Thursday, November 29, 2007

Lagi, Oposisi Tak Semestinya

Melihat perkembangan demokrasi kita, memang menimbulkan kebanggaan. Saya melihat, demokrasi kita saat ini, mungkin bisa dikatakan yang paling demokratis. Berbagai sendi praktik bernegara kita, tak bisa lepas dari pengawasan pihak lain, begitupun dengan pemerintah. PDI-P memproklamirkan diri sebagai oposisi, salah satu stakeholder yang wajib ada dalam tatanan demokrasi.

Mungkin yang menggelitik hati, apakah oposisi harus selalu berbeda?

Pertanyaan ini muncul dibenak saya tatkala PDIP kembali menolak usul Presiden yang meminta agar pengesahan RUU Perampasan Aset bisa dilakukan oleh DPR pada tahun 2008. Usulan presiden ini dianggap oleh PDIP hanya sebagai salah satu cara agar pemerintah kelihatan serius dalam pemberantasan korupsi. Yang lebih lucu, salah satu tokoh PDIP mengatakan yang penting political will. Ibarat kita mau ke Singapura dalam waktu 1 jam, mungkinkah kita bisa sampai disana tanpa menumpang pesawat? Atau dalam arti kata lain, mungkinkah kita dapat meberantas korupsi tanpa ada alat UU yang komprehensif?

Selama ini, penyidik kita tak punya kuasa untuk menyita aset-aset negara yang dikorupsi sebelum kasusnya mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun begitu inkracht, aset-aset negara yang telah dikorupsi sudah lenyap. Kemudian, hasil apa yang akan diperoleh lembaga peradilan jika semua kasus terjadi seperti ini? Jawabannya pasti, NIHIL.

Tentu, dengan adanya UU Perampasan Aset, penyidik tak lagi harus menunggu untuk menyita aset-aset negara yang diduga dikorupsi. Dengan adanya UU ini, jaminan aset negara yang dikorupsi bisa kembali menjadi sangat tinggi. Menjadi hal yang ganjil apabila usulan seperti ini disanggah. Padahal dinegara lain, UU semacam ini sudah menjadi kebutuhan wajib.

Kiranya, PDIP memposisikan diri sebagai oposisi jangan kemudian asal beda. Tidak bermaksud membela pemerintah, namun apa yang diupayakan oleh Presiden ini merupakan langkah baik untuk memberantas korupsi. Oleh karenanya, PDI-P harus bisa memilah-milah dalam posisi mana harus berbeda dan dalam situasi apa PDI-P harus bisa bekerja sama. Jika kondisinya demikian, sepertinya demikrasi kita akan berjalan lebih indah dengan berujung pada kebaikan masyarakat kita semua.

Baca Selengkapnya...

Hentikan Deforestasi!

Setiap tahun, empat kali luas pulau Bali, hutan kita lenyap dari permukaan bumi pertiwi! Begitulah data yang dikampanyekan oleh Walhi beberapa waktu terakhir. Melihat data ini, tentu hati kita menjadi miris, pilu dan ingin marah! Marah, karena pembabatan hutan ternyata sudah pada fase mengerikan. Celakanya, aksi ini hasilnya hanya bisa dinikmati oleh segelintir manusia yang tak bertanggung jawab. Yang lebih mengiris hati, pelaku pembalakan liar, bisa divonis bebas oleh pengadilan kita –seperti kasus Adelin Lis!

Pertanyaan kemudian muncul, sejauh manakah pemerintah serius menanggapi kasus deforestasi ini?

Menjawab pertanyaan ini, saat ini, kiranya pemerintah sedikit memberikan kesan serius. Pencanangan menanam 79 juta pohon, sedikit memberikan angin segar. Meski ada kesan program ini berjalan hanya guna menghadapi KTT di Bali tentang perubahan iklim global Desember 2007 mendatang, namun setidak-tidaknya langkah pemerintah ini sudah mengarah pada usaha dan ikhtiar yang benar.

Langkah lainnya yang juga patut diberikan penghargaan adalah keberanian SBY memberikan perintah larangan kepada Menteri Kehutanan (Menhut) untuk tidak memberikan izin pengelolaan hutan. Tentu hal ini merupakan langkah yang cukup berani, mengingat pendapatan negara tertinggi kita berasal dari hutan, selain dari Migas.

Namun yang perlu digarisbawahi, keseriusan pemerintah ini harus dijadikan momentum untuk benar-benar memerangi pembalakan liar. Seperti kita tahu, budaya kita sering anget-anget tahi ayam. Artinya, ketika ada momentum untuk melakukan program, semuanya antusias. Kelak dikemudian hari kala sudah hilang masanya, program yang baik inipun ikut tenggelam seiring beralihnya isu-isu panas nasional.

Tentu mental seperti ini sudah harus diakhiri. Lenyapnya hutan setiap tahun seluas empat kali pulau Bali perlu diberikan penglolaan hutan secara kontinyu atau menggunakan sistem sustanable forest management. Dengan dilakukannya pengelolaan hutan secara berkelanjutan, serta menjaga yang sudah ada, maka dipastikan hutan kita akan tetap menjadi andalan pendapatan negara, selain juga tetap menjadi penyanggah keseimbangan dunia.

Baca Selengkapnya...

Wednesday, November 21, 2007

Bila Satu Kapal Dua Nahkoda

Oleh : Abdul Hakim MS.

Sebuah kapal bernahkoda dua, kadang-kadang atau kalau sering terjadi, bisa merepotkan. Terutama kalau komunikasi antara kedua nahkoda itu tidak pakai riak gelombang yang sama, atau kalau yang satu sering lupa kasih tahu yang lain. Kapal bisa menabrak karang, akhirnya kandas atau salah arah. Kekuatan gaib yang ajaib masih bisa menyelamatkan perjalanannya, atau ditengah jalan pemilik kapal kasih perintah untuk menonaktifkan salah satu nahkodanya. (M. Sadli, 2002)

Perlambang yang ditulis M. Sadli dalam bukunya, Bila Kapal Punya Dua Nahkoda, nampaknya cukup apik mendiskripsikan dwi-tunggal kepemimpinan nasional kita saat ini. SBY-JK, kerapkali jalan berseberangan atau malah memilih jalannya sendiri-sendiri. Tak jarang, keputusan politik yang diambil keduanya sering menghujam dan menghenyakkan jagat perpolitikan nasional. Bukan masalah rakyat yang kemudian alot diperdebatkan, melainkan hanya masalah elit penguasa yang terus menjadi polemik media.

Kasus paling anyar ketidaksejalanan dwi tunggal ini, terekam dalam keputusan Partai Golkar ”menyunting” PDI-P dalam koalisi bersama membangun bangsa. Kedengarannya cukup elegan. Cuma, manuver yang dilakukan Partai Golkar ini tentunya banyak mengundang tanya. Apa makna dibalik ”perkawinan” ini?

Bukan Ideologis, tapi Politis

Ditegaskan, koalisi yang dilakukan oleh Partai Golkar dan PDI-P salah satunya karena kedua partai memiliki kesamaan ideologi. Secara faktual memang iya. Kedua partai sepakat mempertahankan NKRI, setia kepada Pancasila dan UUD ’45 serta tetap menjaga Bhineka Tunggal Ika dalam pluralisme.

Padahal kalau kita jeli, terjadi perbedaan yang cukup ekstrim diantara kedua partai ini. Pertama, Golkar merupakan partai yang berdiri dibawah besutan tokoh-tokoh Angkatan Darat sebelum peristiwa G. 30 S untuk menentang politik Presiden Sukarno dan mengimbangi PKI –yang merupakan gabungan kekuatan besar anti-imperialis (terutama AS). Sedangkan PDI-P dilahirkan justru sebagai manifestasi perlawanan terhadap Orde Baru (yang intinya adalah TNI-AD dan Golkar), dipersonifikasikan melalui sosok Megawati. Karenanya, banyak dari anggota-anggota keluarga orang-orang yang mendukung politik Bung Karno -- baik yang nasionalis, komunis atau yang dari kalangan agama –menaruh simpati kepada PDI-P hanya karena melihat sosok Megawati Sukarnoputri sebagai putri sang proklamator.

Kedua, masih sangat jelas teringat dibenak kita bagaimana Orba (termasuk Golkar) ”mengangkangi” Pancasila sebagai alat legitimasi kekuasaan. Orba menjadi penafsir tunggal Pancasila dan melakukan ”vermaak” mutlak melalui P-4-nya. Dalam prakteknya, nyatanya Pancasila telah dilecehkan atau diinjak-injak selama 32 tahun.

Ketiga, Mengenai Bhinneka Tunggal Ika dan menjaga pluralisme, Golkar selama puluhan tahun telah menutup pluralisme di Indonesia. Golkar menjadi dominan dalam berbagai sendi kehidupan bernegara dan menutup hadirnya persaingan politik masyarakat. Perlu kita catat, selama masa Orba, sekitar 70% suara pemilu dan 2/3 kursi parlemen dikuasai Golkar dan tidak mengizinkan kekuatan kiri, apalagi kekuatan golongan komunis untuk ikut meramaikan kancah perpolitikan nasional.

Berdasarkan fakta-fakta di atas, tentu perkawinan antara Partai Golkar dan PDI-P ini hanya didsasarkan kepentingan politik jangka pendek, yakni bersandingnya antara JK-Mega pada pemilu 2009 nanti. Itu artinya, JK sudah bersiap diri untuk ”meninggalkan” atau ”ditinggalkan” SBY, padahal pemerintahan masih harus berjalan 2 tahun lagi.

SBY-JK di Mata Media

Ketidaksejalanan antara SBY-JK, sebenarnya sudah menjadi rumor sejak pertama kali keduanya mengemban amanat menahkodai negeri ini. ”Kekuasaan” JK yang ”berlebih”, dipandang sebagai pemicunya. Sempat kita dengar, JK merasa tersinggung akibat teleconfrence yang dilakukan SBY guna memimpin rapat kabinet pada September 2005 lalu. Seharusnya ketika Presiden berhalangan memimpin rapat, tugas itu dilimpahkan kepada Wakil Presiden.

Keretakan kembali muncul kala ada silang pendapat mengenai pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Kebijakan dan Reformasi (UKP3R) pada November 2006. Dan yang pasti sangat kelihatan, keretakan ini muncul kala ada dua kali drama perombakan kabinet yang dilakukan pada akhir 2005 dan petengahan Mei 2007 lalu.

Rumor disparitas ini kembali dijumpai penulis melalui analisis media yang dilakukan pada bulan Mei dan Juni 2007. Dari 9 (sembilan) media cetak nasional yang dijadikan sampel penelitian berdasarkan kepemilikan dan segmentasi redearship, ada temuan menarik. Secara kwantitas, jumlah artikel SBY dan JK terjadi perbedaan yang cukup drastis. Pada bulan Mei misalnya, jumlah artikel SBY mencapai 668 artikel. Sedangkan JK hanya 190 artikel saja. Sedangkan pada bulan Juni, perbandingan artikel SBY-JK adalah 588 : 219.

Yang lebih menarik lagi adalah temuan seputar isu artikel kedua tokoh ini. Pada bulan Mei, banyaknya artikel SBY dilatarbelakangi drama reshuffle kabinet yang mencekam. Isu ini mendominasi dengan dulangan angka 30% dari seluruh artikel SBY. Uniknya, isu reshuffle yang banyak menghujam SBY, hanya menjadi topik nomor 4 JK dengan 11% dari seluruh artikel JK. Pun pada bulan Juni, terjadi disparitas isu yang cukup mencolok. Pada bulan ini, SBY diguyur artikel seputar interpelasi Iran mencapai 38%. Padahal, isu ini kembali menjadi topik nomor 4 JK dengan dulangan hanya 7% dari seluruh artikel JK.

Dari sini bisa dibaca, terkait isu-isu politik nasional yang panas, SBY-JK memang terkesan mencari aman masing-masing, terutama JK. Isu-isu negatif yang banyak menyorot SBY, ternyata tidak serta-merta juga menyorot JK. Seharusnya, kebijakan-kebijakan politik seperti reshuffle kabinet atau interpelasi, aktif diklarifikasi oleh keduanya. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Itu artinya, memang ada semacam gab yang cukup jelas diantara kedua pemimpin bangsa ini. Kalau sudah begitu, kapan mereka akan berembug bareng guna memperbaiki kehidupan bangsa? Padahal kepemimpinan mereka hanya tinggal dua tahun lagi.

Baca Selengkapnya...

Membuka Penjara Open List System

Oleh : Abdul Hakim MS.

Cukup menarik apabila kita meninjau sejarah kepemiluan kita, khususnya meninjau masalah sistem pemilihan umum yang pernah dipakai. Ibarat bayi yang sedang belajar berjalan, begitulah upaya kita mencari format sistem pemilu yang sesuai. Kadang terjatuh, kemudian bangun lagi, dan terjatuh lagi. Tanpa henti, upaya “coba-coba” itu terus dilakukan. Bahkan hingga kini, proses trial and error masih berada dalam area abu-abu (grey area). Belum nampak jelas terlihat sistem pemilu seperti apa yang dapat mengantarkan Indonesia bisa mendayung demokrasi secara sempurna.

Pada Pemilu 1955, kita pernah memakai sistem proporsional dengan stelsel daftar terbuka (open list system). Para pemilih, secara teoritis diberi kesempatan untuk memilih tanda gambar, atau orang yang ada dalam daftar calon dari orsospol peserta pemilu dan perorangan. Tetapi dalam praktiknya, hal itu tidak dilaksanakan oleh orsospol peserta pemilu, sehingga sistem itu hanya berlaku untuk calon perseorangan saja.

Pada pemilu-pemilu Orde Baru (1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997), kita memakai sistem proporsional (suara berimbang) dengan kombinasi sistem stelsel daftar mengikat (Closed list system). Para pemilih hanya diberi kesempatan untuk memilih tanda gambar partai saja tanpa mengetahui siapa calon-calon yang akan mereka pilih. Sistem ini pun masih berlanjut hingga era reformasi, yakni pada pemilu 1999. Pemilih tetap “hanya” diberi kesempatan untuk memilih tanda gambar partai, tanpa mengetahui calon-calon yang mereka pilih.

Pada Pemilu 2004, angin segar sempat berhembus terkait sistem proporsional dengan kombinasi sistem stelsel daftar ini. Banyak kalangan yang mengiginkan perubahan terkait dengan sistem stelsel daftar –dari closed list system menjadi open list system. Partai-partai politik pun akhirnya sepakat untuk menggunakan sistem ini dalam percaturan Pemilu 2004.

Akan tetapi sayang, dalam pelaksanaannya, ternyata open list system yang dipakai pada pemilu kedua era reformasi ini banyak mengalami reduksi dari arti esensialnya. Sistem ini tidak diterapkan secara sempurna sehingga banyak mengalami pembiasan. Tidak heran apabila kemudian banyak pengamat menyebutnya sebagai sistem proporsional dengan kombinasi sistem stelsel daftar terbuka “setengah hati”. Atau mungkin bisa saya katakan dengan lebih ektrim, sistem pemilu kala itu merupakan sistem “manipulasi demokrasi”.

