Thursday, July 29, 2010

Tirulah Ratu, Jeffrie Geovanie Lebih Baik Mundur!

29/07/2010 - 08:03
MA Hailuki

INILAH.COM, Jakarta - Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar (FPG) Jeffrie Geovanie yang tercatat enam kali bolos tanpa alasan harus mencontoh anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) yang sudah mengundurkan diri.

Pengamat politik dari Indo Barometer Abdul Hakim mengatakan, jika memang Jefrrie ingin bersikap ksatria mengakui kesalahannya, seharusnya Jeffrie meniru langkah Ratu Munawaroh yang mengundurkan diri dari DPR.

"Kalau memang gentle sekalian mengundurkan diri saja, itu lebih terhormat daripada dipecat oleh Badan Kehormatan (BK) DPR atau direcall oleh fraksi," ucap Abdul Hakim kepada INILAH.COM Kamis (29/7).

Abdul menambahkan, sebagai wakil rakyat Jeffrie memiliki kontrak politik yang harus dipenuhi dengan seluruh rakyat di daerah pemilihan bukan hanya dengan konstituennya saja. Ketidakhadiran sebanyak enam kali tanpa alasan adalah wujud Jeffrie tidak komit terhadap kontrak politiknya.

"Jika memang tidak lagi berkomitmen menjadi wakil rakyat ya ebih baik mundur saja. Jika selalu bolos tentu komitmennya diragukan," tegas Abdul.

Sebagaimana diberitakan, berdasarkan data dari Biro Persidangan Sekretariat Jenderal DPR RI, dalam 10 kali sidang di masa sidang kedua, Jeffrie tidak hadir tanpa keterangan sebanyak enam kali. Jeffrie secara jantan mengakui hal itu.

"Ya saya gentelemen mengakui membolos. Memang saya tidak masuk sebanyak enam kalai karena saya tidak urus surat izin. Dua kali sakit, sisanya ke luar kota," ungkapnya saat ditemui di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (27/7). [mah]

Baca Selengkapnya...

Tuesday, July 20, 2010

LABIRIN TIKUS GOLKAR MENUJU KURSI RI 1

20 July 2010
Inonesia-monitor.com

Tikus Golkar terus menggeliat di daerah dengan memenangkan 43 persen pilkada. Memuluskan ambisi Aburizal Bakrie sebagai Capres 2014.

AMBISI Aburizal Bakrie di Pemilu 2014 semakin kentara. Dalam Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) Pemenangan Pemilu Partai Golkar Seluruh Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Barat (NTB) di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta, Minggu (4/7), Ical—sapaan akrab Aburizal Bakrie—menargetkan Partai Golongan Karya akan merebut kembali kejayaannya pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014.

“Target Partai Golkar merebut kemenangan kembali kejayaan Golkar pada 2014,” kata Ical.

Dalam blog pribadinya http://icalbakrie.com, Ical mengakui, mengejar target tersebut tidaklah mudah. Apalagi, menurutnya, tantangan besar yang dihadapi Partai Golkar adalah persaingan politik yang semakin ketat.

“Persaingan ketat makin tajam di tahun 2012,” katanya. Ia menambahkan, dalam persaingan itu, segala cara dapat dilakukan untuk menjatuhkan Partai Golkar. Oleh karena itu, menurut Aburizal, Partai Golkar harus mampu menghadapi persaingan dan mempersiapkan diri.

“Kita politisi bekerja keras, main taktis. Jangan kemudian kita dalam permainan itu menggigit terus. Golkar harus berprinsip seperti tikus, ngendus, baru gigit. Jangan langsung menggigit. Nanti kalau dipukul bisa mati,” ujarnya. Filosofis tikus tersebut setidaknya telah membuahkan hasil. Partai Golkar di bawah kepemimpinannya mengklaim figur yang diusung partai itu telah memenangi 43 persen pemilihan kepala daerah di seluruh Indonesia.

“Kita target 30 persen untuk 2014. Sedangkan untuk pilkada 2010, kita targetkan sampai pilkada selesai, sampai 50 persen. Secara nasional Golkar saat ini baru 43 persen,” kata Ical.

Dengan target tersebut, tentunya semakin membuka peluang Ical untuk maju ke bursa calon presiden (capres) pada Pilpres 2014. Langkah mantan Menko Kesra itu menjadi terbuka dan strategis dengan konstelasi politik saat ini, menyusul tugasnya sebagai Ketua Harian Sekretariat Gabungan (Setgab) Partai Koalisi.

“Secara politik, Aburizal Bakrie adalah tokoh politik terkuat kedua setelah SBY. Sehingga, sangat potensial untuk maju sebagai presiden tahun 2014 mendatang,” kata Direktur Eksekutif LSI (Lingkaran Survei Indonesia) Denny JA. Tidak hanya itu, tikus Golkar terus memupuk kekuatan. Tidak puas hanya memegang kendali di Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi Pemerintah sebagai ketua harian, kini Aburizal Bakrie mulai mendekati partai-partai gurem.

Partai Bintang Reformasi (PBR) adalah partai pertama yang menjadi ‘garapan’ Ical. Kemarin, Ketua Umum PBR Bursah Zarnubi telah ‘menghadap’ Ical di kantor DPP Partai Golkar, Anggrek Nelly, Slipi, Jakarta. Bursah mengakui, kedatangannya sebagai upaya penjajakan peleburan PBR ke dalam Partai Golkar.

“PBR tidak mungkin bertarung dengan PT (parliamentary treshold) 5 persen,’’ katanya. Bahkan, mantan Ketua Humanika ini mengatakan, tidak menutup kemungkinan PBR akan menjadi ormas bukan sebagai partai lagi. “Memang harus begitu. Sudah kecil sombong lagi. Kalah tidak boleh sombong,” imbuh Bursah.

