Wednesday, December 13, 2006

Menerawang Partisipasi Politik 2009

Oleh: Abdul Hakim MS.

Suara Pembaruan, 13 Desember 2006


Ada gejala menggembirakan bila menatap wajah demokrasi Indonesia tujuh tahun ke belakang. Penyelenggaraan Pemilu 1999 dan 2004, di tengah segala kekurangannya, banyak mendapatkan pujian. Dua pemilu terakhir, dipandang sebagai titik tolak tegaknya demokrasi di bumi pertiwi, karena pintu kebebasan sudah mulai dibuka dan kemandirian berekspresi begitu dihargai.

Namun ironis. Di tengah demokrasi yang sudah mulai mapan ini, ada kecenderungan yang kurang sinergis. Sejak Pemilu 1971 hingga ke Pemilu 2004, tren persentase pemilih yang menggunakan hak suaranya terus melorot. Bahkan yang lebih parah, titik penurunan itu terjadi saat demokrasi dan kebebasan sangat terbuka lebar di negeri ini, yakni Pemilu 1999 dan 2004.

Pada Pemilu 1999, pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya alias golput, naik menjadi 7,2 persen dibandingkan Pemilu 1997 yang hanya 6,4 persen saja. