Tuesday, October 07, 2008

Mencari Cawapres Lima Jari

Oleh : Abdul Hakim MS.

Koran Sindo

UU Pilpres belum selesai hingga kini. Masalah kapan pejabat negara harus mengundurkan diri jika menjadi capres/cawapres, masalah rangkap jabatan serta persoalan ambang batas perolehan suara partai untuk mengajukan capres/cawapres masih menjadi kendala. Meski begitu, ada satu kesimpulan awal yang bisa dihadirkan terhadap UU Pilpres yang akan diundangkan, yakni pemilu 2009 mendatang tampaknya akan sulit menghadirkan calon presiden muka baru. Konstelasi tetap akan diramaikan oleh wajah lama seperti SBY, Megawati, Amin Rais, Wiranto serta tokoh-tokoh ”tua” lainnya. Dan pertarungan pun sepertinya akan mengerucut pada sosok SBY dan Megawati. Karena hingga kini, hanya kedua tokoh itulah yang paling populer memenangkan pilihan presiden berdasarkan hasil berbagai lembaga survei.

Melihat kondisi di atas, menjadi cukup menarik apabila kemudian memfokuskan perhatian terhadap pasangan yang akan mendampingi mereka. Karena posisi wakil presiden adalah kartu truf. Ibarat dua mata pisau, posisinya bisa mengangkat pun bisa juga menjatuhkan. Kita mungkin bisa sedikit berkaca dari pemilu AS yang kini sedang berlangsung. Jauh hari ketika Obama dan Maccain masih berjuang memenangkan konvensi dipartai masing-masing, Obama selalu unggul diberbagai hasil jajak pendapat. Namun setelah Maccain menggandeng Sarah Palin dan Obama menggamit Joe Biden, konstelasi langsung berubah. Obama kini tertinggal, meski tak drastis. Artinya, unsur Sarah Palin bisa mengangkat popularitas Maccain dan Joe Biden tak terlalu berpengaruh terhadap popularitas Obama. Bagaimana dengan Indonesia? Siapa wapres yang berpotensi mengangkat pasangannya pada pemilu 2009 mendatang?

Dalam memilih pasangan, hemat saya, seorang calon presiden akan memperhatikan dua aspek pokok. Pertama, wakil yang akan dipilih harus bisa membantu untuk memenangkan general election, karena itu tujuan utama. Namun hal kedua yang tak kalah penting adalah, pasangan tersebut harus bisa mendampingi sang presiden dalam hal apapun ketika mereka telah terpilih.

Dalam konteks mencari calon wakil presiden ideal yang memenuhi dua kriteria di atas, setidak-tidaknya capres harus memperhatikan filosofi lima jari. Pertama, wakil yang dipilih harus seperti jempol. Artinya pasangan yang akan digamit harus hebat. Hebat disini diartikan mempunyai bibit, bebet dan bobot yang baik. Bibit berarti ia harus berasal dari partai yang kuat guna mendukung kebijakan-kebijakan di parlemen. Ia juga harus populer sehingga dapat membantu mengangkat popularitas pasangannya dan mempunyai dana yang cukup untuk kampanye. Bebet berarti ia mempunyai lingkungan yang loyal atau dalam bahasa lain mempunyai basis konstituen yang fanatik. Bobot diartikan harus memiliki nilai pribadi yang handal seperti attitude yang baik, pengetahuan yang luas dan konsep pengendalian diri yang mumpuni.

Kriteria jari selanjutnya dalam mencari wakil, ia harus bisa seperti kelingking. Arti kelingking disini adalah ia harus dapat menjadi negasi. Ia harus berani mendebat keputusan yang dianggap menyimpang. Meski begitu, sang wakil harus tetap rendah hati untuk bisa menemukan sintesis yang baik. Karena jika tak rendah hati seperti kelingking, pasangan tersebut bisa bubar ditengah jalan.

Ketiga, pasangan yang akan digamit juga harus bisa seperti jari telunjuk. Ia bisa membimbing dan menjadi guide yang profesional. Ia tak hanya mendebat, melainkan dapat menunjukkan jalan alternatif bagi perjalanan keduanya. Keempat, ia harus bisa menjadi seperti jari manis. Artinya ia mau berkomitmen untuk saling menerima kekurangan masing-masing. Implikasinya, keduanya akan menjadi pasangan yang understanding dan saling melengkapi cela kelemahan yang ada. Ujungnya, ia tak akan jalan sendiri-sendiri yang bermuara pada ”perceraian”.

Kelima, wakil yang dipilih harus menjadi seperti jari tengah. Artinya, pasangan harus berkomitmen mendahulukan persoalan pasangan dan menjaga agar pasangan tersebut bisa mencapai tujuan yang telah ditentukan selama 5 tahun kedepan. Keduanya akan saling berkomitmen menyelesaikan persoalan mereka terlebih dahulu sebelum lari ke masalah negara yang lebih luas. Harapannya, keduanya akan selalu harmonis dalam meregulasi kehidupan negara yang sangat berat.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, kira-kira siapa cawapres Indonesia yang bisa memenuhi kriteria-kriteria diatas?

JK, Hidayat, Wiranto dan Prabowo

Kala survei dilakukan untuk mengetahui nama-nama potensial untuk kedudukan sebagai calon wakil presiden, nama yang beredar di bursa memang lebih beragam dibandingkan dengan kandidat calon presiden. Survei Indo Barometer pada Juni 2008 menunjukkan hal itu. Dalam pertanyaan terbuka untuk nama cawapres, ada 10 nama muncul dengan dukungan suara terbanyak. Mereka adalah Sri Sultan HB X (19,9%), Jusuf Kalla (12,3%), Hidayat Nur Wahid (10,7%), Yusril Ihza Mahendra (4,9%); Prabowo Subianto (4,9%), Akbar Tanjung (4,6%), Hasyim Muzadi(4%), Din Syamsuddin (3,3%), Agung Laksono (2,8%) dan Aburizal Bakrie (2,2%). Dan sebetulnya masih banyak lagi nama lainnya. Lantas, siapa diantara mereka yang paling potensial?

Jika merujuk kriteria filosofi lima jari yang telah tertera sebelumnya, tentu tak semua nama di atas masuk kategori potensial. Hemat saya, tingkatan potensial bisa dibuat dalam kelompok-kelompok bertangga. Kelompok pertama ada nama Jusuf Kalla, Hidayat Nur Wahid, Wiranto, Yusril Ihza Mahendra dan Prabowo. Kelompok kedua ada nama Sultan HB X dan Akbar Tandjung. Serta kelompok ketiga adalah nama-nama lainnya. atas dasar apa pengeleompokan itu?

Kelompok pertama dimasukkan dengan indikator, nama-nama itu memenuhi 4 unsur utama, yakni mempunyai kendaraan politik cukup potensial pada pemilu 2009 mendatang dan kans untuk menjadi presiden masih diragukan. Selain kendaraan politik, dana untuk berkampanye juga tak menjadi persoalan bagi kelompok pertama ini. Dalam hal popuaritas, kelompok ini juga cukup menjanjikan bisa mengatrol pasangannya. Dalam hal pengetahuan dan pengalaman memimpin, kelompok pertama ini telah mengenyam banyak pengalaman di birokrasi.

Dibawah kelompok pertama ini ada nama Sultan HB X dan Akbar Tandjung. Kenapa dua nama ini masuk kelompok kedua? Padahal popularitas HB X malah yang tertinggi diantara cawapres lainnya? Hemat saya, hal ini lantaran keduanya hingga kini belum mau secara tegas berafiliasi dengan salah satu partai yang ada. Padahal, syarat mutlak untuk mendapatkan tempat wakil presiden adalah koalisi untuk share kekuasaan. Dan jika keduanya hingga beberapa waktu kedepan tak menentukan kendaraan politik, rasanya cukup sulit untuk bisa digandeng capres yang telah mapan. Karena mereka tak mungkin lagi mendapat dukungan dari Golkar yang sudah pasti akan mengusung ketua umum mereka, Jusuf Kalla.