Sebelumnya, Ketua Umum Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) Bachtiar Chamsyah juga telah menemui Ical di Gedung Epicentrum, Komplek Taman Kuningan, Jakarta (24/6). Namun Bachtiar enggan menyebutkan pertemuan itu dilakukan dalam rangka penjajakan Pemilu 2014.

Peneliti Senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi menilai, langkah Ical mendekati partai-partai kecil setidaknya memiliki dua makna. Pertama, sebagai penjajakan kemungkinan peleburan partai kecil ke dalam Partai Golkar. Langkah ini, menurutnya, dimaksudkan guna menjaga dan bahkan mendongkrak suara pada Pemilu 2014.

‘’Saya lihat sebagai bentuk antisipasi gembosnya suara Partai Golkar dikarenakan makin populisnya Partai Gerindra yang notabene pecahan Partai Golkar. Juga berdirinya Nasional Demokrat pimpinan Surya Paloh yang berpotensi menjadi parpol sempalan Golkar,’’ jelasnya.

Kedua, Ical ingin menaikkan bargaining politiknya dengan cara memperluas koalisi bukan hanya di parpol intra parlementer, melainkan juga parpol ekstra parlementer. Perluasan koalisi diperlukan guna meningkatkan bargaining politik Partai Golkar dan Ical dalam menjaga stabilitas pemerintahan.

Selain itu, apabila akuisisi partai-partai kecil berhasil mempertahankan perolehan suara Partai Golkar pada Pemilu 2014, maka peluang Ical untuk mendapatkan tiket sebagai calon presiden atau calon wakil presiden menjadi semakin terbuka.

“Ini akan membuat nilai tawar Golkar dan Ical makin tinggi di mata SBY, kalau akuisisi partai kecil ini bisa mempertahankan atau menambah suara Golkar ya peluang Ical di Pilpres makin terbuka,” terangnya.

Sementara, Peneliti Senior Indo Barometer Abdul Hakim mengatakan, upaya Ical menggalang partai kecil menunjukkan dirinya memiliki magnitude politik tinggi. Sebagai ketua umum salah satu partai besar dan pengusaha papan atas, Ical ingin mengkapitalisasi dirinya sebagai tokoh sentral selain SBY di pentas politik.

Menurutnya, selama kurun 2004-2009, SBY sebagai Presiden merupakan tokoh sentral dalam kancah politik Indonesia, tokoh yang bisa menandingi hanyalah Megawati Soekarnoputeri. Setelah puteri Proklamator Bung Karno itu menelan kekalahan kedua di Pilpres 2009, pengaruh politiknya mulai berkurang.

Saat ini di antara tokoh nasional yang ada tidak satupun bisa menandingi pengaruh SBY. Dengan berbagai manuver yang dilakukan termasuk mengakuisi partai kecil, Ical ingin menempatkan dirinya sebagai tokoh sentral nasional. “Secara pribadi, manuver ini akan semakin mengukuhkan citra Ical sebagai tokoh sentral selain SBY. Jadi bargaining Ical semakin kuat di hadapan SBY,” ujar Abdul Hakim.

■ Dimas Ryandi

Baca Selengkapnya...

Monday, July 19, 2010

DIALEKTIK TERBALIK UU PEMILU

Seputar Indonesia, 15 Juli 2010
Oleh: Abdul Hakim MS

Menyimak sambutan Presiden SBY pada pembukaan Konferensi Ke-7 Hakim Mahkamah Konstitusi Asia di Istana Negara pada 13 Juli 2010 cukup menarik dicermati. Presiden berharap, UU pemilu bisa ajeg dan tidak berubah-ubah setiap kali pemilu berlangsung. Hal itu bertujuan agar masyarakat mudah faham dan tidak dibuat bingung. Selain itu, dengan konsitennya UU Pemilu akan bermuara pada terjadinya penyelenggaraan pemilu yang berkualitas.

Pesan presiden di atas memunculkan pertanyaan penting, dapatkah hal tersebut terwujud pada pemilu-pemilu mendatang, khususnya pada pemilu 2014? Ataukah pesan presiden itu hanya akan menjadi paradoks?

Dialektik Terbalik

Salah satu isu penting dalam pembahasan RUU Pemilu adalah upaya dalam penyederhanaan partai politik. Upaya ini dimaksudkan guna menopang sistem presidensial yang kuat. Namun pada faktanya, usaha dalam pengaturan penyederhanaan partai politik dalam UU Pemilu selalu jungkir-balik. Pada pemilu 1999 dan 2004, electoral Trheshol (ET) dipakai untuk maksud tersebut. Akan tetapi belum tercapai tujuan yang diharapkan, ketentuan ini rusak dengan pergantian sistem menjadi Parliamentary Threshold (PT) pada pemilu 2009. Aturan ET pun gugur. Akibatnya, partai politik yang tidak lolos ET pada pemilu 2004, tetap bisa ikut berkompetisi asal mempunyai kursi di DPR. Celakanya, partai yang tidak lolos ET dan juga tidak mempunyai kursi di DPR, akhirnya pun dapat ikut pemilu 2009 berdasarkan judicial reviewe yang diterima oleh Mahkamah Konstitusi.

Jungkir-balik aturan ini kemudian membiaskan tujuan awal, penyederhanaan partai politik. Pada pemilu 1999, partai politik peserta pemilu sebanyak 48 partai. Pada pemilu 2004, jumlah partai politik peserta pemilu sebetulnya telah dapat sedikit disederhanakan menjadi 24 partai politik. Akan tetapi, pada pemilu 2009 dengan dilakukan pergantian dari aturan ET menjadi PT, jumlah partai politik peserta pemilu kembali membengkak menjadi 38 partai politik plus 6 partai lokal di Aceh. Bagaiamana dengan pemilu 2014? Apakah PT akan berubah lagi sehingga partai politik yang akan ikut pemilu 2014 tidak hanya 9 partai politik yang lolos PT karena aturan ini dalam UU Pemilu kembali akan mengalami perubahan?

