Oleh : Abdul Hakim MS.
Suara Karya, 22 Juli 2008
“Kami menyampaikan penyesalan yang amat dalam atas apa yang terjadi dimasa lalu yang menimbulkan banyak korban jiwa. ...hasil rekomendasi KKP menjadi proses penyembuhan luka lama dan menjamin agar kejadian serupa tak terulang lagi...”
Kasus panjang pelanggaran HAM sebelum dan sesudah jajak pendapat di Timor-Timur (Timtim), usai sudah. Kesepakatan dua negara, antara Indonesia dan Timor Leste pada 15/7 di Grand Hyatt Nusa Dua, Bali, menjadi penutup episode. Hasil rekomendasi KKP (berisi 12 butir), yang salah satunya mengakui adanya pelanggaran HAM disana, hanya dijadikan sebagai prasasti, tanpa diikuti proses meja hijau.
Kedua negara berbesar hati. Presiden SBY, Presiden Ramos Horta dan Perdana Menteri Xanana Gusmao telah legowo. Kutipan di atas adalah sepenggal isi sambutan SBY. Namun kalangan LSM menjerit. Ketua Setara Institut Hendardi, misalnya, menilai kesepakatan RI-Timor Leste yang hanya menyesal dan sepakat tidak meneruskan pelanggaran berat HAM menjelang dan sesudah jajak pendapat ke ranah hukum, adalah prestasi terburuk SBY dalam bidang penegakan HAM.
Cukup kontroversial memang. Namun yang menggelitik untuk dicermati, jika dikaitkan dengan dekatnya konstelasi pemilu 2009, kenapa SBY malah menutup kasus ini? Bukankah yang gencar “dihantam” dalam kasus ini adalah Wiranto (saat itu menjadi Panglima TNI) dan Prabowo (disinyalir menggerakkan milisi prointegrasi pada 1998)? Padahal dua-duanya akan menjadi kompetitor kuat SBY pada pemilu 2009?
Citra Internasional
Seperti kita faham, Wiranto keluar dari Golkar dan mencoba peruntungan maju menjadi capres 2009 dengan menunggang perahu baru bernama Partai Hanura. Prabowo pun serupa. Ia bergeming dari Golkar dan mendayung Partai Gerindra. Hanura, dalam prediksi beberapa lembaga survei juga telah bergigi. Indo Barometer dalam survei Juni 2008, misalnya, memberi indikasi angka dukungan sekitar 2,5%. Dengan masa kampanye mencapai 9 bulan, sangat mungkin Hanura akan meraup suara pemilih lebih besar. Pun dengan Gerindra. Indikasi bahwa partai ini bisa melampaui angka parliamentary trheshold juga cukup menjanjikan. Artinya, kesempatan buat Wiranto dan Prabowo menjadi pesaing SBY di 2009 sangat terbuka.
Naif. Sebagai politisi, sharusnya SBY bisa menjadikan kasus pelanggaran berat TimTim ini sebagai kartu truf. Besarnya kans Wiranto dan Prabowo menjadi pesaingdi pemilu 2009, bisa dipotong jika kasus ini terus berjalan. Dan cara yang paling mungkin, mendorong kasus ini agar menginternasionalisasi. Tapi kenapa tak dilakukan? Bahkan SBY malah terkesan ”membela” Wiranto dan prabowo?
Diluar pro-kontra yang mengiringi, setidaknya ada dua tafsir politik yang bisa dimunculkan terkait mengapa SBY memilih langkah ini. Pertama, SBY (mungkin) ingin menunjukkan bahwa Indonesia bisa bersikap mandiri dalam menyelesaikan persoalan dalam negeri. Dalam kasus pelanggaran HAM di TimTim, cukup diakhiri dengan kesepakatan dua negara, tanpa melibatkan kepentingan asing untuk bermain didalamnya. Karena jika asing sudah turun tangan, kita seolah ”tanpa daya” menghadapinya.