Kelompok paling akhir adalah nama-nama yang saat ini sedang sibuk mengiklankan diri atau bahkan nama yang belum muncul sama sekali. Sebut saja Sutrisno Bachir, Rizal Mallarangeng, Fajroel Rahman dll. Kenapa nama-nama ini? Itu tak lain karena mereka dalam hal popularitas masih sangat minim. Yang menjadi catatan lagi, sosok Sutrisno Bachir, meski iklan di media massa sangat gencar, tapi penilaian publik masih cukup rendah. Hal ini karena ia belum begitu konkrit menunjukkan peran-aktif ditengah-tengah masyarakat.

Meski saya membuat pengelompokan tersebut, bukan berarti kelompok pertama akan lebih unggul dibandingkan kelompok lainnya. Hal ini masih sangat tergantung bagaimana dinamika politik tujuh bulan mendatang. Namun jika indikasi yang diambil adalah hingga saat ini, nama Jusuf Kalla, Hidayat Nur Wahid, Wiranto dan Prabowo masih menjadi kandidat paling baik. Keempatnya memiliki 4 kriteria yang wajib dimiliki oleh wakil presiden, yakni popularitas, kendaraan politik, dana kampanye dan pengalaman birokratik yang baik. Namun tak menutup kemungkinan juga calon lain bisa muncul menjadi rising star seperti Sarah Palin yang tak diperhitungkan sebelumnya.

Baca Selengkapnya...

Menunggu Bintang Perempuan

Oleh : Abdul Hakim MS.


Seputar Indonesia, 05 Oktober 2008

Perempuan masih marginal. Miris mengatakannya. Tapi itulah fakta yang ada jika bicara sekitar kandidat calon wakil presiden (cawapres) pemilu 2009 mendatang. Kala partai politik telah banyak yang memenuhi syarat kuota 30 persen kandidat kaum hawa untuk calon anggota legislatif, namun tak begitu keadaannya dengan cawapres perempuan. Hingga kini, nasib golongan ibu seolah masih ”mengurung diri di dapur”.

Kesimpulan di atas saya ambil, mengacu pada hasil survei-survei yang pernah dilakukan oleh Indo Barometer pada Mei 2007, Desember 2007 dan Juni 2008. Dalam pertanyaan terbuka yang disampaikan kepada 1200 responden terpilih diseluruh Indonesia mengenai calon wakil presiden 2009, pada survei juni 2008 misalnya, tak nampak satupun nama perempuan. Jika ada, angkanya juga masih nol koma. Dalam pertanyaan terbuka survei tersebut, 10 nama peraih angka terbanyak tetap didominasi oleh kaum adam. Mereka adalah Sri Sultan HB X (19,9%), Jusuf Kalla (12,3%), Hidayat Nur Wahid (10,7%), Yusril Ihza Mahendra (4,9%), Prabowo Subianto (4,9%), Akbar Tanjung (4,6%), Hasyim Muzadi(4%), Din Syamsuddin (3,3%), Agung Laksono (2,8%) dan Aburizal Bakrie (2,2%). Nama lainnya yang disebut oleh responden ada sekitar 17,1 persen. Itupun nama laki-laki masih dominan. Sedangkan yang tak menjawab/tidak tahu ada sebanyak 36,6 persen.

Melihat fakta di atas, pertanyaan relevan yang bisa dimunculkan adalah, kenapa kaum perempuan sulit menyodok keposisi wakil presiden menyaingi kaum laki-laki?

Empat Aspek

Kala mengacu hasil Pilkada, sebenarnya telah banyak bermunculan kandidat-kandidat wakil Bupati/Gubernur dari kaum Hawa. Memang tak semuanya merengkuh hasil positif. Akan tetapi, di Jawa Tengah misalnya, kaum ibu berhasil menempatkan diri sebagai wakil kepala daerah terpilih. Rustiningsih yang menjadi wakil Bibit Waluyo, berhasil memenangkan Pilkada Gubernur Jawa Tengah periode 2008-2013. Pertanyaannya kemudian, kenapa ditingkat daerah banyak muncul kandidat wakil pemimpin perempuan sedangkan ditingkat nasional stok calon wakil presiden perempuan seolah stuck?

