Tuesday, October 07, 2008

Mencari Cawapres Lima Jari

Oleh : Abdul Hakim MS.

Koran Sindo

UU Pilpres belum selesai hingga kini. Masalah kapan pejabat negara harus mengundurkan diri jika menjadi capres/cawapres, masalah rangkap jabatan serta persoalan ambang batas perolehan suara partai untuk mengajukan capres/cawapres masih menjadi kendala. Meski begitu, ada satu kesimpulan awal yang bisa dihadirkan terhadap UU Pilpres yang akan diundangkan, yakni pemilu 2009 mendatang tampaknya akan sulit menghadirkan calon presiden muka baru. Konstelasi tetap akan diramaikan oleh wajah lama seperti SBY, Megawati, Amin Rais, Wiranto serta tokoh-tokoh ”tua” lainnya. Dan pertarungan pun sepertinya akan mengerucut pada sosok SBY dan Megawati. Karena hingga kini, hanya kedua tokoh itulah yang paling populer memenangkan pilihan presiden berdasarkan hasil berbagai lembaga survei.

Melihat kondisi di atas, menjadi cukup menarik apabila kemudian memfokuskan perhatian terhadap pasangan yang akan mendampingi mereka. Karena posisi wakil presiden adalah kartu truf. Ibarat dua mata pisau, posisinya bisa mengangkat pun bisa juga menjatuhkan. Kita mungkin bisa sedikit berkaca dari pemilu AS yang kini sedang berlangsung. Jauh hari ketika Obama dan Maccain masih berjuang memenangkan konvensi dipartai masing-masing, Obama selalu unggul diberbagai hasil jajak pendapat. Namun setelah Maccain menggandeng Sarah Palin dan Obama menggamit Joe Biden, konstelasi langsung berubah. Obama kini tertinggal, meski tak drastis. Artinya, unsur Sarah Palin bisa mengangkat popularitas Maccain dan Joe Biden tak terlalu berpengaruh terhadap popularitas Obama. Bagaimana dengan Indonesia? Siapa wapres yang berpotensi mengangkat pasangannya pada pemilu 2009 mendatang?

Dalam memilih pasangan, hemat saya, seorang calon presiden akan memperhatikan dua aspek pokok. Pertama, wakil yang akan dipilih harus bisa membantu untuk memenangkan general election, karena itu tujuan utama. Namun hal kedua yang tak kalah penting adalah, pasangan tersebut harus bisa mendampingi sang presiden dalam hal apapun ketika mereka telah terpilih.

Dalam konteks mencari calon wakil presiden ideal yang memenuhi dua kriteria di atas, setidak-tidaknya capres harus memperhatikan filosofi lima jari. Pertama, wakil yang dipilih harus seperti jempol. Artinya pasangan yang akan digamit harus hebat. Hebat disini diartikan mempunyai bibit, bebet dan bobot yang baik. Bibit berarti ia harus berasal dari partai yang kuat guna mendukung kebijakan-kebijakan di parlemen. Ia juga harus populer sehingga dapat membantu mengangkat popularitas pasangannya dan mempunyai dana yang cukup untuk kampanye. Bebet berarti ia mempunyai lingkungan yang loyal atau dalam bahasa lain mempunyai basis konstituen yang fanatik. Bobot diartikan harus memiliki nilai pribadi yang handal seperti attitude yang baik, pengetahuan yang luas dan konsep pengendalian diri yang mumpuni.

Kriteria jari selanjutnya dalam mencari wakil, ia harus bisa seperti kelingking. Arti kelingking disini adalah ia harus dapat menjadi negasi. Ia harus berani mendebat keputusan yang dianggap menyimpang. Meski begitu, sang wakil harus tetap rendah hati untuk bisa menemukan sintesis yang baik. Karena jika tak rendah hati seperti kelingking, pasangan tersebut bisa bubar ditengah jalan.

Ketiga, pasangan yang akan digamit juga harus bisa seperti jari telunjuk. Ia bisa membimbing dan menjadi guide yang profesional. Ia tak hanya mendebat, melainkan dapat menunjukkan jalan alternatif bagi perjalanan keduanya. Keempat, ia harus bisa menjadi seperti jari manis. Artinya ia mau berkomitmen untuk saling menerima kekurangan masing-masing. Implikasinya, keduanya akan menjadi pasangan yang understanding dan saling melengkapi cela kelemahan yang ada. Ujungnya, ia tak akan jalan sendiri-sendiri yang bermuara pada ”perceraian”.

Kelima, wakil yang dipilih harus menjadi seperti jari tengah. Artinya, pasangan harus berkomitmen mendahulukan persoalan pasangan dan menjaga agar pasangan tersebut bisa mencapai tujuan yang telah ditentukan selama 5 tahun kedepan. Keduanya akan saling berkomitmen menyelesaikan persoalan mereka terlebih dahulu sebelum lari ke masalah negara yang lebih luas. Harapannya, keduanya akan selalu harmonis dalam meregulasi kehidupan negara yang sangat berat.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, kira-kira siapa cawapres Indonesia yang bisa memenuhi kriteria-kriteria diatas?

JK, Hidayat, Wiranto dan Prabowo

Kala survei dilakukan untuk mengetahui nama-nama potensial untuk kedudukan sebagai calon wakil presiden, nama yang beredar di bursa memang lebih beragam dibandingkan dengan kandidat calon presiden. Survei Indo Barometer pada Juni 2008 menunjukkan hal itu. Dalam pertanyaan terbuka untuk nama cawapres, ada 10 nama muncul dengan dukungan suara terbanyak. Mereka adalah Sri Sultan HB X (19,9%), Jusuf Kalla (12,3%), Hidayat Nur Wahid (10,7%), Yusril Ihza Mahendra (4,9%); Prabowo Subianto (4,9%), Akbar Tanjung (4,6%), Hasyim Muzadi(4%), Din Syamsuddin (3,3%), Agung Laksono (2,8%) dan Aburizal Bakrie (2,2%). Dan sebetulnya masih banyak lagi nama lainnya. Lantas, siapa diantara mereka yang paling potensial?

Jika merujuk kriteria filosofi lima jari yang telah tertera sebelumnya, tentu tak semua nama di atas masuk kategori potensial. Hemat saya, tingkatan potensial bisa dibuat dalam kelompok-kelompok bertangga. Kelompok pertama ada nama Jusuf Kalla, Hidayat Nur Wahid, Wiranto, Yusril Ihza Mahendra dan Prabowo. Kelompok kedua ada nama Sultan HB X dan Akbar Tandjung. Serta kelompok ketiga adalah nama-nama lainnya. atas dasar apa pengeleompokan itu?

Kelompok pertama dimasukkan dengan indikator, nama-nama itu memenuhi 4 unsur utama, yakni mempunyai kendaraan politik cukup potensial pada pemilu 2009 mendatang dan kans untuk menjadi presiden masih diragukan. Selain kendaraan politik, dana untuk berkampanye juga tak menjadi persoalan bagi kelompok pertama ini. Dalam hal popuaritas, kelompok ini juga cukup menjanjikan bisa mengatrol pasangannya. Dalam hal pengetahuan dan pengalaman memimpin, kelompok pertama ini telah mengenyam banyak pengalaman di birokrasi.

Dibawah kelompok pertama ini ada nama Sultan HB X dan Akbar Tandjung. Kenapa dua nama ini masuk kelompok kedua? Padahal popularitas HB X malah yang tertinggi diantara cawapres lainnya? Hemat saya, hal ini lantaran keduanya hingga kini belum mau secara tegas berafiliasi dengan salah satu partai yang ada. Padahal, syarat mutlak untuk mendapatkan tempat wakil presiden adalah koalisi untuk share kekuasaan. Dan jika keduanya hingga beberapa waktu kedepan tak menentukan kendaraan politik, rasanya cukup sulit untuk bisa digandeng capres yang telah mapan. Karena mereka tak mungkin lagi mendapat dukungan dari Golkar yang sudah pasti akan mengusung ketua umum mereka, Jusuf Kalla.

Kelompok paling akhir adalah nama-nama yang saat ini sedang sibuk mengiklankan diri atau bahkan nama yang belum muncul sama sekali. Sebut saja Sutrisno Bachir, Rizal Mallarangeng, Fajroel Rahman dll. Kenapa nama-nama ini? Itu tak lain karena mereka dalam hal popularitas masih sangat minim. Yang menjadi catatan lagi, sosok Sutrisno Bachir, meski iklan di media massa sangat gencar, tapi penilaian publik masih cukup rendah. Hal ini karena ia belum begitu konkrit menunjukkan peran-aktif ditengah-tengah masyarakat.

Meski saya membuat pengelompokan tersebut, bukan berarti kelompok pertama akan lebih unggul dibandingkan kelompok lainnya. Hal ini masih sangat tergantung bagaimana dinamika politik tujuh bulan mendatang. Namun jika indikasi yang diambil adalah hingga saat ini, nama Jusuf Kalla, Hidayat Nur Wahid, Wiranto dan Prabowo masih menjadi kandidat paling baik. Keempatnya memiliki 4 kriteria yang wajib dimiliki oleh wakil presiden, yakni popularitas, kendaraan politik, dana kampanye dan pengalaman birokratik yang baik. Namun tak menutup kemungkinan juga calon lain bisa muncul menjadi rising star seperti Sarah Palin yang tak diperhitungkan sebelumnya.

Baca Selengkapnya...

Menunggu Bintang Perempuan

Oleh : Abdul Hakim MS.


Seputar Indonesia, 05 Oktober 2008

Perempuan masih marginal. Miris mengatakannya. Tapi itulah fakta yang ada jika bicara sekitar kandidat calon wakil presiden (cawapres) pemilu 2009 mendatang. Kala partai politik telah banyak yang memenuhi syarat kuota 30 persen kandidat kaum hawa untuk calon anggota legislatif, namun tak begitu keadaannya dengan cawapres perempuan. Hingga kini, nasib golongan ibu seolah masih ”mengurung diri di dapur”.

Kesimpulan di atas saya ambil, mengacu pada hasil survei-survei yang pernah dilakukan oleh Indo Barometer pada Mei 2007, Desember 2007 dan Juni 2008. Dalam pertanyaan terbuka yang disampaikan kepada 1200 responden terpilih diseluruh Indonesia mengenai calon wakil presiden 2009, pada survei juni 2008 misalnya, tak nampak satupun nama perempuan. Jika ada, angkanya juga masih nol koma. Dalam pertanyaan terbuka survei tersebut, 10 nama peraih angka terbanyak tetap didominasi oleh kaum adam. Mereka adalah Sri Sultan HB X (19,9%), Jusuf Kalla (12,3%), Hidayat Nur Wahid (10,7%), Yusril Ihza Mahendra (4,9%), Prabowo Subianto (4,9%), Akbar Tanjung (4,6%), Hasyim Muzadi(4%), Din Syamsuddin (3,3%), Agung Laksono (2,8%) dan Aburizal Bakrie (2,2%). Nama lainnya yang disebut oleh responden ada sekitar 17,1 persen. Itupun nama laki-laki masih dominan. Sedangkan yang tak menjawab/tidak tahu ada sebanyak 36,6 persen.

Melihat fakta di atas, pertanyaan relevan yang bisa dimunculkan adalah, kenapa kaum perempuan sulit menyodok keposisi wakil presiden menyaingi kaum laki-laki?

Empat Aspek

Kala mengacu hasil Pilkada, sebenarnya telah banyak bermunculan kandidat-kandidat wakil Bupati/Gubernur dari kaum Hawa. Memang tak semuanya merengkuh hasil positif. Akan tetapi, di Jawa Tengah misalnya, kaum ibu berhasil menempatkan diri sebagai wakil kepala daerah terpilih. Rustiningsih yang menjadi wakil Bibit Waluyo, berhasil memenangkan Pilkada Gubernur Jawa Tengah periode 2008-2013. Pertanyaannya kemudian, kenapa ditingkat daerah banyak muncul kandidat wakil pemimpin perempuan sedangkan ditingkat nasional stok calon wakil presiden perempuan seolah stuck?

Hemat saya, setidaknya ada empat aspek utama kenapa calon wakil presiden perempuan sulit bersaing dengan kaum adam. Pertama, budaya paternalistik yang masih kukuh dinegeri ini. Diberbagai sektor, perempuan masih dianggap sebagai konco wingking. Dalam konteks politik (wakil presiden perempuan khususnya), kebuntuan ini diperparah lagi oleh budaya paternalistik akut di tubuh partai politik. Salah satu tugas partai politik sebagai lembaga recruitment politik, masih dilakukan setengah-setengah dalam menggamit kaum ibu. Sehingga kaum ibu menjadi sulit menyembul kepermukaan.

Sebagai bukti, hasil survei nasional Indo Barometer pada Juni 2008 lalu juga mencoba merekam siapa tokoh-tokoh muda partai politik terpopuler. Naasnya, dari tujuh partai politik pemenang pemilu 2004, hanya dari dua partai politik saja yang menempatkan tokoh muda perempuan dengan tingkat pengenalan tertinggi, yakni dari PDI-P dan PKB. Itupun, tempatnya masih berada di bawah tokoh terpopuler kaum adam serta angka pengenalannya juga masih cukup rendah.

Lihatlah dominasi kaum laki-laki di tubuh partai politik kita. Di Partai Amanat Nasional (PAN) ada nama Zulkifli Hasan dan Drajad Wibowo dengan tingkat pengenalan 6,6 persen dan 7,6 persen. Di Partai Demokrat (PD) ada nama Anas Urbaningrum dan Andi Mallarangeng dengan tingkat pengenalan 13,0 persen dan 65 persen. Di Partai Golkar ada nama Priyo Budi Santoso dan Yuddy Chrisnandi dengan angka pengenalan 8,3 persen dan 4,0 persen. Di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ada nama Irgan Chairul Mahfiz dan Lukman H. Saifuddin dengan tingkat pengenalan 3,4 persen dan 8,2 persen. Di Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ada nama Tifatul Sembiring dan Anis Matta dengan tingkat pengenalan 9,5 persen dan 4,8 persen. Sedangkan nama perempuan hanya muncul di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Di PDIP, Pramono Anung ditempat teratas diikuti Puan Maharani dengan tingkat pengenalan masing-masing 26,1 persen dan 19,1 persen. Sementara di PKB ada nama Muhaimin Iskandar di tempat pertama disusul Yenny Zannubah Wahid dengan tingkat pengenalan 37,3 persen dan 34,9 persen.

Kedua, kuatnya budaya paternalistik diberbagai sektor tersebut, membawa dampak pada sulitnya perempuan untuk memenuhi empat unsur utama yang menjadi modal awal guna terjun dikancah politik. Seperti kita tahu, dalam era pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, agar calon kandidat bisa terpilih, maka ia harus memiliki (1) popularitas. Tanpa pengenalan yang baik di mata masyarakat terhadap seorang kandidat, sangat mustahil ia bisa terpilih.

Akan tetapi, popularitas saja belumlah cukup sebagai jaminan seorang kandidat bisa terpilih. Untuk dapat memenangkan kompetisi, kandidat juga harus mempunyai tingkat elektabilitas yang tinggi. Dan syarat untuk menaikkan tingkat elektabilitas, maka ia harus disukai masyarakat. Agar disukai, mau tak mau si kandidat mesti berkampanye yang tentu membutuhkan (2) dana politik yang tak sedikit.

Selain kedua faktor di atas, keberhasilan saat berkampanye, juga akan sangat bergantung pada performa yang ditampilkan seorang kandidat. Oleh karena itu, agar bisa mengunduh proses kampanye yang telah dilakukan, si kandiat dituntut mempunyai (3) pengetahuan yang baik diberbagai bidang guna meyakinkan khalayak ramai.

Namun yang paling penting diantara itu semua adalah seorang kandidat harus (4) dicalonkan oleh partai politik sebagai vehicle untuk maju. Karena hingga saat ini, tak memungkinkan bagi seseorang untuk menjadi capres/cawapres melalui instrumen lain. UUD ’45 telah dengan tegas mengatakan bahwa yang berhak maju menjadi capres/cawapres pada perhelatan pemilihan umum adalah mereka yang dicalonkan oleh partai politik. Memang, kini sedang bergulir proses uji materi di Mahkamah Konstitusi terhadap UUD ’45. Fajrul Rahman dkk sedang berjuang mengegolkan adanya calon independen pada pilpres mendatang. Namun hemat saya, hal itu tak akan banyak memberi pengaruh. Sangat berat, bila tak bisa dikatakan mustahil, untuk melakukan amandemen UUD ’45 ditengah berbagai kepentingan yang meliputi anggota DPR serta pemilu yang sudah didepan mata.

Ketiga, ditengah krisis kandidat perempuan untuk mengisi pos-pos politik melalui sarana pemilu (khususnya calon wakil presiden), beberapa perempuan yang berpotensi mengisi bursa pemimpin politik nasional nampaknya masih cukup enggan bergelut di partai politik. Sebut saja Sri Mulyani dan Mari Elka Pangestu misalnya. Kedua wanita ini cukup potensial mengisi bursa wakil presiden pada pemilu 2009. Akan tetapi hingga kini, mereka berdua tak secara ansih memproklamirkan diri dekat dengan parpol tertentu. Hal ini disebabkan oleh (salah satunya mungkin) kuatnya budaya paternalistik di tubuh partai politik kita. Tokoh politik perempuan akan kesulitan masuk ke jaringan inti parpol apabila tak punya kedekatan secara emosional dengan pemimpin parpol bersangkutan. Hanya mereka yang punya kedekatan yang bisa menyeruak masuk. Sebagai contoh, tokoh muda perempuan terpopuler dari PDIP dan PKB seperti tersebut di atas, adalah putri-putri dari “maskot” masing-masing parpol bersangkutan. Puan Maharani merupakan putri Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri sedangakan Yenny Zannubah Wahid adalah putri Ketua Dewan Syuro PKB, Gus Dur.

Keempat, tentu yang sangat mengganjal adalah lemahnya popularitas dan tingkat pengenalan kandidat-kandidat perempuan di mata publik. Dalam survei nasional yang dilakukan oleh IB pada pada bulan Mei 2007, Desember 2007 dan Juni 2008, baik untuk pilihan capres maupun cawapres, nama perempuan yang muncul hanyalah Megawati Soekarnoputri. Nama lain masih jauh tenggelam.

Melihat fakta-fakta di atas, sepertinya cukup suram bagi prospek perempuan untuk menjadi wakil presiden pada pemilu 2009 mendatang. Masih butuh waktu cukup lama untuk dapat melihat wanita mengisi pos-pos jabatan politik melalui sarana pemilu ditingkat nasional. Meski begitu, tak ada yang permanen dalam politik. Bisa saja, ditengah jalan nanti, rising star baru dari kaum ibu akan menyembul. Itu semua tergantung pada dinamika politik tujuh bulan mendatang. Apakah kaum Hawa akan muncul dan mampu bersaing dengan golongan laki-laki pada pemilu 2009 mendatang? Kita tunggu saja.

Baca Selengkapnya...

2009, Recup Yang Tertutup

Oleh : Abdul Hakim MS.


Buntu. Pembahasan UU Pilpres masih menggantung hingga kini. Deadline yang dicangangkan tanggal 24 September 2008 untuk mengesahkannya telah lewat. Tarik menarik tiga persoalan utama, masih membuat partai-partai di DPR sulit mencari jalan kompromi. (1) Masalah kapan pejabat negara yang akan maju menjadi capres atau cawapres harus mengundurkan diri, kemudian (2) perlu tidaknya para ketua partai yang terpilih menjadi presiden atau wakil presiden meletakkan kedudukannya, serta (3) ambang batas perolehan suara partai di DPR yang berhak mengajukan calon presiden dan wakil presiden, membuat pengesahan UU Pilpres terus molor.

Dari tiga persoalan di atas, ambang batas perolehan suara partai yang berhak mengajukan pasangan capres dan cawapres adalah masalah yang paling menarik dicermati. Partai-partai besar semisal Golkar dan PDI-P menginginkan syarat 30 persen. Sedangkan partai-partai lain berkehendak variatif. Ada yang berkeinginan syarat 15 persen, 20 persen dan 25 persen. Pertanyaan yang kemudian muncul dari realitas ini adalah apa implikasi ambang batas itu terhadap pertarungan perebutan kursi RI-1 pada pilpres 2009?

Partai Ulangan

Saya akan berandai-andai terhadap konstelasi perebutan kursi RI-1 mengacu hasil survei Indo Barometer yang dilakukan pada Juni 2008 lalu. Dengan mengacu perolehan suara partai-partai melalui hasil survei nasional Indo Barometer yang dilakukan terhadap 1200 responden dengan margin of error sebesar 3,0 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen ini, mungkin bisa sedikit memberi gambaran kira-kira konstelasi seperti apa yang akan terjadi di pemilihan presiden 2009.

Dalam survei Indo Barometer pada Juni lalu, PDI-P menempati urutan pertama dengan 23,8 persen disusul kemudian Golkar 12 persen, Demokrat 9,6 persen, PKS 7,4 persen PKB 7,4 persen, PAN 3,5 persen, Hanura 2,3 persen, PPP 1,6 persen dan partai lainnya 3,8 persen. Sementara suara yang belum menentukan pilihan sebesar 29,4 persen.

Seandainya hasil faktual pemilu 2009 seperti yang ada di atas, kemudian ambang batas yang ditetapkan untuk mengajukan calon presiden adalah 30 persen, praktis perebutan kursi RI-1 hanya maksimal diperebutkan oleh tiga pasang calon saja. Kondisi ini tentunya akan menguntungkan PDI-P dan Golkar sebagai partai pendulang suara mayoritas. PDI-P sudah jelas mengusung Megawati. Partai moncong putih tinggal mencari satu partai lagi untuk dijadikan. Sedangkan Golkar, besar kemungkinan akan menempatkan Jusuf Kalla sebagai jago yang akan disusung. Akan tetapi Golkar mempunyai masalah. Jusuf Kalla, berdasarkan survei Indo Barometer, tak cukup populer jika mencalonkan diri sebagai presiden. Ia lebih populis jika menjadi wapres. Oleh karena itu, Jusuf Kalla sepertinya akan tetap setia mendampingi SBY dengan gerbong Golkar dibelakangnya. Sedangkan satu calon pasangan lain, akan diajukan oleh koalisi partai-partai kecil yang hemat saya akan tetap memunculkan nama-nama yang tak asing. Mungkin Wiranto, prabowo atau tokoh lain yang punya predikat “tokoh sepuh”. Jika demikian, maka kandidat yang akan muncul tetap didominasi muka lama, yakni Megawati, SBY dan tokoh-tokoh lain yang punya investasi kuat di partai politik seperti Wiranto atau Prabowo.

Kedua, ambang batas 20-25 persen. Kompetisi pilpres maksimal akan memunculkan lima pasang calon. Akan tetapi hemat saya akan sulit. Yang paling mungkin adalah 4 pasang calon. Jika realitas ini yang terjadi, maka tokoh yang akan menyembul juga tetap didominasi muka lama yang punya afiliasi kuat dengan partai politik. Mereka antara lain Megawati, SBY, Wiranto dan Prabowo. Memang tak memustahilkan nama lain akan hadir. Namun melihat kondisi partai politik nasional saat ini yang masih berbudaya patronisme, sepertinya akan cukup sulit bagi tokoh-tokoh baru bisa bersaing mendapatkan kendaraan politik.

Ketiga, jika ambang batas 15 persen. Kondisi inilah yang paling memberikan harapan munculnya tokoh-tokoh baru menyaingi tokoh-tokoh lama. Akan tetapi, hemat saya, ambang batas ini cukup sulit terealisasi dengan dominasi Golkar dan PDI-P di parlemen. Seperti diketahui, kedua partai ini cukup keukeuh dengan ambang batas presentasi besar. Jika keputusan harus diambil dengan cara voting, bisa dipastikan usulan keduanya akan menang. Karena jumlah kursi keduanya mencapai 43 persen di DPR.

Melihat perhitungan di atas, maka konstelasi pemilu 2009 menjadi monoton. Tokoh baru sulit muncul. Artinya, pertarungan masih tetap akan mempertemukan politisi kawakan dan mengerucut pada Megawati vs SBY. Berdasarkan survei Indo Barometer, hanya dua tokoh inilah yang akan bersaing jika kandidatnya terdiri atas politisi-politisi sepuh. Itu artinya, pemilu 2009 hanya akan menjadi partai ulangan pemilu 2004 lalu.

Recup Tak Bersemi

Ditengah bergairahnya tokoh-tokoh politik (muda) baru yang bermunculan bak recup yang bersemi guna meramaikan konstelasi pilpres 2009 sebagai alternatif, namun sayang harus layu sebelum berkembang karena kerangkeng Undang-undang. UUD ’45 telah dengan tegas mengatakan bahwa yang berhak maju menjadi capres 2009, harus melalui jalur partai politik. Kelayuan itu diperparah lagi dengan (kemungkinan) adanya ambang batas pengajuan capres dan cawapres dari partai politik dengan ambang batas presentasi besar. Memang, kini telah bergulir proses “menantang” pengubahan UUD ’45. Fajrul Rahman berjuang mengegolkan calon independen melalui Mahkamah Konstitusi. Namun hemat saya, hal itu tak akan banyak memberi pengaruh. Sangat berat, bila tak bisa dikatakan mustahil, untuk melakukan amandemen UUD ’45 ditengah pemilu yang sudah didepan mata.

Selain kendala di atas, duri lain juga masih mengganjal tokoh-tokoh politik (muda) baru. Lemahnya tingkat popularitas, menjadi musuh lain. Survei Indo Barometer Juni 2008 lalu menjadi indikator awal. Sebutlah misalnya tokoh-tokoh muda partai politik. Zulkifli Hasan dan Drajad Wibowo dari PAN, tingkat pengenalan mereka hanya 6,6 persen dan 7,6 persen. Tokoh muda Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan Andi Malarangeng angkanya masih di 13,0 persen dan 65 persen. Tokoh muda PDIP Pramono Anung dan Puan Maharani masih di angka 26,1 persen dan 19,1 persen. Tokoh muda Golkar Priyo Budi Santoso dan Yuddy Chrisnandi masih di angka 8,3 persen dan 4,0 persen. Tokoh muda PKB Muhaimin Iskandar dan Yenny Zannubah Wahid masih di angka 37,3 persen dan 34,9 persen. Tokoh muda PPP Irgan Chairul Mahfiz dan Lukman H. Saifuddin masih di angka 3,4 persen dan 8,2 persen. Tokoh muda PKS Tifatul Sembiring dan Anis Matta masih diangka 9,5 persen dan 4,8 persen.

Dari kalangan aktivis LSM, pengamat, akademisi dan pengusaha pun menghadapi hal serupa. Teten Masduki dan Usman Hamid misalnya, tingkat pengenalan publik hanya berkisar 14,9 persen dan 6,2 persen. Pengamat dan akademisi macam Faisal Basri dan Sukardi Rinakit juga masih dikisaran angka 21,9 persen dan 3,9 persen. Sedangkan kalangan pengusaha seperti Erick Tohir dan Sandiaga S. Uno juga masih diangka 3,8 persen dan 3,2 persen. Angka-angka di atas, barulah tingkat pengenalan saja. Uniknya, tingkat kesukaan publik terhadap tokoh-tokoh ini juga masih cukup rendah.

Merujuk fakta-fakta di atas, rasanya pemilihan presiden 2009 mendatang masih akan didominasi muka lama. Cukup sulit bagi tokoh politik (muda) baru untuk dapat merangsek guna mengisi bursa kandidat. Selama tak ada kejadian politik yang istimewa, para pemilih harus tetap rela mencoblos nama-nama yang telah mereka kenal di pemilu 2004 lalu karena jalan recup politisi (muda) baru telah tertutup.

Baca Selengkapnya...

Friday, September 26, 2008

Simpang Jalan Survei Politik

Oleh : Abdul Hakim MS.

Apa yang paling fenomenal dari pemilu 2004? Hemat saya, sedikitnya ada tiga hal utama. Pertama, meyembulnya fenomena Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat (PD). Kedua, fenomena pelaksanaan pemilu yang oleh berbagai pihak dipandang sebagai pesta demokrasi paling demokratis selain Pemilu 1999 dan 1955. Ketiga, fenomena lahirnya prediksi hasil pemilu yang akuratif melalui survei politik. Dari ketiga fenomena di atas, lahirnya prediksi akuratif melalui metodologi survei politik, adalah hal yang paling menarik untuk dicermati. Kala itu, survei politik merupakan mahluk baru dipentas perpolitikan nasional. Awal kehadirannya mencengangkan berbagai kalangan. Banyak yang apreseatif, pun tak sedikit yang apriori.

Kini, pro-kontra sekitar hasil survei kembali diperdebatkan. Dipicu oleh prediksi beberapa lembaga survei yang berbeda terhadap hasil akhir Pilkada Provinsi Sumatera Selatan melalui penghitungan cepat (quick count), menyembulkan keprihatinan terhadap lembaga survei yang bermunculan. Ujungnya, ada dorongan agar lembaga-lembaga survei itu disertifikasi agar kredibilatsnya terjamin dan tak hanya menjadi alat politik kelompok tertentu.

Seperti kita tahu, beberapa jam setelah pencoblosan di Pilkada Sumsel pada 4 September 2008 lalu, tiga lembaga survei melakukan prediksi cepat (quick count). Pusat Kajian Pembangunan Strategis (Puskaptis) memprediksi kemenangan pasangan Syahrial Oesman-Helmy Yahya dengan 51,11 persen atas pasangan Alex Noerdin-Eddy Yusuf yang memperoleh 48,89 persen. Berbeda dengan Puskaptis, hasil hitung cepat Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan pasangan Alex-Eddy menang atas Syahrial-Helmy dengan jumlah dukungan 52,12 persen berbanding 47,88 persen. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pun memenangkan pasangan Alex-Eddy atas Syahrial-Helmy dengan perolehan suara 51 persen berbanding 49 persen. Hasil faktual yang diumumkan oleh KPUD Sumsel, ternyata memenangkan pasangan Alex Noerdin-Eddy Yusuf dengan 51,40 persen atas pasangan Syahrial Oesman-Helmy Yahya yang meraih 48,60 persen.

Pertanyaan yang kemudian muncul, kenapa prediksi satu lembaga survei bisa berbeda dengan lembaga survei lainnya?

Tes Darah

Sebetulnya, kesalahan prediksi dalam survei politik merupakan hal biasa. Itu dikarenakan survei politik juga dilakukan oleh manusia. Akan tetapi, kesalahan prediksi sebenarnya dapat diminimalisasi apabila metodologi survei politik yang dijalankan telah memenuhi kaidah-kaidah standar ilmiah yang telah ditetapkan. Berbeda metodologi, pasti berbeda pula hasil yang akan didapatkan.

Analogi sederhana untuk menggambarkan survei politik, ibarat dokter yang akan melakukan tes penyakit terhadap pasiennya. Untuk memastikan pasien terjangkit penyakit apa, dokter biasanya akan melakukan tes darah. Pertanyaannya, apakah sidokter akan mengambil semua darah yang ada ditubuh pasien untuk melakukan tes? Tentu tidak. Dokter hanya memerlukan setetes darah sebagai sampel untuk diuji dilaboratorium. Nah, persoalan utama adalah, dengan metode apa dokter menguji darah itu? Apakah dengan alat-alat yang sudah baku didunia kedokteran atau dengan metode yang lain? Jika dokter menggunakan metode yang benar, pasti hasilnya akan dapat menggambarkan jenis penyakit apa yang diderita si pasien. Dengan darah setetes, bisa mengetahui kondisi badan secara keseluruhan.

Begitu pula dengan survei politik. Untuk mengetahui persepsi publik Indonesia tentang suatu persoalan, misalnya, apakah harus menanyakan persoalan itu kepada 220 juta penduduk Indonesia? Sudah pasti tidak. Survei politik hanya memerlukan, misalnya 1200 responden yang diambil guna dijadikan sampel. Dari 1200 responden ini kemudian diolah dan dites sesuai dengan metodologi ilmiah. Jika metode yang digunakan tepat, maka jumlah 1200 responden itu dapat mewakili suara 220 juta lebih warga Indonesia. Sebaliknya, apabila metodologi yang digunakan untuk menguji 1200 responden itu salah, tentu hasilnya tak bisa dijadikan cermin atas suara seluruh penduduk Indonesia. Disinilah penjelasan kenapa prediksi satu lembaga survei bisa berbeda dengan lembaga survei lainnya. Intinya terletak pada bagaimana lembaga tersebut mengelola sampel dengan baik sesuai dengan prosedur akademis.

Seleksi Alamiah

Hadirnya survei politik dalam kancah politik nasional, memang ibarat dua sisi mata pedang. Satu sisi, keberadaannya merupakan perkembangan sangat baik bagi demokrasi kita. Ia sangat membantu mengetahui persoalan sosial-kemasyarakatan dengan cepat dan akurat. Namun disisi lain, keberadaannya juga sangat meresahkan. Itu tak lain apabila data yang dimunculkan tak benar dan menyesatkan. Apalagi, kalau survei politik yang dilakukan hanya bertujuan untuk kepentingan politik semata dengan menerabas pakem metodologi, kemudian hasilnya dipublikasikan kemasyarakat. Disinilah persoalan utama yang menjadi PR lembaga-lembaga survei.