Kedua, SBY (mungkin) mengambil resiko, lebih baik menghadapi Wiranto dan Prabowo dalam pemilu 2009, daripada harus berhadapan dengan dunia internasional berlabel citra buruk menjadi negara pelanggar HAM berat. Selama ini, SBY dikenal sebagai pemimpin paling dipercaya dapat menyelesaikan persoalan dunia. World Public Opinion (WPO), misalnya, menempatkan SBY dalam urutan paling atas pemimpin Asia Pasifik yang paling bisa menyelesaikan persoalan dunia. Dalam data yang dilansir pada 16 Juni 2008, melibatkan 19.751 responden dari 20 negara yang total penduduknya meliputi 60 persen populasi dunia, dengan margins of error antara 2-4 persen itu, SBY (51%) mengungguli PM Jepang Yasuo Fukuda (32 persen), PM Australia Kevin Rudd (31 persen), Presiden Korut Kim Jong-il (28 persen), PM India Manmohan Singh (21 persen) dan Presiden Filipina Gloria Macapagal Arroyo (19 persen). Tentu menjadi pertaruhan besar bagi SBY apabila ia harus berhadapan dengan dunia internasional dalam kasus pelanggaran HAM TimTim. Citra baik yang disandang selama ini, bisa tergores.
Pertaruhan 2009
Dengan penutupan kasus HAM TimTim, tentu tak ada hadangan berarti lagi buat Wiranto dan Prabowo meretas jalan menuju kursi RI-1. Satu-satunya ganjalan bagi keduanya hanyalah perahu politik. Namun dengan kekuatan ”materi” yang ada, rasanya tak cukup susah buat mereka untuk menggamit kendaraan politik dengan jalan koalisi.
Namun, bukan menjadi persoalan besar (mungkin) bagi SBY untuk meredam keduanya. Hingga kini, berdasar pada hasil beberapa lembaga survei, suara Wiranto dan Prabowo masih (relatif) kecil. Survei terbaru Indo Barometer (IB) pada Juni 2008 lalu, misalnya, masih menempatkan Wiranto dikisaran angka 7,8%. Sedangkan Prabowo lebih kecil lagi 1,5%. Memang, popularitas SBY (19%) kini sedang disalip Mega (26,1%). Meskipun mungkin lebih berat, data survei tahun 2005-2006 menunjukkan SBY pernah melakukan ”recovery” popularitas dirinya. Pasca kenaikan BBM tahun 2005, kepuasan terhadap pemerintahan SBY turun, namun bisa merangkak naik kembali pada tahun 2006.
Yang mungkin mengusik SBY, justeru counter attack terkait kasus penutupan pelanggaran HAM TimTim. Kedepan, bisa saja SBY ”dihajar” dengan citra sebagai sosok pemimpin yang gagal dalam penegakan HAM. Arah panah yang tadinya tertunjuk ke Wiranto dan Prabowo, bisa menjadi boomerang dan menghantam balik. Jika sudah begitu, rasanya medan SBY semakin terjal dan pertaruhan SBY pada pemilu 2009 terlalu berisiko. Alih-alih memenangkan pilpres, SBY malah bisa jadi rontok oleh Wiranto atau bahkan Prabowo.
Meski pertaruhannya cukup besar, namun langkah SBY patut diapreseasi positif. Bisa jadi, dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM TimTim ini, SBY terinspirasi langkah Nelson Mandela. Hubungan Indonesia-Timor Leste tak akan pernah bisa berkembang baik jika terus dihantui kasus pelanggaran HAM. Sama halnya dengan Mandela, ia tak akan bisa bergerak luas dalam masa transisi demokrasi di Afrika Selatan, apabila ia terus digelayuti kasus pelanggaran HAM mantan petinggi-petinggi rezim apartheid. Langkah pemberian imunitas terhadap petinggi-petinggi rezim apartheid seperti Mantan Presiden VW De Clerk, Wapres PW Botha, Kepala Angkatan Bersenjata Magnus Malan serta bekas petinggi rezim apartheid lainnya, terbukti manjur mengantarkan rekonsiliasi Afsel menuju tatanan demokrasi yang lebih baik.
Akhirnya saya bersoliloqui. Apakah dengan penghapusan kasus pelanggaran HAM TimTim akan mengantarkan hubungan Indonesia-Timor Leste menjadi lebih baik seperti di Afsel? Dan apakah nantinya nama SBY, Ramos Horta dan Xanana Gusmao akan tercatat harum sebagai tokoh rekonsiliator kedua negara laksana Mandela di Asel? Biar sejarah yang akan mencatatnya.