Saya sebut dengan “sistem manipulasi demokrasi” karena open list system yang dipergunakan ini sudah jauh melenceng dari arti hakiki yang terkandung didalamnya. Seharusnya, jika memang sistem daftar calon terbuka ini dilakukan dengan murni, maka tidak ada lagi “penutup” yang membuat open list system kehilangan jati dirinya.

Saya melihat, setidaknya ada tiga katup yang menutup kembali open list system pada pemilu 2004 lalu, sehingga menjadikannya lebih mirip closed list system. Pertama, open list ini ditutup kembali dari dimensi tatacara pencalonan anggota legislatif yang memakai nomor urut sebagai cerminan dari ranking. Partai politik berhak mengajukan calon dan menempatkan calon tersebut pada nomor urut keberapa. Bagi calon yang berada pada nomor urut pertama, besar kemungkinan dirinya bisa melenggang ke Senayan. Dengan model seperti ini, maka kekuatan partai politik menjadi sangat dominan. Calon legislatif pun akan lebih loyal kepada partai politik yang mencalonkannya ketimbang kepada basis konstituennya.

Kedua, sistem ini ditutup kembali dari tatacara proses pemberian suara. Pemilih, suaranya akan dianggap sah apabila mencoblos tanda gambar saja, atau mencoblos tanda gambar dan calon. Akan tetapi, suara pemilih dianggap tidak sah apabila hanya mencoblos calon saja. Padahal, calon yang dipilih juga berasal dari partai yang bersangkutan. Tentu, proses seperti ini “melanggar” asas open list system. Seharusnya, apabila pemilih mencoblos tanda gambar sah, mencoblos gambar dan calon sah, maka mencoblos calon saja juga seharusnya sah. Karena calon bersangkutan, pastilah datang dari parpol bersangkutan, bukan dari parpol lain.

Ketiga, sistem ini ditutup kembali pada tatacara penetapan calon terpilih. Seperti kita tahu, patokan untuk memperoleh kursi, calon-calon harus memenuhi batas angka Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP). Akan tetapi jika tidak ada yang mencapai BPP, dan partai yang bersangkutan mendapatkan jatah kursi disebuah dapil, maka calon yang akan mewakili partai bersangkutan adalah kandidat yang berada pada nomor urut 1. Tentu, kondisi ini juga “melanggar” asas open list system. Seharusnya, jika sistem ini diterapkan secara konsisten, partai yang mendapatkan kursi, akan diserahkan pada calon yang memperoleh suara paling besar, berapapun jumlah perolehan suaranya.
Saat pembahasan paket UU Politik yang sedang berjalan saat ini, persoalan-persoalan di atas harus mendapatkan perhatian serius. Dalam UU Pemilu yang baru, katup-katup penghalang penerapan open list system ini harus dieliminasi. Karena jika tidak, pemilu yang diharapkan menjadi ajang demokratisasi, hanya akan menjadi ajang pesta rakyat tanpa arti.

Niat baik untuk menghilangkan berbagai macam penyumbat ini memang sudah mulai berdatangan. Salah satu keinginan itu datang langsung dari Presiden SBY dengan menggulirkan wacana tentang sistem proporsional dengan kombinasi stelsel daftar terbuka “tanpa nomor urut”. Keinginan kuat pemerintah tercermin dalam draf yang diajukan ke DPR. Dalam draf usulan pemerintah itu, sistem nomor urut yang mencerminkan ranking, akan diganti dengan nomor urut berdasarkan abjad. Selain itu, angka Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP) sebagai prasyarat seorang calon dapat melenggang ke Senayan, juga dieliminasi.

Sudah barang tentu, keberanian pemerintah ini adalah sebuah langkah maju untuk mendukung bergulirnya demokrasi secara benar. Akan tetapi, apakah konsep ini akan mendapatkan persetujuan dari gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)? Disinilah letak persoalannya.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa terjadinya pembiasan open list system pada pemilu 2004 lalu, tidak lebih disebabkan oleh “akal-akalan” para elit partai yang “ketakutan” tidak dapat lagi berkantor di Senayan. Kurang dekatnya para wakil rakyat yang ada sekarang dengan para konstituen merekalah yang mengakibatkan munculnya berbagai upaya “penjegalan” penerapan open list system secara konsekwen.

Meski begitu, kita hanya patut berharap agar para wakil rakyat ini dapat membuka mata terhadap gejala kemajuan demokrasi kita. Sudah saatnya mereka menujukkan komitmen terhadap masyarakat, bukan lagi melulu kepada partai politik. Dari cara seperti inilah citra DPR yang selama ini “terbenam” dapat dikembalikan. Dengan tidak menyetujui konsep open list system dijalankan secara konsisten, itu artinya mereka telah menghambat laju demokrasi yang sudah berjalan di atas relnya. Sudah barang tentu, hal ini akan menambah panjang daftar “keculasan” wakil rakyat untuk “memanipulasi demokrasi”.

Baca Selengkapnya...

Disuka, Politik Aniaya

Negeri ini memang paling suka dengan drama politik aniaya. Karena jalan inilah yang dipandang menjadi rute cepat guna merengkuh kekuasaan. Sejarah membuktikan, tokoh-tokoh yang “terkesan” dizalimi oleh penguasa, kerap menuai keuntungan guna menarik simpati masyarakat. Implikasinya jelas, menjadi pemimpin negeri ini.

Kita tentu masih ingat pemilu 1999 yang lalu. Megawati saat itu yang tercitrakan sebagai tokoh penolak regim Orde Baru, menuai berkah dengan menggolkan PDIP sebagai partai pemenang pemilu. Meski harus dijegal MPR untuk jadi presiden, namun Mega pun akhirnya tetap menjadi presiden menggantikan Gus Dur yang di Impeachment MPR pada 2001.

Jika babak pertama politik aniaya Mega menjadi primadona, babak kedua politik aniaya malah sebalik. Gara-gara kelakuannya mengucilkan SBY dipemerintahannya, saat itu SBY menjabat Menkopolkam, karena dipandang sebagai calon pesaing kuat, Mega harus kehilangan popularitasnya di kalangan masyarakat. Ujungnya, PDIP harus keok pada pemilu legislatif digeser oleh Golkar. Lebih parah, Mega harus keok juga dalam pilpres putaran dua dengan angka cukup telak, 60% : 30%. Babak ini, SBY diuntungkan dengan politik aniaya.

Kini, politik aniaya babak ketiga coba digulirkan. Pemerannya masih orang yang sama, yakni Megawati. Sadar bahwa charisma SBY cukup sulit direduksi, Mega mengesankan dirinya sebagai pihak yang dizalimi pemerintahan SBY dengan menuding dirinya telah dijegal untuk dekat dengan korban bencana. Argumennya, pihaknya tidak boleh menggunakan helicopter TNI AU.

Saya berfikir, apa yang dilakukan oleh pihak Mega saat ini, tidak lagi seperti posisinya pada 1999 yang lampau. Kondisi dan konteksnya cukup berbeda. Karena dari penilaian yang kasat mata saja, tidak ada sedikitpun kesan yang tercipta bahwa pemerintahan SBY menjegalnya untuk terbang ke para korban bencana. Ini tak lain, helicopter TNI hanya diperuntukkan oleh pejabat setikat menteri. Sedangkan Mega bukanlah pejabat public. Seharusnya kalau mau netral, Mega tak usah mencarter helicopter TNI, melainkan helicopter swasta saja.

Nah, seandainya Mega menggunakan helicopter swasta dan ada upaya penggagalan dari pemerintah, mungkin kesan teraniaya akan kasat mata. Sekali lagi, maneuver Mega dan PDIP kurang cantik dan terkesan jorok.

Baca Selengkapnya...