Hemat saya, setidaknya ada empat aspek utama kenapa calon wakil presiden perempuan sulit bersaing dengan kaum adam. Pertama, budaya paternalistik yang masih kukuh dinegeri ini. Diberbagai sektor, perempuan masih dianggap sebagai konco wingking. Dalam konteks politik (wakil presiden perempuan khususnya), kebuntuan ini diperparah lagi oleh budaya paternalistik akut di tubuh partai politik. Salah satu tugas partai politik sebagai lembaga recruitment politik, masih dilakukan setengah-setengah dalam menggamit kaum ibu. Sehingga kaum ibu menjadi sulit menyembul kepermukaan.

Sebagai bukti, hasil survei nasional Indo Barometer pada Juni 2008 lalu juga mencoba merekam siapa tokoh-tokoh muda partai politik terpopuler. Naasnya, dari tujuh partai politik pemenang pemilu 2004, hanya dari dua partai politik saja yang menempatkan tokoh muda perempuan dengan tingkat pengenalan tertinggi, yakni dari PDI-P dan PKB. Itupun, tempatnya masih berada di bawah tokoh terpopuler kaum adam serta angka pengenalannya juga masih cukup rendah.

Lihatlah dominasi kaum laki-laki di tubuh partai politik kita. Di Partai Amanat Nasional (PAN) ada nama Zulkifli Hasan dan Drajad Wibowo dengan tingkat pengenalan 6,6 persen dan 7,6 persen. Di Partai Demokrat (PD) ada nama Anas Urbaningrum dan Andi Mallarangeng dengan tingkat pengenalan 13,0 persen dan 65 persen. Di Partai Golkar ada nama Priyo Budi Santoso dan Yuddy Chrisnandi dengan angka pengenalan 8,3 persen dan 4,0 persen. Di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ada nama Irgan Chairul Mahfiz dan Lukman H. Saifuddin dengan tingkat pengenalan 3,4 persen dan 8,2 persen. Di Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ada nama Tifatul Sembiring dan Anis Matta dengan tingkat pengenalan 9,5 persen dan 4,8 persen. Sedangkan nama perempuan hanya muncul di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Di PDIP, Pramono Anung ditempat teratas diikuti Puan Maharani dengan tingkat pengenalan masing-masing 26,1 persen dan 19,1 persen. Sementara di PKB ada nama Muhaimin Iskandar di tempat pertama disusul Yenny Zannubah Wahid dengan tingkat pengenalan 37,3 persen dan 34,9 persen.

Kedua, kuatnya budaya paternalistik diberbagai sektor tersebut, membawa dampak pada sulitnya perempuan untuk memenuhi empat unsur utama yang menjadi modal awal guna terjun dikancah politik. Seperti kita tahu, dalam era pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, agar calon kandidat bisa terpilih, maka ia harus memiliki (1) popularitas. Tanpa pengenalan yang baik di mata masyarakat terhadap seorang kandidat, sangat mustahil ia bisa terpilih.

Akan tetapi, popularitas saja belumlah cukup sebagai jaminan seorang kandidat bisa terpilih. Untuk dapat memenangkan kompetisi, kandidat juga harus mempunyai tingkat elektabilitas yang tinggi. Dan syarat untuk menaikkan tingkat elektabilitas, maka ia harus disukai masyarakat. Agar disukai, mau tak mau si kandidat mesti berkampanye yang tentu membutuhkan (2) dana politik yang tak sedikit.

Selain kedua faktor di atas, keberhasilan saat berkampanye, juga akan sangat bergantung pada performa yang ditampilkan seorang kandidat. Oleh karena itu, agar bisa mengunduh proses kampanye yang telah dilakukan, si kandiat dituntut mempunyai (3) pengetahuan yang baik diberbagai bidang guna meyakinkan khalayak ramai.