Suara Karya, 22 Juli 2008
“Kami menyampaikan penyesalan yang amat dalam atas apa yang terjadi dimasa lalu yang menimbulkan banyak korban jiwa. ...hasil rekomendasi KKP menjadi proses penyembuhan luka lama dan menjamin agar kejadian serupa tak terulang lagi...”
Kasus panjang pelanggaran HAM sebelum dan sesudah jajak pendapat di Timor-Timur (Timtim), usai sudah. Kesepakatan dua negara, antara Indonesia dan Timor Leste pada 15/7 di Grand Hyatt Nusa Dua, Bali, menjadi penutup episode. Hasil rekomendasi KKP (berisi 12 butir), yang salah satunya mengakui adanya pelanggaran HAM disana, hanya dijadikan sebagai prasasti, tanpa diikuti proses meja hijau.
Kedua negara berbesar hati. Presiden SBY, Presiden Ramos Horta dan Perdana Menteri Xanana Gusmao telah legowo. Kutipan di atas adalah sepenggal isi sambutan SBY. Namun kalangan LSM menjerit. Ketua Setara Institut Hendardi, misalnya, menilai kesepakatan RI-Timor Leste yang hanya menyesal dan sepakat tidak meneruskan pelanggaran berat HAM menjelang dan sesudah jajak pendapat ke ranah hukum, adalah prestasi terburuk SBY dalam bidang penegakan HAM.
Cukup kontroversial memang. Namun yang menggelitik untuk dicermati, jika dikaitkan dengan dekatnya konstelasi pemilu 2009, kenapa SBY malah menutup kasus ini? Bukankah yang gencar “dihantam” dalam kasus ini adalah Wiranto (saat itu menjadi Panglima TNI) dan Prabowo (disinyalir menggerakkan milisi prointegrasi pada 1998)? Padahal dua-duanya akan menjadi kompetitor kuat SBY pada pemilu 2009?
Citra Internasional
Seperti kita faham, Wiranto keluar dari Golkar dan mencoba peruntungan maju menjadi capres 2009 dengan menunggang perahu baru bernama Partai Hanura. Prabowo pun serupa. Ia bergeming dari Golkar dan mendayung Partai Gerindra. Hanura, dalam prediksi beberapa lembaga survei juga telah bergigi. Indo Barometer dalam survei Juni 2008, misalnya, memberi indikasi angka dukungan sekitar 2,5%. Dengan masa kampanye mencapai 9 bulan, sangat mungkin Hanura akan meraup suara pemilih lebih besar. Pun dengan Gerindra. Indikasi bahwa partai ini bisa melampaui angka parliamentary trheshold juga cukup menjanjikan. Artinya, kesempatan buat Wiranto dan Prabowo menjadi pesaing SBY di 2009 sangat terbuka.
Naif. Sebagai politisi, sharusnya SBY bisa menjadikan kasus pelanggaran berat TimTim ini sebagai kartu truf. Besarnya kans Wiranto dan Prabowo menjadi pesaingdi pemilu 2009, bisa dipotong jika kasus ini terus berjalan. Dan cara yang paling mungkin, mendorong kasus ini agar menginternasionalisasi. Tapi kenapa tak dilakukan? Bahkan SBY malah terkesan ”membela” Wiranto dan prabowo?
Diluar pro-kontra yang mengiringi, setidaknya ada dua tafsir politik yang bisa dimunculkan terkait mengapa SBY memilih langkah ini. Pertama, SBY (mungkin) ingin menunjukkan bahwa Indonesia bisa bersikap mandiri dalam menyelesaikan persoalan dalam negeri. Dalam kasus pelanggaran HAM di TimTim, cukup diakhiri dengan kesepakatan dua negara, tanpa melibatkan kepentingan asing untuk bermain didalamnya. Karena jika asing sudah turun tangan, kita seolah ”tanpa daya” menghadapinya.