Friday, September 07, 2007

Konfrontasi, Sejarah Yang Berulang?

Oleh : Abdul Hakim MS.

Detik.com 06 September 2007

Sejarah pasti berulang. Begitulah pameo popular yang kerap kita dengar untuk mengingatkan manusia bahwa kejadian-kejadian masa lampau, suatu saat nanti akan mengalami repetisi. Tak jarang, siklus masa lalu akan kembali mendera kita meski pada situasi yang berbeda. Kiranya, pameo inilah yang mungkin tepat untuk menggambarkan hubungan bilateral Indonesia-Malaysia. Meski merupakan saudara serumpun, hubungan bilateral keduanya selalu mengalami pasang-surut. Kadang harmonis tapi kerap kali mendidih karena berbagai persoalan.

Pasang-Surut

Pada awal tahun 1960-an, Indonesia-Malaysia pernah terlibat konflik sengit. Pemicunya adalah keinginan Malaysia untuk menggabungkan wilayah Brunei, Sabah dan Sarawak dalam Persekutuan Tanah Melayu. Keinginan itu ditentang oleh Presiden Soekarno yang menganggap Malaysia sebagai "boneka" Britania. Perang pun berkecamuk hingga akhir tahun 1965-an. Kala itu, jargon masyhur yang dikeluarkan oleh Soekarno adalah ”Ganyang Malysia”. Kejadian ini pun populer dengan sebutan Konfrontasi Malaysia-Indonesia atau juga disebut sebagai Konfrontasi saja.

Konfrontasi ini pun reda kala terjadi pergantian tampuk kepemimpinan di wilayah RI menjelang akhir tahun 1965-an. Dengan strategi rumit melalui Supersemarnya, Soeharto dapat mengambil alih kekuasaan dari Soekarno. Tak seperti pendahulunya yang lebih pro-Timur, Soeharto yang pro-Barat dengan segera dapat menyelesaikan konflik. Pada 28 Mei 1966 di sebuah konferensi di Bangkok, Indonesia-Malaysia menyepakati penyelesaian konflik. Kekerasan berakhir bulan Juni dan perjanjian perdamaianpun ditandatangani pada 11 Agustus yang diresmikan dua hari kemudian.

Selama era Orde Baru, boleh dibilang hubungan kedua negara serumpun ini cukup harmonis. Banyak kesepakatan-kesepakatan kerjasama bilateral dibidang ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya ditandatangani. Meski begitu, kerikil-kerikil kecil masih cukup banyak menghiasi perjalanan Indonesia-Malaysia. Sebut saja persoalan tentang perebutan pulau Sipadan dan Ligitan sejak 1967, masalah TKI dan perebutan wilayah teritorial.

Kembali Meledak

Setelah Soeharto lengser pada Mei 1998, ledakan-ledakan dalam skala lebih besar kembali mengusik hubungan Indonesia-Malaysia. Persoalan-persoalan yang belum tuntas pada masa Orba, banyak menjadi pemicu ketegangan. Diawali dengan lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan pada tahun 2002 oleh keputusan Mahkamah Internasional, hubungan kedua negara yang diibaratkan dengan abang-adik ini pun kembali memanas. Seperti kita tahu, persoalan perebutan pulau Sipadan dan Ligitan diserahkan oleh Soeharto kepada Mahkamah Internasional pada 1997, saat krisis melanda.

Belum sembuh shock Indonesia yang terjadi karena kehilangan dua pulau di atas, kembali Malaysia menyulut persoalan dengan mengklaim blok Ambalat sebagai wilayah teritorial mereka pada tahun 2005. Negeri Jiran ini mempersilahkan perusahaan minyak Amerika, Shell untuk melakukan eksplorasi di laut Sulawesi. Malaysia mengklaim blok Ambalat yang berada di perairan Karang Unarang tersebut adalah milik Malaysia. Padahal, berdasarkan deklarasi Juanda 1957, pulau tersebut milik Indonesia. Deklarasi Juanda sendiri pada tahun 1959 telah diadopsi oleh PBB ke dalam Konvensi Hukum Laut. Dengan demikian, PBB pun mengakui kepemilikan Indonesia atas pulau itu.

Kasus Ambalat menjadi titik ketegangan tertinggi pasca Konfrontasi. Pemerintah RI kemudian mengerahkan tujuh kapal perangnya ke perairan Karang Unarang. Bahkan rakyat setempat meminta pemerintah untuk mengambil tindakan tegas terhadap ulah pemerintah Malaysia. Slogan politik "Ganyang Malaysia" pun kembali populer. Keadaan ini bukan hanya terjadi di Sulawesi tetapi juga di Jawa Barat dan wilayah Indonesia lainnya.

Pemicu Bom Waktu

Kini, ketegangan Indonesia-Malaysia kembali tersulut ke permukaan. Pemicunya sebetulnya mungkin bukan hal yang besar seperti perebutan wilayah teritorial, akan tetapi hanyalah masalah pengeroyokan terhadap salah satu kontingen wasit karate Indonesia, Donald Pieter Luther Kolopita oleh empat polisi Diraja Malaysia. Parahnya, ketika masyarakat Indonesia menuntut Malaysia untuk meminta maaf, negara persemakmuran Inggris inipun keukeuh tak perlu minta maaf atas kejadian yang menimpa Donald.

Jika dibandingkan dengan masalah perebutan pulau Sipadan dan Ligitan serta sengketa Blok Ambalat, tentu kasus yang menimpa Donald ini bisa dibilang masalah sepele. Namun karena sikap pemerintah Malaysia yang dipandang sangat arogan, ditambah dengan banyaknya kasus pelecehan dan perlakuan kasar terhadap TKI yang terungkap akhir-akhir ini, tentu akan menggugah rasa nasionalisme masyarakat Indonesia yang selama ini mati suri. Masyarakat Indonesia merasa harga dirinya telah diinjak-injak. Tak mengherankan apabila kemudian aksi protes marak muncul dipelbagai pelosok Nusantara.

Siapapun pasti tergugah jika melihat derita yang dialami Nirmala Bonat misalnya. Pekerja asal NTT ini harus menanggung rasa sakit yang cukup lama akibat disiksa oleh tuannya. Ia dipukul, diseterika dan disiram oleh air panas. Hal yang kurang lebih sama juga dialami oleh Ceriyati. Pekerja asal Brebes, Jawa Tengah, itu harus bergelantungan di lantai 15 sebuah apartemen Kuala Lumpur hendak melarikan diri. Ia tak tahan dengan siksaan yang mendera tak terperikan dari sang majikan. Ironisnya, masalah-masalah TKI seperti ini dipandang tidak serius oleh masyarakat dan aparat Malaysia. Hingga kini, misalnya, kasus kelanjutan penyiksaan terhadap Ceriyati juga masih tidak jelas.

Terkait kasus Donald, insiden pemukulan ini bisa menjadi pemicu meledaknya akumulasi bom waktu dengan skala yang lebih besar. Ini tak lain dilatarbelakangi oleh, pertama, Donald merupakan tamu yang diundang khusus untuk mengikuti kegiatan olah raga oleh Malaysia, dan bukan TKI ilegal. Akan tetapi ia mendapatkan perlakuan tak sewajarnya sebagai seorang tamu. Kedua, kondisi ini menyulut kemarahan masyarakat Indonesia terhadap Malaysia, yang notabene sudah lama menyimpan amarah terhadap berbagai praktik kekerasan warga dan aparat Malaysia terhadap TKI kita. Ketiga, sikap pemerintahan Malaysia yang tak kunjung menunjukkan rasa persahabatan dan terkesan sangat arogan, menambah tensi kemarahan masyarakat. keempat, sikap pemerintah Indonesia yang terkesan lembek dan tidak tegas, semakin membuat masyarakat marah dan mencari jalannya sendiri. Kelima, Nasionalisme masyarakat yang beranggapan bahwa Indonesia lebih besar daripada Malaysia, sudah muncul kembali.