Sudah menjadi rahasia umum, seiring dengan makin percayanya masyarakat terhadap prediksi hasil survei politik, muncul seabreg nama lembaga survei politik baru. Saat ini jumlahnya puluhan. Ada yang hadir karena memang benar-benar ingin memotret dan menunjukkan realitas politik kepada masyarakat dengan metodologi yang semestinya. Akan tetapi tak sedikit yang menyembul hanya ingin mempengaruhi opini massa melalui teori bandwagon effect atau underdog effect. Disinilah yang berbahaya. Jika alasan pendiriannya demikian, maka pakem metodologi akan diterabas dan hasilnya diolah sesuai dengan yang diharapkan oleh lembaga survei bersangkutan.

Berdasarkan kondisi di atas, maka tak mengherankan apabila muncul wacana sertifikasi lembaga survei. Tujuannya baik, untuk membedakan mana lembaga survei yang kredibel dan mana lembaga survei yang abal-abal. Namun siapa yang akan memberikan sertifikat? Apakah pemerintah, organisasi profesi atau siapa?

Sertifikasi memang penting selama lembaga yang akan memberikan sertifikat adalah lembaga yang benar-benar kredibel. Namun, jika yang memberi sertifikat adalah pemerintah, saya ragu. Proses intervensi akan tinggi. Bisa juga, sertifikat dijadikan alat kontrol kepada lembaga survei dengan tujuan politis. Sama halnya dengan SIUPP untuk menerbitkan surat kabar pada zaman Orba. Atau sertifikat diberikan oleh organisasi profesi? seperti AROPI misalnya. Hal ini juga tak menyelesaikan persoalan. Karena tak semua lembaga survei menjadi anggota organisasi profesi tersebut.

Akan lebih baik apabila proses muncul dan matinya lembaga survei ini diserahkan kepada masyarakat. Jika satu lembaga survei memang kredibel, maka dengan sendirinya ia akan tetap eksis. Dan bagi lembaga survei abal-abal, masyarakat saat ini sudah sangat pintar menganalisa. Biarkan vonis masyarakat yang menentukan. Namun yang tak kalah penting adalah peran media massa. Harus ada semacam punishment terhadap lembaga survei yang ”bermain nakal” apabila telah terkait dengan urusan publik. Media massa mempunyai tanggung jawab juga atas apa yang dipublikasikan kemasyarakat dengan mengutip data dari lembaga survei. Oleh karena itu, media harus selektif dalam menurunkan data hasil survei. Jika data lembaga survei tertentu kerap menyimpang dengan hasil faktual, tak semestinya datanya menjadi referensi. Akan tetapi jika data sebuah lembaga survei terbuktif akurat, sudah sewajarnya media menjadikan data lembaga itu sebagai rujukan. Dengan begitu, lembaga survei akan terseleksi dengan sendirinya. Yang pasti, demokrasi kita saat ini sangat membutuhkan instrumen survei politik guna memotret keadaan sosial-kemasyarakat teranyar.

Baca Selengkapnya...

Wednesday, August 20, 2008

Recup Pemimpin Muda dan Blunder Megawati

Oleh : Abdul Hakim MS.

Beberapa bulan terakhir, bola panas pencalonan capres/cawapres yang diusung partai-partai untuk berlaga pada Pemilu 2009 terus menggelinding. List nama-nama yang dielukan telah dirilis. PDI-P sedang menggodok calon wapres Mega. Partai Demokrat pun telah mengantongi sembilan nama wapres menyandingi SBY. PKS mengelus kandidat-kandidat muda. PMB menyembulkan 13 nama jagoannya. Partai-partai yang lolos pemilu 2009, juga dalam situasi serupa. Ditengah euforia itu, ada wacana penting yang perlu disoroti; yakni pemimpin muda vs pemimpin tua.

Wacana ini sebetulnya bukan hal baru. Namun dalam beberapa minggu terakhir, isu pemimpin Balita (dibawah lima puluh tahun) vs pemimpin tua, kembali menyeruak kepermukaan. Pemicunya, komentar penuh emosi Megawati yang menantang kaum muda tidak hanya berwacana untuk maju menjadi capres. ”Jangan hanya berwacana. Kalau yang muda mau maju, ya maju!”

Blunder kedua

Melihat geliat Megawati saat ini, kita jadi teringat momen-momen sebelum pemilu 2004 lalu. Pada Maret 2004, sebuah media nasional merilis headline dengan judul, ”SBY dikucilkan Mega”. Tak dinyana, artikel itu ditanggapi secara reaktif oleh suami Megawati, Taufik Kiemas (TK). ”Jenderal kok kayak anak-anak” seloroh TK kala itu.

Sepontan, komentar ini menjadi polemik media tanpa henti. Dukungan dan simpati terhadap SBY datang silih berganti. Snowball buruk buat pemerintahan Megawati pun tercipta dan kesan SBY ”dianiaya” menjadi tak terbendung. Dampaknya, popularitas SBY membumbung dan ”sang majikan” harus rela menyerahkan tahtanya kepada ”pembantunya” dalam perhelatan pilpres 2004 lalu itu.

Seolah tak belajar dari pengalaman, Mega kembali mengulangi hal serupa, meski dalam konteks yang berbeda. Hemat saya, reaksi Mega ini akan menyembulkan setidaknya tiga implikasi politik yang cukup signifikan buat Mega sendiri. Pertama, Mega kembali mengulang blunder suaminya saat menghadapi pemilu 2004 lalu. Komentar Mega ini, sekali lagi, menjadi cermin buruk. Secara personal, Mega tak menunjukkan sosok ketokohan yang siap memimpin. Ia reaktif, emosional dan tak pernah berfikir panjang dalam mengambil keputusan. Komentarnya menantang kaum muda untuk maju, sebetulnya tak perlu dilakukan. Toh, pernyataan itu sebenarnya tak ditujukan kepada dirinya.

Kedua, pernyataan Mega ini ibarat ”membangunkan macan tidur”. Tantangan Mega ini pasti membuat para cendekiawan muda tergugah dan merasa ”direndahkan”. Karenanya, para kaum muda akan lebih “berhasrat” untuk mengalahkan para pemimpin tua sebagai bukti bahwa mereka juga bisa berbuat.

Indikasi geliat kaum muda ini telah terlihat. Banyak tokoh-tokoh balita yang mulai memperkenalkan diri kepublik. Sebut saja Rizal Malarangeng misalnya. Dengan modal milayaran rupiah, ia telah memasang iklan di media massa, baik cetak maupun elektronik dengan bungkus “save our nation”. Ketua umum PAN pun melakukan hal serupa. Dengan iklan-iklan soft selling-nya ”hidup adalah perbuatan” telah menggelontor memori publik secara kontinyu. Prabowo Subiyanto juga melakukannya dengan perahu HKTI. Dan banyak lagi tokoh-tokoh muda lainnya seperti Adiyaksa Daud, Fajrul Rahman, Ratna Sarumpaet, Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum serta seabreg pemikir muda yang siap muncul kekalangan publik. Dan dengan adanya tantangan dari Mega, bukan hal mustahil mereka akan terus merangsek mengisi bursa kandidat pada 2009 mendatang.

Ketiga, dengan komentar Mega ini, sangat terlihat betapa rapuhnya tim sukses Mega dalam memanajemen isu-isu yang akan dikeluarkan ke publik. Tidak ada koordinasi, hanya bersifat spontanitas, reaktif dan tak mencerminkan eleganitas pernyataan calon seorang presiden. Dan jika sudah begini, sepertinya kans Mega untuk meraih ”tahta yang hilang” akan lebih sulit, atau bahkan menjadi ”mission imposible”.

Kendala Kaum Muda

Pernyataan Mega di atas, seolah menjadi air yang menyirami recup (tunas) pemimpin muda. Sengatan berupa tantangan untuk membuktikan diri bisa melakukan sesuatu, pasti menjadi pendorong guna terus melaju. Seiring dengan itu, semangat ini juga mendapatkan legitimasi kala kita sedikit melongok hasil survei tentang pemimpin muda.

Indo Barometer merilis data, bahwa mayoritas publik Indonesia sebetulnya mendambakan sosok pemimpin muda. Hasil survei yang dilkukan pada Juni 2008 menunjukkan, 62,8 persen publik Indonesia setuju dipimpin oleh kaum muda. Hanya 22,4 persen yang tak setuju kaum muda menjadi yang terdepan.

Alasan publik untuk memilih pemimpin muda juga cukup menjanjikan. Masyarakat memandang bahwa pemimpin muda, mempunyai semangat lebih besar (36,8%). Kemudian, dalam hal kemampuan, pemimpin muda juga tak kalah dengan pemimpin tua (29,4%). Alasan berikutnya adalah pemimpin muda punya gagasan lebih banyak (24,1%), lebih mungkin terbebas dari korupsi (8,1%) serta alasan lainnya (1,2%). Sedangkan Keunggulan pemimpin tua menurut publik hanya ada pada lebih berpengalaman dalam memimpin (82,0%) dan punya kepribadian yang lebih matang (12,5%).

Meski semangat sedang berkibar dan publik menghendaki, namun kendala besar telah menghadang kaum muda untuk dapat membuktikan diri bisa ”mengalahkan” tokoh-tokoh tua. Lemahnya popularitas dan tingkat kesukaan publik, menjadi momok besar yang harus segera mereka pecahkan.

Lihatlah tingkat popularutas dan kesukaan publik terhadap tokoh-tokoh muda partai politik, misalnya. Tokoh muda PAN macam Zulkifli Hasan dan Drajad Wibowo, tingkat pengenalan mereka hanya 6,6 persen dan 7,6 persen. Tokoh muda Demokrat Anas Urbaningrum dan Andi Malarangeng angkanya masih di 13,0 persen dan 65 persen. Tokoh muda PDIP Pramono Anung dan Puan Maharani masih di angka 26,1 persen dan 19,1 persen. Tokoh muda Golkar Priyo Budi Santoso dan Yuddy Chrisnandi masih di angka 8,3 persen dan 4,0 persen. Tokoh muda PKB Muhaimin Iskandar dan Yenny Zannubah Wahid masih di angka 37,3 persen dan 34,9 persen. Tokoh muda PPP Irgan Chairul Mahfiz dan Lukman H. Saifuddin masih di angka 3,4 persen dan 8,2 persen. Tokoh muda PKS Tifatul Sembiring dan Anis Matta masih diangka 9,5 persen dan 4,8 persen.

Dari kalangan aktivis LSM, pengamat, akademisi dan pengusaha pun menghadapi hal serupa. Teten Masduki dan Usman Hamid misalnya, tingkat pengenalan publik hanya berkisar 14,9 persen dan 6,2 persen. Pengamat dan akademisi macam Faisal Basri dan Sukardi Rinakit juga masih dikisaran angka 21,9 persen dan 3,9 persen. Sedangkan kalangan pengusaha seperti Erick Tohir dan Sandiaga S. Uno juga masih diangka 3,8 persen dan 3,2 persen.