Kedua, SBY (mungkin) mengambil resiko, lebih baik menghadapi Wiranto dan Prabowo dalam pemilu 2009, daripada harus berhadapan dengan dunia internasional berlabel citra buruk menjadi negara pelanggar HAM berat. Selama ini, SBY dikenal sebagai pemimpin paling dipercaya dapat menyelesaikan persoalan dunia. World Public Opinion (WPO), misalnya, menempatkan SBY dalam urutan paling atas pemimpin Asia Pasifik yang paling bisa menyelesaikan persoalan dunia. Dalam data yang dilansir pada 16 Juni 2008, melibatkan 19.751 responden dari 20 negara yang total penduduknya meliputi 60 persen populasi dunia, dengan margins of error antara 2-4 persen itu, SBY (51%) mengungguli PM Jepang Yasuo Fukuda (32 persen), PM Australia Kevin Rudd (31 persen), Presiden Korut Kim Jong-il (28 persen), PM India Manmohan Singh (21 persen) dan Presiden Filipina Gloria Macapagal Arroyo (19 persen). Tentu menjadi pertaruhan besar bagi SBY apabila ia harus berhadapan dengan dunia internasional dalam kasus pelanggaran HAM TimTim. Citra baik yang disandang selama ini, bisa tergores.
Pertaruhan 2009
Dengan penutupan kasus HAM TimTim, tentu tak ada hadangan berarti lagi buat Wiranto dan Prabowo meretas jalan menuju kursi RI-1. Satu-satunya ganjalan bagi keduanya hanyalah perahu politik. Namun dengan kekuatan ”materi” yang ada, rasanya tak cukup susah buat mereka untuk menggamit kendaraan politik dengan jalan koalisi.
Namun, bukan menjadi persoalan besar (mungkin) bagi SBY untuk meredam keduanya. Hingga kini, berdasar pada hasil beberapa lembaga survei, suara Wiranto dan Prabowo masih (relatif) kecil. Survei terbaru Indo Barometer (IB) pada Juni 2008 lalu, misalnya, masih menempatkan Wiranto dikisaran angka 7,8%. Sedangkan Prabowo lebih kecil lagi 1,5%. Memang, popularitas SBY (19%) kini sedang disalip Mega (26,1%). Meskipun mungkin lebih berat, data survei tahun 2005-2006 menunjukkan SBY pernah melakukan ”recovery” popularitas dirinya. Pasca kenaikan BBM tahun 2005, kepuasan terhadap pemerintahan SBY turun, namun bisa merangkak naik kembali pada tahun 2006.
Yang mungkin mengusik SBY, justeru counter attack terkait kasus penutupan pelanggaran HAM TimTim. Kedepan, bisa saja SBY ”dihajar” dengan citra sebagai sosok pemimpin yang gagal dalam penegakan HAM. Arah panah yang tadinya tertunjuk ke Wiranto dan Prabowo, bisa menjadi boomerang dan menghantam balik. Jika sudah begitu, rasanya medan SBY semakin terjal dan pertaruhan SBY pada pemilu 2009 terlalu berisiko. Alih-alih memenangkan pilpres, SBY malah bisa jadi rontok oleh Wiranto atau bahkan Prabowo.
Meski pertaruhannya cukup besar, namun langkah SBY patut diapreseasi positif. Bisa jadi, dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM TimTim ini, SBY terinspirasi langkah Nelson Mandela. Hubungan Indonesia-Timor Leste tak akan pernah bisa berkembang baik jika terus dihantui kasus pelanggaran HAM. Sama halnya dengan Mandela, ia tak akan bisa bergerak luas dalam masa transisi demokrasi di Afrika Selatan, apabila ia terus digelayuti kasus pelanggaran HAM mantan petinggi-petinggi rezim apartheid. Langkah pemberian imunitas terhadap petinggi-petinggi rezim apartheid seperti Mantan Presiden VW De Clerk, Wapres PW Botha, Kepala Angkatan Bersenjata Magnus Malan serta bekas petinggi rezim apartheid lainnya, terbukti manjur mengantarkan rekonsiliasi Afsel menuju tatanan demokrasi yang lebih baik.
Akhirnya saya bersoliloqui. Apakah dengan penghapusan kasus pelanggaran HAM TimTim akan mengantarkan hubungan Indonesia-Timor Leste menjadi lebih baik seperti di Afsel? Dan apakah nantinya nama SBY, Ramos Horta dan Xanana Gusmao akan tercatat harum sebagai tokoh rekonsiliator kedua negara laksana Mandela di Asel? Biar sejarah yang akan mencatatnya.
No comments:
Post a Comment