan harga BBM adalah sesuatu yang masih bisa ditunda.

Argumentasi pemerintah dan kalangan yang mendukung kenaikan harga BBM adalah adanya fakta fluktuatifnya harga minyak dunia yang tak terkendali. Saat ini, harga minyak dunia sudah menembus US$ 120 per barel. Lonjakan tersebut membuat pemerintah kelimpungan mengencangkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012. Sebagai acuan, pada APBN tahun 2011 misalnya, pemerintah harus menyediakan dana subsidi BBM sebesar Rp. 165.2 triliun. Padahal, dalam rencana APBN 2011, alokasi dana untuk subsidi BBM hanya sebesar Rp. 129.7 triliun. Sementara pada APBN 2012, pemerintah telah mempersiapkan dana sebesar Rp 123,6 triliun. Namun akibat kenaikan harga minyak dunia, pemerintah diperkirakan harus mengeluarkan dana sebesar Rp 178,7 triliun.

Alasan lain, subsidi yang sebenarnya ditujukan untuk rakyat miskin, ternyata tidak sepenuhnya tepat sasaran. Merujuk data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), hampir 50 persen orang kaya di indonesia yang sebenarnya menikmati 90 persen subsidi BBM. Sedangkan orang miskin yang menikmatinya hanya sekita 4 persen saja.

Disudut yang lain, beberapa kelompok yang menolak kenaikan harga BBM berargumentasi bahwa sebetulnya RAPBN 2012 masih aman meskipun anggaran subsidi BBM membengkak. Dalam hitungan kalangan ini, pendapatan negara dari sektor lain pada 2012 mengalami peningkatan, misalnya dari sektor penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan Pajak Perdagangan Internasional. Pendapatan dari kedua sektor itu sebetulnya cukup untuk menutup lubang pembengkakan APBN 2012 akibat kenaikan harga BBM.

Ambivalen

Selain perdebatan di atas, hal menarik lainnya yang perlu dicermati terkait rencana kenaikan harga BBM adalah adanya sikap ambivalen dari kalangan partai politik, baik parpol yang tergabung dalam gerbong koalisi pendukung pemerintah maupun parpol yang “menggariskan” diri sebagai oposisi.

Dalam gerbong parpol pendukung pemerintah (Partai Demokrat, PKS, Partai Golkar, PAN, PKB, dan PPP), sikap terhadap kenaikan harga BBM terbelah dua. PKS menentang keras kebijakan pemerintah untuk menaikkan BBM. Sementara Partai Golkar dan PPP masih bersikap abu-abu. Hanya tiga partai koalisi (Partai Demokrat, PAN, dan PKB) yang bersikap bulat mendukung kenaikan harga BBM.

Yang menjadi persoalan, sikap PKS yang dengan keras menentang kebijakan pemerintah, hanya ditunjukkan oleh perilaku verbal di media massa. Sikap itu tak dibarengi dengan langkah konkrit, misalnya jika pemerintah tetap akan menaikkan harga BBM, maka PKS akan menarik semua menterinya di pemerintahan. Namun hal itu tak dilakukan. Sehingga langkah PKS ini bisa ditafsirkan sebagai bentuk ambivalensi. Disatu sisi PKS ingin merebut hati masyarakat dengan menyatakan menolak kenaikan harga BBM, disisi lain PKS tetap mau bergabung dalam koalisi pendukung pemerintah agar bisa terus mengumpulkan amunisi untuk menghadapi pemilu berikutnya.

Sementara sikap Partai Golkar dan PPP yang masih abu-abu juga merupakan bentuk ambivalensi. Disatu sisi keduanya tak mau menuai citra buruk akibat kenaikan harga BBM, namun disisi lainnya, meski tak mendukung kenaikan harga BBM, keduanya masih aman dalam gerbong pemerintahan.

Yang lebih unik lagi adalah sikap ambivalen dari partai yang menggariskan diri sebagai oposisi, PDI Perjuangan. Pada Januari 2012, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri mendorong pemerintah agar menaikkan harga BBM. Usul ini ia kemukakan berkaitan dengan ketegangan yang terjadi antara Iran dan Amerika Serikat di Selat Hormuz. Namun ketika pemerintah betul-betul akan menaikkan harga BBM, dengan lantang para politisi PDI Perjuangan menolak rencana ini. Alasan penentangan itu merujuk data bahwa pendapatan negara pada 2012 dari sektor lain terus meningkat, seperti sudah dibahas di awal tulisan ini.

Politisasi BBM

Sikap ambivalen yang ditunjukkan oleh partai politik ini tentu bisa dimaknai sebagai wujud politisasi kenaikan harga BBM. Khusus untuk partai yang tergabung dalam koalisi pendukung pemerintah, publik tentu patut tercengang melihat manuver mereka. Bukan membantu menyosialisasikan kenapa harga BBM harus naik, sejumlah partai koalisi justru melakukan serangan politik terhadap pemerintah.

Secara etika, apa yang dilakukan oleh parpol koalisi dengan menyerang pemerintah adalah perilaku yang tidak patut. Semestinya, ketika partai politik masih mau bergabung dengan gerbong koalisi pemerintah, mereka harus bersikap bulat mendukung kebijakan pemerintah. Akan tetapi ketika sudah tak sependapat lagi, seharusnya mereka rela hengkang dari koalisi sebagai bentuk ketagasan sikap.

Presiden SBY, yang menjadi kepala gerbong koalisi partai politik pendukung pemerintah, sebetulnya sudah kerap kali mengeluhkan dan menyentil kenakalan perilaku anggota koalisi. Saat memberi pembekalan dan arahan kepada para kader PD di kediamannya di Puri Cikeas beberapa waktu yang lalu, SBY pun kembali mengeluhkan sikap anggota koalisi yang tak pantas itu.

Sikap ambivalen dari anggota koalisi ini, tentunya hanya akan menimbulkan rusuh koalisi yang tidak sehat. Dalam jangka panjang, hal ini tentu akan sangat merugikan kehidupan demokrasi. Lebih jauh, masa depan sistem presidensial yang mendambakan adanya efektifitas pemerintahan akan lebih lama mewujud. Karena sikap ambivalen hanya akan melahirkan rusuh politik yang tak henti-henti.

Oleh karena itu, ada baiknya para politisi mulai belajar bersikap elegan. Sudah waktunya partai politik memunculkan diri sebagai wadah yang memiliki karakter. Sudah tidak zaman dua sikap yang bertentangan dipelihara, “esok dele sore tempe”.

Baca Selengkapnya...

Monday, March 19, 2012

Ekonomi dalam Jerat “Bising Politik”

Oleh : Abdul Hakim MS


Republika, 19 Maret 2012

Presiden SBY pernah mengatakan, pertumbuhan ekonomi yang sudah menyentuh angka 6,5 persen saat ini, belumlah cukup untuk menjadikan Indonesia sebagai negara industri di tahun 2025. Untuk menuju ke sana, Indonesia mesti mampu menggenjot pertumbuhan ekonomi hingga 7-8 persen. Itu sebabnya, semua komponen yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi harus dibangun, dikembangkan, dan ditingkatkan.

Mimpi Presiden SBY tersebut sebetulnya tak berlebihan jika merujuk tren positif ekonomi makro Indonesia saat ini. Pada 2010, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6.1 persen. Kemudian naik menjadi 6.5 persen pada 2011. Tak mengherankan bila kemudian pemerintah optimis pertumbuhan ekonomi dalam 5–10 tahun mendatang bisa menembus angka tujuh sampai delapan persen. Sehingga target menjadi developed country pada 2025 bisa direalisasikan. Pertanyaannya, mampukah itu diwujudkan?

Jika hanya berkaca pada angka statistik seperti disebutkan di atas, target pemerintah sepertinya mudah dilakukan. Akan tetapi, saat ini banyak tantangan berat yang menghadang. Salah satunya muncul dari adanya kecenderungan tidak kondusifnya situasi politik nasional.

Padahal, untuk menaikkan laju pertumbuhan ekonomi, pembangunan dibidang politik mutlak dilakukan. Sekjen PBB untuk program tujuan pembangunan Milenium, Jeffrey D sachs, mengatakan, maju tidaknya ekonomi sebuah negara tergantung iklim politik. Jika iklim politiknya stabil, maka pembangunan ekonomi akan berjalan baik. Dalam teori politik, pendahuluan pembangunan politik dari pada ekonomi diistilahkan “Politik Sebagai Panglima”.

Naasnya, makin dekatnya pemilu 2014, kondisi politik nasional saat ini kurang kondusif. “Pertikaian” strategi pemenangan antar elit partai politik guna meraih kekuasaan kerap terjadi. Tentu jika hal itu terus berlanjut tanpa kontrol, akan berimplikasi pada terjadinya “bising politik” yang berujung pada terganggunya proses pembangunan ekonomi.

Rentetan “bising politik” di tanah air telah muncul sejak akhir 2009 lalu. Kasus skandal Bank Century menjadi konsumsi politik yang cukup sengit di DPR. Ending polemik saat itu adalah opsi menyalahkan kebijakan pemerintah. Meski melalui perdebatan dramatis yang cukup panjang bak sinetron, namun kasus Bank Century akhirnya melempen di tengah jalan. Kasus ini hanya berhasil ”mengusir” mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani dari tanah air.

Tak berselang lama, muncul kebisingan politik lain, yakni deklarasi tokoh lintas agama terkait ”kebohongan rezim Presiden SBY”. Gaduh ini kemudian disambung kasus Gayus H. Tambunan. ”Nyanyian” Gayus bahwa yang merekayasa kasusnya adalah tiga anggota Satgas Mafia Hukum, mendapat sambutan langkah politik kalangan DPR dengan pengajuan hak angket, meski kemudian tak sempat memanas.

Puncak kebisingan kemudian muncul dari kasus mantan bendahara Umum Partai Demokrat, M. Nazaruddin. Hingga kini, kasus ini masih menjadi “menu hangat” politisi untuk saling serang dan menjadi polemik hebat di media massa. Bahkan menjadi laporan berseri.

Celakanya, deretan daftar “bising politik” yang telah disebut di atas tak akan berhenti dalam waktu dekat. Rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi serta program kompensasi kenaikan BBM dalam bentuk Bantauan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), saat ini telah menjadi “arena baru pertempuran” para pemburu kuasa. Para politisi silih-berganti tampil untuk memoles citra. Tujuannya jelas, menggamit suara pemilih pada pemilu 2014.

Kita memang tak bisa menyalahkan adanya “perang strategi” yang dilakukan para politisi. Hal ini muncul sebagai implikasi pilihan kita menggunakan model pemerintahan demokrasi langsung. Mau tak mau, jika ingin mendapatkan suara, partai politik harus berdagang. Namun setidaknya kita bisa berharap dan menghimbau, konsep dagang yang diusung bukan strategi penggerogotan lawan yang bisa menuai “bising politik” yang lebih besar. Karena jika merujuk pada pandangan jeffrey, politik adalah panglima dalam pembangunan sebuah negara.

Jika kebisingan politik ini terus berlanjut, harga yang harus kita bayar cukup jelas. Investor menjadi tak nyaman berusaha di negeri ini. Laju perekonomian menjadi terhambat. Hal ini tentu dapat mengerem tren positif ekonomi yang sudah berjalan dengan baik, sehingga mimpim menjadi negara maju pada 2025 hanya angan-angan belaka.

Baca Selengkapnya...

Wednesday, March 07, 2012

BLT dan Opsi Berbagi Beban

Oleh : Abdul Hakim MS

Investor Daily, Selasa, 6 Maret 2012

Harga minyak dunia yang terus melambung hingga mencapai US$ 120 per barel telah mendorong pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Sebuah pilihan sulit, tapi tetap harus diambil demi APBN.

Dua opsi sudah diajukan pemerintah kepada DPR untuk segera dibahas bersama dalam APBNP 2012. Opsi pertama, yakni menaikkan harga BBM bersubsidi premium dan solar sebesar Rp 1.500 per liter mulai 1 April mendatang.

Opsi kedua, pemerintah akan memberikan subsidi konstan (tetap) BBM bersubsidi premium dan solar sebesar Rp 2.000. Artinya, berapa pun harga keekonomian BBM bersubsidi yang ada di pasaran, pemerintah tetap hanya akan memberikan subsidi sebesar Rp 2.000 saja. Misalnya harga keekonomian BBM bersubsidi di pasaran sebesar Rp 8.000, maka di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) harganya menjadi sebesar Rp 6.000.