Jika tak segera dicarikan solusi yang baik diantara kedua negara, mungkin konfrontasi pada tahun 1960-an akan kembali mewarnai sejarah kita. Cukup arif apabila pemerintahan Malaysia sedikit berendah hati dengan jalan meminta maaf. Indonesia saja ketika disudutkan dengan persoalan asap yang menyelimuti Malaysia dan Singapura, dengan lapang dada meminta maaf. Kenapa Malaysia yang meminta maaf karena telah menganiaya duta resmi yang diundangnya sendiri kok risih? Sebaiknya tanya kenapa?.

Baca Selengkapnya...

Tuesday, July 31, 2007

Babak Akhir SBY vs Zaenal?

Drama edpisode ”Fitnah” Zaenal Maarif vs SBY berada dititik puncak. Senin (30/7), Zaenal melakukan pertunjukan road show dengan mengusung topik “dokumen rahasia” SBY pernah menikah dengan seorang perempuan asal Filipina sebelum masuk Akademi Militer ke MPR, DPR, DPD dan MK.



Road show Zaenal terbilang cukup sukses. Media massa, baik elektronik ataupun cetak, ramai-riuh mengiringinya bak bintang superstar. Bedanya, yang mengelilinginya bukan wartawan infotainment, melainkan wartawan yang sehari-harinya kebagian pos untuk meliput persoalan-persoalan politik.

Diluar itu semua, ada pertanyaan yang mungkin terus menumpuk dibenak publik, apa gerangan bukti yang dimiliki oleh Zaenal Maarif? Validkah bukti yang disebarkannya? Kira-kira, bagaimana episode akhir dari kasus yang juga sempat menimpah presiden-presiden terdahulu ini?

Kiranya pertanyaan-pertanyaan itu masih sulit untuk diungkap saat ini. Itu karena dokumen yang diserahkan oleh Zaenal, belum dipublikasikan secara massal. Meski begitu, ada beberapa kemungkinan yang terjadi terkait publikasi dokumen-dokumen Zaenal ini.

Pertama, jika terbukti dokumen itu benar, secara politis, Zaenal sebenarnya tidak mendapatkan apa-apa. Recall terhadap dirinya juga tak akan bisa dibatalkan. Pengungkapan fakta yang dilakukannya ketika sudah direcall, turut memberikan image bahwa politisi asal Solo ini hanya merasa sakit hati. Tentu ini akan menimbulkan pandangan kurang etis terhadap dirinya. Namun, namanya pasti akan terus menjadi catatan sejarah perpolitikan Indonesia dan popularitasnya akan membumbung ke angkasa. Kiranya, hanya target inilah yang ingin diperoleh oleh Zaenal.

Kedua, jika terbukti dokumen itu tidak benar, maka Zaenal harus bersiap-siap untuk ”angkat koper” dari geliat perpolitikan nasional. Bisa jadi, ia malah harus menjadi penghuni baru hotel prodeo. Seperti kita tahu, SBY sudah meranah-hukumkan kasus ini dengan melaporkan Zaenal ke Polisi beberapa hari yang lalu.

Ketiga, bagi SBY, jika tuduhan ini benar, sepertinya jabatan Presiden akan sedikit tergoncang. Bisa jadi, kasus ini akan dijadikan alat oleh kelompok tertentu untuk menggalang dukungan melakukan impeachment terhadap dirinya. Dan jika hal ini terjadi, kembali situasi politik nasional akan semrawut karena SBY harus merelakan jabatannya diambil alih oleh Jusuf Kalla hingga 2009 mendatang karena Presiden berhalangan.

Keempat, bagi SBY, jika tuduhan ini tidak benar, maka posisi SBY akan semakin kuat menghadapi pemilu 2009 mendatang. Hal ini terjadi karena kredibilitas SBY kembali teruji. Ia menjadi figur yang selalu lekat dengan fitnah, akan tetapi semuanya hanyalah black campaing untuk politisi asal Pacitan ini. Itu artinya, SBY memang pemimpin yang punya integritas plus popularitas yang cukup tinggi.

Jika melihat kondisi ini, sebenarnya tidak ada untungnya sama sekali buat Zaenal Maarif memunculkan isu perkawinan SBY. Jika tudingannya benar, ia hanya akan mendapatkan popularitas –itu juga masih diiringi label politisi kurang etis karena caranya dengan membuka privasi seseorang, bukan dengan cara yang elegan dan profesional.

Sebaliknya bagi SBY, isu ini akan menambah popularitas dan integritasnya sebagai seorang pemimpin –dengan catatan isu ini terbukti tidak benar. Dengan demikian, akan sulit bagi tokoh lain untuk menandinginya pada pemilu 2009 mendatang. SBY kembali akan bersinar dan menjadi tokoh the special one yang akan sulit untuk disaingi.

Baca Selengkapnya...

Monday, July 30, 2007

Kerjaan Elit Bukan Ngegosip

Kembali, drama perlawanan dengan aksi “gosip-menggosip” dikeluarkan para elit kita. Kali ini, datang dari mantan wakil ketua DPR yang terkena recall, Zaenal Ma’arif. Merasa dizalimi karena presiden menyetujui recall terhadap dirinya, politisi asal PBR ini kemudian ”bernyanyi” dengan syair lagu, ”SBY pernah menikah sebelum masuk Akademi Militer (Akmil) di Magelang sekitar tahun 1968”.

Sebenarnya, kabar ini bukan berita baru. Menjelang pemilu 2004 yang lalu, publik juga pernah dijejali informasi semacam ini. Masyarakat –terutama para ibu-ibu— riuh-rendah menanggapinya. Banyak yang berspekulasi ketika itu, kabar ini dihembuskan untuk mengurangi suara dari ibu-ibu yang notabene banyak dan sangat mengidolakan SBY.

Setelah tiga tahun bergulir, kabar lama ini kembali menghangat. Tudingan bahwa SBY pernah menikah sebelum mempersunting Kristiani Herawati –yang merupakan putri Sarwo Edhi Wibowo— ramai diperguncingkan. Sangat disayangkan apabila kabar ini kembali tidak benar. Itu artinya, kabar ini dihembuskan karena Zaenal Maarif ”hanya” karena merasa sakit hati dengan melakukan fitnah tak berdasar.

Kiranya, harus mulai dikembangkan rasa besar hati dan sikap legowo dikalangan elit kita. Kerjaan politisi DPR bukan untuk membuat gosip, melainkan berdebat persoalan masyarakat. Patut disayangkan apabila politisi sekaliber Zaenal Maarif harus mengumbar fitnah karena merasa sakit hati. Jika memang tujuan menjadi politisi untuk mensejahterkan konstituennya, Zaenal seharusnya lebih mawas diri dan kembali membangun karir politiknya dengan cara-cara yang rasional dan profesional.

Baca Selengkapnya...

Wednesday, July 25, 2007

Quovadis Komitmen Golkar?

Pertemuan demi pertemuan antara Golkar dan PDI-P bak gelombang yang menghenyak jagat perpolitikan nasional. Pertemuan ini berawal di Medan pada 20 Juni 2007, kemudian berlanjut di Palembang pada 24 Juli 2007 dan rencananya, pertemuan ini akan bergeser ke pulau Jawa yang dimulai dari Jawa Barat.

Melihat aksi kedua parpol ini, tentu banyak menimbulkan pertanyaan, ada apa dibalik pertemuan itu?