Upaya penyederhanaan ini, jika dikaitkan dengan konsep hegel tentang proses dialektika, menjadi dialektika terbalik. Seperti dikatakan Hegel, proses dialektika dimaksudkan untuk menelurkan antithesis dari thesis yang sebelumnya ada. Dari pertentangan keduanya akan memunculkan sintesis baru. Namun yang perlu dicatat bahwa dalam proses dialektik yang dimaksud Hegel adalah proses pertentangan Thesis dan Antithesis untuk mencari kebenaran mutlak. Oleh karena itu, proses pertentangan keduanya akan menimbulkan sesuatu yang lebih baik dan terus bergerak menjadi lebih baik sampai pada akhirnya berlabuh pada titik kesempurnaan. Namun yang terjadi pada pola penyederhanaan partai politik justeru sebaliknya. Artinya, proses perdebatan dalam penyusunan UU Pemilu tidak kunjung bermuara pada pelaksanaan pemilu dengan jumlah partai politik yang lebih baik. Perdebatan panjang dan alot tentang isu penyederhanaan partai politik pun menjadi sia-sia.

Power-seeking Politician

Pertanyaan kemudian muncul, kenapa dapat terjadi dialektika terbalik? Untuk menjawab pertanyaan ini, penjelasannya dapat ditemukan dalam literatur kajian ekopol neo-klasik. Untuk membedah persoalan-persoalan seperti pembahasan UU Pemilu, misalnya, unit analisisnya dapat difokuskan pada perilaku dua aktor utama, yakni society actor dan state actor. Untuk mengkaji state actor, ada dua fokus utama, yakni telaah terhadap birokrasi dan politisi. Kajian terhadap birokrasi melahirkan model analisis rent-seeking bureucrat. Semetara untuk kajian terhadap politisi, memunculkan model analisis power-seeking politician.

Argumentasi dasar power-seeking politician ini adalah para politisi merupakan makhluk rasional yang tidak steril dari perhitungan untung-rugi dalam setiap mengambil keputusan. Kepentingan utama dari politisi adalah memaksimalkan, dan bila mungkin, mempertahankan kekuasaan yang dimiliki. Untuk tujuan ini, maka para politisi akan dimotivasi oleh keinginan menggunakan sumber daya (resources) apa saja yang dimiliki guna memberikan ganjaran kepada siapa saja yang mendukung mereka, dan memberikan hukuman kepada siapa saja yang mencoba mengganggu (Grindle, 1989).

Implikasi dari argumentasi Grindle di atas, politisi cenderung berfikir kepentingan jangka pendek. Tidak penting bagi para politisi keputusannya nanti akan berdampak seperti apa kepada orang lain. Pertimbangan utamanya adalah; keputusan itu tidak merugikan diri mereka sendiri!

Melihat model ini, maka kita menjadi mafhum kenapa dialektika terbalik seperti uraian diatas bisa terjadi, yaitu karena penentu utama terbentuknya UU Pemilu teretak pada tangan para politisi yang duduk di Senayan. Padahal, mengacu pada penjelasan Grindle, apa yang dilakukan politisi di Senayan bukan mencari sistem yang ajeg dan dapat berlaku dalam jangka yang panjang, melainkan “mengakali” UU Pemilu yang akan dibentuk agar dapat memberi laba pada diri dan institusinya dalam jangka pendek. Dampak dari pola dasar pemikiran seperti ini adalah adanya praktik-praktik kesepakatan di bawah meja atau “politik dagang sapi”. Para politisi tak risau jikalau UU Pemilu akan berganti setiap menjelang pemilu, bahkan mungkin lebih ekstrim, UU Pemilu boleh berganti setiap kali Pilkada, asal dapat memberi keuntungan dan dapat mempertahankan kekuasaan dalam jangka pendek.

Melihat fakta ini, sepertinya kita akan tetap mengelus dada melihat pembahasan RUU Pemilu 2014. Kita menjadi sangsi, pembahasan yang dilakukan dapat menyembulkan UU Pemilu yang benar-benar mapan. Penjara Power-seeking politician lebih kuat dibandingkan harapan akan terciptanya sistem pemilu yang dapat mendukung proses demokrasi dalam waktu yang panjang. Pesan Presiden SBY agar UU Pemilu tidak berubah-ubah akan sulit terwujud dan sepertinya hanya akan menjadi sebuah paradoks.

Baca Selengkapnya...

Wednesday, July 14, 2010

DEMOKRASI ALA PKS

Koran Jakarta, Rabu, 16 Juni 2010
Oleh: Abdul Hakim MS

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) akan menggelar Musyawarah Nasional (Munas) di Hotel The Ritz Carlton, Jakarta pada 16-18 Juni 2010. Musyawarah nasional ini cukup menarik mengingat forum ini memiliki perbedaan cukup mencolok dengan ajang serupa oleh partai politik lain di Indonesia; tidak ada pemilihan ketua umum. Oleh karena itu, tidak akan ada baliho besar kandidat yang menjejali Jakarta dan arena kongeres, tidak ada tim sukses, tidak ada hiruk-pikuk, tidak ada money politic, tidak ada negative campaign, dan sepertinya juga tidak akan ada liputan besar-besaran oleh media massa, seperti liputan terhadap kongres Partai Demokrat beberapa waktu yang lalu.