Opsi Berbagi Beban

Dua opsi yang diajukan pemerintah ke DPR tersebut memiliki untung- ruginya masing-masing. Jika opsi subsidi konstan yang diambil maka pemerintah tak akan lagi terbebani dengan naik-turunnya harga minyak di pasaran, karena besaran subsidi BBM sudah ditetapkan secara ajek. APBN yang sudah direncanakan pun tak akan mengalami penggelembungan atau penurunan yang ektrem tiap tahunnya akibat fluktuasi harga minyak dunia.

Akan tetapi, opsi ini berdampak pada berubah-ubahnya harga BBM di SPBU. Masyarakat yang sudah terbiasa dengan harga BBM secara tetap, pasti akan gagap dan kebingungan dengan perubahan seperti itu. Ini tentu berbeda dengan negara- negara yang sudah tidak memakai skenario subsidi BBM, di mana fluktuasi harga adalah hal biasa.

Dampak lain dari opsi ini adalah sulitnya pengusaha menyeragamkan tariff transportasi jika harga BBM berfluktuasi. Hal ini tentu akan berimbas pada perubahan tarif angkutan umum dan harga kebutuhan pokok di masyarakat. Perubahan tarif dan harga ini bisa saja terjadi setiap hari, minggu, atau bulan, seiring dengan berubah-ubahnya harga BBM di SPBU.

Sementara jika opsi menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 1.500 per liter yang diambil, pemerintah akan kembali dihadapkan pada ketidakpastian besaran subsidi yang diberikan kepada masyarakat. Selama ini, pemerintah melalui APBN tahunan menyediakan subsidi BBM yang dipergunakan dalam tahun tersebut. Ketika harga minyak di pasaran melangit, pemerintah pun harus menutup kekurangan harga yang mungkin besarannya tak sesuai dengan angka subsidi yang telah ditetapkan dalam APBN.

Hal ini mengakibatkan anggaran dalam APBN yang pada awalnya dipergunakan untuk pos-pos lain terpaksa dialihkan untuk menutupi kekurangan subsidi BBM. Pada 2011, misalnya, pemerintah menyediakan dana subsidi BBM sebesar Rp 129,7 triliun. Namun, pada kenyataan pemerintah harus merogoh uang subsidi BBM sebesar Rp 165,2 triliun untuk menutup kekurangan akibat tingginya harga minyak dunia.

Selain itu, ketidakpastian angka besaran subsidi akan menimbulkan polemik panjang ketika harga minyak dunia melambung tinggi. Wacana menaikkan harga BBM akan
kembali muncul dan akan meresahkan masyarakat. Dalam konteks politik, ketidakpastian besaran angka subsidi BBM akan rentan dipolitisasi untuk kepentingan kelompok atau partai politik tertentu. Ini tentu sangat berisiko, karena dalam teori pembangunan ekonomi, stabilitas politik adalah prasyarat mutlak untuk menggenjot pertumbuhan.

Karena itu, dengan berbagai plus-minusnya, opsi subsidi konstan untuk premium dan solar sebesar Rp. 2.000 adalah pilihan yang paling rasional. Dengan opsi ini, pemerintah dan masyarakat bisa berbagi beban ketika terjadi lonjakan harga minyak dunia.

Bukan “Suap Politik”
Tujuan pemberian subsidi memang mulia, yakni membantu rakyat miskin yang rentan terhadap guncangan perubahan harga akibat melonjaknya harga minyak dunia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), misalnya, memperkirakan inflasi tahun ini akan melonjak di atas 6% sebagai akibat harga minyak.

Sementara itu, analisis BNP Paribas menyebutkan, kenaikan harga BBM akan menyebabkan peningkatan asumsi inflasi dari 5% menjadi 6,5%. Dengan asumsi inflasi sebesar itu, masyarakat miskin memerlukan bantuan sementara selama proses adaptasi dengan kenaikan hargaharga bahan pokok yang baru pascakenaikan harga BBM.

Karena itu, kita patut memberikan apresiasi kepada pemerintah yang sudah menyiapkan dana sekitar Rp 30-40 triliun sebagai kompensasi kenaikan harga BBM untuk rakyat miskin. Dana tersebut akan diberikan langsung dalam bentuk bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM). Bantuan semacam ini, tentu saja sangat berarti bagi kaum papa agar mereka tetap memiliki daya beli yang memadai.

Masalahnya, berkaca pada pengalaman lalu, pemberian subsidi untuk rakyat miskin memang sering tidak mencapai sasaran. Data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebutkan, hampir 50% orang kaya di Indonesia yang menikmati 90% BBM bersubsidi. Hanya sekitar 4% orang miskin yang menikmati subsidi. Karena itulah dibutuhkan kerja keras, kerja cerdas, dan sikap jujur pemerintah saat meluncurkan program BLSM. Pemerintah harus meyakinkan berbagai kalangan masyarakat bahwa BLSM benar-benar untuk membantu rakyat miskin, bukan sebuah “suap politik”.

Mungkin menaikkan harga BBM juga dituding sebagai sebuah kebijakan yang tidak populis. Tapi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan seluruh jajaran pemerintahan harus tetap memastikan bahwa itulah langkah tepat demi sehatnya APBN, ekonomi nasional, dan kepentingan rakyat miskin juga.

Hal paling penting yang harus diperhatikan justru bagaimana BLSM harus tepat guna dan tepat sasaran. BLSM tidak boleh bocor lagi sebagaimana pengalaman buruk ketika program bantuan langsung tunai (BLT) diluncurkan pada 2005 dan 2008. Hasil studi dan analisis LP3ES, menyebutkan, program BLT sebelumnya bocor sampai sekitar 2,5%.

Karena itu, pemerintah harus memakai data statistik yang konkret dan akurat seperti yang dimiliki Badan Pusat Statistik (BPS), ditambah survey lapangan tentang kondisi terkini para calon penerima. Dengan demikian subsidi untuk rakyat miskin benar- benar diterima oleh mereka yang berhak menerimanya, sesuai sasaran BLSM dan jangka waktu yang terbatas, yaitu sembilan bulan.

Baca Selengkapnya...

BLSM, Bukan Pencitraan SBY

Oleh : Abdul Hakim MS

Jurnal Nasional, Senin, 5 Mar 2012


Kenaikkan harga BBM bersubsidi sepertinya tak bisa ditunda lagi oleh pemerintah. Disamping faktor harga minyak dunia yang terus melambung (rata-rata saat ini sudah mencapai US$ 115 per barel), subsidi BBM juga dianggap sangat membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahunnya. Seperti pada APBN tahun 2011 misalnya, pemerintah menyediakan dana subsidi BBM sebesar 129.7 triliun. Namun pada realisasinya, pemerintah harus merogoh uang subsidi BBM sebesar Rp. 165.2 triliun untuk menutup kekurangan harga akibat tingginya harga minyak global.

Alasan lain, subsidi yang sebenarnya ditujukan untuk rakyat miskin, ternyata tidak sepenuhnya tepat sasaran. Merujuk data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), hampir 50 persen orang kaya di indonesia yang sebenarnya menikmati 90 persen subsidi BBM. Sedangkan orang miskin yang menikmatinya hanya sekita 4 persen saja.

Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2012 yang diajukan pemerintah ke DPR, dua skenario akan diambil terkait rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bulan April mendatang. Skenario Pertama, pemerintah akan menaikkan harga premium dan solar sebesar Rp. 1.500 per liter. Kedua, pemerintah akan memberikan subsidi konstan (tetap) terhadap premium dan solar sebesar Rp. 2.000. Artinya, berapapun harga keekonomian BBM bersubsidi yang ada di pasaran, pemerintah tetap hanya akan memberikan subsidi sebesar Rp. 2.000 saja. Misalnya harga keekonomian BBM bersubsidi di pasaran sebesar Rp. 8000, maka di SPBU harganya menjadi sebesar Rp. 6000. Entah skenario mana yang akan disetujui oleh legislator di DPR.

Bantuan Sementara

Karena harga BBM bersubsidi pasti naik, pemerintah telah mempersiapkan langkah antisipasi terkait akan terkereknya inflasi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memperkirakan, kenaikan harga BBM akan memicu inflasi tahun ini di atas 6 persen. Sementara analisis BNP Paribas menyebutkan, kenaikan harga BBM akan menyebabkan peningkatan asumsi inflasi dari 5 persen menjadi 6.5 persen. Dengan asumsi inflasi sebesar itu, daya beli masyarakat akan turun dan akan ada penambahan masyarakat miskin sebanyak 450.000 berdasarkan hitungan Menko Kesra.

