Oleh : Abdul Hakim MS
Investor Daily, Selasa, 6 Maret 2012
Harga minyak dunia yang terus melambung hingga mencapai US$ 120 per barel telah mendorong pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Sebuah pilihan sulit, tapi tetap harus diambil demi APBN.
Dua opsi sudah diajukan pemerintah kepada DPR untuk segera dibahas bersama dalam APBNP 2012. Opsi pertama, yakni menaikkan harga BBM bersubsidi premium dan solar sebesar Rp 1.500 per liter mulai 1 April mendatang.
Opsi kedua, pemerintah akan memberikan subsidi konstan (tetap) BBM bersubsidi premium dan solar sebesar Rp 2.000. Artinya, berapa pun harga keekonomian BBM bersubsidi yang ada di pasaran, pemerintah tetap hanya akan memberikan subsidi sebesar Rp 2.000 saja. Misalnya harga keekonomian BBM bersubsidi di pasaran sebesar Rp 8.000, maka di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) harganya menjadi sebesar Rp 6.000.
Opsi Berbagi Beban
Dua opsi yang diajukan pemerintah ke DPR tersebut memiliki untung- ruginya masing-masing. Jika opsi subsidi konstan yang diambil maka pemerintah tak akan lagi terbebani dengan naik-turunnya harga minyak di pasaran, karena besaran subsidi BBM sudah ditetapkan secara ajek. APBN yang sudah direncanakan pun tak akan mengalami penggelembungan atau penurunan yang ektrem tiap tahunnya akibat fluktuasi harga minyak dunia.
Akan tetapi, opsi ini berdampak pada berubah-ubahnya harga BBM di SPBU. Masyarakat yang sudah terbiasa dengan harga BBM secara tetap, pasti akan gagap dan kebingungan dengan perubahan seperti itu. Ini tentu berbeda dengan negara- negara yang sudah tidak memakai skenario subsidi BBM, di mana fluktuasi harga adalah hal biasa.
Dampak lain dari opsi ini adalah sulitnya pengusaha menyeragamkan tariff transportasi jika harga BBM berfluktuasi. Hal ini tentu akan berimbas pada perubahan tarif angkutan umum dan harga kebutuhan pokok di masyarakat. Perubahan tarif dan harga ini bisa saja terjadi setiap hari, minggu, atau bulan, seiring dengan berubah-ubahnya harga BBM di SPBU.
Sementara jika opsi menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 1.500 per liter yang diambil, pemerintah akan kembali dihadapkan pada ketidakpastian besaran subsidi yang diberikan kepada masyarakat. Selama ini, pemerintah melalui APBN tahunan menyediakan subsidi BBM yang dipergunakan dalam tahun tersebut. Ketika harga minyak di pasaran melangit, pemerintah pun harus menutup kekurangan harga yang mungkin besarannya tak sesuai dengan angka subsidi yang telah ditetapkan dalam APBN.
Hal ini mengakibatkan anggaran dalam APBN yang pada awalnya dipergunakan untuk pos-pos lain terpaksa dialihkan untuk menutupi kekurangan subsidi BBM. Pada 2011, misalnya, pemerintah menyediakan dana subsidi BBM sebesar Rp 129,7 triliun. Namun, pada kenyataan pemerintah harus merogoh uang subsidi BBM sebesar Rp 165,2 triliun untuk menutup kekurangan akibat tingginya harga minyak dunia.
Selain itu, ketidakpastian angka besaran subsidi akan menimbulkan polemik panjang ketika harga minyak dunia melambung tinggi. Wacana menaikkan harga BBM akan
kembali muncul dan akan meresahkan masyarakat. Dalam konteks politik, ketidakpastian besaran angka subsidi BBM akan rentan dipolitisasi untuk kepentingan kelompok atau partai politik tertentu. Ini tentu sangat berisiko, karena dalam teori pembangunan ekonomi, stabilitas politik adalah prasyarat mutlak untuk menggenjot pertumbuhan.
Karena itu, dengan berbagai plus-minusnya, opsi subsidi konstan untuk premium dan solar sebesar Rp. 2.000 adalah pilihan yang paling rasional. Dengan opsi ini, pemerintah dan masyarakat bisa berbagi beban ketika terjadi lonjakan harga minyak dunia.
Bukan “Suap Politik”
Tujuan pemberian subsidi memang mulia, yakni membantu rakyat miskin yang rentan terhadap guncangan perubahan harga akibat melonjaknya harga minyak dunia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), misalnya, memperkirakan inflasi tahun ini akan melonjak di atas 6% sebagai akibat harga minyak.
Sementara itu, analisis BNP Paribas menyebutkan, kenaikan harga BBM akan menyebabkan peningkatan asumsi inflasi dari 5% menjadi 6,5%. Dengan asumsi inflasi sebesar itu, masyarakat miskin memerlukan bantuan sementara selama proses adaptasi dengan kenaikan hargaharga bahan pokok yang baru pascakenaikan harga BBM.
Karena itu, kita patut memberikan apresiasi kepada pemerintah yang sudah menyiapkan dana sekitar Rp 30-40 triliun sebagai kompensasi kenaikan harga BBM untuk rakyat miskin. Dana tersebut akan diberikan langsung dalam bentuk bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM). Bantuan semacam ini, tentu saja sangat berarti bagi kaum papa agar mereka tetap memiliki daya beli yang memadai.
Masalahnya, berkaca pada pengalaman lalu, pemberian subsidi untuk rakyat miskin memang sering tidak mencapai sasaran. Data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebutkan, hampir 50% orang kaya di Indonesia yang menikmati 90% BBM bersubsidi. Hanya sekitar 4% orang miskin yang menikmati subsidi. Karena itulah dibutuhkan kerja keras, kerja cerdas, dan sikap jujur pemerintah saat meluncurkan program BLSM. Pemerintah harus meyakinkan berbagai kalangan masyarakat bahwa BLSM benar-benar untuk membantu rakyat miskin, bukan sebuah “suap politik”.
Mungkin menaikkan harga BBM juga dituding sebagai sebuah kebijakan yang tidak populis. Tapi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan seluruh jajaran pemerintahan harus tetap memastikan bahwa itulah langkah tepat demi sehatnya APBN, ekonomi nasional, dan kepentingan rakyat miskin juga.
Hal paling penting yang harus diperhatikan justru bagaimana BLSM harus tepat guna dan tepat sasaran. BLSM tidak boleh bocor lagi sebagaimana pengalaman buruk ketika program bantuan langsung tunai (BLT) diluncurkan pada 2005 dan 2008. Hasil studi dan analisis LP3ES, menyebutkan, program BLT sebelumnya bocor sampai sekitar 2,5%.
Karena itu, pemerintah harus memakai data statistik yang konkret dan akurat seperti yang dimiliki Badan Pusat Statistik (BPS), ditambah survey lapangan tentang kondisi terkini para calon penerima. Dengan demikian subsidi untuk rakyat miskin benar- benar diterima oleh mereka yang berhak menerimanya, sesuai sasaran BLSM dan jangka waktu yang terbatas, yaitu sembilan bulan.
No comments:
Post a Comment