Karateristik PKS dalam memilih pimpinan pusatnya, memang tidak seperti pemilihan ketua umum partai politik lain di Indonesia pada umumnya. Demokrasi yang dibangun oleh PKS dalam memilih ketua umumnya adalah dengan menjalankan asas demokrasi perwakilan. Sesuai dengan AD/ART PKS, ketua umum dipilih oleh badan Majelis Syuro. Majelis ini merupakan lembaga tertinggi PKS yang bertugas antara lain menyusun Visi dan Missi Partai, ketetapan-ketetapan dan rekomendasi Musyawarah Nasional, dan memilih Pimpinan Pusat Partai serta keputusan-keputusan strategis lainnya. Selain itu, majelis ini bertugas membentuk Majelis Pertimbangan Partai sebagai Badan Pekerja Majelis Syuro dan membentuk Dewan Syari'ah Pusat. Majelis Syuro sendiri merupakan badan yang beranggotakan minimal 35 orang yang dipilih oleh mekanisme pemilihan raya yang melibatkan seluruh anggota kader inti partai.

Demokrasi yang dilaksanakan oleh PKS ini mirip-mirip dengan pola demokrasi perwakilan dalam pemilihan presiden sebelum masa reformasi. Pemilihan umum pada saat itu, hanya difokuskan untuk memilih anggota legislatif saja. Anggota legislatif terpilih kemudian memilih presiden dan wakil presiden. Dengan singkat kata, demokrasi yang dibangun dalam tubuh PKS adalah sistem demokrasi perwakilan. Mandat untuk memilih seluruh lembaga tinggi PKS diserahkan kepada lembaga tertinggi partai, Dewan Syuro, yang sebelumnya telah dipilih secara demokratis.

Efektivitas

Dengan mengadopsi demokrasi perwakilan, dalam beberapa hal, demokrasi ala PKS ini setidaknya memiliki tiga hal positif dan efektif demi kepentingan internal partai. Pertama, meminimalisasi perpecahan pasca pemilihan ketua umum.

Seolah telah menjadi kebiasaan, ajang kongres partai-partai di Indonesua kerap menyembulkan perpecahan diantara kader mereka sendiri setelah acara usai. Kita tentu masih ingat bagaimana kemelut yang menimpa Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada akhir-akhir masa Orde baru. PDI, oleh pemerintah ”di adu” akibat konflik dalam pemilihan ketua umumnya. PDI kemudian menjadi dua kubu, PDI Megawati hasil Munas di Jakarta 1993 dan PDI Soerjadi hasil kongres Medan 1996. pada ujungnya, PDI Megawati kemudian melakukan metamorfosa menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) pada wal-awal reformasi. Kasus serupa juga menimpa Partai Golkar pada musyawarah nasional VIII di Pekan Baru, Riau, Agustus 2009 lalu. Terpilihnya Aburizal Bakrie sebagai ketua umum, memunculkan indikasi pecahnya kader Partai Golkar akibat kalahnya kandidat dalam perebutan posisi puncak. Surya Paloh, salah satu pesaing yang kalah tipis oleh Aburizal Bakrie, mendirikan Ormas Nasional Demokrat (Nasdem). Disinyalir, Nasdem nantinya dipersiapkan menjadi partai menjelang pemilu 2014.

Kedua, demokrasi ala PKS ini mempunyai sisi positif dapat memfokuskan energi munas untuk betul-betul membahas konsep, startegi, dan pengambilan keputusan penting lainnya guna menghadapi pemilu 2014. Hal ini dikarenakan tidak ada hiruk-pikuk pemilihan ketua umum, yang biasanya menjadi perhatian utama peserta kongres.

Ketiga, Demokrasi ala PKS dapat meminimalisasi cost politik calon kandidat ketua umum. Tentu kita semua pasti dibuat menaksir-naksir berapa banyak cost politik yang telah dikeluarkan Andi Mallarangeng ketika kongres Partai Demokrat beberapa waktu yang lalu. Iklan besar-besaran di media massa, baik cetak maupun elektronik, pembuatan spanduk, umbul-umbul dan lain sebagianya, pasti tidak menyedot anggaran yang sedikit. Dalam konteks PKS, hal ini dapat diminimalisasi.

Jika kondisinya demikian, pertanyaan yang cukup menggelitik adalah apa yang menarik dicermati dalam munas PKS kali ini?

Tantangan Munas

PR terbesar partai islam saat ini yang belum terselesaikan adalah menjadi pesaing handal terhadap keberadaan partai-partai nasionalis. Sejak pemilu 1955, perolehan suara partai nasionalis selalu lebih unggul dibandingkan partai islam. Hal ini cukup ironis, mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah muslin.

Berdasarkan data yang direkam Indo Barometer, sejak pemilu 1955, gabungan perolehan suara partai islam selalu kalah melawan gabungan suara partai nasionalis. Pada pemilu 1955, suara partai islam sebesar 43,7%, sementara suara partai nasionalis 51.7%. Pada pemilu 1999, gap lebih tajam terjadi. Partai islam meraih suara sebesar 36.8% sementara partai nasionalis mendapat suara sebesar 62.3%. Demikian halnya pada pemilu 2004, partai islam mendapatkan suara sebesar 38.1% sementara partai nasionalis mendapatkan suara sebesar 59.5%. Celakanya lagi, pemilu 2009 seolah menjadi “kuburan” bagi partai islam. Dari enam partai politik islam (PKS, PPP, PBB, PKNU, PBR, PMB), hanya 2 partai yang lolos peraturan Parliamentary Threshold 2.5%, yakni PKS dan PPP. 4 partai yang lain tidak bisa lagi mengikuti pemilu 2014.

