Thursday, August 20, 2009

KPU YANG BURUK RUPA

Oleh : Abdul Hakim MS

Legitimasi pemilu 2009 dipertanyakan. Banyak pihak menuding, pemilu kali ini menuai banyak cacat. Bahkan, salah seorang mantan anggota KPU pernah mengatakan bahwa penyelenggaraan pemilu 2009 adalah yang terburuk sejak Indonesia merdeka. Mengapa stigma ini muncul? Betulkah pemilu kali ini seburuk itu?

Berpijak pada pertanyaan di atas, saya tergelitik untuk melakukan sebuah analisa. Alat ukur sederhana yang digunakan guna menjawab pertanyaan tersebut adalah dengan cara menilai kinerja KPU melalui pemberitaan media massa, dalam hal ini Kompas diambil sebagai sampel. Analisa isi media ini dilaku
kan dalam rentang waktu 1 – 31 Juli 2009. Proses penelitian dilakukan dengan cara menganalisa semua jenis artikel (baik berita, kolom opini, dan tajuk rencana) yang menyebut nama KPU. Karena merujuk pasal 6 ayat 1, UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta pasal 4 ayat 1, UU No. 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, KPU merupakan lembaga utama yang paling bertanggung jawab terhadap lancar-tidaknya proses pemilihan umum.

Betulkah kinerja KPU buruk? Bagaimana pandangan media, khususnya Kompas, dalam menurunkan artikelnya terkait lembaga yang dipimpin oleh Abdul Hafiz Anshary ini?

Kinerj
a negatif

Saat melakukan analisa isi media mengenai artikel-artikel tentang Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Kompas periode 1 – 31 Juli 2009, sederet judul yang menilai buruk kinerja KPU menyembul kepermukaan. Judul-judul seperti “KPU Ditengarai Tidak Netral” (Sabtu, 4 Juli), “KPU Tidak Belajar Dari Pengalaman Selama Ini” (Kamis, 9 Juli), “KPU Lakukan 5 Pelanggaran Hukum” (Minggu, 12 Juli), “KPU Langgar Kode Etik” (Jumat, 17 Juli), “KPU Harus Dievaluasi” (Sabtu, 25 Juli), dan “KPU Langgar UUD” (Selasa, 28 Juli), menjadi deretan citra negatif KPU.

Dalam rentang waktu penelitian, setidaknya Kompas telah menurunkan sebanyak 104 artikel dengan menyebutkan nama KPU. 51.0% ada di rubrik Politik & Hukum, 20.2% berada dihalaman depan (headline), 15.4% ada di rubrik Mandat Rakyat, dan sisanya ada di rubrik kolom opini (5.8%), Tajuk Rencana (5.8%), dan dirubrik lainnya (1.9%).

Tema yang banyak menyorot KPU selama bulan Juli 2009 antara lain terkait polemik Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebesar 30.8%, masalah pembagian kursi sebesar 14.4%, masalah sengketa Pilpres sebesar 7.7%, kerjasama KPU-IFES sebesar 7.7%, quick count sebesar 4.8%, dan tema lainnya sebesar 34.6%.

Yang paling menarik adalah persoalan citra KPU. Saat dimasukkan empat kategori terkait analisa artikel KPU di Kompas, yakni positif, negatif, positif-negatif, dan netral, artikel negatif cukup dominan dan artikel positif relatif rendah (41.3% : 16.3%). Sedangkan untuk dua kategori lainnya, masing-masing adalah 23.1% untuk artikel positif-negatif dan 19.2% untuk artikel yang bersifat netral.

Kala analisis dilakukan secara lebih jauh dengan membuang kategori artikel netral, citra KPU makin memburuk. Sebanyak 51.2% artikel berkategori negatif, 20.2% artikel berkategori positif, dan 28.6% artikel berkategori positif-negatif. Citra KPU makin terbenam kala hanya dihadap-hadapkan antara artikel negatif dan positif saja. Sebesar 71.7% artikel berkategori negatif berbanding 28.3% artikel yang berkategori positif.

Di mata nara sumber yang ada di 104 artikel yang dianalisa, citra KPU juga kurang baik. Tercatat sebanyak 279 nara sumber yang dikutip dari 104 artikel tersebut. Dari 3 kategori yang diberikan (positif, negatif, dan netral), 41.9% berkomentar negatif buat KPU, 22.6% berkomentar positif, dan sisanya berkomentar netral sebesar 35.5%. Kala hanya dihadap-hadapkan hanya kategori narasumber yang berkomentar negatif dan positif saja, maka angka negatifnya menjadi dominan, yakni 65.0% negatif berbanding 35.0% positif. Citra KPU yang buruk ini kebanyakan terkait polemik DPT dan persoalan netralitas KPU. Selain itu, persoalan masalah pembagian kursi, tabulasi nasional hasil pemilu, dan kerjasama KPU-IFES turut menambah wajah buruk.