Secara faktual, pertemuan ini bisa dibilang aneh bin ajaib. Ini tak lain karena posisi Partai Golkar merupakan partainya pemerintah. Sedangkan PDI-P, sudah menancapkan dirinya sebagai partai oposisi. Tentu menjadi sebuah hal yang lucu apabila keduanya bisa bersanding, padahal PDI-P seharusnya menjadi partai yang mengkritik Golkar apabila pemerintahan yang selama ini berjalan dipandang kurang baik.

Ironisnya, koalisi ini dimaksudkan untuk mengatasi keguncangan politik nasional dibidang politik dan keamanan. Taufik Kiemas mengklaim, bahwa adanya tarian cakalele di depan Presiden dan pengibaran bendera RMS di Lapas Abipura, merupakan indikasi ketidakstabilan keamanan politik nasional. Justeru karena klaim itu, PDI-P malah melah menggandeng Partai Golkar. Logika politik yang paradoksal.

Alasan lain, pertemuan ini karena PDI-P dan PG memiliki ideologi yang sama. Ini tentu sangat ironis. Seperti kita tahu, Golkar merupakan pilar utama penyangga pemerintahan Orde Baru selain TNI. Sedangkan PDI-P berdiri karena merasa selalu dideskriditkan oleh Orba –yang didalamnya termasuk juga Golkar. Tentu alasan ini sangat mengada-ada.

Melihat hal ini, sangat patut dipertanyakan terkait komitmen Golkar sebagai partainya pemerintah. Seharusnya, jika terjadi ketidakstabilan keamanan, jalan keluarnya bukan dengan menggandeng partai oposisi. Melainkan melakukan koordinasi dijajaran partai-partai politik gerbong pemerintah. Sangat memalukan apabila ketidakmampuan mengatasi persoalan nasional, kemudian menyandarkannya terhadap partai opoisisi. Memang patut dipertanyakan komitmen Partai Golkar terhadap jalannya pemerintahan yang ada sekarang.

Hemat saya, pertemuan ini tak lain untuk menyongsong pemilu 2009. Kedua partai yang merasa mempunyai suara paling besar, akan sangat diuntungkan jika keduanya saling melengkapi. JK menguasai Indonesia bagian timur dan Megawati sangat populis di pulau Jawa. Tentu kolaborasi keduanya menjanjikan kemenangan yang manis. Hanya, dimanakah komitmen Golkar terhadap pemerintahan sekarang?

Baca Selengkapnya...

Parpol vs Independen

Akhirnya, penantian panjang publik terhadap lahirnya calon pemimpin daerah dan nasional dari kalangan independen datang jua. Harapan ini mencuat setelah Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (23/7) lalu membacakan putusan uji materil terhadap UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam putusannya, MK membolehkan calon independen untuk mengikuti pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Tentu hal ini menjadi terobosan baru dalam perkembangan demokrasi kita. Seleksi pemimpin daerah yang selama ini menjadi kemutlakan monopoli partai politik, harus segera ditinggalkan. Tak akan ada lagi silang-sengkarut perdebatan calon yang harus menyetor “uang tak berjudul” lagi kepada partai politik agar dirinya dapat menjadi calon kepala daerah.

Keputusan MK ini juga mendapatkan apreseasiasi luar biasa dari masyarakat. Hal ini terekam dari hasil survei LSI yang dipublikasikan pada Selasa (24/7). Dari hasil survei, masyarakat yang mendukung calon independen terhadap pemilihan kepala daerah (Pilkada), angkanya di atas 80 persen yakni 82,2 persen untuk dukungan calon independen Gubernur dan 80,4 persen untuk Bupati. Sedangkan yang mendukung calon independen Pilpres angkanya mencapai 75 persen.

Memang ada sedikit ganjalan administratif terkait dengan putusan MK ini, karena tak bisa dengan sendirinya langsung dapat diberlakukan. Ini tak lain karena UU tentang Pemerintahan Daerah harus di amandemen terlebih dahulu atau nantinya harus dibuat peraturan pemerintah secara tersendiri. Padahal, hingga Februari 2008, bakal ada 14 Pilkada Gubernur.

Meski demikian, adanya putusan MK membolehkan calon independen untuk bersaing dalam Pilkada, memberikan angin segar bagi publik ditengah carut-marutnya kinerja dan manajemen partai politik. Karena selama ini, partai politik dalam menjaring calonnya hanya didasarkan pada seberapa tebal kantong sang calon dan bukan seberapa qualified calon yang akan diusung. Patut kita tunggu hasil parpol vs independen ini.

Baca Selengkapnya...

“Senang Melihat Orang Susah, Susah Melihat Orang Senang"

Kemiskinan sangat lekat dengan kekufuran! Maka, jangan menjadi manusia miskin. Begitulah kira-kira isi pesan yang keluar dari manusia suci, Muhammad SAW. Nabi umat muslim ini jauh-jauh hari sudah mengingatkan bahwa keadaan miskin akan menimbulkan sejuta masalah. Tidak mengherankan apabila kemudian semua negara di dunia menjadikan kemiskinan sebagai musuh bersama yang harus dibasmi di muka bumi.

Baru-baru ini, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data yang menunjukan jumlah orang miskin di Indonesia mengalami penurunan sebesar lebih dari satu persen, yaitu dari 39.30 juta orang miskin pada Maret 2006 (17,75%) menjadi 31,17 juta orang pada Maret 2007 (16,58%). Secara data, angka ini cukup menggembirakan karena orang miskin di Indonesia makin berkurang. Akan tetapi, data ini menimbulkan pro-kontra. Banyak kalangan menilai, BPS dalam merilis hasil surveinya ini sudah diintervensi oleh pemerintah. Argumennya, secara faktual, masih banyak terlihat orang yang hidup susah di sana-sini.

Setiap BPS memunculkan data tentang jumlah orang miskin, memang selalu menimbulkan kecurigaan. Jika angkanya mengecewakan pemerintah, maka pemerintah yang meradang. Sementara jika angkanya menunjukan keberhasilan pemerintah, giliran para pengamat dan oposisi yang mencerca.
Sejatinnya data yang dihasilkan lewat metode yang bisa dipertanggung jawabkan adalah suatu acuan yang pastinya berguna. Tinggal bagaimana independensi penghasil data yang menjadi taruhannya.

Meski menggembirakan buat pemerintah, yang perlu digarisbawahi dari hasil survei BPS ini, masih ada 31 Juta orang miskin! Tentu ini bukan angka yang baik untuk di sukuri. 31 juta orang miskin berarti 1/7 penduduk Indonesia hidup menderita. 31 Juta orang yang setiap harinya takkan pernah tau apakah mereka bisa makan hari ini atau tidak. 31 juta orang miskin, adalah tragedi kemanusian yang masih sangat besar jumlahnnya.

Oleh karena itu, masih banyak PR pemerintah yang harus diselesaikan. Kegembiraan dengan menurunnya angka kemiskinan, tentunya sah-sah saja karena ini menjadi indikator keberhasilan pemerintah dalam memberantas kemiskinan. Akan tetapi, angka 31,17 juta bukanlah angka sedikit!

Dan buat kalangan yang meragukan data BPS, seharusnya tidak terlalu reaktif. Karena itu artinya kita menjadi orang yang senang melihat orang susah, dan susah melihat orang senang!

Baca Selengkapnya...

Lagi-lagi Borok DPR

Membaca headline Koran Tempo edisi Jumat, 13 Juli 2007, kembali membuat hati kita semua mendidih. Artikel dengan judul “Hentikan Setoran ke DPR”, kembali menelanjangi betapa buruknya kinerja DPR yang ”terhormat”, --yang memang sudah tercoreng di mata publik.

Lihatlah berbagai survei yang telah dilakukan terkait kinerja DPR. Tidak satupun yang menunjukan hasil positif buat para politisi senayan. LSI, LP3ES, dan lemaga-lembaga survei lainnya menilai kinerja DPR sangat buruk. Berdasarkan hasil polling yang dilakukan oleh media massa, juga tidak menujukkan hasil berbeda.

Penilaian itu kiranya wajar bila menilik kinerja DPR. Salah satunya seperti ”menerima setoran” sebagaimana di ulas oleh Koran Tempo. DPR yang memang seharusnya melakukan tugas legislasi sebagai salah satu kewajibannya, meski meminta ”sumbangan” lagi kepada pemerintah demi menjalankan tugasnya itu. Parahnya, hal itu dianggap sesuatu yang biasa! Padahal, anggaran untuk tugas legislasi sudah disiapkan dalam APBN.

Ironisnya, kinerja DPR dibidang legislasi ini malah jauh panggang daripada api. Sebagai contoh, pada tahun 2005, DPR menargetkan 55 UU dapat diselesaikan. Akan tetapi pada realisasinya, sampai penutupan sidang paripurna 30 September 2005, hanya 10 UU yang bisa disetujui atau hanya tercapai 18 persen dari target. Dari 10 UU itu pun hanya 2 UU yang dibuat oleh DPR atas dasar inisiatif yaitu UU mengenai Pengadilan Tinggi dan Olahraga. Melihat capaian UU selama tahun 2005, maka sangatlah tepat apabila kinerja DPR dalam melaksanakan fungsi legislasi dinilai sangat buruk.

Yang menjadikannya semakin paradoks, DPR malah sibuk mengurusi hal-hal yang tidak substansial. Mempermasalahkan ketidakhadiran Presiden dalam sidang interpelasi dan terus-menerus mencari kesalahan pemerintah. Memang tidak di haramkan, karena salah satu tugas DPR adalah menjadi lembaga kontrol pemerintah. Akan tetapi, benahilah kinerja DPR dibidang legislasi dulu sebelum menggunakan hak-haknya yang lain. Yang harus dijadikan catatan, ”jangan lagi minta-minta setoran untuk menyetujui atau membuat UU”, karena itu sangat memalukan!

Baca Selengkapnya...

Jangan Korbankan Indonesia!!!

Setelah sekian lama tak lagi dihangatkan oleh isu separatisme, beberapa pekan terakhir, Indonesia kembali diguncang oleh tiga peristiwa beruntun berbau disintegrasi. Kisah berseri ini diawali oleh insiden pegibaran bendera Republik Maluku Selata (RMS) lengkap dengan tarian cakalele (tarian perang) pada 29 Juni 2007. Ironisnya, pengibaran yang dilakukan aktivis RMS ini langsung dihadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kala memperingati Hari Keluarga Nasional (Harganas). Cukup mencengangkan!

Peristiwa kedua, datang dua hari berselang. Sekelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang sedang mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Abepura, mengibarkan bendera Bintang Kejora pada Minggu 1 Juli 2007. Mereka melakukannya untuk merayakan HUT OPM (1 Juli 1969-2007). Ini juga cukup mencengangkan!

Peristiwa terakhir, terjadi seminggu menjelang, tepatnya pada tanggal 7 Juli 2007. Pada tanggal ini, Partai GAM dideklarasikan sebagai partai lokal di Aceh. Yang menjadi persoalan, partai GAM menggunakan atribut bendera yang sama persis dengan bendera GAM kala masih menjadi gerilyawan. Sontak, meski kata GAM bukan diartikan sebagai Gerakan Aceh Merdeka— deklarasi ini membuat ”gerah” seluruh elit politik dan masyarakat Indonesia.

Apa tafsir politik dari kejadian ini? Hemat saya, setidaknya ada tiga tafsir yang bisa kita baca. Pertama, aksi separatisme masih sangat kuat dalam menggalang dukugan, baik dari dalam maupun luar negeri, untuk dapat terus eksis bumi nusantara. Ini harus diwaspadai!

Kedua, ada dukungan yang terus mengalir dari dalam negeri untuk membuat mereka tetap ”hidup”. Tafsir ini didasarkan pada fakta adanya kejadian pengibaran bendera yang justeru ada didalam lingkaran pemerintahan sendiri –pengibaran bendera RMS dihadapan Presiden dan OPM di dalam Lapas.

Ketiga, ada pihak ketiga yang ingin menumpang secara gratis sebagai komoditas menghadapi pemilu 2009. Targetnya jelas, mengurangi popularitas SBY. Seperti kita tahu, keberhasilan terbesar SBY selama memerintah –yang ditunjukkan dari hasil berbagai survey—adalah bidang Polkam. Dengan tiga deret kejadian ini, tentu dapat meminimalisasi kepopuleran SBY dibidang Polkam.

Tentunya sah-sah saja menggunakan hal-hal di atas untuk memenangkan pemilu. Akan tetapi, komoditas yang digunakan seharusnya masih dalam batas yang wajar. Jangan sampai, hanya karena ingin cepat merengkuh kekuasaan, akan mengorbankan kerangka Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI). Sebaiknya kita melakukan evaluasi dan instriopeksi diri.

Baca Selengkapnya...

Ironi Interpelasi

Tak kenal jera, apalagi lelah, politisi DPR kembali mengusung hak interpelasinya. Setelah gagal menghadirkan Presiden terkait interpelasi dukungan Indonesia terhadap Resolusi 1747 Dewan Keamanan PBB, kini politisi Senayan mengusung interpelasi yang bersifat lokal, Lapindo. Untuk interpelasi kali ini, para pengusul yang berjumlah 139 tidak akan mempermasalahkan Presiden hadir atau tidak. Kenapa interpelasi begitu marak mengalir?

Jika dicermati secara seksama, setidaknya ada tiga tafsir politik terkait interpelasi Lapindo. Pertama, DPR ingin membuka front yang lebih luas dengan pemerintah melalui interpelasi ini. Seperti kita tahu, sikap kritis DPR tentang masalah luar negeri, baik interpelasi Iran, perjanjian ekstradisi dan pertahanan dengan Singapura, serta masalah blok Ambalat belum dapat menimbulkan gejolak politik yang serius.

Kedua, DPR sedang mengalihkan isu-isu menyangkut kelambanan kinerja DPR sendiri dalam bidang legislasi. Seperti kita tahu, DPR kini sedang dihadapkan pada PR berat untuk menyelesaikan Paket UU Politik. Dengan perhatian berlebih kepada kinerja pemerintah (fungsi pengawasan), tentunya akan menyita perhatian publik dan pers ketimbang menilik kinerja DPR sendiri.

Ketiga, DPR sedang mengumbar isi peti persoalan bangsa sebelum pemilu 2009. targetnya jelas, mengarahkan semua persoalan bangsa kepada sosok Susilo Bambang Yudhoyono. Seperti diyakini banyak pengamat, pada pemilu 2009 nanti, SBY diyakini masih memegang kendali penuh. Oleh karenanya perlu “amunisi” tepat untuk membuatnya “meredup”.

Padahal, kalau mau objektif, sebetulnya DPR sudah harus terlibat sejak awal lumpur menyembur, yakni dengan melakukan pengawasan atas kinerja pemerintah dan lembaga-lembaga nondepartemen lain dalam sidang-sidang komisi dan panitia anggaran.

DPR memiliki hak dibidang legislasi, pengawasan, dan anggaran sehingga tidak perlu harus membawa ke forum politik paripurna seperti hak interpelasi. Kalaupun DPR membawa ke forum sepenting itu, tentu yang harus dilakukan adalah mengevaluasi seluruh knerja anggota dan alat kelengkapan DPR lain, termasuk yang berhubungan dengan kinerja lembaga-lembaga pemerintahan daerah. Kecuali memang DPR sedang menurunkan wibawa hak interpelasi sebagai hak yang biasa, tidak lagi prestisius, istimewa, apalagi sakral. Sungguh sebuah Ironi!

