Koran Jakarta, Rabu, 16 Juni 2010
Oleh: Abdul Hakim MS
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) akan menggelar Musyawarah Nasional (Munas) di Hotel The Ritz Carlton, Jakarta pada 16-18 Juni 2010. Musyawarah nasional ini cukup menarik mengingat forum ini memiliki perbedaan cukup mencolok dengan ajang serupa oleh partai politik lain di Indonesia; tidak ada pemilihan ketua umum. Oleh karena itu, tidak akan ada baliho besar kandidat yang menjejali Jakarta dan arena kongeres, tidak ada tim sukses, tidak ada hiruk-pikuk, tidak ada money politic, tidak ada negative campaign, dan sepertinya juga tidak akan ada liputan besar-besaran oleh media massa, seperti liputan terhadap kongres Partai Demokrat beberapa waktu yang lalu.
Karateristik PKS dalam memilih pimpinan pusatnya, memang tidak seperti pemilihan ketua umum partai politik lain di Indonesia pada umumnya. Demokrasi yang dibangun oleh PKS dalam memilih ketua umumnya adalah dengan menjalankan asas demokrasi perwakilan. Sesuai dengan AD/ART PKS, ketua umum dipilih oleh badan Majelis Syuro. Majelis ini merupakan lembaga tertinggi PKS yang bertugas antara lain menyusun Visi dan Missi Partai, ketetapan-ketetapan dan rekomendasi Musyawarah Nasional, dan memilih Pimpinan Pusat Partai serta keputusan-keputusan strategis lainnya. Selain itu, majelis ini bertugas membentuk Majelis Pertimbangan Partai sebagai Badan Pekerja Majelis Syuro dan membentuk Dewan Syari'ah Pusat. Majelis Syuro sendiri merupakan badan yang beranggotakan minimal 35 orang yang dipilih oleh mekanisme pemilihan raya yang melibatkan seluruh anggota kader inti partai.
Demokrasi yang dilaksanakan oleh PKS ini mirip-mirip dengan pola demokrasi perwakilan dalam pemilihan presiden sebelum masa reformasi. Pemilihan umum pada saat itu, hanya difokuskan untuk memilih anggota legislatif saja. Anggota legislatif terpilih kemudian memilih presiden dan wakil presiden. Dengan singkat kata, demokrasi yang dibangun dalam tubuh PKS adalah sistem demokrasi perwakilan. Mandat untuk memilih seluruh lembaga tinggi PKS diserahkan kepada lembaga tertinggi partai, Dewan Syuro, yang sebelumnya telah dipilih secara demokratis.
Efektivitas
Dengan mengadopsi demokrasi perwakilan, dalam beberapa hal, demokrasi ala PKS ini setidaknya memiliki tiga hal positif dan efektif demi kepentingan internal partai. Pertama, meminimalisasi perpecahan pasca pemilihan ketua umum.
Seolah telah menjadi kebiasaan, ajang kongres partai-partai di Indonesua kerap menyembulkan perpecahan diantara kader mereka sendiri setelah acara usai. Kita tentu masih ingat bagaimana kemelut yang menimpa Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada akhir-akhir masa Orde baru. PDI, oleh pemerintah ”di adu” akibat konflik dalam pemilihan ketua umumnya. PDI kemudian menjadi dua kubu, PDI Megawati hasil Munas di Jakarta 1993 dan PDI Soerjadi hasil kongres Medan 1996. pada ujungnya, PDI Megawati kemudian melakukan metamorfosa menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) pada wal-awal reformasi. Kasus serupa juga menimpa Partai Golkar pada musyawarah nasional VIII di Pekan Baru, Riau, Agustus 2009 lalu. Terpilihnya Aburizal Bakrie sebagai ketua umum, memunculkan indikasi pecahnya kader Partai Golkar akibat kalahnya kandidat dalam perebutan posisi puncak. Surya Paloh, salah satu pesaing yang kalah tipis oleh Aburizal Bakrie, mendirikan Ormas Nasional Demokrat (Nasdem). Disinyalir, Nasdem nantinya dipersiapkan menjadi partai menjelang pemilu 2014.
Kedua, demokrasi ala PKS ini mempunyai sisi positif dapat memfokuskan energi munas untuk betul-betul membahas konsep, startegi, dan pengambilan keputusan penting lainnya guna menghadapi pemilu 2014. Hal ini dikarenakan tidak ada hiruk-pikuk pemilihan ketua umum, yang biasanya menjadi perhatian utama peserta kongres.
Ketiga, Demokrasi ala PKS dapat meminimalisasi cost politik calon kandidat ketua umum. Tentu kita semua pasti dibuat menaksir-naksir berapa banyak cost politik yang telah dikeluarkan Andi Mallarangeng ketika kongres Partai Demokrat beberapa waktu yang lalu. Iklan besar-besaran di media massa, baik cetak maupun elektronik, pembuatan spanduk, umbul-umbul dan lain sebagianya, pasti tidak menyedot anggaran yang sedikit. Dalam konteks PKS, hal ini dapat diminimalisasi.
Jika kondisinya demikian, pertanyaan yang cukup menggelitik adalah apa yang menarik dicermati dalam munas PKS kali ini?
Tantangan Munas
PR terbesar partai islam saat ini yang belum terselesaikan adalah menjadi pesaing handal terhadap keberadaan partai-partai nasionalis. Sejak pemilu 1955, perolehan suara partai nasionalis selalu lebih unggul dibandingkan partai islam. Hal ini cukup ironis, mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah muslin.
Berdasarkan data yang direkam Indo Barometer, sejak pemilu 1955, gabungan perolehan suara partai islam selalu kalah melawan gabungan suara partai nasionalis. Pada pemilu 1955, suara partai islam sebesar 43,7%, sementara suara partai nasionalis 51.7%. Pada pemilu 1999, gap lebih tajam terjadi. Partai islam meraih suara sebesar 36.8% sementara partai nasionalis mendapat suara sebesar 62.3%. Demikian halnya pada pemilu 2004, partai islam mendapatkan suara sebesar 38.1% sementara partai nasionalis mendapatkan suara sebesar 59.5%. Celakanya lagi, pemilu 2009 seolah menjadi “kuburan” bagi partai islam. Dari enam partai politik islam (PKS, PPP, PBB, PKNU, PBR, PMB), hanya 2 partai yang lolos peraturan Parliamentary Threshold 2.5%, yakni PKS dan PPP. 4 partai yang lain tidak bisa lagi mengikuti pemilu 2014.
Tentu hal ini menjadi tugas berat PKS sebagai partai islam dengan suara tertinggi pada pemilu 2009. Itu sebabnya, momentum munas kali ini harus dijadikan arena kawah candradimuka agar partai Islam tidak tergerus habis pada pemilu 2014. Konsep repositioning yang pada pemilu 2009 lalu telah dimulai, harus kembali diteguhkan. Seperti kita faham, PKS telah melakukan reposisi identitas sebagai partai islam, dengan sedikit menambahkan unsur plurasitik. Slogan “Emang (Merah Kuning Hijau Biru) bisa PKS? Kenapa Tidak..” adalah implikasi modifikasi PKS guna menaikkan suara. Hasilnya sudah cukup positif dengan meningkatnya suara PKS dari 7.34% pada pemilu 2004 menjadi 7.88% pada pemilu 2009.
Kebijakan reposisi adalah hal lumrah terjadi dalam partai politik. Kebijakan ini dilakukan tatkala suatu partai atau kontestan melihat identitas yang mereka miliki masih kurang kuat dipersepsikan oleh masyarakat dibandingkan dengan pesaing [Lock dan Harris:1996]. Namun yang harus tetap ditekankan adalah bahwa PKS tetap merupakan partai islam. Oleh karena itu, yang menarik ditunggu dari kongres PKS kali ini adalah langkah strategi apa yang akan diambil dan posisi apa yang akan ditegaskan PKS dalam menghadapi pemilu 2014.
Karateristik PKS dalam memilih pimpinan pusatnya, memang tidak seperti pemilihan ketua umum partai politik lain di Indonesia pada umumnya. Demokrasi yang dibangun oleh PKS dalam memilih ketua umumnya adalah dengan menjalankan asas demokrasi perwakilan. Sesuai dengan AD/ART PKS, ketua umum dipilih oleh badan Majelis Syuro. Majelis ini merupakan lembaga tertinggi PKS yang bertugas antara lain menyusun Visi dan Missi Partai, ketetapan-ketetapan dan rekomendasi Musyawarah Nasional, dan memilih Pimpinan Pusat Partai serta keputusan-keputusan strategis lainnya. Selain itu, majelis ini bertugas membentuk Majelis Pertimbangan Partai sebagai Badan Pekerja Majelis Syuro dan membentuk Dewan Syari'ah Pusat. Majelis Syuro sendiri merupakan badan yang beranggotakan minimal 35 orang yang dipilih oleh mekanisme pemilihan raya yang melibatkan seluruh anggota kader inti partai.
Demokrasi yang dilaksanakan oleh PKS ini mirip-mirip dengan pola demokrasi perwakilan dalam pemilihan presiden sebelum masa reformasi. Pemilihan umum pada saat itu, hanya difokuskan untuk memilih anggota legislatif saja. Anggota legislatif terpilih kemudian memilih presiden dan wakil presiden. Dengan singkat kata, demokrasi yang dibangun dalam tubuh PKS adalah sistem demokrasi perwakilan. Mandat untuk memilih seluruh lembaga tinggi PKS diserahkan kepada lembaga tertinggi partai, Dewan Syuro, yang sebelumnya telah dipilih secara demokratis.
Efektivitas
Dengan mengadopsi demokrasi perwakilan, dalam beberapa hal, demokrasi ala PKS ini setidaknya memiliki tiga hal positif dan efektif demi kepentingan internal partai. Pertama, meminimalisasi perpecahan pasca pemilihan ketua umum.
Seolah telah menjadi kebiasaan, ajang kongres partai-partai di Indonesua kerap menyembulkan perpecahan diantara kader mereka sendiri setelah acara usai. Kita tentu masih ingat bagaimana kemelut yang menimpa Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada akhir-akhir masa Orde baru. PDI, oleh pemerintah ”di adu” akibat konflik dalam pemilihan ketua umumnya. PDI kemudian menjadi dua kubu, PDI Megawati hasil Munas di Jakarta 1993 dan PDI Soerjadi hasil kongres Medan 1996. pada ujungnya, PDI Megawati kemudian melakukan metamorfosa menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) pada wal-awal reformasi. Kasus serupa juga menimpa Partai Golkar pada musyawarah nasional VIII di Pekan Baru, Riau, Agustus 2009 lalu. Terpilihnya Aburizal Bakrie sebagai ketua umum, memunculkan indikasi pecahnya kader Partai Golkar akibat kalahnya kandidat dalam perebutan posisi puncak. Surya Paloh, salah satu pesaing yang kalah tipis oleh Aburizal Bakrie, mendirikan Ormas Nasional Demokrat (Nasdem). Disinyalir, Nasdem nantinya dipersiapkan menjadi partai menjelang pemilu 2014.
Kedua, demokrasi ala PKS ini mempunyai sisi positif dapat memfokuskan energi munas untuk betul-betul membahas konsep, startegi, dan pengambilan keputusan penting lainnya guna menghadapi pemilu 2014. Hal ini dikarenakan tidak ada hiruk-pikuk pemilihan ketua umum, yang biasanya menjadi perhatian utama peserta kongres.
Ketiga, Demokrasi ala PKS dapat meminimalisasi cost politik calon kandidat ketua umum. Tentu kita semua pasti dibuat menaksir-naksir berapa banyak cost politik yang telah dikeluarkan Andi Mallarangeng ketika kongres Partai Demokrat beberapa waktu yang lalu. Iklan besar-besaran di media massa, baik cetak maupun elektronik, pembuatan spanduk, umbul-umbul dan lain sebagianya, pasti tidak menyedot anggaran yang sedikit. Dalam konteks PKS, hal ini dapat diminimalisasi.
Jika kondisinya demikian, pertanyaan yang cukup menggelitik adalah apa yang menarik dicermati dalam munas PKS kali ini?
Tantangan Munas
PR terbesar partai islam saat ini yang belum terselesaikan adalah menjadi pesaing handal terhadap keberadaan partai-partai nasionalis. Sejak pemilu 1955, perolehan suara partai nasionalis selalu lebih unggul dibandingkan partai islam. Hal ini cukup ironis, mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah muslin.
Berdasarkan data yang direkam Indo Barometer, sejak pemilu 1955, gabungan perolehan suara partai islam selalu kalah melawan gabungan suara partai nasionalis. Pada pemilu 1955, suara partai islam sebesar 43,7%, sementara suara partai nasionalis 51.7%. Pada pemilu 1999, gap lebih tajam terjadi. Partai islam meraih suara sebesar 36.8% sementara partai nasionalis mendapat suara sebesar 62.3%. Demikian halnya pada pemilu 2004, partai islam mendapatkan suara sebesar 38.1% sementara partai nasionalis mendapatkan suara sebesar 59.5%. Celakanya lagi, pemilu 2009 seolah menjadi “kuburan” bagi partai islam. Dari enam partai politik islam (PKS, PPP, PBB, PKNU, PBR, PMB), hanya 2 partai yang lolos peraturan Parliamentary Threshold 2.5%, yakni PKS dan PPP. 4 partai yang lain tidak bisa lagi mengikuti pemilu 2014.
Tentu hal ini menjadi tugas berat PKS sebagai partai islam dengan suara tertinggi pada pemilu 2009. Itu sebabnya, momentum munas kali ini harus dijadikan arena kawah candradimuka agar partai Islam tidak tergerus habis pada pemilu 2014. Konsep repositioning yang pada pemilu 2009 lalu telah dimulai, harus kembali diteguhkan. Seperti kita faham, PKS telah melakukan reposisi identitas sebagai partai islam, dengan sedikit menambahkan unsur plurasitik. Slogan “Emang (Merah Kuning Hijau Biru) bisa PKS? Kenapa Tidak..” adalah implikasi modifikasi PKS guna menaikkan suara. Hasilnya sudah cukup positif dengan meningkatnya suara PKS dari 7.34% pada pemilu 2004 menjadi 7.88% pada pemilu 2009.
Kebijakan reposisi adalah hal lumrah terjadi dalam partai politik. Kebijakan ini dilakukan tatkala suatu partai atau kontestan melihat identitas yang mereka miliki masih kurang kuat dipersepsikan oleh masyarakat dibandingkan dengan pesaing [Lock dan Harris:1996]. Namun yang harus tetap ditekankan adalah bahwa PKS tetap merupakan partai islam. Oleh karena itu, yang menarik ditunggu dari kongres PKS kali ini adalah langkah strategi apa yang akan diambil dan posisi apa yang akan ditegaskan PKS dalam menghadapi pemilu 2014.
No comments:
Post a Comment