Tentu hal ini menjadi tugas berat PKS sebagai partai islam dengan suara tertinggi pada pemilu 2009. Itu sebabnya, momentum munas kali ini harus dijadikan arena kawah candradimuka agar partai Islam tidak tergerus habis pada pemilu 2014. Konsep repositioning yang pada pemilu 2009 lalu telah dimulai, harus kembali diteguhkan. Seperti kita faham, PKS telah melakukan reposisi identitas sebagai partai islam, dengan sedikit menambahkan unsur plurasitik. Slogan “Emang (Merah Kuning Hijau Biru) bisa PKS? Kenapa Tidak..” adalah implikasi modifikasi PKS guna menaikkan suara. Hasilnya sudah cukup positif dengan meningkatnya suara PKS dari 7.34% pada pemilu 2004 menjadi 7.88% pada pemilu 2009.

Kebijakan reposisi adalah hal lumrah terjadi dalam partai politik. Kebijakan ini dilakukan tatkala suatu partai atau kontestan melihat identitas yang mereka miliki masih kurang kuat dipersepsikan oleh masyarakat dibandingkan dengan pesaing [Lock dan Harris:1996]. Namun yang harus tetap ditekankan adalah bahwa PKS tetap merupakan partai islam. Oleh karena itu, yang menarik ditunggu dari kongres PKS kali ini adalah langkah strategi apa yang akan diambil dan posisi apa yang akan ditegaskan PKS dalam menghadapi pemilu 2014.


Baca Selengkapnya...

Monday, July 05, 2010

PKS Siap Tampung PBB

5 Juli 2010
Riau Pos

JAKARTA (RP)- Partai Keadilan Sejahtera (PKS) siap menerima Partai Bulan Bintang (PBB) jika ingin melebur menjadi satu dalam menghadapi Pemilu 2014.


Ketua DPP PKS Jazuli Juwaini mengatakan, pihaknya siap menerima partai manapun dengan tangan terbuka jika ingin melebur dengan PKS.

‘’Pada prinsipnya partai manapun yang mau melebur dengan PKS, kami akan terima dengan tangan terbuka,’’ jelas Jazuli, Ahad (4/7).

Jazuli mengatakan, PKS telah memiliki mekanisme untuk menerima gerbong pindahan dari Parpol yang tidak lolos Parliamentary Treshold. Mekanisme itu adalah dengan cara penyamaan visi misi dan cita-cita perjuangan.

‘’Mengenai penempatan posisi di DPP dan kuota pencalegan itu persoalan teknis yang bisa dibicarakan. Orang non Muslim saja bisa jadi caleg PKS, apalagi sesama Muslim,’’ ujar anggota Komisi VIII ini.

Sebelumnya diberitakan, Peneliti Senior Indo Barometer Abdul Hakim menyarankan agar PBB meleburkan diri ke partai yang telah eksis di DPR. Menurutnya, partai yang tepat adalah PKS karena sama-sama berasaskan Islam.(ini/jpnn/gem)

Baca Selengkapnya...

PBB Sebaiknya Lebur ke PKS

5 Juli 2010 | 09:34 WIB

Jakarta - SURYA- Partai Bulan Bintang (PBB) disarankan segera melebur dengan partai politik besar. Sebagaimana yang dilakukan Partai Bintang Reformasi (PBR) yang cenderung memilih melebur dengan Partai Golkar.

Saran ini dilontarkan Peneliti Senior Indo Barometer Abdul Hakim. Menurutnya, PBB memiliki kemiripan ideologi dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
“PBB dan PKS partai yang sama-sama berasas Islam,” ujar Abdul Hakim.
Ia menilai tidak logis jika PBB bersikukuh berdiri sendiri menghadapi Pemilu 2014 yang mensyaratkan parliamentary treshold (PT) sebesar 5 persen. nic

Baca Selengkapnya...

Sunday, July 04, 2010

PKS Siap Tampung PBB

04/07/2010 - 19:30

INILAH.COM, Jakarta- Partai Keadilan Sejahtera (PKS) siap menerima Partai Bulan Bintang (PBB) jika ingin melebur menjadi satu dalam menghadapi Pemilu 2014.

Ketua DPP PKS Jazuli Juwaini mengatakan, pihaknya siap menerima partai manapun dengan tangan terbuka jika ingin melebur dengan PKS.

"Pada prinsipnya partai manapun yang mau melebur dengan PKS, kami akan terima dengan tangan terbuka," jelas Jazuli saat dihubungi INILAH.COM Minggu (4/7).

Jazuli mengatakan, PKS telah memiliki mekanisme untuk menerima gerbong pindahan dari parpol yang tidak lolos Parliamentary Treshold. Mekanisme itu adalah dengan cara penyamaan visi misi dan cita-cita perjuangan.

"Mengenai penempatan posisi di DPP dan kuota pencalegan itu persoalan teknis yang bisa dibicarakan. Orang non Muslim saja bisa jadi caleg PKS, apalagi sesama Muslim," ujar anggota Komisi VIII ini.

Sebelumnya diberitakan, Peneliti Senior Indo Barometer Abdul Hakim menyarankan agar PBB meleburkan diri ke partai yang telah eksis di DPR. Menurutnya, partai yang tepat adalah PKS karena sama-sama berasaskan Islam. (mah)

Baca Selengkapnya...

PBB Disarankan Melebur ke PKS

INILAH.COM, Jakarta- Partai Bulan Bintang (PBB) disarankan segera melebur dengan partai politik besar. Sebagaimana yang dilakukan Partai Bintang Reformasi (PBR) memilih melebur dengan Partai Golkar.