Angka-angka di atas, barulah tingkat pengenalan saja. Uniknya, tingkat kesukaan publik terhadap tokoh-tokoh ini juga masih cukup rendah.

Melihat kondisi ini, sepertinya masih cukup sulit bagi kaum muda bisa bersaing dengan tokoh tua. Proses sosialisasi agar mereka lebih dikenal publik, pasti membutuhkan dana yang tak sedikit. Memang persoalan dana, bagi ketua umum PAN Soetrisni Bachir dan Rizal Malarangeng yang disupport oleh Bakrie, mungkin tak menjadi persoalan. Tapi, bagaimana dengan tokoh muda lainnya?

Nampaknya (mungkin) Megawati memahami hal ini. Jadi dengan berani ia mempersilahkan kaum muda untuk bertarung dengan dirinya. Cuma yang menjadi catatan, bisa jadi tantangan Mega ini akan kontarproduktif yang nantinya bisa ”memalukan” dirinya. Alih-alih memenangkan pilpres, bisa jadi nanti Mega malah menunduk dihadapan kaum muda yang berkibar menuju istana. Sekali lagi, Mega telah menggelar karpet merah istana bukan untuk dirinya.

Baca Selengkapnya...

Wednesday, July 23, 2008

Jurang Terjal Presiden 2009

Oleh: Abdul Hakim MS.

Harian Umum Pelita, 23 Juli 2008

Pada 7 Juli 2008, babak baru sejarah perpolitikan Indonesia kembali tergores. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengundangkan 34 partai politik nasional (dan 6 partai lokal di Aceh) sebagai peserta pemilu legislatif 9 April 2009. Jumlah ini tentu (tak) mengejutkan. Ekpektasi besar yang digadang untuk membentuk sistem kepartaian yang efektif (multi-partai sederhana) guna mendukung sistem presidensil, pupus. Kita kembali lagi kesiklus sistem kepartaian multi-partai ekstrim, meski jumlahnya tak sebanyak seperti pada pemilu 1955.

Euforia demokrasi kita memang belum berhenti. Pada 1955, jumlah parpol yang ikut pemilu sempat mencapai jumlah 172 partai. Pada 1971, menciut menjadi 10 partai. Pada 1977-1997, dengan paksaan melakukan fusi oleh pemerintah Orde Baru, partai politik peserta pemilu mewujud menjadi hanya 3 saja.

Namun setelah era reformasi menjelang, kembali semarak mendirikan partai yang sempat terbendung, membuncah. Pemilu 1999 diikuti 48 partai. Lima tahun berikutnya, menyempit menjadi 24 partai. Dan pada pemilu 2009 mendatang, sekali lagi, surat suara akan disesaki oleh gambar 34 partai yang berbeda. Apa implikasinya?

Potensi Golput Tinggi

Banyaknya jumlah parpol yang ada, secara eufinis mungkin bisa diinterpretasikan sebagai bentuk keragaman negeri ini. Namun ada pandangan skeptis bahwa lahirnya banyak parpol akhir-akhir ini, hanya dilandasi oleh kehausan elit memperoleh kekuasaan. Skeptisisme ini muncul, lantaran petinggi-petinggi parpol baru, masih didominasi oleh sempalan kader-kader partai lama. Sebut saja Wiranto dengan Hanura-nya, Prabowo dengan Gerindra-nya dan seterusnya.

Jika merujuk pada hasil survei, sikap skeptisisme ini seoalah mendapatkan legitimasi. Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis data, bahwa Jauh lebih sedikit dari publik yang yakin bahwa partai politik mewakili keinginan pemilih. Angkanya juga cukup tinggi, 72,9%. Publik begitu yakin bahwa parpol hanya memperjuangkan segelintir kelompok kecil.

Disamping itu, publik juga tak mampu membedakan parpol dalam tataran visi-misi dan program kerja yang jelas karena jumlahnya cukup banyak. Survei Indo Barometer (IB) pada Juni 2008 menyebut, 88,2% publik menyatakan jumlah partai politik saat ini terlalu banyak. Publik menjadi bingung. Dan kalau sudah begitu, banyak diantara mereka yang menginginkan untuk tidak memilih pada pemilu 2009 mendatang (golput).

Indikasi naiknya golput pada pemilu 2009, sebenarnya sudah bisa diprediksi sejak dini. Selain faktor di atas, kala kita mengacu sejarah kepemiluan Indonesia, dari Pemilu 1971 hingga ke Pemilu 2004, tren persentase pemilih yang menggunakan hak suaranya kian menyusut. Ironisnya, titik penurunan itu terjadi saat demokrasi dan kebebasan sangat terbuka, Pemilu 1999 dan 2004. Pada Pemilu 1999, pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya naik menjadi 7,2 persen dibandingkan Pemilu 1997 yang hanya 6,4 persen saja.

Lebih parah, penurunan partisipasi itu terjadi pada Pemilu 2004 lalu. Dalam tiga rangakaian pemilu yang diselenggarakan secara berurutan kala itu, sebanyak 16 persen dari pemilih terdaftar tidak menyumbangkan suaranya untuk pemilu legislatif. Kemudian, angka ini mengalami kenaikan menjadi 21,77 persen pada pilpres putaran pertama. Angka ini kembali naik pada pilpres putaran kedua menjadi 23,37 persen. Padahal, dalam Pemilu 2004, sistem pemilu sudah berubah menjadi pemilihan secara langsung dan euforia demokrasi sedang marak-maraknya.

Untuk pemilu 2009, sepertinya kita tak banyak bisa berharap. Selain kejengahan masyarakat terhadap sepak-terjang partai politik, publik juga telah pandai menganalisa mana partai yang benar memberikan manfaat pada mereka dan mana partai yang hanya menjadi ”pecundang”.

Tentu Indikasi ini tak begitu baik bagi perkembangan demokrasi kita. Institusi publik yang dipilih melalui lembaga pemilu, menjadi tereduksi legitimasinya, baik legislatif maupun eksekutif.

Borgol Presiden

Implikasi lain yang hadir tatkala jumlah partai politik mewabah, adalah kesulitan eksekutif melakukan konsolidasi pemerintahan. Seperti kita tahu, sistem pemerintahan kita saat ini adalah presidensialisme. Sistem presidensial, bisa berjalan efektif apabila didukung oleh sistem kepartaian multipartai sederhana. Saat ini, sistem kepartaian kita multi partai ekstrim dengan jumlah peserta pemilu mencapai 34 partai politik.

Coba kita berandai-andai hasil pemilu 2009 berdasarkan hasil survei Indo Barometer (IB) pada Juni 2008. Kira-kira bagaimana susunan kabinetnya dan apa persoalan utama yang dihadapi oleh presiden.

Berdasarkan data Indo Barometer Juni 2008, PDIP memenangkan pemilu legislatif dengan 23%. Sedangkan pemenang pemilihan presiden juga digamit oleh Megawati dengan 30,9%. Jika kondisi ini yang terjadi, PDIP dan Megawati bisa menghasilkan unified government (pemerintahan yang satu) karena pemenang pemilu legislatif dan presiden berasal dari partai yang sama. Namun, kondisi ini tak menjamin pemerintahan Mega bisa berjalan efektif. Karena di DPR, 77% kekuatan diisi oleh partai lain. Mau tak mau, Mega tetap harus mengakomodasi kekuatan besar ini, sehingga kabinetnya akan menjadi pelangi. Kondisi ini tentu menjadi ”borgol” tersendiri bagi Ketua Umum PDIP ini. Berdasarkan pengalaman, menteri yang notabene berasal dari perwakilan partai politik DPR, kerap berbuat dualisme. Satu sisi membela kebijakan pemerintah, namun di DPR, partainya mengkritik habis kebijakan yang telah disepakati.

Skenario kedua, pemilu legislatif dimenangkan oleh PDIP dengan 23% dan pemilihan presiden dimenangkan SBY. Skenario ini terjadi bila PDIP survive sebagai parpol pemenang pemilu 2009 dan SBY berhasil memulihkan popularitas dirinya yang sekarang anjlok. Meskipun sekarang mungkin lebih berat, data survei tahun 2005-2006 menunjukkan SBY pernah melakukan ”recovery” popularitas dirinya. Pasca kenaikan BBM tahun 2005, kepuasan terhadap pemerintahan SBY turun. Namun bisa merangkak naik kembali pada tahun 2006.

Jika hal ini yang terjadi, SBY tetap seperti posisinya sekarang. Kesulitan mengendalikan kabinetnya karena ia harus membentuknya dari komposisi berbagai macam parpol. Dan jika kabinetnya bentuknya seperti ini, situasi pemerintahan 2004-2009 kembali akan terulang. SBY akan dikepung dualisme kepentingan pembantunya, sebagai bawahan dan juga sebagai politisi partai.

Kondisi yang sama juga akan terjadi apabila pemenang pemilihan presiden digenggam oleh kandidat lain, misalnya Wiranto, Prabowo, Sutiyoso, Sultan HB X atau siapa saja, sedangkan pemenang pemilu di rengkuh PDIP atau Golkar. Mereka akan tetap dihadapkan pada biasnya kekuatan parpol di DPR, yang secara tidak langsung akan membuat sulit presiden untuk mengeluarkan kebijakan secara sempurna. Jika kondisinya seperti ini, siapapun presiden yang terpilih pada pemilu 2009, jurang terjal telah menghadang didepan mata.

Masihkan kita optimis dengan hasil pemilu 2009 untuk menyembulkan pemimpin yang bisa membawa kita keluar dari multikrisis yang masih mendera bangsa ini hingga kini? Biarlah waktu yang menjawab.

Baca Selengkapnya...

Tuesday, July 22, 2008

Soliloquy Penutupan Kasus HAM TimTim

Oleh : Abdul Hakim MS.

Suara Karya, 22 Juli 2008

“Kami menyampaikan penyesalan yang amat dalam atas apa yang terjadi dimasa lalu yang menimbulkan banyak korban jiwa. ...hasil rekomendasi KKP menjadi proses penyembuhan luka lama dan menjamin agar kejadian serupa tak terulang lagi...”

Kasus panjang pelanggaran HAM sebelum dan sesudah jajak pendapat di Timor-Timur (Timtim), usai sudah. Kesepakatan dua negara, antara Indonesia dan Timor Leste pada 15/7 di Grand Hyatt Nusa Dua, Bali, menjadi penutup episode. Hasil rekomendasi KKP (berisi 12 butir), yang salah satunya mengakui adanya pelanggaran HAM disana, hanya dijadikan sebagai prasasti, tanpa diikuti proses meja hijau.

Kedua negara berbesar hati. Presiden SBY, Presiden Ramos Horta dan Perdana Menteri Xanana Gusmao telah legowo. Kutipan di atas adalah sepenggal isi sambutan SBY. Namun kalangan LSM menjerit. Ketua Setara Institut Hendardi, misalnya, menilai kesepakatan RI-Timor Leste yang hanya menyesal dan sepakat tidak meneruskan pelanggaran berat HAM menjelang dan sesudah jajak pendapat ke ranah hukum, adalah prestasi terburuk SBY dalam bidang penegakan HAM.

