Monday, February 18, 2008

Memaknai Pengumuman Reshuffle Kabinet

Oleh Abdul Hakim MS.

Selama dua pekan terakhir, ranah politik nasional diramaikan oleh isu perombakan kabinet Indonesia Bersatu. Rumor ini terus saja mengejala tanpa arah hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan kepastian pada Jumat (20/04). Setelah sholat jumat, Presiden pertama pilihan rakyat ini memastikan bahwa perubahan terbatas terhadap kabinetnya akan dilakukan pada awal Mei mendatang.

Dengan adanya pengumuman ini, tentu polemik tentang ada atau tiadanya pergantian menteri menjadi terjawab. Rasa penasaran yang beberapa pekan terakhir menggelayut di dada publik menjadi jelas. Akan tetapi, ada satu pertanyaan yang mungkin menyelip dibenak kita. Kenapa SBY jauh-jauh hari mengumumkan keputusannya ini? Padahal, sebenarnya ini bukan gaya dari seorang SBY?

Menjawab Kritik

Seperti kita tahu, style kepemimpinan SBY, jika tidak kita katakan lamban, adalah sosok yang penuh kehati-hatian dalam mengambil keputusan. Sulit dipercaya ia akan membuat konsentrasi para menterinya rusak di tengah sorotan tajam yang sedang menggulung pemerintahannya. Akan tetapi, justeru karena sorotan tajam itulah yang memaksa SBY harus “kompromi”. Ia terpaksa lebih dini mengumumkan rencananya, meski dengan resiko membuat kalang-kabut para pembantunya.

Simaklah berbagai macam kritik yang mengguyur pemerintah. Berdasarkan hasil survei, popularitas SBY terus menurun sebagai akibat telah dianggap gagal mengurusi berbagai macam persoalan negeri ini. Merosotnya popularitas pemerintah ditunjukkan dengan hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang disampaikan Direktur Eksekutif Saiful Mudjani, akhir Maret, dan survei Lingkaran Survei Indonesia yang disampaikan oleh Denny JA beberapa waktu yang lalu.

Dalam kaca mata survei Lingkaran Survei Indonesia pada Februari yang dianalisis pada Maret dan April menunjukkan, bahwa kepercayaan publik atas kemampuan pemerintah menangani kemiskinan dan pengangguran masing-masing hanya 26 persen dan 22,9 persen. Lebih dari 50 persen responden menyatakan Presiden tidak mampu. Disektor lainnya, kepuasan publik atas kinerja Presiden juga sangat rendah. Dari enam aspek yang dinilai, hanya sektor keamanan yang nilainya positif sebesar 59,6 persen. Sektor lainnya hanya menghasilkan kepuasan publik kurang dari separuh, yaitu politik (45,4 persen), ekonomi (29,7 persen), sosial (46,9 persen), penegakan hukum (47,2 persen), dan hubungan luar negeri (46,4 persen).

Hasil jajak pendapat harian Kompas juga menunjukkan penilaian negatif terhadap kinerja pemerintah. Walaupun saat ini tetap dianggap paling layak untuk memimpin bangsa ini, popularitas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono cenderung menurun. Memasuki periode pertengahan masa pemerintahannya, 20 April 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dinilai belum bisa bertindak nyata untuk mengakselerasi kinerja pemerintahannya menghadapi berbagai persoalan yang muncul di masyarakat.

Dalam jajak pendapat Kompas yang menyoroti kinerja pemerintahan periode bulan ke-30 terungkap, keinginan publik untuk memilih Yudhoyono sebagai presiden apabila pemilihan umum dilakukan saat ini cenderung menurun. Jika dibandingkan dengan enam bulan sebelumnya, penurunan yang terjadi terasa sangat signifikan. Terhadap pertanyaan, "Jika saat ini dilakukan pemilihan presiden, siapakah tokoh yang paling Anda anggap layak menjadi presiden?" sebanyak 44,2 persen menyodorkan 48 nama. Dari nama-nama tersebut, 35,3 persen merupakan pilihan terhadap Yudhoyono. Padahal, pada enam bulan lalu nama Yudhoyono masih disebutkan oleh 52,6 persen responden.

Hal inilah yang sangat dipahami oleh SBY. Hasil penilain yang diperlihatkan oleh berbagai lembaga survei yang cenderung miring terhadap berbagai sektor pemerintahannya, memaksa ia mengambil keputusan populis. Pengumuman dini tentang adanya perombakan kabinet, tidak lain merupakan jawaban kritik yang sedang menggulung pemerintahannya. Harapannya, kinerja pemerintah kembali dapat dipompa untuk menghasilkan perubahan yang mencolok.

Kontraproduktif

Perombakan kabinet yang dilakukan SBY ini bukan untuk pertama kalinya. Pada bulan Oktober 2005 lalu, reshuffle terbatas juga pernah digulirkan. Akan tetapi ternyata, perubahan ini tidak menelurkan hasil maksimal. Kinerja para menteri tetap saja mengalami kemadegan dan bergulir biasa-biasa saja.

Berbeda dengan reshuffle pada Oktober 2005 lalu, perombakan kabinet kali ini harus diawali dengan pengumuman jauh-jauh hari sebelum pergantian itu sendiri dilaksanakan. Hal ini menurut hemat saya memberikan implikasi kurang baik pada kinerja kabinet yang kini berjalan terseok-seok.

Setidaknya, ada tiga implikasi negatif yang akan mengiringi pengumuman ini. Pertama, pengumuman yang dilakukan dua minggu sebelum pergantian ini dilakukan, akan merusak konsentrasi kinerja kabinet. Kegiatan para menteri dua pekan ini “hanya” akan disibukkan dengan aktivitas “mengiklankan” diri kepada presiden agar tidak mengalami pergantian. Tentu hal ini akan merusak kinerja mereka secara keseluruhan. Padahal pekerjaan rumah yang harus mereka selesaikan sudah menumpuk untuk ditangani.

Kedua, pengumuman ini akan menambah panjang daftar menteri yang akan terserang “penyakit”. Dengan pengumuman yang dilakukan jauh-jauh hari ini, jantung para menteri akan semakin berdegub kencang. Seperti telah dilansir oleh Mensesneg, saat ini daftar menteri yang terganggu oleh penyakit jantung dan stroke sudah mencapai 13 orang. Bukan hal yang mustahil pengumuman ini akan menyulut daftar panjang ini dan semakin memperburuk kinerja kabinet Indonesia Bersatu.

Ketiga, pengumuman ini akan memantik “perkelahian” antar parpol yang merasa menjadi pendukung pemerintah. Mereka akan beramai-ramai menyodorkan kadernya guna persiapan pengumpulan logistik untuk pemilu 2009. Kondisi ini tentu akan memperuwet kinerja kabinet. Boleh jadi, bagi parpol pendukung pemerintah yang nantinya merasa tidak mendapat “jatah”, akan berulah dan memperkeruh kinerja kabinet yang sudah berada dititik rendah.

Jika melihat kondisi kinerja kabinet saat ini, reshuffle memang jawaban tepat untuk melakukan perbaikan. Akan tetapi yang perlu diperhatikan, jangan sampai pergantian para menteri ini akan menjadi kontraproduktif dengan tujuan awal reshuffle. Bermaksud ingin memperbaiki kinerja, bukan tidak mungkin perubahan kabinet ini malah berbuah ketidakpastian politik dan semakin memperparah kinerja pemerintahan.

Baca Selengkapnya...