Saran ini dikemukakan Peneliti Senior Indo Barometer Abdul Hakim saat dihubungi INILAH.COM Minggu (4/7). Menurutnya, partai yang cocok menampung PBB adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

"Mungkin partai yang segaris dengan PBB secara ideologis adalah PKS, mengapa PBB tidak memilih melebur dengan PKS yang sama-sama berasas Islam," ujar Abdul Hakim.

Abdul Hakim menilai tidak logis jika PBB bersikukuh berdiri sendiri menghadapi Pemilu 2014. Pasalnya, persyaratan Parliamentary Treshold (PT) sebesar 5 persen sangatlah bera.

"Tidak logis kalau PBB masih ngotot ingin berdiri sendiri, dasar pemikirannya tidak relevan. Apalagi kondisi elit-elitnya saat ini dirundung berbagai masalah," terang Abdul Hakim.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Sekjen DPP PBB Sahar L Hassan mengatakan partainya tidak akan mengikuti langkah PBR yang melebur dengan Partai Golkar. Sahar mengatakan, PBB tidak akan bersedia melebur dengan partai manapun.

"Keputusan muktamar, kita maju sendiri, siapa pun yang menawar, kita tetap punya pendirian," tuturnya, Sabtu (3/7). (mah)

Baca Selengkapnya...

Friday, July 02, 2010

Manuver Ical Rangkul Parpol Gurem: Cegah Golkar Gembos, Amankan Tiket Pilpres

02/07/2010 - 08:14

INILAH.COM, Jakarta- Setelah berhasil memegang kendali di Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi Pemerintah sebagai ketua harian, kini Aburizal Bakrie mulai mendekati partai-partai gurem.

Partai Bintang Reformasi (PBR) adalah partai pertama yang menjadi 'garapan' Ical. Kemarin, Ketua Umum PBR Bursah Zarnubi telah 'menghadap' Ical di kantor DPP Partai Golkar, Anggrek Nelly, Slipi, Jakarta.

Peneliti Senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi menilai, langkah Ical mendekati partai-partai kecil setidaknya memiliki dua makna. Pertama, sebagai penjajakan kemungkinan peleburan partai kecil ke dalam Partai Golkar.

Ini dimaksudkan guna menjaga dan bahkan mendongkrak suara pada Pemilu 2014. Ini juga bentuk antisipasi gembosnya suara Partai Golkar dikarenakan makin populisnya Partai Gerindra yang notabene pecahan Partai Golkar. Juga berdirinya Nasional Demokrat pimpinan Surya Paloh yang berpotensi menjadi parpol sempalan Golkar.

"Peleburan sangat dimungkinkan, dengan kompensasi jabatan tertentu dan kuota caleg tertentu maka partai kecil sangat mungkin melebur ke Golkar. Saya menyebutnya akuisisi parpol," ujarnya.

Makna kedua sebut Burhan adalah, Ical ingin menaikkan bargaining politiknya dengan cara memperluas koalisi bukan hanya di parpol intra parlementer, melainkan juga parpol ekstra parlementer. Perluasan koalisi diperlukan guna meningkatkan bargaining politik Partai Golkar dan Ical dalam menjaga stabilitas pemerintahan.

Selain itu, apabila akuisisi partai-partai kecil berhasil mempertahankan perolehan suara Partai Golkar pada Pemilu 2014, maka peluang Ical untuk mendapatkan tiket sebagai calon presiden atau calon wakil presiden menjadi semakin terbuka.

"Ini akan membuat nilai tawar Golkar dan Ical makin tinggi di mata SBY, kalau akuisisi partai kecil ini bisa mempertahankan atau menambah suara Golkar ya peluang Ical di Pilpres makin terbuka," terangnya.

Sementara itu, Peneliti Senior Indo Barometer Abdul Hakim menilai, upaya Ical menggalang partai kecil menunjukkan dirinya memiliki magnitude politik tinggi. Sebagai ketua umum salah satu partai besar dan pengusaha papan atas, Ical ingin mengkapitalisasi dirinya sebagai tokoh sentral selain SBY di pentas politik.

Selama kurun 2004-2009, SBY sebagai Presiden merupakan tokoh sentral dalam kancah politik Indonesia, tokoh yang bisa menandingi hanyalah Megawati Soekarnoputeri. Setelah puteri Proklamator Bung Karno itu menelan kekalahan kedua di Pilpres 2009, pengaruh politiknya mulai berkurang.

Saat ini di antara tokoh nasional yang ada tidak satupun bisa menandingi pengaruh SBY. Dengan berbagai manuver yang dilakukan termasuk mengakuisi partai kecil, Ical ingin menempatkan dirinya sebagai tokoh sentral nasional.

"Secara pribadi, manuver ini akan semakin mengukuhkan citra Ical sebagai tokoh sentral selain SBY. Jadi bargaining Ical semakin kuat di hadapan SBY," ujar Abdul Hakim.

Sebagaimana diberitakan, Kamis (1/7) Ketua Umum PBR Bursah Zarnubi menemui Ical di Kantor DPP Partai Golkar, Anggrek Nelly, Slipi, Jakarta. Bursah mengakui, kedatangannya sebagai upaya penjajakan peleburan PBR ke dalam Partai Golkar. "PBR tidak mungkin bertarung dengan PT (parliamentary treshold) 5 persen."

Bahkan, mantan Ketua Hummanika ini mengatakan, tidak menutup kemungkinan PBR akan menjadi ormas bukan sebagai partai lagi. "Memang harus begitu. Sudah kecil sombong lagi. Kalah tidak boleh sombong," imbuh Bursah.

Sebelumnya, Ketua Umum Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) Bachtiar Chamsyah juga telah menemui Ical di Gedung Epicentrum, Komplek Taman Kuningan, Jakarta (24/6). Namun Bachtiar enggan menyebutkan pertemuan itu dilakukan dalam rangka penjajakan Pemilu 2014. (mah)

Baca Selengkapnya...

