Oleh : Abdul Hakim MS.
Sebuah kapal bernahkoda dua, kadang-kadang atau kalau sering terjadi, bisa merepotkan. Terutama kalau komunikasi antara kedua nahkoda itu tidak pakai riak gelombang yang sama, atau kalau yang satu sering lupa kasih tahu yang lain. Kapal bisa menabrak karang, akhirnya kandas atau salah arah. Kekuatan gaib yang ajaib masih bisa menyelamatkan perjalanannya, atau ditengah jalan pemilik kapal kasih perintah untuk menonaktifkan salah satu nahkodanya. (M. Sadli, 2002)
Perlambang yang ditulis M. Sadli dalam bukunya, Bila Kapal Punya Dua Nahkoda, nampaknya cukup apik mendiskripsikan dwi-tunggal kepemimpinan nasional kita saat ini. SBY-JK, kerapkali jalan berseberangan atau malah memilih jalannya sendiri-sendiri. Tak jarang, keputusan politik yang diambil keduanya sering menghujam dan menghenyakkan jagat perpolitikan nasional. Bukan masalah rakyat yang kemudian alot diperdebatkan, melainkan hanya masalah elit penguasa yang terus menjadi polemik media.
Kasus paling anyar ketidaksejalanan dwi tunggal ini, terekam dalam keputusan Partai Golkar ”menyunting” PDI-P dalam koalisi bersama membangun bangsa. Kedengarannya cukup elegan. Cuma, manuver yang dilakukan Partai Golkar ini tentunya banyak mengundang tanya. Apa makna dibalik ”perkawinan” ini?
Bukan Ideologis, tapi Politis
Ditegaskan, koalisi yang dilakukan oleh Partai Golkar dan PDI-P salah satunya karena kedua partai memiliki kesamaan ideologi. Secara faktual memang iya. Kedua partai sepakat mempertahankan NKRI, setia kepada Pancasila dan UUD ’45 serta tetap menjaga Bhineka Tunggal Ika dalam pluralisme.
Padahal kalau kita jeli, terjadi perbedaan yang cukup ekstrim diantara kedua partai ini. Pertama, Golkar merupakan partai yang berdiri dibawah besutan tokoh-tokoh Angkatan Darat sebelum peristiwa G. 30 S untuk menentang politik Presiden Sukarno dan mengimbangi PKI –yang merupakan gabungan kekuatan besar anti-imperialis (terutama AS). Sedangkan PDI-P dilahirkan justru sebagai manifestasi perlawanan terhadap Orde Baru (yang intinya adalah TNI-AD dan Golkar), dipersonifikasikan melalui sosok Megawati. Karenanya, banyak dari anggota-anggota keluarga orang-orang yang mendukung politik Bung Karno -- baik yang nasionalis, komunis atau yang dari kalangan agama –menaruh simpati kepada PDI-P hanya karena melihat sosok Megawati Sukarnoputri sebagai putri sang proklamator.
Kedua, masih sangat jelas teringat dibenak kita bagaimana Orba (termasuk Golkar) ”mengangkangi” Pancasila sebagai alat legitimasi kekuasaan. Orba menjadi penafsir tunggal Pancasila dan melakukan ”vermaak” mutlak melalui P-4-nya. Dalam prakteknya, nyatanya Pancasila telah dilecehkan atau diinjak-injak selama 32 tahun.
Ketiga, Mengenai Bhinneka Tunggal Ika dan menjaga pluralisme, Golkar selama puluhan tahun telah menutup pluralisme di Indonesia. Golkar menjadi dominan dalam berbagai sendi kehidupan bernegara dan menutup hadirnya persaingan politik masyarakat. Perlu kita catat, selama masa Orba, sekitar 70% suara pemilu dan 2/3 kursi parlemen dikuasai Golkar dan tidak mengizinkan kekuatan kiri, apalagi kekuatan golongan komunis untuk ikut meramaikan kancah perpolitikan nasional.
Berdasarkan fakta-fakta di atas, tentu perkawinan antara Partai Golkar dan PDI-P ini hanya didsasarkan kepentingan politik jangka pendek, yakni bersandingnya antara JK-Mega pada pemilu 2009 nanti. Itu artinya, JK sudah bersiap diri untuk ”meninggalkan” atau ”ditinggalkan” SBY, padahal pemerintahan masih harus berjalan 2 tahun lagi.
SBY-JK di Mata Media
Ketidaksejalanan antara SBY-JK, sebenarnya sudah menjadi rumor sejak pertama kali keduanya mengemban amanat menahkodai negeri ini. ”Kekuasaan” JK yang ”berlebih”, dipandang sebagai pemicunya. Sempat kita dengar, JK merasa tersinggung akibat teleconfrence yang dilakukan SBY guna memimpin rapat kabinet pada September 2005 lalu. Seharusnya ketika Presiden berhalangan memimpin rapat, tugas itu dilimpahkan kepada Wakil Presiden.
