Oleh : Abdul Hakim MS.
Buntu. Pembahasan UU Pilpres masih menggantung hingga kini. Deadline yang dicangangkan tanggal 24 September 2008 untuk mengesahkannya telah lewat. Tarik menarik tiga persoalan utama, masih membuat partai-partai di DPR sulit mencari jalan kompromi. (1) Masalah kapan pejabat negara yang akan maju menjadi capres atau cawapres harus mengundurkan diri, kemudian (2) perlu tidaknya para ketua partai yang terpilih menjadi presiden atau wakil presiden meletakkan kedudukannya, serta (3) ambang batas perolehan suara partai di DPR yang berhak mengajukan calon presiden dan wakil presiden, membuat pengesahan UU Pilpres terus molor.
Dari tiga persoalan di atas, ambang batas perolehan suara partai yang berhak mengajukan pasangan capres dan cawapres adalah masalah yang paling menarik dicermati. Partai-partai besar semisal Golkar dan PDI-P menginginkan syarat 30 persen. Sedangkan partai-partai lain berkehendak variatif. Ada yang berkeinginan syarat 15 persen, 20 persen dan 25 persen. Pertanyaan yang kemudian muncul dari realitas ini adalah apa implikasi ambang batas itu terhadap pertarungan perebutan kursi RI-1 pada pilpres 2009?
Partai Ulangan
Saya akan berandai-andai terhadap konstelasi perebutan kursi RI-1 mengacu hasil survei Indo Barometer yang dilakukan pada Juni 2008 lalu. Dengan mengacu perolehan suara partai-partai melalui hasil survei nasional Indo Barometer yang dilakukan terhadap 1200 responden dengan margin of error sebesar 3,0 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen ini, mungkin bisa sedikit memberi gambaran kira-kira konstelasi seperti apa yang akan terjadi di pemilihan presiden 2009.
Dalam survei Indo Barometer pada Juni lalu, PDI-P menempati urutan pertama dengan 23,8 persen disusul kemudian Golkar 12 persen, Demokrat 9,6 persen, PKS 7,4 persen PKB 7,4 persen, PAN 3,5 persen, Hanura 2,3 persen, PPP 1,6 persen dan partai lainnya 3,8 persen. Sementara suara yang belum menentukan pilihan sebesar 29,4 persen.
Seandainya hasil faktual pemilu 2009 seperti yang ada di atas, kemudian ambang batas yang ditetapkan untuk mengajukan calon presiden adalah 30 persen, praktis perebutan kursi RI-1 hanya maksimal diperebutkan oleh tiga pasang calon saja. Kondisi ini tentunya akan menguntungkan PDI-P dan Golkar sebagai partai pendulang suara mayoritas. PDI-P sudah jelas mengusung Megawati. Partai moncong putih tinggal mencari satu partai lagi untuk dijadikan. Sedangkan Golkar, besar kemungkinan akan menempatkan Jusuf Kalla sebagai jago yang akan disusung. Akan tetapi Golkar mempunyai masalah. Jusuf Kalla, berdasarkan survei Indo Barometer, tak cukup populer jika mencalonkan diri sebagai presiden. Ia lebih populis jika menjadi wapres. Oleh karena itu, Jusuf Kalla sepertinya akan tetap setia mendampingi SBY dengan gerbong Golkar dibelakangnya. Sedangkan satu calon pasangan lain, akan diajukan oleh koalisi partai-partai kecil yang hemat saya akan tetap memunculkan nama-nama yang tak asing. Mungkin Wiranto, prabowo atau tokoh lain yang punya predikat “tokoh sepuh”. Jika demikian, maka kandidat yang akan muncul tetap didominasi muka lama, yakni Megawati, SBY dan tokoh-tokoh lain yang punya investasi kuat di partai politik seperti Wiranto atau Prabowo.
Kedua, ambang batas 20-25 persen. Kompetisi pilpres maksimal akan memunculkan lima pasang calon. Akan tetapi hemat saya akan sulit. Yang paling mungkin adalah 4 pasang calon. Jika realitas ini yang terjadi, maka tokoh yang akan menyembul juga tetap didominasi muka lama yang punya afiliasi kuat dengan partai politik. Mereka antara lain Megawati, SBY, Wiranto dan Prabowo. Memang tak memustahilkan nama lain akan hadir. Namun melihat kondisi partai politik nasional saat ini yang masih berbudaya patronisme, sepertinya akan cukup sulit bagi tokoh-tokoh baru bisa bersaing mendapatkan kendaraan politik.