Cegah Golkar Gembos, Amankan Tiket Pilpres

Jumat, 2 Juli 2010 | 08:14 WIB
Oleh: MA Hailuki

INILAH.COM, Jakarta- Setelah berhasil memegang kendali di Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi Pemerintah sebagai ketua harian, kini Aburizal Bakrie mulai mendekati partai-partai gurem.

Partai Bintang Reformasi (PBR) adalah partai pertama yang menjadi 'garapan' Ical. Kemarin, Ketua Umum PBR Bursah Zarnubi telah 'menghadap' Ical di kantor DPP Partai Golkar, Anggrek Nelly, Slipi, Jakarta.

Peneliti Senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi menilai, langkah Ical mendekati partai-partai kecil setidaknya memiliki dua makna. Pertama, sebagai penjajakan kemungkinan peleburan partai kecil ke dalam Partai Golkar.

Ini dimaksudkan guna menjaga dan bahkan mendongkrak suara pada Pemilu 2014. Ini juga bentuk antisipasi gembosnya suara Partai Golkar dikarenakan makin populisnya Partai Gerindra yang notabene pecahan Partai Golkar. Juga berdirinya Nasional Demokrat pimpinan Surya Paloh yang berpotensi menjadi parpol sempalan Golkar.

"Peleburan sangat dimungkinkan, dengan kompensasi jabatan tertentu dan kuota caleg tertentu maka partai kecil sangat mungkin melebur ke Golkar. Saya menyebutnya akuisisi parpol," ujarnya.

Makna kedua sebut Burhan adalah, Ical ingin menaikkan bargaining politiknya dengan cara memperluas koalisi bukan hanya di parpol intra parlementer, melainkan juga parpol ekstra parlementer. Perluasan koalisi diperlukan guna meningkatkan bargaining politik Partai Golkar dan Ical dalam menjaga stabilitas pemerintahan.

Selain itu, apabila akuisisi partai-partai kecil berhasil mempertahankan perolehan suara Partai Golkar pada Pemilu 2014, maka peluang Ical untuk mendapatkan tiket sebagai calon presiden atau calon wakil presiden menjadi semakin terbuka.

"Ini akan membuat nilai tawar Golkar dan Ical makin tinggi di mata SBY, kalau akuisisi partai kecil ini bisa mempertahankan atau menambah suara Golkar ya peluang Ical di Pilpres makin terbuka," terangnya.

Sementara itu, Peneliti Senior Indo Barometer Abdul Hakim menilai, upaya Ical menggalang partai kecil menunjukkan dirinya memiliki magnitude politik tinggi. Sebagai ketua umum salah satu partai besar dan pengusaha papan atas, Ical ingin mengkapitalisasi dirinya sebagai tokoh sentral selain SBY di pentas politik.

Selama kurun 2004-2009, SBY sebagai Presiden merupakan tokoh sentral dalam kancah politik Indonesia, tokoh yang bisa menandingi hanyalah Megawati Soekarnoputeri. Setelah puteri Proklamator Bung Karno itu menelan kekalahan kedua di Pilpres 2009, pengaruh politiknya mulai berkurang.

Saat ini di antara tokoh nasional yang ada tidak satupun bisa menandingi pengaruh SBY. Dengan berbagai manuver yang dilakukan termasuk mengakuisi partai kecil, Ical ingin menempatkan dirinya sebagai tokoh sentral nasional.

"Secara pribadi, manuver ini akan semakin mengukuhkan citra Ical sebagai tokoh sentral selain SBY. Jadi bargaining Ical semakin kuat di hadapan SBY," ujar Abdul Hakim.

Sebagaimana diberitakan, Kamis (1/7) Ketua Umum PBR Bursah Zarnubi menemui Ical di Kantor DPP Partai Golkar, Anggrek Nelly, Slipi, Jakarta. Bursah mengakui, kedatangannya sebagai upaya penjajakan peleburan PBR ke dalam Partai Golkar. "PBR tidak mungkin bertarung dengan PT (parliamentary treshold) 5 persen."

Bahkan, mantan Ketua Hummanika ini mengatakan, tidak menutup kemungkinan PBR akan menjadi ormas bukan sebagai partai lagi. "Memang harus begitu. Sudah kecil sombong lagi. Kalah tidak boleh sombong," imbuh Bursah.

Sebelumnya, Ketua Umum Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) Bachtiar Chamsyah juga telah menemui Ical di Gedung Epicentrum, Komplek Taman Kuningan, Jakarta (24/6). Namun Bachtiar enggan menyebutkan pertemuan itu dilakukan dalam rangka penjajakan Pemilu 2014. (mah)

Baca Selengkapnya...

Thursday, July 01, 2010

LIMITASI CAPAIAN PKS

Oleh: Abdul Hakim MS
SInar Harapan

Lance Castles pernah mengatakan, dunia modern, disamping disebut sebagai The Age of Nation-State (Zaman negara-bangsa), bisa juga dijuluki sebagai The Age of Parties (Zaman Partai Politik) [Castles:1999]. Hal ini mengacu pada geliat sistem politik yang diberlakukan oleh semua negara dunia selalu mengadopsi partai politik sebagai salah satu unsur utama jalannya pemerintahan, baik dengan sistem dua partai, multi partai, partai tunggal, atau partai dominan. Dalam konteks Indonesia, pernyataan Castles mendapatkan penegasan. Peran partai politik di Indonesia, pasca reformasi, mendekap peranan lebih dibandingkan dengan peran-peran lembaga negara lainnya. Pemilihan presiden, pemilihan pejabat publik hingga pembuatan kebijakan-kebijakan strategis lainnya, tak akan bisa luput dari keberadaan partai politik.

Melihat peranan parpol yang sangat vital di Indonesia tersebut, maka menjadi hal penting menelaah tingka-polah partai politik. Salah satu partai politik yang bisa dilihat adalah Partai Keadilan sejahtera (PKS) yang pada 17 Juni 2001 mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) di Hotel The Ritz Carlton, Jakarta. PKS menarik untuk ditilik, antara lain dikarenakan ia memiliki label “fenomenal” dalam pewarnaannya dalam konteks politik nasional.

Tipologi Partai

Mengacu pada perjalanan biologis partai-partai yang perolehan suaranya lolos parliemanetary threshold pada pemilu 2009, kita bisa membelah tipologi partai politik di Indonesia menjadi dua golongan utama. Pertama adalah golongan partai politik yang suaranya terus tumbuh dari satu pemilu ke pemilu berikutnya, dan golongan kedua adalah partai politik yang suaranya terus menipis dari waktu ke waktu.

Untuk golongan pertama, hanya ada dua partai, yaitu Partai Demokrat dan PKS. Partai Demokrat, saat pertama kali ikut pemilu pada 2004 langsung merangsek dengan perolehan 7.45%. Bahkan pada pemilu 2009, PD malah menjadi pemenang pemilu dengan perolehan suara sebesar 20,85%. Begitu pula dengan PKS. Pada saat pendiriannya (masih bernama PK) PKS telah diprediksi sebagai partai kuda hitam pada pemilu 1999. Pada pemilu pertamanya, PK mendapatkan suara sebesar 1.36%. Pada pemilu 2004, PK yang sudah berganti nama menjadi PKS memperolehan suara 7.34%, kalah tipis dengan PD. Pada pemilu 2009, perolehan suara PKS nail lagi menjadi 7.88%.

Sementara pada kelompok partai kedua, ada Partai Golkar, PDIP, PPP, PAN dan PKB. Keempat parpol ini suaranya terus menurun sejak masa reformasi bergulir. Coba kita tengok perolehan masing-masing partai ini sejak pemilu 1999 sampai 2009. Partai Golkar, pada pemilu 1999, 2004 dan 2009 perolehan suaranya adalah 22.45%, 21.58%, dan 14.45%. PDI-P, 33.75%, 18.53% dan 14.03%. PPP, 10.72%, 8.15% dan 5.32%. PAN, 7.12%, 6.44%, dan 6.01%. PKB, 12.61%, 10.57% dan 4.94%.

Melihat tipologi di atas, tidak heran jika label “fenomenal” sempat lekat dengan PKS. Akan tetapi, meski naik, perolehan suara PKS pada pemilu 2004 dan 2009 seolah mandek pada angka tujuh persen. Pertanyaannya, bisakah PKS mengangkat lagi pertumbuhannya pada pemilu 2014? Atau angka tujuh persen telah menjadi capaian tertinggi (limit) PKS?

Membongkar Limit

Sesuatu yang harus ada agar partai politik dapat menjadi besar sangat tergantung dari kombinasi tiga unsur utama. Pertama, agar menjadi besar, partai politik harus memiliki basis massa yang kuat. Kedua, partai politik harus memiliki struktur organisasi yang solid dan modern sebagai mesin pendulang suara. Dan ketiga partai politik harus memiliki pemimpin atau tokoh yang populer dan disukai oleh masyarakat.

Dalam konteks PKS, dua dari tiga syarat di atas telah dimiliki. PKS memiliki basis massa yang terkenal loyal dan solid. Struktur organisasi yang baik sebagai mesin pendulang suara juga telah digenggam. Yang minus dari PKS adalah belum adanya tokoh pemimpin populer yang memiliki tingkat elektabilitas tinggi. Padahal, pengalaman di Indonesia, unsur ketiga inilah yang cenderung dominan.

Kita semua mafhum, bahwa faktor dominan besarnya Partai Demokrat adalah sosok SBY didalamnya. Begitu pula di PDIP. Kuatnya karisma Megawati, menjadikan PDIP tetap eksis hingga kini. Tak luput juga dengan PAN dengan sosok Amien Rais. Salah satu partai yang terus bertahan meskipun terlepas dari ketokohan sentral hanya Partai Golkar. Meskipun demikian, ketiadaan pemimpin karismatik yang dapat dijadikan simbol, Partai Golkar pun mengalami surut suara sejak pemilu 1999 hingga 2009.

Tak pelak, tantangan terbesar munas PKS kali ini adalah menggodok konsep guna memunculkan tokoh yang akan dipakai sebagai simbol menghadapi pemilu 2014. Hal ini dilakukan guna melengkapi dua syarat yang telah dipunyai. Sosok-sosok muda progressif plus tokoh-tokoh senior yang banyak dimiliki PKS, seperti Anis Matta dan Hidayat Nurwahid misalnya, bisa dijadikan bibit untuk dikapitalisasi selama 4 tahun mendatang. Atau mungkin, PKS juga harus memikirkan alternatif untuk menggamit tokoh besar diluar PKS, karena hal itu juga bukan sesuatu yang haram.

Masih lestarinya budaya politik parokial pada sebagian besar pemilih Indonesia, mewajibkan semua partai politik di Indonesia memiliki tokoh sentral dengan citra baik di mata publik. Jika PKS tidak ingin mandek perolehan suaranya di kisaran tujuh persen pada pemilu 2014, pekerjaan rumah ini harus diselesaikan melalui munas kali ini, disamping mempertegas posisi dan mencari strategi marketting terbaik. Karena pemilih kita masih cenderung membagi partai politik secara hitam dan putih.

Baca Selengkapnya...