Itu sebabnya pemerintah akan menyiapkan dana sekitar Rp. 30 - 40 triliun sebagai kompensasi kenaikan harga BBM untuk rakyat miskin. Dana itu rencananya akan diberikan dalam bentuk Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Rencananya, BLSM akan diberikan sebesar Rp. 150.000 per keluarga miskin selama sembilan bulan sejak kenaikan harga BBM. Selain BLSM, program lain yang sudah disiapkan pemerintah adalah Bantuan Siswa Miskin (BSM), beras bagi masyarakat miskin, dan pemberian kupon transportasi bagi masyarakat miskin.

Hemat saya, program BLSM sebenarnya cukup baik untuk membantu imbas langsung yang dirasakan masyarakat terkait kenaikan harga BBM. Akan tetapi, ada catatan penting yang harus diperhatikan pemerintah. BLSM tidak boleh bocor lagi seperti pengalaman program Bantuan Langusng Tunai (BLT). BLSM harus tepat guna dan tepat sasaran. Karena dari hasil studi dan analisis LP3ES, program BLT sebelumnya bocor sampai sekitar 2.5 persen. Itu sebabnya, pemerintah hendaknya berhati-hati dan memakai data statistik yang konkrit seperti yang dimiliki Badan Pusat Statistik (BPS) untuk penyaluran BLSM. Sehingga subsidi untuk rakyat miskin benar-benar bisa diterima bagi mereka yang berhak menerima.

Pencitraan SBY?

Bagi sebagian kalangan, pemberian kompensasi kenaikan harga BBM yang rencananya akan diberikan dalam bentuk BLSM adalah pencitraan pemerintah SBY belaka untuk menghadapi pemilu 2014. Menurut kalangan ini, BLSM tak ada bedanya dengan program BLT menjelang pemilu 2009 lalu. BLSM diberikan agar masyarakat tak terlalu bereaksi terhadap kenaikan harga yang akan memicu kenaikan harga-harga kebutuhan lainnya.

Hemat penulis, analisis ini sepertinya kurang arif. Hal ini didasarkan pada dua faktor. Pertama, jika program ini dilakukan SBY untuk pencitraan menghadapi pemilu 2014, bukankah SBY sudah tak bisa lagi mencalonkan diri sebagai presiden karena dibatasi oleh konstitusi? Untuk apalagi SBY melakukan pencitraan semacam ini?

Kedua, seandainya BLSM dimaksudkan untuk mendongkrak popularitas Partai Demokrat yang sedang ambruk karena kasus korupsi yang Menimpa mantan bendahara umumnya, M. Nazaruddin, bukankah partai-partai lain saat ini juga ada dalam gerbong pemerintahan? Sehingga kalau Partai Demokrat bisa menuai “berkah BLSM”, partai-partai lain juga bisa mendapatkannya? Sebut saja, petinggi-petinggi partai politik saat ini ada dalam pos-pos strategis. Di Menko Kesra ada Agung Laksono dari Partai Golkar. Di Menkoperekonomian ada Hatta Rajasa yang merupakan Ketua Umum PAN. Pos-pos ini bukankah menjadi sorotan terkait BLSM dan yang menangani langsung program BLSM?

Oleh karena itu, mengatakan BLSM sebagai rekayasa pencitraan SBY sepertinya kurang bijak. Lebih baik energi politisi dihabiskan untuk membahas bagaimana skenario BLSM agar lebih tepat sasaran dan tidak bocor lagi. Politisi harus turun langsung kebasis-basis konstituennya untuk memantau agar BLSM benar-benar diterima masyarakat yang berhak menerimanya.

Dari pada sibuk berdebat apakah BLSM adalah pencitraan SBY, lebih baik pemikiran, tenaga, dan waktu para politisi senayan dicurahkan untuk mencari alternatif menaikkan harga BBM yang pas dan tak begitu memberatkan masyarakat. Daripada berdebat soal pencitraan, lebih baik politisi mencurahkan segala kekuatan untuk mencari solusi mengurangi kmiskinan akibat kenaikan harga BBM. Dengan begitu, kehidupan masyarakat miskin yang menerima dampak langsung kenaikan yang tak terelakkan ini tak semakin terpuruk.

Baca Selengkapnya...