Ketiga, jika ambang batas 15 persen. Kondisi inilah yang paling memberikan harapan munculnya tokoh-tokoh baru menyaingi tokoh-tokoh lama. Akan tetapi, hemat saya, ambang batas ini cukup sulit terealisasi dengan dominasi Golkar dan PDI-P di parlemen. Seperti diketahui, kedua partai ini cukup keukeuh dengan ambang batas presentasi besar. Jika keputusan harus diambil dengan cara voting, bisa dipastikan usulan keduanya akan menang. Karena jumlah kursi keduanya mencapai 43 persen di DPR.
Melihat perhitungan di atas, maka konstelasi pemilu 2009 menjadi monoton. Tokoh baru sulit muncul. Artinya, pertarungan masih tetap akan mempertemukan politisi kawakan dan mengerucut pada Megawati vs SBY. Berdasarkan survei Indo Barometer, hanya dua tokoh inilah yang akan bersaing jika kandidatnya terdiri atas politisi-politisi sepuh. Itu artinya, pemilu 2009 hanya akan menjadi partai ulangan pemilu 2004 lalu.
Recup Tak Bersemi
Ditengah bergairahnya tokoh-tokoh politik (muda) baru yang bermunculan bak recup yang bersemi guna meramaikan konstelasi pilpres 2009 sebagai alternatif, namun sayang harus layu sebelum berkembang karena kerangkeng Undang-undang. UUD ’45 telah dengan tegas mengatakan bahwa yang berhak maju menjadi capres 2009, harus melalui jalur partai politik. Kelayuan itu diperparah lagi dengan (kemungkinan) adanya ambang batas pengajuan capres dan cawapres dari partai politik dengan ambang batas presentasi besar. Memang, kini telah bergulir proses “menantang” pengubahan UUD ’45. Fajrul Rahman berjuang mengegolkan calon independen melalui Mahkamah Konstitusi. Namun hemat saya, hal itu tak akan banyak memberi pengaruh. Sangat berat, bila tak bisa dikatakan mustahil, untuk melakukan amandemen UUD ’45 ditengah pemilu yang sudah didepan mata.
Selain kendala di atas, duri lain juga masih mengganjal tokoh-tokoh politik (muda) baru. Lemahnya tingkat popularitas, menjadi musuh lain. Survei Indo Barometer Juni 2008 lalu menjadi indikator awal. Sebutlah misalnya tokoh-tokoh muda partai politik. Zulkifli Hasan dan Drajad Wibowo dari PAN, tingkat pengenalan mereka hanya 6,6 persen dan 7,6 persen. Tokoh muda Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan Andi Malarangeng angkanya masih di 13,0 persen dan 65 persen. Tokoh muda PDIP Pramono Anung dan Puan Maharani masih di angka 26,1 persen dan 19,1 persen. Tokoh muda Golkar Priyo Budi Santoso dan Yuddy Chrisnandi masih di angka 8,3 persen dan 4,0 persen. Tokoh muda PKB Muhaimin Iskandar dan Yenny Zannubah Wahid masih di angka 37,3 persen dan 34,9 persen. Tokoh muda PPP Irgan Chairul Mahfiz dan Lukman H. Saifuddin masih di angka 3,4 persen dan 8,2 persen. Tokoh muda PKS Tifatul Sembiring dan Anis Matta masih diangka 9,5 persen dan 4,8 persen.
Dari kalangan aktivis LSM, pengamat, akademisi dan pengusaha pun menghadapi hal serupa. Teten Masduki dan Usman Hamid misalnya, tingkat pengenalan publik hanya berkisar 14,9 persen dan 6,2 persen. Pengamat dan akademisi macam Faisal Basri dan Sukardi Rinakit juga masih dikisaran angka 21,9 persen dan 3,9 persen. Sedangkan kalangan pengusaha seperti Erick Tohir dan Sandiaga S. Uno juga masih diangka 3,8 persen dan 3,2 persen. Angka-angka di atas, barulah tingkat pengenalan saja. Uniknya, tingkat kesukaan publik terhadap tokoh-tokoh ini juga masih cukup rendah.
Merujuk fakta-fakta di atas, rasanya pemilihan presiden 2009 mendatang masih akan didominasi muka lama. Cukup sulit bagi tokoh politik (muda) baru untuk dapat merangsek guna mengisi bursa kandidat. Selama tak ada kejadian politik yang istimewa, para pemilih harus tetap rela mencoblos nama-nama yang telah mereka kenal di pemilu 2004 lalu karena jalan recup politisi (muda) baru telah tertutup.
No comments:
Post a Comment