Keretakan kembali muncul kala ada silang pendapat mengenai pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Kebijakan dan Reformasi (UKP3R) pada November 2006. Dan yang pasti sangat kelihatan, keretakan ini muncul kala ada dua kali drama perombakan kabinet yang dilakukan pada akhir 2005 dan petengahan Mei 2007 lalu.
Rumor disparitas ini kembali dijumpai penulis melalui analisis media yang dilakukan pada bulan Mei dan Juni 2007. Dari 9 (sembilan) media cetak nasional yang dijadikan sampel penelitian berdasarkan kepemilikan dan segmentasi redearship, ada temuan menarik. Secara kwantitas, jumlah artikel SBY dan JK terjadi perbedaan yang cukup drastis. Pada bulan Mei misalnya, jumlah artikel SBY mencapai 668 artikel. Sedangkan JK hanya 190 artikel saja. Sedangkan pada bulan Juni, perbandingan artikel SBY-JK adalah 588 : 219.
Yang lebih menarik lagi adalah temuan seputar isu artikel kedua tokoh ini. Pada bulan Mei, banyaknya artikel SBY dilatarbelakangi drama reshuffle kabinet yang mencekam. Isu ini mendominasi dengan dulangan angka 30% dari seluruh artikel SBY. Uniknya, isu reshuffle yang banyak menghujam SBY, hanya menjadi topik nomor 4 JK dengan 11% dari seluruh artikel JK. Pun pada bulan Juni, terjadi disparitas isu yang cukup mencolok. Pada bulan ini, SBY diguyur artikel seputar interpelasi Iran mencapai 38%. Padahal, isu ini kembali menjadi topik nomor 4 JK dengan dulangan hanya 7% dari seluruh artikel JK.
Dari sini bisa dibaca, terkait isu-isu politik nasional yang panas, SBY-JK memang terkesan mencari aman masing-masing, terutama JK. Isu-isu negatif yang banyak menyorot SBY, ternyata tidak serta-merta juga menyorot JK. Seharusnya, kebijakan-kebijakan politik seperti reshuffle kabinet atau interpelasi, aktif diklarifikasi oleh keduanya. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Itu artinya, memang ada semacam gab yang cukup jelas diantara kedua pemimpin bangsa ini. Kalau sudah begitu, kapan mereka akan berembug bareng guna memperbaiki kehidupan bangsa? Padahal kepemimpinan mereka hanya tinggal dua tahun lagi.
Sebuah kapal bernahkoda dua, kadang-kadang atau kalau sering terjadi, bisa merepotkan. Terutama kalau komunikasi antara kedua nahkoda itu tidak pakai riak gelombang yang sama, atau kalau yang satu sering lupa kasih tahu yang lain. Kapal bisa menabrak karang, akhirnya kandas atau salah arah. Kekuatan gaib yang ajaib masih bisa menyelamatkan perjalanannya, atau ditengah jalan pemilik kapal kasih perintah untuk menonaktifkan salah satu nahkodanya. (M. Sadli, 2002)
Perlambang yang ditulis M. Sadli dalam bukunya, Bila Kapal Punya Dua Nahkoda, nampaknya cukup apik mendiskripsikan dwi-tunggal kepemimpinan nasional kita saat ini. SBY-JK, kerapkali jalan berseberangan atau malah memilih jalannya sendiri-sendiri. Tak jarang, keputusan politik yang diambil keduanya sering menghujam dan menghenyakkan jagat perpolitikan nasional. Bukan masalah rakyat yang kemudian alot diperdebatkan, melainkan hanya masalah elit penguasa yang terus menjadi polemik media.
Kasus paling anyar ketidaksejalanan dwi tunggal ini, terekam dalam keputusan Partai Golkar ”menyunting” PDI-P dalam koalisi bersama membangun bangsa. Kedengarannya cukup elegan. Cuma, manuver yang dilakukan Partai Golkar ini tentunya banyak mengundang tanya. Apa makna dibalik ”perkawinan” ini?
Bukan Ideologis, tapi Politis
Ditegaskan, koalisi yang dilakukan oleh Partai Golkar dan PDI-P salah satunya karena kedua partai memiliki kesamaan ideologi. Secara faktual memang iya. Kedua partai sepakat mempertahankan NKRI, setia kepada Pancasila dan UUD ’45 serta tetap menjaga Bhineka Tunggal Ika dalam pluralisme.
Padahal kalau kita jeli, terjadi perbedaan yang cukup ekstrim diantara kedua partai ini. Pertama, Golkar merupakan partai yang berdiri dibawah besutan tokoh-tokoh Angkatan Darat sebelum peristiwa G. 30 S untuk menentang politik Presiden Sukarno dan mengimbangi PKI –yang merupakan gabungan kekuatan besar anti-imperialis (terutama AS). Sedangkan PDI-P dilahirkan justru sebagai manifestasi perlawanan terhadap Orde Baru (yang intinya adalah TNI-AD dan Golkar), dipersonifikasikan melalui sosok Megawati. Karenanya, banyak dari anggota-anggota keluarga orang-orang yang mendukung politik Bung Karno -- baik yang nasionalis, komunis atau yang dari kalangan agama –menaruh simpati kepada PDI-P hanya karena melihat sosok Megawati Sukarnoputri sebagai putri sang proklamator.
Kedua, masih sangat jelas teringat dibenak kita bagaimana Orba (termasuk Golkar) ”mengangkangi” Pancasila sebagai alat legitimasi kekuasaan. Orba menjadi penafsir tunggal Pancasila dan melakukan ”vermaak” mutlak melalui P-4-nya. Dalam prakteknya, nyatanya Pancasila telah dilecehkan atau diinjak-injak selama 32 tahun.
Ketiga, Mengenai Bhinneka Tunggal Ika dan menjaga pluralisme, Golkar selama puluhan tahun telah menutup pluralisme di Indonesia. Golkar menjadi dominan dalam berbagai sendi kehidupan bernegara dan menutup hadirnya persaingan politik masyarakat. Perlu kita catat, selama masa Orba, sekitar 70% suara pemilu dan 2/3 kursi parlemen dikuasai Golkar dan tidak mengizinkan kekuatan kiri, apalagi kekuatan golongan komunis untuk ikut meramaikan kancah perpolitikan nasional.
Berdasarkan fakta-fakta di atas, tentu perkawinan antara Partai Golkar dan PDI-P ini hanya didsasarkan kepentingan politik jangka pendek, yakni bersandingnya antara JK-Mega pada pemilu 2009 nanti. Itu artinya, JK sudah bersiap diri untuk ”meninggalkan” atau ”ditinggalkan” SBY, padahal pemerintahan masih harus berjalan 2 tahun lagi.
SBY-JK di Mata Media
Ketidaksejalanan antara SBY-JK, sebenarnya sudah menjadi rumor sejak pertama kali keduanya mengemban amanat menahkodai negeri ini. ”Kekuasaan” JK yang ”berlebih”, dipandang sebagai pemicunya. Sempat kita dengar, JK merasa tersinggung akibat teleconfrence yang dilakukan SBY guna memimpin rapat kabinet pada September 2005 lalu. Seharusnya ketika Presiden berhalangan memimpin rapat, tugas itu dilimpahkan kepada Wakil Presiden.
Keretakan kembali muncul kala ada silang pendapat mengenai pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Kebijakan dan Reformasi (UKP3R) pada November 2006. Dan yang pasti sangat kelihatan, keretakan ini muncul kala ada dua kali drama perombakan kabinet yang dilakukan pada akhir 2005 dan petengahan Mei 2007 lalu.
Rumor disparitas ini kembali dijumpai penulis melalui analisis media yang dilakukan pada bulan Mei dan Juni 2007. Dari 9 (sembilan) media cetak nasional yang dijadikan sampel penelitian berdasarkan kepemilikan dan segmentasi redearship, ada temuan menarik. Secara kwantitas, jumlah artikel SBY dan JK terjadi perbedaan yang cukup drastis. Pada bulan Mei misalnya, jumlah artikel SBY mencapai 668 artikel. Sedangkan JK hanya 190 artikel saja. Sedangkan pada bulan Juni, perbandingan artikel SBY-JK adalah 588 : 219.
Yang lebih menarik lagi adalah temuan seputar isu artikel kedua tokoh ini. Pada bulan Mei, banyaknya artikel SBY dilatarbelakangi drama reshuffle kabinet yang mencekam. Isu ini mendominasi dengan dulangan angka 30% dari seluruh artikel SBY. Uniknya, isu reshuffle yang banyak menghujam SBY, hanya menjadi topik nomor 4 JK dengan 11% dari seluruh artikel JK. Pun pada bulan Juni, terjadi disparitas isu yang cukup mencolok. Pada bulan ini, SBY diguyur artikel seputar interpelasi Iran mencapai 38%. Padahal, isu ini kembali menjadi topik nomor 4 JK dengan dulangan hanya 7% dari seluruh artikel JK.
Dari sini bisa dibaca, terkait isu-isu politik nasional yang panas, SBY-JK memang terkesan mencari aman masing-masing, terutama JK. Isu-isu negatif yang banyak menyorot SBY, ternyata tidak serta-merta juga menyorot JK. Seharusnya, kebijakan-kebijakan politik seperti reshuffle kabinet atau interpelasi, aktif diklarifikasi oleh keduanya. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Itu artinya, memang ada semacam gab yang cukup jelas diantara kedua pemimpin bangsa ini. Kalau sudah begitu, kapan mereka akan berembug bareng guna memperbaiki kehidupan bangsa? Padahal kepemimpinan mereka hanya tinggal dua tahun lagi.
No comments:
Post a Comment