Cukup kontroversial memang. Namun yang menggelitik untuk dicermati, jika dikaitkan dengan dekatnya konstelasi pemilu 2009, kenapa SBY malah menutup kasus ini? Bukankah yang gencar “dihantam” dalam kasus ini adalah Wiranto (saat itu menjadi Panglima TNI) dan Prabowo (disinyalir menggerakkan milisi prointegrasi pada 1998)? Padahal dua-duanya akan menjadi kompetitor kuat SBY pada pemilu 2009?

Citra Internasional

Seperti kita faham, Wiranto keluar dari Golkar dan mencoba peruntungan maju menjadi capres 2009 dengan menunggang perahu baru bernama Partai Hanura. Prabowo pun serupa. Ia bergeming dari Golkar dan mendayung Partai Gerindra. Hanura, dalam prediksi beberapa lembaga survei juga telah bergigi. Indo Barometer dalam survei Juni 2008, misalnya, memberi indikasi angka dukungan sekitar 2,5%. Dengan masa kampanye mencapai 9 bulan, sangat mungkin Hanura akan meraup suara pemilih lebih besar. Pun dengan Gerindra. Indikasi bahwa partai ini bisa melampaui angka parliamentary trheshold juga cukup menjanjikan. Artinya, kesempatan buat Wiranto dan Prabowo menjadi pesaing SBY di 2009 sangat terbuka.

Naif. Sebagai politisi, sharusnya SBY bisa menjadikan kasus pelanggaran berat TimTim ini sebagai kartu truf. Besarnya kans Wiranto dan Prabowo menjadi pesaingdi pemilu 2009, bisa dipotong jika kasus ini terus berjalan. Dan cara yang paling mungkin, mendorong kasus ini agar menginternasionalisasi. Tapi kenapa tak dilakukan? Bahkan SBY malah terkesan ”membela” Wiranto dan prabowo?

Diluar pro-kontra yang mengiringi, setidaknya ada dua tafsir politik yang bisa dimunculkan terkait mengapa SBY memilih langkah ini. Pertama, SBY (mungkin) ingin menunjukkan bahwa Indonesia bisa bersikap mandiri dalam menyelesaikan persoalan dalam negeri. Dalam kasus pelanggaran HAM di TimTim, cukup diakhiri dengan kesepakatan dua negara, tanpa melibatkan kepentingan asing untuk bermain didalamnya. Karena jika asing sudah turun tangan, kita seolah ”tanpa daya” menghadapinya.

Kedua, SBY (mungkin) mengambil resiko, lebih baik menghadapi Wiranto dan Prabowo dalam pemilu 2009, daripada harus berhadapan dengan dunia internasional berlabel citra buruk menjadi negara pelanggar HAM berat. Selama ini, SBY dikenal sebagai pemimpin paling dipercaya dapat menyelesaikan persoalan dunia. World Public Opinion (WPO), misalnya, menempatkan SBY dalam urutan paling atas pemimpin Asia Pasifik yang paling bisa menyelesaikan persoalan dunia. Dalam data yang dilansir pada 16 Juni 2008, melibatkan 19.751 responden dari 20 negara yang total penduduknya meliputi 60 persen populasi dunia, dengan margins of error antara 2-4 persen itu, SBY (51%) mengungguli PM Jepang Yasuo Fukuda (32 persen), PM Australia Kevin Rudd (31 persen), Presiden Korut Kim Jong-il (28 persen), PM India Manmohan Singh (21 persen) dan Presiden Filipina Gloria Macapagal Arroyo (19 persen). Tentu menjadi pertaruhan besar bagi SBY apabila ia harus berhadapan dengan dunia internasional dalam kasus pelanggaran HAM TimTim. Citra baik yang disandang selama ini, bisa tergores.

Pertaruhan 2009

Dengan penutupan kasus HAM TimTim, tentu tak ada hadangan berarti lagi buat Wiranto dan Prabowo meretas jalan menuju kursi RI-1. Satu-satunya ganjalan bagi keduanya hanyalah perahu politik. Namun dengan kekuatan ”materi” yang ada, rasanya tak cukup susah buat mereka untuk menggamit kendaraan politik dengan jalan koalisi.

Namun, bukan menjadi persoalan besar (mungkin) bagi SBY untuk meredam keduanya. Hingga kini, berdasar pada hasil beberapa lembaga survei, suara Wiranto dan Prabowo masih (relatif) kecil. Survei terbaru Indo Barometer (IB) pada Juni 2008 lalu, misalnya, masih menempatkan Wiranto dikisaran angka 7,8%. Sedangkan Prabowo lebih kecil lagi 1,5%. Memang, popularitas SBY (19%) kini sedang disalip Mega (26,1%). Meskipun mungkin lebih berat, data survei tahun 2005-2006 menunjukkan SBY pernah melakukan ”recovery” popularitas dirinya. Pasca kenaikan BBM tahun 2005, kepuasan terhadap pemerintahan SBY turun, namun bisa merangkak naik kembali pada tahun 2006.

Yang mungkin mengusik SBY, justeru counter attack terkait kasus penutupan pelanggaran HAM TimTim. Kedepan, bisa saja SBY ”dihajar” dengan citra sebagai sosok pemimpin yang gagal dalam penegakan HAM. Arah panah yang tadinya tertunjuk ke Wiranto dan Prabowo, bisa menjadi boomerang dan menghantam balik. Jika sudah begitu, rasanya medan SBY semakin terjal dan pertaruhan SBY pada pemilu 2009 terlalu berisiko. Alih-alih memenangkan pilpres, SBY malah bisa jadi rontok oleh Wiranto atau bahkan Prabowo.

Meski pertaruhannya cukup besar, namun langkah SBY patut diapreseasi positif. Bisa jadi, dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM TimTim ini, SBY terinspirasi langkah Nelson Mandela. Hubungan Indonesia-Timor Leste tak akan pernah bisa berkembang baik jika terus dihantui kasus pelanggaran HAM. Sama halnya dengan Mandela, ia tak akan bisa bergerak luas dalam masa transisi demokrasi di Afrika Selatan, apabila ia terus digelayuti kasus pelanggaran HAM mantan petinggi-petinggi rezim apartheid. Langkah pemberian imunitas terhadap petinggi-petinggi rezim apartheid seperti Mantan Presiden VW De Clerk, Wapres PW Botha, Kepala Angkatan Bersenjata Magnus Malan serta bekas petinggi rezim apartheid lainnya, terbukti manjur mengantarkan rekonsiliasi Afsel menuju tatanan demokrasi yang lebih baik.

Akhirnya saya bersoliloqui. Apakah dengan penghapusan kasus pelanggaran HAM TimTim akan mengantarkan hubungan Indonesia-Timor Leste menjadi lebih baik seperti di Afsel? Dan apakah nantinya nama SBY, Ramos Horta dan Xanana Gusmao akan tercatat harum sebagai tokoh rekonsiliator kedua negara laksana Mandela di Asel? Biar sejarah yang akan mencatatnya.

Baca Selengkapnya...

Tuesday, July 01, 2008

Cerita Kawan Lama

Lama nomor itu tak muncul dilayar handphoneku. Lama juga suara itu tak hinggap ditelingaku.


“Politik lagi panas” suara seorang wanita diseberang sana.

”Panas?”

”Ya panas. Hasil survei terakhir membuat kelojotan banyak orang. Hahahaha....”

MEMANG, beberapa hari yang lalu, tepatnya hari minggu, 29 Juni 2008, sebuah lembaga survei nasional, INDO BAROMETER, mengeluarkan hasil riset terbarunya. Indo Barometer adalah sebuah lembaga survei yang diketuai oleh M. Qodari. Ia dulu pernah di LSI, baik Lembaga maupun Lingkaran Survei Indonesia. Ia dulu juga pernah menjadi peneliti CSIS dan ISAI.

Diluar dugaan, orang yang selama ini mendominasi perolehan angka survei, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dibuat lemas. Ia harus kalah dari pesaing utamanya, Megawati. Duh...

Data itu melansir, Elektabilitas SBY menurun dibanding survei-survei yang ada sebelumnya. Anjloknya tajam. Dari 38,1% pada Desember 2007, menjadi 20,7% pada Juni 2008. Cukup telak. Reduksinya hingga 18%. Oooowwwww.....

Sementara Megawati, sedikit membusungkan dada. Ia yang kalah dalam ronde-ronde sebelumnya, bisa menekuk tangannya di atas pinggang. Angkanya menyalip SBY. Elektabilitasnya menanjak dari 27,4% pada Desember 2007, menjadi 30,4% pada Juni 2008. Plak..plak..plak.. bagi para pendukung Mega.

“Faktor utama kenapa tingkat elektabilitas SBY menurun, karena kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Ada juga faktor lain. Cuma tak signifikan” isi analisis laporan itu.

“Masyarakat pasti akan segera mencapai titik jenuh dan menyadari semua ini Cuma politicking (permainan politik)” bela Wakil Ketua Partai Demokrat keesokan harinya di Koran Indo Pos.

“Dalam enam bulan kedepan, popularitas SBY akan tumbuh kembali. Karena ekonomi juga akan tumbuh. Masyarakat bisa menilai mana yang lebih baik” bela pendukung SBY yang lain, Syarif Hasan di Koran Tempo pada hari yang sama.

Bagaimana dengan pendukung Mega?

”kita yakin pada September popularitas Bu Mega bakal naik lagi dengan melalkukan kampanye dan sosialisasi di Pilkada yang diikuti oleh calon-calon dari PDIP” Ungkap Direktur Pro Mega Centre, Muchtar Muhammad di koran Rakyat Merdeka.

”hasil survei ini memberi sinyal pada PDIP agar semakin berhati-hati dan makin konsisten dalam berjuang. Itu spirit untuk lebih keras bekerja. Jangan sampai terlena dengan angka” sambung Sekretaris Fraksi PDIP, Ganjar Pranowo di koran yang sama.

Bagiaman dengan yang lain?

”Mega belum tentu terpilih menjadi presiden 2009 meski tingkat elektibilitasnya di atas SBY. Jika terjadi putaran kedua di Pilpres 2009, maka calon-calon yang kalah kemungkinan akan mendukung SBY untuk melawan Mega. Jadi, kita masih harus menunggu ronde kedua” tutut pengamat ekonomi, Faisal Basri.

”Biarkan saja. Fakta kadang-kadang bisa bikin geger” kataku kepada wanita diseberang telepon sana.

Hehehehe....

Baca Selengkapnya...

Tuesday, April 01, 2008

Mempertegas PLNI Bebas-Aktif

Oleh: Abdul Hakim MS.

Harian Berita Sore Medan, 11 September 2007

Pertengahan November 2006 lalu, publik nasional digemparkan oleh kunjungan Presiden Amerika Serikat, george W. Bush ke tanah air. Sebenarnya, bukan masalah kunjungan Bush-nya yang mencengangkan, karena sudah menjadi perkara lumrah ketika seorang presiden sebuah negara berkunjung ke Negara lain. Cuma, persiapan yang di lakukan oleh Indonesia dalam rangka menyambut orang nomor satu negeri Paman Sam ini dipandang sangat berlebihan. Implikasinya, situasi politik nasional pun menghangat kala itu.

Kita semua pasti masih ingat, untuk menempatkan pendaratan helikopter tumpangan Bush saja, Indonesia hampir mengorbankan Taman Nasional Kebon Raya Bogor. Dalam waktu sekejap, area tengah kawasan konservasi ini disulap menjadi helipad. Kebijakan ini pun menimbulkan pro-kontra. Untunglah, pembangunan helipad itu hanya untuk mengalihkan perhatian.

Upaya penyambutan yang dipandang berlebihan itu, kemudian memunculkan tudingan bahwa; pertama, pemerintah Indonesia dalam menjalakan politik luar negerinya telah disetir oleh pihak tertentu, Amerika Serikat. Ada kalangan yang menilai, SBY sudah menjadi “antek Amerika” dan turut menjadi kepanjangan tangan dari liberalisme ekonomi. SBY dituduh telah berpihak pada “kutub Barat” dalam pergaulan internasionalnya.

Kedua, kekuatan Indonesia di mata internasioal sudah mulai memudar, khususnya terhadap AS dan kutub barat. Buktinya, kala Bush datang, kita seolah “menunduk dan tertunduk” dengan memberikan service yang over. Sinyal telepon seluler harus di acak, sekolah diliburkan, dan semua akses publik harus diblocking yang sempat “mematikan” geliat ekonomi kota bogor dalam waktu satu hari.

Namun, kritik yang datang ke pemerintah itu, seolah tertepis saat pemerintahan SBY menjalin hubungan yang dinamis dengan Russia. Pada 1 Desember 2006 yang lalu, SBY melakukan kunjungan ke Istana Kremlin. Kunjungan ini pun berbalas pada 6 September 2007. Dalam pertemuan dua negara ini, berbagai agenda telah disiapkan dalam rangka mempererat hubungan persahabatan. Berbagai kerja sama baik dibidang politik, ekonomi dan teknik pertahanan, telah disepakati.

Sebenarnya, hubungan bilateral antar negara bukanlah hal yang asing. Namun apa yang menarik dari hubungan Indonesia-Rusia?

Mempertegas Politik Bebas-Aktif

Hemat saya, hubungan bilateral ini tak hanya sekedar menjadi safari kenegaraan, melainkan mempunyai makna substantif yang ingin dikemukakan ke depan publik. Setidak-tidaknya, ada dua tafsir politik yang bisa dimunculkan. Pertama, SBY ingin memberikan jawaban atas kritik, anggapan dan penilaian yang kurang tepat terhadap pemerintahan yang dipimpinnya. Tudingan pihak-pihak tertentu bahwa politik luar negeri Indonesia lebih condong ke AS dan “blok barat”, menjadi terkesampingkan dengan sendirinya ketika SBY menjalin hubungan akrab dengan negara eks Uni Soviet ini.

Seperti kita tahu, Russia merupakan salah satu negara yang dahulu sangat berseberangan dengan AS, saat masih bernama Uni Soviet. Negara Stalin ini menjadi kekuatan pengimbang di pentas global yang menyebabkan terjadinya perang dingin. Implikasinya, dunia terdikotomi menjadi dua, Blok Barat yang diwakili AS dan negara-negara Eropa, dan Blok Timur yang diwakili oleh Uni Soviet dan sekutunya.

Kedua, SBY ingin menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang merdeka dan berdaulat, dan karena itu bebas untuk bergaul dengan negara manapun, tanpa ada yang dapat menghalanginya. Kerjasama yang dijalin dengan Russia, merupakan bukti bahwa politik luar negeri kita tetap menganut prinsip bebas dan aktif.

Jika kita menengok ke belakang, sebetulnya, sejak awal kebijakan pemerintah terhadap politik luar negeri Indonesia sudah sangat jelas : konsisten dengan prinsip bebas dan aktif. Mari kita periksa pergaulan politik internasional pemerintah, baik dengan semua negara.

Dengan Amerika Serikat, Indonesia mempunyai hubungan yang sangat baik. Begitupun dengan negara-negara yang sering berseberangan dengan negeri Paman Sam. Di Asia misalnya, pemerintah menjalin hubungan baik dengan China dan India. Bahkan dengan Korea Utara sekalipun, Indonesia mempunyai hubungan diplomatik yang cukup dinamis. Di Eropa, Indonesia menjalin hubungan kerjasama dengan Perancis dan Jerman, termasuk Russia yang baru saja berkunjung ke Indonesia.

Di Amerika Latin, pemerintah berhubungan baik dengan Kuba, salah satu kerikil tajam bagi Amerika Serikat. Indonesia juga menunjukkan sikap yang kritis terhadap kebijakan Amerika Serikat terhadap Irak dan Afghanistan. Demikian pula sikap Indonesia tentang Palestina, Libanon, Iran, atau Timur Tengah pada umumnya. Demikian halnya dengan masalah di Semenanjung Korea.

Intinya, jika kita mau menilai secara objektif, memang sikap dan pendirian politik Indonesia dalam dinamika kehidupan internasional adalah cermin dari kemandirian sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. SBY seolah ingin menunjukkan dan menegaskan kembali, bahwa hubungan yang terjalin bukan karena ditekan, dituntun atau diarahkan oleh pihak tertentu. Kebijakan politik luar negeri Indonesia, adalah kelanjutan dari perintah Konstitusi untuk berpartisipasi aktif dalam turut menciptakan perdamaian dunia. Semuanya tetap berlandaskan pada national interest Indonesia.

Hindari Embargo

Yang menjadi catatan penting lainnya, kerjasama Indonesia-Rusia telah mengubah arah kebijakan pertahanan terkait penyediaan alat persenjataan RI. Dalam salah satu klausul kerja sama, Rusia berkomitmen untuk memberikan bantuan kredit ekspor senilai US$ 1 miliar bagi pembelian peralatan pertahanan.

Melaui skema itu, Indonesia berencana membeli 2 unit kapal selam kelas kilo, 20 tank amfibi BMF-3F, 2 paket rudal antarkapal, dan 10 helikopter serbu Mi-35P. Diluar paket itu, Indonesia juga telah setuju menambah armada pesawat tempur dengan enam unit Sukhoi, masing-masing tiga tipe Su-27 dan tiga Su-30 senilai US$ 335 juta.

Tentu hal ini menjadi titik terang bagi pengadaan alat pertahanan Indonesia. Selama ini, pengadaan alat pertahanan dimonopoli oleh negara-negara barat. Dan ketika ada embargo –seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Inggris beberapa tahun terakhir— keberlangsungan alat pertahanan kita menjadi mandul.

Dengan hadirnya Rusia sebagai alternatif menghindar dari monopoli alat persenjataan –selain Brasil, Italia, Jerman dan Cina—tentu bukan persoalan lagi ketika embargo dilakukan oleh negara-negara barat. Dengan banyaknya alternatif yang ada, pengembangan teknologi persenjataan kita tak melulu tergantung lagi pada negara-negara tertentu, melainkan bisa bersandar pada negara-negara lain, yang tentunya menjadi pertanda baik baik pertumbuhan teknologi pertahanan nasional.

Baca Selengkapnya...

Monday, March 17, 2008

Menakar Prospek SBY vs Mega

Oleh : Abdul Hakim MS.

Detik.com 24 September 2007

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri pada Senin malam (10/9/2007) resmi diajukan oleh partai "banteng gemuk" menjadi calon presiden pada pemilu 2009. Mega yang sempat bimbang, pada sesi penutupan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II PDIP di Gedung Hall B2 Pekan Raya Jakarta, dengan mantap menyatakan siap melaju ke perebutan kursi RI 1.

Kesiapan Megawati untuk dicalonkan menjadi presiden jauh-jauh hari sebelum pemilu berlangsung mungkin bisa dimaknai dari tiga perspektif.

Pertama, kondisi PDIP yang kini sedang "naik daun", membutuhkan tokoh yang bisa terus menjaga kesolidan partai itu. Dan hingga kini sosok Megawati masih dianggap sebagai ikon pemersatu bagi partai moncong putih itu.

Kedua, PDIP belajar dari kekalahan pada pemilu 2004. Sebagai partai pemenang pemilu kala itu Mega harus keok pada pemilihan presiden. Dengan jauh-jauh hari menyatakan calon presidennya PDIP berharap bisa dengan serius mempersiapkan pertarungan pada pemilu 2009.

Ketiga, Megawati ingin menghindari adanya manuver munculnya calon presiden lain dari internal partai sendiri. Sudah dapat diduga, ketika mendekati masa pemilu berlangsung, banyak "pelamar" yang akan hinggap ke PDIP. Kondisi ini tentunya tidak diinginkan oleh Mega karena dapat berimplikasi pecahnya partai ini menyongsong pemilu 2009.

Namun, pertanyaan yang mungkin laik untuk dimunculkan adalah mampukah Megawati menyaingi SBY pada pemilu 2009.

Pertanyaan di atas tentu sangat sulit untuk dijawab saat ini karena hasil pemilu 2009 sendiri baru bisa diketahui dua tahun mendatang. Meski begitu menganalisa serta memprediksi hasil pemilu ketiga era reformasi ini, khusunya persaingan antara SBY vs Mega dapat menjadi kajian menarik untuk dimunculkan kepermukaan.

Right Time Wrong Man

Secara politis langkah PDIP untuk mengusung calon presidennya jauh-jauh hari sebelum pemilu berlangsung tentu merupakan keputusan tepat. Dengan panjangnya waktu tentu akan mempermudah melakukan sosialisasi ke basis massa pemilih. Ditambah lagi pamor PDIP saat ini, berdasarkan berbagai survei menjadi pilihan favorit masyarakat.

Ambil salah satu contoh hasil riset mutakhir Indo Barometer yang dilakukan pada Mei 2007. Jika pemilu dilakukan pada saat itu PDIP akan menjadi pemenang pemilu menggeser Partai Golkar yang sejak tahun 2004 selalu berada di rangking pertama survei yang kredibel. Hasil yang sama juga diperoleh melalui survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI), baik pimpinan Saiful Mujani atau Denny JA.

Meski sebagian besar faktor melonjaknya PDIP bukan karena prestasi PDIP sendiri melainkan dapat bola muntahan dari publik yang kecewa dengan kerja pemerintahan. Akan tetapi keadaan ini bisa menjadi momentum tepat (right time) bagi partai titisan PNI masa lalu ini untuk melakukan konsolidasi ke dalam. Termasuk mengusung jagonya pada pilpres 2009.

Namun, momentum ini tidak dipergunakan dengan baik oleh PDIP. Dengan kembali mengusung Megawati sebagai calon presiden grafik bagus PDIP bisa jadi akan menuai titik balik. Pencalonan kembali Megawati akan menjadi kontraproduktif.

Ini tak lain disebabkan oleh pertama, kinerja Mega selama menjadi presiden selalu menuai rapor merah.

Kedua, ketika Megawati menjadi presiden PDIP yang pada pemilu 1999 identik dengan partainya wong alit berubah image menjadi partainya wong elit. Ini tak lain dikarenakan kebijakan-kebijakan Mega yang kerap melupakan konstituen dan terkesan elitis.

Ketiga, Megawati dianggap gagal mambawa kesejahteraan masyarakat selama menjadi penguasa negeri ini.

Ketiga indikasi itu telah terbukti pada pemilu 2004 lalu. Megawati kalah telak menghadapi SBY pada putaran dua pemilihan presiden. Perolehan angka mereka terpaut cukup jauh. SBY dapat mendulang 69.266.350 suara (60,62%), Sedangkan Megawati hanya menuai 44.990.704 suara (39,38%).

Kalah Head to Head

Jika dikomparasikan dalam perspektif hasil survei tingkat kepuasan publik terhadap kinerja SBY vs Mega, secara head to head, kinerja SBY lebih baik dibanding Mega. Tengoklah hasil riset tingkat kepuasan publik selama dua tahun pertama pemerintahan Megawati dibandingkan dengan dua tahun pertama pemerintahan SBY.

Dalam riset yang diselenggarakan oleh CESDA-LP3ES yang dipublikasikan pada 30 September 2003 untuk mengukur tingkat kepuasan publik terhadap dua tahun pertama kinerja pemerintahan Megawati tak satu pun menorehkan rapor biru (nilai kepuasan di atas 50%). Untuk penyediaan lapangan kerja pemerintahan Megawati dianggap tidak serius. Angka kepuasan publik hanya 11%.

Dalam masalah penanganan konflik pemerintahan Megawati juga dianggap gagal. Kepuasan publik terhadap penanganan konflik Papua dan Aceh misalnya. Angka masing-masing bidang ini hanya 23% dan 37%. Yang paling rendah adalah tingkat kepuasan masyarakat terhadap bidang penegakan hukum.

Hanya 19% yang merasa puas terhadap upaya pemerintah Megawati dalam menangani masalah ini. Lebih parah, hanya 7% saja anggota masyarakat yang merasa puas terhadap penanganan korupsi. Di bidang sosial juga setali tiga uang. Hanya 26% saja anggota masyarakat yang menyatakan puas. Puncaknya, 66% masyarakat menganggap pemerintahan Mega gagal.

Hal ini berbeda dengan SBY. Meski tak dipadang berhasil secara keseluruhan, citra SBY masih sedikit lebih baik dibanding Mega. Simaklah hasil survei LSI terhadap kinerja 2,5 tahun pemerintahan SBY yang dipublikasikan pada April 2007. Terhadap bidang-bidang yang sama, tingkat kepuasan publik angkanya selalu mengungguli Mega. Untuk penyediaan lapangan kerja, 22,9% SBY dianggap mampu oleh masyarakat.

Bandingkan dengan Mega yang hanya 11%. Dalam penanganan konflik (bidang keamanan) SBY bahkan menuai rapor biru dengan tingkat kepuasan 59,6%. Dalam bidang ini, Mega hanya menuai angka 23-37%.

Dalam bidang penegakan hukum, SBY juga lebih berhasil dibanding Mega. 47.2% masyarakat percaya bahwa SBY serius menangani bidang hukum. Megawati hanya menuai angka 19%. Di bidang sosial, SBY juga mengungguli Mega dengan 46.9%. Padahal Mega dalam mengatasi persoalan sosial angkanya hanya 26%.

Melihat data dan fakta di atas, hemat saya, PDIP melakukan blunder besar dengan kembali mencalonkan Megawati menjadi calon presiden pada pemilu 2009 medatang. Timing baik dengan membumbungnya popularitas PDIP, akan meredup dengan kebijakan itu. Masyarakat sepertinya sudah apatis dengan tokoh-tokoh lama. Apalagi tokoh yang notabene sudah terbukti gagal.

Mungkin akan berbeda seandainya PDIP berhasil memunculkan sosok baru. Bagusnya grafik PDIP pada saat ini mungkin akan dapat terdongkrak lebih tinggi. Karena masyarakat kini merindukan sosok pemimpin baru. Dan jika pemimpin yang maju masih merupakan tokoh-tokoh lama dibarengi dengan tidak adanya kejadian politik yang istimewa maka SBY vs Mega sepertinya akan kembali akan dimenangi politisi asal Pacitan.

Baca Selengkapnya...

Monday, February 18, 2008

Memaknai Pengumuman Reshuffle Kabinet

Oleh Abdul Hakim MS.

Selama dua pekan terakhir, ranah politik nasional diramaikan oleh isu perombakan kabinet Indonesia Bersatu. Rumor ini terus saja mengejala tanpa arah hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan kepastian pada Jumat (20/04). Setelah sholat jumat, Presiden pertama pilihan rakyat ini memastikan bahwa perubahan terbatas terhadap kabinetnya akan dilakukan pada awal Mei mendatang.

Dengan adanya pengumuman ini, tentu polemik tentang ada atau tiadanya pergantian menteri menjadi terjawab. Rasa penasaran yang beberapa pekan terakhir menggelayut di dada publik menjadi jelas. Akan tetapi, ada satu pertanyaan yang mungkin menyelip dibenak kita. Kenapa SBY jauh-jauh hari mengumumkan keputusannya ini? Padahal, sebenarnya ini bukan gaya dari seorang SBY?

Menjawab Kritik

Seperti kita tahu, style kepemimpinan SBY, jika tidak kita katakan lamban, adalah sosok yang penuh kehati-hatian dalam mengambil keputusan. Sulit dipercaya ia akan membuat konsentrasi para menterinya rusak di tengah sorotan tajam yang sedang menggulung pemerintahannya. Akan tetapi, justeru karena sorotan tajam itulah yang memaksa SBY harus “kompromi”. Ia terpaksa lebih dini mengumumkan rencananya, meski dengan resiko membuat kalang-kabut para pembantunya.

Simaklah berbagai macam kritik yang mengguyur pemerintah. Berdasarkan hasil survei, popularitas SBY terus menurun sebagai akibat telah dianggap gagal mengurusi berbagai macam persoalan negeri ini. Merosotnya popularitas pemerintah ditunjukkan dengan hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang disampaikan Direktur Eksekutif Saiful Mudjani, akhir Maret, dan survei Lingkaran Survei Indonesia yang disampaikan oleh Denny JA beberapa waktu yang lalu.

Dalam kaca mata survei Lingkaran Survei Indonesia pada Februari yang dianalisis pada Maret dan April menunjukkan, bahwa kepercayaan publik atas kemampuan pemerintah menangani kemiskinan dan pengangguran masing-masing hanya 26 persen dan 22,9 persen. Lebih dari 50 persen responden menyatakan Presiden tidak mampu. Disektor lainnya, kepuasan publik atas kinerja Presiden juga sangat rendah. Dari enam aspek yang dinilai, hanya sektor keamanan yang nilainya positif sebesar 59,6 persen. Sektor lainnya hanya menghasilkan kepuasan publik kurang dari separuh, yaitu politik (45,4 persen), ekonomi (29,7 persen), sosial (46,9 persen), penegakan hukum (47,2 persen), dan hubungan luar negeri (46,4 persen).

Hasil jajak pendapat harian Kompas juga menunjukkan penilaian negatif terhadap kinerja pemerintah. Walaupun saat ini tetap dianggap paling layak untuk memimpin bangsa ini, popularitas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono cenderung menurun. Memasuki periode pertengahan masa pemerintahannya, 20 April 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dinilai belum bisa bertindak nyata untuk mengakselerasi kinerja pemerintahannya menghadapi berbagai persoalan yang muncul di masyarakat.

Dalam jajak pendapat Kompas yang menyoroti kinerja pemerintahan periode bulan ke-30 terungkap, keinginan publik untuk memilih Yudhoyono sebagai presiden apabila pemilihan umum dilakukan saat ini cenderung menurun. Jika dibandingkan dengan enam bulan sebelumnya, penurunan yang terjadi terasa sangat signifikan. Terhadap pertanyaan, "Jika saat ini dilakukan pemilihan presiden, siapakah tokoh yang paling Anda anggap layak menjadi presiden?" sebanyak 44,2 persen menyodorkan 48 nama. Dari nama-nama tersebut, 35,3 persen merupakan pilihan terhadap Yudhoyono. Padahal, pada enam bulan lalu nama Yudhoyono masih disebutkan oleh 52,6 persen responden.

Hal inilah yang sangat dipahami oleh SBY. Hasil penilain yang diperlihatkan oleh berbagai lembaga survei yang cenderung miring terhadap berbagai sektor pemerintahannya, memaksa ia mengambil keputusan populis. Pengumuman dini tentang adanya perombakan kabinet, tidak lain merupakan jawaban kritik yang sedang menggulung pemerintahannya. Harapannya, kinerja pemerintah kembali dapat dipompa untuk menghasilkan perubahan yang mencolok.

Kontraproduktif

Perombakan kabinet yang dilakukan SBY ini bukan untuk pertama kalinya. Pada bulan Oktober 2005 lalu, reshuffle terbatas juga pernah digulirkan. Akan tetapi ternyata, perubahan ini tidak menelurkan hasil maksimal. Kinerja para menteri tetap saja mengalami kemadegan dan bergulir biasa-biasa saja.

Berbeda dengan reshuffle pada Oktober 2005 lalu, perombakan kabinet kali ini harus diawali dengan pengumuman jauh-jauh hari sebelum pergantian itu sendiri dilaksanakan. Hal ini menurut hemat saya memberikan implikasi kurang baik pada kinerja kabinet yang kini berjalan terseok-seok.

Setidaknya, ada tiga implikasi negatif yang akan mengiringi pengumuman ini. Pertama, pengumuman yang dilakukan dua minggu sebelum pergantian ini dilakukan, akan merusak konsentrasi kinerja kabinet. Kegiatan para menteri dua pekan ini “hanya” akan disibukkan dengan aktivitas “mengiklankan” diri kepada presiden agar tidak mengalami pergantian. Tentu hal ini akan merusak kinerja mereka secara keseluruhan. Padahal pekerjaan rumah yang harus mereka selesaikan sudah menumpuk untuk ditangani.

Kedua, pengumuman ini akan menambah panjang daftar menteri yang akan terserang “penyakit”. Dengan pengumuman yang dilakukan jauh-jauh hari ini, jantung para menteri akan semakin berdegub kencang. Seperti telah dilansir oleh Mensesneg, saat ini daftar menteri yang terganggu oleh penyakit jantung dan stroke sudah mencapai 13 orang. Bukan hal yang mustahil pengumuman ini akan menyulut daftar panjang ini dan semakin memperburuk kinerja kabinet Indonesia Bersatu.

Ketiga, pengumuman ini akan memantik “perkelahian” antar parpol yang merasa menjadi pendukung pemerintah. Mereka akan beramai-ramai menyodorkan kadernya guna persiapan pengumpulan logistik untuk pemilu 2009. Kondisi ini tentu akan memperuwet kinerja kabinet. Boleh jadi, bagi parpol pendukung pemerintah yang nantinya merasa tidak mendapat “jatah”, akan berulah dan memperkeruh kinerja kabinet yang sudah berada dititik rendah.

Jika melihat kondisi kinerja kabinet saat ini, reshuffle memang jawaban tepat untuk melakukan perbaikan. Akan tetapi yang perlu diperhatikan, jangan sampai pergantian para menteri ini akan menjadi kontraproduktif dengan tujuan awal reshuffle. Bermaksud ingin memperbaiki kinerja, bukan tidak mungkin perubahan kabinet ini malah berbuah ketidakpastian politik dan semakin memperparah kinerja pemerintahan.

Baca Selengkapnya...