Baca Selengkapnya...

DKP dan Kejujuran Amin

“Lah karam maka bertimba” atau “Setelah mendapat celaka, barulah seseorang akan ingat.” Itulah peribahasa penggambaran sifat harfiah manusia. Ketika masih jaya, manusia tak akan pernah ingat kesalahannya. Namun ketika sudah celaka, baru dia mengakui dan instropeksi diri. Uniknya, manusia tidak akan pernah mau celaka sendirian. Dia akan berusaha mencari kambing hitam atau mencari teman untuk sama-sama celaka.

Peribahasa ini seiring sejalan dengan kasus aliran dana DKP yang telah mengantarkan Rokhmin Dahuri menjadi tersangka. Menteri masa pemerintahan Megawati inipun “bernyanyi” membeberkan nama-nama penerima aliran dana “haram” itu. Tak tanggung-tanggung Bapak Reformasi Amin Rais, adalah salah satu penadahnya. Dan Amin sendiri kemudian mengakui bahwa pihaknya meneria aliran dana itu senilai Rp. 400 juta.

Yang mengherankan, karena testimonialnya itu, berbagai kalangan masyarakat awam ‘memuja-muji’ Amin bak “pahlawan”. Keberaniannya mengakuipengamat, politisi dan kesalahan, dipandang sebuah prestasi. Padahal, bukankah pengakuan Amin ini merupakan borok yang memalukan? Bukankah statusnya sebagai bapak reformasi, tidak sepatutnya menerima dana negara untuk kepentingan kampanye? Bukankah seharusnya ia mengungkap hal ini jauh-jauh hari setelah pemilu selesai, atau pada saat pemilu berlangsung sebagai pelanggaran pemilu?

Dalam konteks itu, kejujuran Amin ini harus dimaknai proporsional. Artinya, kejujuran ini lebih dilatarbelakangi oleh keterpaksaan daripada niat baik menguak fakta yang sesungguhnya. Apalagi upayanya kembali menyinggung-nyinggung soal dana asing yang diterima capres-cawapres pemilu 2004 lalu, bisa dimaknai sebagai usaha “mencari teman celaka” seperti peribahasa di atas. Sangat disayangkan apabila ikon reformasi ini mencari popularitas dari hal yang tidak sewajarnya.

Baca Selengkapnya...

Monday, July 23, 2007

Belajar dari Bola

Timijo_2 Sangat membanggakan! Itulah mungkin kata pembuka paling tepat guna mengomentari keikutsertaan Indonesia di pentas Piala Asia 2007. Meski sempat sedikit tercoreng sebagai penyelenggara akibat insiden mati lampu kala laga Arab Saudi vs Korea Selatan, namun insiden itu seolah tertutup dengan prestasi dan perjuangan Timnas yang luar biasa!

Laga pertama dilalui Indonesia dengan manis kala menghempaskan Bahrain 2 : 1 yang notabene peringkat empat kualifikasi Piala Dunia 2006 lalu. Dilaga kedua,

Indonesia

hampir saja meraih satu poin dari Arab Saudi seandainya tak ada gol pada saat injury time. Dan dipertandingan ketiga, meski menyerah 1 : 0 dari Korea Selatan, standing ovation tetap patut diberikan melihat perjuangan Bambang Pamungkas dkk. yang tak kenal lelah!

Diluar itu semua, ada satu catatan terpenting yang mungkin wajib ditulis dalam sejarah persepakbolaan Indonesia, aksi simpatik penggila bola kita!

Menang_3 Setidaknya, ada empat catatan membanggakan dari suporter kita. Pertama, mungkin hanya saat inilah jiwa nasionalisme masyarakat Indonesia muncul dengan sempurna seusai perang kemerdekaan melawan penjajah. Semua orang terintegrasi dalam satu kata. Perbedaan ras, etnis, agama, kelas sosial tak lagi menjadi kendala. Semua sepakat untuk menyerukan satu ucapan, INDONESIA!

Kedua, citra penggila bola (gibol) Indonesia yang ”rusuh”, kontan hilang kala menyaksikan laga Indonesia vs Arab Saudi. Meski kalah, pemain kedua belas dengan jumlah hampir 100 ribu ini tak kemudian berprilaku anarkis. Meski ”dikerjai” wasit habis-habisan, mereka tetap menerimanya dengan jiwa sportivitas yang tinggi. Protes memang diayangkan, akan tetapi masih dalam batas yang cukup wajar.

Ketiga, Indonesia memang ”biangnya bola” di kawasan Asia. Fanatisme suporter Indonesia memang lain dari negara lainnya. Penonton yang memadati stadion utama Gelora Bung Karno pada laga Arab vs Indonesia, adalah rekor penonton terbanyak dipentas paling akbar di benua ras kuning. Dengan jumlah 88 ribu penonton yang hadir, GBK mencatatkan diri sebagai stadion yang paling banyak menampung penonton selama sejarah pentas Piala Asia.

Spirit Keempat, Piala Asia telah memberikan pelajaran cukup berharga guna mengontrol fanatisme suporter Indonesia dalam mendukung tim kesayangannya. Menang adalah harga mati buat timnas Indonesia. Akan tetapi bukan berarti kemutlakan itu menjadi alasan untuk berbuat yang tak semestinya. Kemarahan, keresahan, kesedihan dan kepedihan tatkala kalah, tak kemudian dilampiaskan dengan amarah. Sebaliknya, kekalahan dijadikan cambuk untuk melangkah dengan lebih baik dan lebih gagah!

Yang menjadi catatan akhir, kita bisa bersatu dalam bola. Seharusnya, kita juga bisa bersatu dalam segi kehidupan bernegara lainnya. Mari kita belajar dari Sepak Bola

Baca Selengkapnya...

Wednesday, July 11, 2007

Lolos, Bisa!

Lama tak mengutak-atik blog, hari ini tanganku gatal untuk manarikan kembali jariku di atas keyboard untuk mengisinya. Tak lain, Timnas Indonesialah yang mendorongku untuk melakukannya. Usai menyaksikan secara langsung laga Indonesia vs Bahrain di stadion GBUK, darahku mengalir deras, dadaku berdegup kencang dan emosiku berada dititim puncak. Aku salut..!!! ternyata, dengan semangat juang membumbung dan kerja keras tak kenal lelah, telah membuahkan hasil yang cukup manis bagi Indonesia.

Bangga...??? pasti iya.!! Sangat manis...??? Tentu saja..!!! Indonesia bisa mengalahkan Bahrain 2:1 yang notabene urutan empat babak kualifikasi piala dunia 2006 lalu. Sebuah prestasi yang cukup menyejukkan di tengah dahaga dan kehausanku melihat prestasi timnas yang selama ini masih seperti tikus melihat kucing.

Untuk sementara, saya berlega dahulu. hanya, hadangan di depan masih cukup berat. masih ada Arab saudi dan Korea Selatan yang siap menjadi batu sandungan.

Akan tetapi, dengan semangat nasionalisme dan kerja keras, saya yakin timnas akan lolos untuk yang pertama kalinya dalam sejarah selama keikutsertaanya dalam pagelaran Piala Asia. Lolos...??? Pasti Bisa..!!!! darahku dan tulangkua yang berwarna merah dan putih, akan selalu mengiringi LANGKAHMU TIMNAS..!!!! BERJUANGLAH SAMPAI DARAH MENETES DARI PELUHMU...!!!!!

Baca Selengkapnya...