Cermin Pemilu

Melihat keberhasilan atau kegagalan kinerja KPU hanya dari kaca mata citra di media saja, memang tak dapat dijadikan konklusi mutlak. Apalagi analisa yang dilakukan hanya dalam rentang waktu satu bulan dan hanya dari salah satu surat kabar saja. Akan tetapi, setidak-tidaknya, dari hasil analisa isi media di atas, bisa kita simpulkan bahwa memang ada yang salah di KPU. Entah itu terkait ketidakmampuan KPU dalam menyelenggarakan pemilu, kelemahan SDM yang ada didalamnya, atau bahkan ada intervensi dari pihak-pihak asing seperti banyak ditudingkan beberapa kalangan yang sempat mempermasalahkannya di Mahkamah Konstitusi (MK). Kinerja buruk ini dipertegas lagi oleh MK dengan menilai KPU tak profesional (Kompas, 13/08/09).

Citra buruk KPU ini sebetulnya patut disayangkan. Karena baik buruknya pelaksanaan pemilu selalu bercermin dari citra baik penyelenggaranya. KPU jelek, dengan sendirinya pemilunya dipandang jelek. Tentu hal ini bisa mencederai dan mereduksi legitimasi hasil yang menyertainya.

KPU lagi-lagi tak belajar dari pengalaman dua penyelenggaraan pemilu sebelumnya. Tak heran apabila kemudian kekecewaan menyeruak di sana-sini. Tak dapat disalahkan juga apabila ada yang mempertanyakan keabsahan pemilu yang telah berlangsung pada 9 April dan 8 Juli 2009 yang lalu, seperti yang dilakukan oleh tim Mega-pro dan JK-Wiranto terhadap pemilu presiden, meski akhirnya MK memutus kekurangan dan pelanggaran yang ada tidak bisa mereduksi keabsahan pemilu presiden.

Dari sini kita bisa belajar, dalam memilih anggota KPU, DPR selayaknya menyerahkan kepada mereka yang memang memiliki kemampuan. Jangan lagi memilih karena faktor kepentingan, karena hasilnya seperti yang kita lihat sekarang, KPU menjadi buruk rupa dan menjadi cermin buruknya pemilu 2009.

Baca Selengkapnya...

Thursday, April 16, 2009

PRABOWO SUBIANTO KALAHKAN SBY

Oleh : Abdul Hakim MS


Setelah Pileg 2009, partai-partai kini sedang sibuk meramu koalisi. Begitupun dengan para pucuk pimpinannya. Mereka rajin bergerilya untuk mencari pasangan duet menuju istana. Hingga detik ini diprediksi oleh berbagai lembaga survei, bahwa SBY akan memenangkan pilihan presiden 8 Juli 2009 nanti, siapapun pasangan cawapres yang akan ia rangkul.

Namun tahukah Anda, saat ini ternyata hanya sosok Prabowo Subianto saja yang bisa mengalahkan SBY?

Ya, hanya Prabowo Subianto yang saat ini bisa menyaingi popularitas SBY. Tapi sayang, kemenangan itu hanya terjadi di google trends.

Google Trends merupakan indikator terpercaya tentang “search patterns”. Kita tahu bahwa google merupakan mesin pencari terbesar, dan setiap kata yang dimasukkan pengguna akan tersimpan di database google, termasuk asal negaranya. Google trends akan menampilkan perbandingan kata-kata yang sering dicari di Internet, detail sampai wilayah setingkat Propinsi.

Setelah masuk ke google Trends, coba masukkan kata SUSILO BAMBANG YUDHOYONO, PRABOWO SUBIANTO. Maka akan tampil statistik search patterns dari tahun 2004 hingga 2009. tapi coba ganti tahunnya dengan tahun 2009 saja, maka Prabowo menang tipis atas SBY. Terutama pada periode Maret – Apri 2009.

Indikasi ini menarik. Menjelang pilpres 8 Juli 2009 mendatang, ternyata rasa ingin tahu masyarakat penggunan internet di Indonesia tentang perawakan Prabowo menjadi sangat tinggi. Bahkan, bisa mengalahkan presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono!

Uniknya, fenomena ini tak terjadi dengan tokoh lainnya. Coba masukkan juga nama SUSILO BAMBANG YUDHOYONO vs Megawati atau Hidayat Nurwahid, atau Sutrisno bachir atau yang lainnya. Nyaris nama mereka tenggelam oleh kebesaran nama SUSILO BAMBANG YUDHOYONO.

Khusus di Ibu kota Jakarta, Prabowo kalah tipis secara keseluruhan dengan SBY. Dalam versi bahasa Indonesia, Prabowo juga kalah tipis. Namun dalam versi Bahasa Inggris, Prabowo kembali mendulang keunggulan relatif tinggi.

Apakah ini indikasi Prabowo akan menjadi lawan berat SBY pada 8 Juli 2008 nanti? Kita patut mencermatinya.

Baca Selengkapnya...

Monday, April 13, 2009

LEMBAGA PENYELENGGARA EXIT POLL PEMILU 2009: PERTARUHAN KREDIBILITAS!

Oleh : Abdul Hakim MS

Pemilu 2009 membawa fenomena politik baru. Partai yang mengandalkan jaringan politik saja, ternyata tak cukup ampuh meraup suara. Ada faktor lain yang menjadikan pemilih kepincut memberikan suara ke partai tertentu, iklan politik! Hal ini terbukti dengan tingginya suara Partai Demokrat, yang secara jaringan mesin partai kalah jauh disbanding Partai Golkar, PDI Perjuangan, PKS, PPP, dan PAN.

Fenomena lainnya, mencuatnya suara Partai Gerindra dan Hanura. Partai besutan Prabowo Subianto dan Wiranto ini baru lahir menjelang pemilu legislatif 2009. Akan tetapi, suaranya diprediksi dapat mencapai ambang batas Parliamentary Threshold 2.5 persen. Bahkan dari hasil Exit Poll LSN, partai Garuda diprediksi mendapat sekitar 6.5 persen suara! Gerindra dan Hanura tentu bukan partai yang mengandalkan jaringan partai, tapi melulu dengan cara beriklan di media massa, terutama televisi.

Namun yang menarik dicermati, pemilu 2009 juga memunculkan banyaknya lembaga survei yang melakukan kegiatan Exit Poll. Dan hasilnya telah dipublikasi pada hari H penyontrengan 9 April 2009 lalu. Dari keseluruhan lembaga itu sepakat, Partai Demokrat akan memenangkan Pileg dengan perolehan suara sekitar 20 persen!

Yang menarik adalah prediksi perolehan partai-partai dibawah Partai Demokrat. Banyak perbedaan diantara mereka. Pertanyaannya, manakah prediksi lembaga ini yang akan mendekati hasil faktual perhitungan KPU yang akan diumumkan pada 9 Mei 2009 mendatang?

Tentu hasil penetapan KPU akan menguji seberapa tepat hasil-hasil prediksi lembaga yang melakukan kegiatan exit poll. Jika ada yang meleset dan jauh dari hasil faktual, sudah saatnya kita berani mengambil sikap kritis terhadap lembaga yang salah melakukan prediksi pemilu 2009.

Untuk melihat hasil prediksi peringkat 10 besar pemilu 2009, klik gambar di atas.


Baca Selengkapnya...

PARADOKS ASA PEMILIH

Oleh : Abdul Hakim MS

Pandangan bangsa ini tertuju ke 9 April 2009. Pemilu legislatif akan digelar. Hingga detik akhir hari H penyontrengan, kesemrawutan persiapan dan berbagai persoalan terus menyembul kepermukaan. DPT fiktif belum terselesaikan. KPPS masih banyak yang belum menerima kertas dan bilik suara. Potensi konflik saat menentukan keabsahan surat suara pada penghitungan suara cukup tinggi. Pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT kemudian datang ke TPS belum tahu nasibnya. Dan sejumlah persoalan lain yang rentan menimbulkan pergesekan antar pendukung parpol dan caleg pun terus mengancam. Bisa dibilang, pemilu kali ini cukup menghawatirkan!

Kondisi di atas, berbanding terbalik dengan asa pemilih kita. Dari survei yang dilakukan Indo Barometer pada Desember 2008, mayoritas pemilih (56.3%) yakin bahwa pemilu 2009 secara umum akan mengantarkan Indonesia kekehidupan yang lebih baik. Sekitar 34.9 persen menjawab tidak yakin. Dan 8.7 persen menjawab tidak tahu. Di bidang ekonomi, politik, dan hukum, mayoritas pemilih juga yakin bahwa pemilu 2009 akan membawa kekehidupan yang lebih baik (angkanya selalu di atas 50%). Pertanyaan relevan yang kemudian muncul, apakah keyakinan pemilih ini akan terjadi jika proses pemilunya dipertanyakan legitimasinya karena salah urus, banyak menimbulkan perdebatan dan menyeruakkan potensi konflik yang cukup tinggi?

Suara tak sah

Ancaman dan kekhawatiran tertinggi pemilu 2009 adalah potensi golput. Ignas Kleden menulis, ada dua kemungkinan seseorang memilih menjadi golput. Pertama, opsi negatif, yaitu ketika dia merasa tidak mempunyai alasan yang cukup untuk turut memilih dalam pemilu. Kedua, opsi positif, yaitu ketika seseorang merasa mempunyai alasan yang cukup untuk tidak turut memilih.

Dalam konteks Indonesia dan pemilu 2009 khususnya, dua kemungkinan yang diungkapkan oleh Kleden rasanya kurang mencukupi. Ada kemungkinan lain yang menyebabkan seseorang menjadi golput, antara lain; pertama, dia punya alasan untuk memilih dan dia mau menggunakan hak pilihnya, akan tetapi namanya tak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT). Pemilih yang namanya tidak tercantum dalam DPT, kemungkinan besar akan malas datang ke TPS, kecuali ia mempunyai kesadaran yang memadai akan arti memilih.

KPU punya argumentasi tersendiri terhadap kemungkinan ini. Menurut KPU, yang tidak terdaftar dalam DPT, agar dia tidak menjadi golput, ia bisa datang dengan membawa identitas diri agar bisa memilih. Pertanyaannya, adakah kertas suara cadangan untuk mereka? Seberapa banyak kertas suara cadangan yang disediakan oleh KPU? Padahal, hingga detik ini, kertas suara yang dibagikan ke TPS oleh KPU, jumlahnya sama persis dengan jumlah nama yang ada di DPT. Apakah pemilih yang masuk kategori ini bisa memilih meski sudah datang ke TPS ketika tidak ada lagi kertas suara?

Kedua, pemilih mau datang ke TPS dan namanya telah tertera di DPT, ia juga telah memberikan suaranya untuk caleg dan partai pilihannya, akan tetapi pemberian suaranya dianggap tidak sah. Potensi golput yang masuk dalam kategori inilah yang sangat tinggi. Berdasarkan pengalaman pemilu 2004, jumlah suara tidak sah untuk pemilihan anggota DPR-RI mencapai 10.957.925 pemilih atau 7.4 persen dari DPT waktu itu. Angka ini lebih besar daripada jumlah DPT pemilu 2009 untuk daerah pemilihan (dapil) DKI Jakarta sekitar 7.026.772. Lebih ekstrim lagi, Jumlah itu masih lebih besar dibandingkan jumlah DPT dari dapil NAD, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu dan Kepulauan Riau yang mencapai 10.597.740. Tentu ini ancaman serius.

Padahal, sistem pemberian suara pada pemilu 2004 tidak terlalu rumit, yaitu hanya mencoblos. Jumlah partai politik perserta pemilu juga tak terlalu banyak, 24 parpol. Sedangkan pada pemilu 2009, mekanisme pemberian suara masih cukup membingungkan para pemilih, yakni boleh mencontreng/centang, mencoblos, memberi tanda garis, akan tetapi tidak boleh melingkari. Belum lagi jumlah partai yang mencapai 38 parpol dan kertas suara raksasa yang ukurannya lebih besar daripada bilik suaranya. Faktor-faktor ini menjadi pemicu besarnya suara golput dari suara yang tidak sah ini.

Jadi jika dibuat klasifikasi, ancaman golput pada pemilu 2009 datang dari dua arah. Pertama, suara golput dari pemilih yang tidak mau datang ke TPS karena sudah atau belum mempunyai alasan seperti yang didikotomikan oleh Ignas Kleden. Kedua, suara golput yang datang karena buruknya teknis administrasi yang dibuat oleh lembaga penyelenggara pemilu (KPU) dalam menyukseskan pesta lima tahunan ini, alias golput administratif.

Legitimasi

Hakikat pemilu yang sebenarnya adalah meletakkan legitimasi kepada para pembuat kebijakan, baik legislatif maupun eksekutif. Dan kita telah melakukan pemilu secara nasional sebanyak 12 kali. Dua kali untuk memilih anggota DPR dan anggota Badan Konstituante pada bulan September dan Desember 1955. Enam kali pada zaman Orde Baru dalam rentang waktu 1971 – 1997. Dan empat kali pada saat reformasi, yakni memilih anggota DPR pada 1999, memilih anggota DPR pada 2004, dan dua kali untuk memilih presiden dan wakil presiden pada 2004.

Dengan pengalaman sebanyak itu, idealnya kita telah mempunyai sistem kepemiluan yang cukup baik. Akan tetapi, hingga detik ini sepertinya jauh panggang dari api. Kita tetap terseok-seok untuk menata sistem kepemiluan kita. Kenapa demikian?

Tak mudah menjawab pertanyaan itu dengan argumentasi singkat. Kita tak bisa menyalahkan hanya satu pihak terkait dengan bermasalahnya kepemiluan kita. Persoalan mendasar kenapa negeri ini setiap kali melaksanakan pemilu tidak pernah beres, terletak pada proses pendataan penduduk yang tidak baik. Hingga kini data BPS yang seharusnya bisa dijadikan rujukan valid untuk menetapkan calon pemilih, tak memberi banyak harapan. Di luar itu, ketidakberesan data BPS, dibarengi juga dengan tak adanya inisiatif pembenahan serius dalam pendataan ulang pemilih setiap kali pemilu diselenggarakan oleh KPU. Implikasinya, sejak tahun 1955 hingga 2009 persoalan pemilu berkutat ditempat yang sama, amburadulnya DPT!

Disamping masalah DPT, para perancang UU Pemilu (yang terdiri atas para petinggi partai terpilih di DPR) tak pernah berpikir panjang. Kepentingan sesaat lebih dominan daripada semangat membangun sistem kepemiluan dan kepartaian yang lebih baik. Menjadi tak heran, setiap pemilu menjelang pun dibarengi dengan UU Pemilu yang baru. Implikasinya, ketaatan dengan sistem yang telah disepakati pada pemilu sebelumnya menjadi hilang begitu saja. Contoh sederhana adalah pengabaian sistem electoral threshold. Partai yang seharusnya tak boleh mengikuti pemilu 2009, tetap bisa ikut dengan akal-akalan asal dapat kursi di DPR. Sistem baru pun dibuat dengan nama parliamentary threshold.

Kondisi di atas, diperparah oleh lemahnya interpretasi penyelenggara KPU terhadap UU Pemilu. Kasus-kasus yang menerabas keadilan publik muncul tanpa henti. Ambil sebagai contoh munculnya surat edaran KPU No. 62/KPU/III/2009 tanggal 27 Maret 2009 tentang sumbangan kampanye perorangan dan organisasi yang boleh di atas angka yang telah ditetapkan UU Pemilu. Belum lagi Peraturan KPU No.15 tahun 2009 yang satu diantara isinya mengatur mekanisme undian dalam menentukan caleg terpilih. Kemudian juga peraturan KPU dalam mengartikan pemberian satu kali tanda di kertas suara, apa menyontreng/centang, coblos dan sebagainya. Ini semua semakin memperburuk wajah kepemiluan kita!

Poin yang ingin dikemukakan adalah, jika pemilu terus dikerubuti masalah, bukankah legitimasinya akan dipertanyakan? Dan dari pemimpin yang dipertanyakan legitimasinya, akankah kita dapat menaruh harapan kepada mereka? Padahal para pemilih kita punya harapan besar pada pemilu kali ini. Tentu kondisi ini merupakan sebuah paradoks.

Baca Selengkapnya...

Friday, April 03, 2009

JUMLAH PEMILIH, CALEG, TPS, DAN KURSI DPR-RI PADA PEMILU 2009 DI SELURUH INDONESIA

Oleh : Abdul Hakim MS.





Jumlah caleg DPR RI untuk pemilu 2009 sebanyak 11.219 orang. Padahal jumlah kursi yang tersedia hanya 560. Artinya, hanya 5% orang saja yang nantinya akan terpilih dan berkantor di Senayan. Lah, bagaimana nasib dari 95% caleg lainnya..?? Padahal mereka sudah spent dana milyaran rupiah untuk kampanye! Kita tunggu saja efeknya setelah pencontrengan 9 April 2009. Untuk lebih jelas melihat data tersebut, klik gambar disamping.

Baca Selengkapnya...