Namun yang paling penting diantara itu semua adalah seorang kandidat harus (4) dicalonkan oleh partai politik sebagai vehicle untuk maju. Karena hingga saat ini, tak memungkinkan bagi seseorang untuk menjadi capres/cawapres melalui instrumen lain. UUD ’45 telah dengan tegas mengatakan bahwa yang berhak maju menjadi capres/cawapres pada perhelatan pemilihan umum adalah mereka yang dicalonkan oleh partai politik. Memang, kini sedang bergulir proses uji materi di Mahkamah Konstitusi terhadap UUD ’45. Fajrul Rahman dkk sedang berjuang mengegolkan adanya calon independen pada pilpres mendatang. Namun hemat saya, hal itu tak akan banyak memberi pengaruh. Sangat berat, bila tak bisa dikatakan mustahil, untuk melakukan amandemen UUD ’45 ditengah berbagai kepentingan yang meliputi anggota DPR serta pemilu yang sudah didepan mata.

Ketiga, ditengah krisis kandidat perempuan untuk mengisi pos-pos politik melalui sarana pemilu (khususnya calon wakil presiden), beberapa perempuan yang berpotensi mengisi bursa pemimpin politik nasional nampaknya masih cukup enggan bergelut di partai politik. Sebut saja Sri Mulyani dan Mari Elka Pangestu misalnya. Kedua wanita ini cukup potensial mengisi bursa wakil presiden pada pemilu 2009. Akan tetapi hingga kini, mereka berdua tak secara ansih memproklamirkan diri dekat dengan parpol tertentu. Hal ini disebabkan oleh (salah satunya mungkin) kuatnya budaya paternalistik di tubuh partai politik kita. Tokoh politik perempuan akan kesulitan masuk ke jaringan inti parpol apabila tak punya kedekatan secara emosional dengan pemimpin parpol bersangkutan. Hanya mereka yang punya kedekatan yang bisa menyeruak masuk. Sebagai contoh, tokoh muda perempuan terpopuler dari PDIP dan PKB seperti tersebut di atas, adalah putri-putri dari “maskot” masing-masing parpol bersangkutan. Puan Maharani merupakan putri Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri sedangakan Yenny Zannubah Wahid adalah putri Ketua Dewan Syuro PKB, Gus Dur.

Keempat, tentu yang sangat mengganjal adalah lemahnya popularitas dan tingkat pengenalan kandidat-kandidat perempuan di mata publik. Dalam survei nasional yang dilakukan oleh IB pada pada bulan Mei 2007, Desember 2007 dan Juni 2008, baik untuk pilihan capres maupun cawapres, nama perempuan yang muncul hanyalah Megawati Soekarnoputri. Nama lain masih jauh tenggelam.

Melihat fakta-fakta di atas, sepertinya cukup suram bagi prospek perempuan untuk menjadi wakil presiden pada pemilu 2009 mendatang. Masih butuh waktu cukup lama untuk dapat melihat wanita mengisi pos-pos jabatan politik melalui sarana pemilu ditingkat nasional. Meski begitu, tak ada yang permanen dalam politik. Bisa saja, ditengah jalan nanti, rising star baru dari kaum ibu akan menyembul. Itu semua tergantung pada dinamika politik tujuh bulan mendatang. Apakah kaum Hawa akan muncul dan mampu bersaing dengan golongan laki-laki pada pemilu 2009 mendatang? Kita tunggu saja.

Baca Selengkapnya...

2009, Recup Yang Tertutup

Oleh : Abdul Hakim MS.


Buntu. Pembahasan UU Pilpres masih menggantung hingga kini. Deadline yang dicangangkan tanggal 24 September 2008 untuk mengesahkannya telah lewat. Tarik menarik tiga persoalan utama, masih membuat partai-partai di DPR sulit mencari jalan kompromi. (1) Masalah kapan pejabat negara yang akan maju menjadi capres atau cawapres harus mengundurkan diri, kemudian (2) perlu tidaknya para ketua partai yang terpilih menjadi presiden atau wakil presiden meletakkan kedudukannya, serta (3) ambang batas perolehan suara partai di DPR yang berhak mengajukan calon presiden dan wakil presiden, membuat pengesahan UU Pilpres terus molor.

Dari tiga persoalan di atas, ambang batas perolehan suara partai yang berhak mengajukan pasangan capres dan cawapres adalah masalah yang paling menarik dicermati. Partai-partai besar semisal Golkar dan PDI-P menginginkan syarat 30 persen. Sedangkan partai-partai lain berkehendak variatif. Ada yang berkeinginan syarat 15 persen, 20 persen dan 25 persen. Pertanyaan yang kemudian muncul dari realitas ini adalah apa implikasi ambang batas itu terhadap pertarungan perebutan kursi RI-1 pada pilpres 2009?

Partai Ulangan

Saya akan berandai-andai terhadap konstelasi perebutan kursi RI-1 mengacu hasil survei Indo Barometer yang dilakukan pada Juni 2008 lalu. Dengan mengacu perolehan suara partai-partai melalui hasil survei nasional Indo Barometer yang dilakukan terhadap 1200 responden dengan margin of error sebesar 3,0 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen ini, mungkin bisa sedikit memberi gambaran kira-kira konstelasi seperti apa yang akan terjadi di pemilihan presiden 2009.

Dalam survei Indo Barometer pada Juni lalu, PDI-P menempati urutan pertama dengan 23,8 persen disusul kemudian Golkar 12 persen, Demokrat 9,6 persen, PKS 7,4 persen PKB 7,4 persen, PAN 3,5 persen, Hanura 2,3 persen, PPP 1,6 persen dan partai lainnya 3,8 persen. Sementara suara yang belum menentukan pilihan sebesar 29,4 persen.

Seandainya hasil faktual pemilu 2009 seperti yang ada di atas, kemudian ambang batas yang ditetapkan untuk mengajukan calon presiden adalah 30 persen, praktis perebutan kursi RI-1 hanya maksimal diperebutkan oleh tiga pasang calon saja. Kondisi ini tentunya akan menguntungkan PDI-P dan Golkar sebagai partai pendulang suara mayoritas. PDI-P sudah jelas mengusung Megawati. Partai moncong putih tinggal mencari satu partai lagi untuk dijadikan. Sedangkan Golkar, besar kemungkinan akan menempatkan Jusuf Kalla sebagai jago yang akan disusung. Akan tetapi Golkar mempunyai masalah. Jusuf Kalla, berdasarkan survei Indo Barometer, tak cukup populer jika mencalonkan diri sebagai presiden. Ia lebih populis jika menjadi wapres. Oleh karena itu, Jusuf Kalla sepertinya akan tetap setia mendampingi SBY dengan gerbong Golkar dibelakangnya. Sedangkan satu calon pasangan lain, akan diajukan oleh koalisi partai-partai kecil yang hemat saya akan tetap memunculkan nama-nama yang tak asing. Mungkin Wiranto, prabowo atau tokoh lain yang punya predikat “tokoh sepuh”. Jika demikian, maka kandidat yang akan muncul tetap didominasi muka lama, yakni Megawati, SBY dan tokoh-tokoh lain yang punya investasi kuat di partai politik seperti Wiranto atau Prabowo.

Kedua, ambang batas 20-25 persen. Kompetisi pilpres maksimal akan memunculkan lima pasang calon. Akan tetapi hemat saya akan sulit. Yang paling mungkin adalah 4 pasang calon. Jika realitas ini yang terjadi, maka tokoh yang akan menyembul juga tetap didominasi muka lama yang punya afiliasi kuat dengan partai politik. Mereka antara lain Megawati, SBY, Wiranto dan Prabowo. Memang tak memustahilkan nama lain akan hadir. Namun melihat kondisi partai politik nasional saat ini yang masih berbudaya patronisme, sepertinya akan cukup sulit bagi tokoh-tokoh baru bisa bersaing mendapatkan kendaraan politik.

Ketiga, jika ambang batas 15 persen. Kondisi inilah yang paling memberikan harapan munculnya tokoh-tokoh baru menyaingi tokoh-tokoh lama. Akan tetapi, hemat saya, ambang batas ini cukup sulit terealisasi dengan dominasi Golkar dan PDI-P di parlemen. Seperti diketahui, kedua partai ini cukup keukeuh dengan ambang batas presentasi besar. Jika keputusan harus diambil dengan cara voting, bisa dipastikan usulan keduanya akan menang. Karena jumlah kursi keduanya mencapai 43 persen di DPR.

Melihat perhitungan di atas, maka konstelasi pemilu 2009 menjadi monoton. Tokoh baru sulit muncul. Artinya, pertarungan masih tetap akan mempertemukan politisi kawakan dan mengerucut pada Megawati vs SBY. Berdasarkan survei Indo Barometer, hanya dua tokoh inilah yang akan bersaing jika kandidatnya terdiri atas politisi-politisi sepuh. Itu artinya, pemilu 2009 hanya akan menjadi partai ulangan pemilu 2004 lalu.

Recup Tak Bersemi

Ditengah bergairahnya tokoh-tokoh politik (muda) baru yang bermunculan bak recup yang bersemi guna meramaikan konstelasi pilpres 2009 sebagai alternatif, namun sayang harus layu sebelum berkembang karena kerangkeng Undang-undang. UUD ’45 telah dengan tegas mengatakan bahwa yang berhak maju menjadi capres 2009, harus melalui jalur partai politik. Kelayuan itu diperparah lagi dengan (kemungkinan) adanya ambang batas pengajuan capres dan cawapres dari partai politik dengan ambang batas presentasi besar. Memang, kini telah bergulir proses “menantang” pengubahan UUD ’45. Fajrul Rahman berjuang mengegolkan calon independen melalui Mahkamah Konstitusi. Namun hemat saya, hal itu tak akan banyak memberi pengaruh. Sangat berat, bila tak bisa dikatakan mustahil, untuk melakukan amandemen UUD ’45 ditengah pemilu yang sudah didepan mata.

Selain kendala di atas, duri lain juga masih mengganjal tokoh-tokoh politik (muda) baru. Lemahnya tingkat popularitas, menjadi musuh lain. Survei Indo Barometer Juni 2008 lalu menjadi indikator awal. Sebutlah misalnya tokoh-tokoh muda partai politik. Zulkifli Hasan dan Drajad Wibowo dari PAN, tingkat pengenalan mereka hanya 6,6 persen dan 7,6 persen. Tokoh muda Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan Andi Malarangeng angkanya masih di 13,0 persen dan 65 persen. Tokoh muda PDIP Pramono Anung dan Puan Maharani masih di angka 26,1 persen dan 19,1 persen. Tokoh muda Golkar Priyo Budi Santoso dan Yuddy Chrisnandi masih di angka 8,3 persen dan 4,0 persen. Tokoh muda PKB Muhaimin Iskandar dan Yenny Zannubah Wahid masih di angka 37,3 persen dan 34,9 persen. Tokoh muda PPP Irgan Chairul Mahfiz dan Lukman H. Saifuddin masih di angka 3,4 persen dan 8,2 persen. Tokoh muda PKS Tifatul Sembiring dan Anis Matta masih diangka 9,5 persen dan 4,8 persen.

Dari kalangan aktivis LSM, pengamat, akademisi dan pengusaha pun menghadapi hal serupa. Teten Masduki dan Usman Hamid misalnya, tingkat pengenalan publik hanya berkisar 14,9 persen dan 6,2 persen. Pengamat dan akademisi macam Faisal Basri dan Sukardi Rinakit juga masih dikisaran angka 21,9 persen dan 3,9 persen. Sedangkan kalangan pengusaha seperti Erick Tohir dan Sandiaga S. Uno juga masih diangka 3,8 persen dan 3,2 persen. Angka-angka di atas, barulah tingkat pengenalan saja. Uniknya, tingkat kesukaan publik terhadap tokoh-tokoh ini juga masih cukup rendah.

Merujuk fakta-fakta di atas, rasanya pemilihan presiden 2009 mendatang masih akan didominasi muka lama. Cukup sulit bagi tokoh politik (muda) baru untuk dapat merangsek guna mengisi bursa kandidat. Selama tak ada kejadian politik yang istimewa, para pemilih harus tetap rela mencoblos nama-nama yang telah mereka kenal di pemilu 2004 lalu karena jalan recup politisi (muda) baru telah tertutup.

Baca Selengkapnya...