Tuesday, October 07, 2008

Menunggu Bintang Perempuan

Share on :

Oleh : Abdul Hakim MS.


Seputar Indonesia, 05 Oktober 2008

Perempuan masih marginal. Miris mengatakannya. Tapi itulah fakta yang ada jika bicara sekitar kandidat calon wakil presiden (cawapres) pemilu 2009 mendatang. Kala partai politik telah banyak yang memenuhi syarat kuota 30 persen kandidat kaum hawa untuk calon anggota legislatif, namun tak begitu keadaannya dengan cawapres perempuan. Hingga kini, nasib golongan ibu seolah masih ”mengurung diri di dapur”.

Kesimpulan di atas saya ambil, mengacu pada hasil survei-survei yang pernah dilakukan oleh Indo Barometer pada Mei 2007, Desember 2007 dan Juni 2008. Dalam pertanyaan terbuka yang disampaikan kepada 1200 responden terpilih diseluruh Indonesia mengenai calon wakil presiden 2009, pada survei juni 2008 misalnya, tak nampak satupun nama perempuan. Jika ada, angkanya juga masih nol koma. Dalam pertanyaan terbuka survei tersebut, 10 nama peraih angka terbanyak tetap didominasi oleh kaum adam. Mereka adalah Sri Sultan HB X (19,9%), Jusuf Kalla (12,3%), Hidayat Nur Wahid (10,7%), Yusril Ihza Mahendra (4,9%), Prabowo Subianto (4,9%), Akbar Tanjung (4,6%), Hasyim Muzadi(4%), Din Syamsuddin (3,3%), Agung Laksono (2,8%) dan Aburizal Bakrie (2,2%). Nama lainnya yang disebut oleh responden ada sekitar 17,1 persen. Itupun nama laki-laki masih dominan. Sedangkan yang tak menjawab/tidak tahu ada sebanyak 36,6 persen.

Melihat fakta di atas, pertanyaan relevan yang bisa dimunculkan adalah, kenapa kaum perempuan sulit menyodok keposisi wakil presiden menyaingi kaum laki-laki?

Empat Aspek

Kala mengacu hasil Pilkada, sebenarnya telah banyak bermunculan kandidat-kandidat wakil Bupati/Gubernur dari kaum Hawa. Memang tak semuanya merengkuh hasil positif. Akan tetapi, di Jawa Tengah misalnya, kaum ibu berhasil menempatkan diri sebagai wakil kepala daerah terpilih. Rustiningsih yang menjadi wakil Bibit Waluyo, berhasil memenangkan Pilkada Gubernur Jawa Tengah periode 2008-2013. Pertanyaannya kemudian, kenapa ditingkat daerah banyak muncul kandidat wakil pemimpin perempuan sedangkan ditingkat nasional stok calon wakil presiden perempuan seolah stuck?

Hemat saya, setidaknya ada empat aspek utama kenapa calon wakil presiden perempuan sulit bersaing dengan kaum adam. Pertama, budaya paternalistik yang masih kukuh dinegeri ini. Diberbagai sektor, perempuan masih dianggap sebagai konco wingking. Dalam konteks politik (wakil presiden perempuan khususnya), kebuntuan ini diperparah lagi oleh budaya paternalistik akut di tubuh partai politik. Salah satu tugas partai politik sebagai lembaga recruitment politik, masih dilakukan setengah-setengah dalam menggamit kaum ibu. Sehingga kaum ibu menjadi sulit menyembul kepermukaan.

Sebagai bukti, hasil survei nasional Indo Barometer pada Juni 2008 lalu juga mencoba merekam siapa tokoh-tokoh muda partai politik terpopuler. Naasnya, dari tujuh partai politik pemenang pemilu 2004, hanya dari dua partai politik saja yang menempatkan tokoh muda perempuan dengan tingkat pengenalan tertinggi, yakni dari PDI-P dan PKB. Itupun, tempatnya masih berada di bawah tokoh terpopuler kaum adam serta angka pengenalannya juga masih cukup rendah.

Lihatlah dominasi kaum laki-laki di tubuh partai politik kita. Di Partai Amanat Nasional (PAN) ada nama Zulkifli Hasan dan Drajad Wibowo dengan tingkat pengenalan 6,6 persen dan 7,6 persen. Di Partai Demokrat (PD) ada nama Anas Urbaningrum dan Andi Mallarangeng dengan tingkat pengenalan 13,0 persen dan 65 persen. Di Partai Golkar ada nama Priyo Budi Santoso dan Yuddy Chrisnandi dengan angka pengenalan 8,3 persen dan 4,0 persen. Di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ada nama Irgan Chairul Mahfiz dan Lukman H. Saifuddin dengan tingkat pengenalan 3,4 persen dan 8,2 persen. Di Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ada nama Tifatul Sembiring dan Anis Matta dengan tingkat pengenalan 9,5 persen dan 4,8 persen. Sedangkan nama perempuan hanya muncul di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Di PDIP, Pramono Anung ditempat teratas diikuti Puan Maharani dengan tingkat pengenalan masing-masing 26,1 persen dan 19,1 persen. Sementara di PKB ada nama Muhaimin Iskandar di tempat pertama disusul Yenny Zannubah Wahid dengan tingkat pengenalan 37,3 persen dan 34,9 persen.

Kedua, kuatnya budaya paternalistik diberbagai sektor tersebut, membawa dampak pada sulitnya perempuan untuk memenuhi empat unsur utama yang menjadi modal awal guna terjun dikancah politik. Seperti kita tahu, dalam era pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, agar calon kandidat bisa terpilih, maka ia harus memiliki (1) popularitas. Tanpa pengenalan yang baik di mata masyarakat terhadap seorang kandidat, sangat mustahil ia bisa terpilih.

Akan tetapi, popularitas saja belumlah cukup sebagai jaminan seorang kandidat bisa terpilih. Untuk dapat memenangkan kompetisi, kandidat juga harus mempunyai tingkat elektabilitas yang tinggi. Dan syarat untuk menaikkan tingkat elektabilitas, maka ia harus disukai masyarakat. Agar disukai, mau tak mau si kandidat mesti berkampanye yang tentu membutuhkan (2) dana politik yang tak sedikit.

Selain kedua faktor di atas, keberhasilan saat berkampanye, juga akan sangat bergantung pada performa yang ditampilkan seorang kandidat. Oleh karena itu, agar bisa mengunduh proses kampanye yang telah dilakukan, si kandiat dituntut mempunyai (3) pengetahuan yang baik diberbagai bidang guna meyakinkan khalayak ramai.

Namun yang paling penting diantara itu semua adalah seorang kandidat harus (4) dicalonkan oleh partai politik sebagai vehicle untuk maju. Karena hingga saat ini, tak memungkinkan bagi seseorang untuk menjadi capres/cawapres melalui instrumen lain. UUD ’45 telah dengan tegas mengatakan bahwa yang berhak maju menjadi capres/cawapres pada perhelatan pemilihan umum adalah mereka yang dicalonkan oleh partai politik. Memang, kini sedang bergulir proses uji materi di Mahkamah Konstitusi terhadap UUD ’45. Fajrul Rahman dkk sedang berjuang mengegolkan adanya calon independen pada pilpres mendatang. Namun hemat saya, hal itu tak akan banyak memberi pengaruh. Sangat berat, bila tak bisa dikatakan mustahil, untuk melakukan amandemen UUD ’45 ditengah berbagai kepentingan yang meliputi anggota DPR serta pemilu yang sudah didepan mata.

Ketiga, ditengah krisis kandidat perempuan untuk mengisi pos-pos politik melalui sarana pemilu (khususnya calon wakil presiden), beberapa perempuan yang berpotensi mengisi bursa pemimpin politik nasional nampaknya masih cukup enggan bergelut di partai politik. Sebut saja Sri Mulyani dan Mari Elka Pangestu misalnya. Kedua wanita ini cukup potensial mengisi bursa wakil presiden pada pemilu 2009. Akan tetapi hingga kini, mereka berdua tak secara ansih memproklamirkan diri dekat dengan parpol tertentu. Hal ini disebabkan oleh (salah satunya mungkin) kuatnya budaya paternalistik di tubuh partai politik kita. Tokoh politik perempuan akan kesulitan masuk ke jaringan inti parpol apabila tak punya kedekatan secara emosional dengan pemimpin parpol bersangkutan. Hanya mereka yang punya kedekatan yang bisa menyeruak masuk. Sebagai contoh, tokoh muda perempuan terpopuler dari PDIP dan PKB seperti tersebut di atas, adalah putri-putri dari “maskot” masing-masing parpol bersangkutan. Puan Maharani merupakan putri Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri sedangakan Yenny Zannubah Wahid adalah putri Ketua Dewan Syuro PKB, Gus Dur.

Keempat, tentu yang sangat mengganjal adalah lemahnya popularitas dan tingkat pengenalan kandidat-kandidat perempuan di mata publik. Dalam survei nasional yang dilakukan oleh IB pada pada bulan Mei 2007, Desember 2007 dan Juni 2008, baik untuk pilihan capres maupun cawapres, nama perempuan yang muncul hanyalah Megawati Soekarnoputri. Nama lain masih jauh tenggelam.

Melihat fakta-fakta di atas, sepertinya cukup suram bagi prospek perempuan untuk menjadi wakil presiden pada pemilu 2009 mendatang. Masih butuh waktu cukup lama untuk dapat melihat wanita mengisi pos-pos jabatan politik melalui sarana pemilu ditingkat nasional. Meski begitu, tak ada yang permanen dalam politik. Bisa saja, ditengah jalan nanti, rising star baru dari kaum ibu akan menyembul. Itu semua tergantung pada dinamika politik tujuh bulan mendatang. Apakah kaum Hawa akan muncul dan mampu bersaing dengan golongan laki-laki pada pemilu 2009 mendatang? Kita tunggu saja.

No comments: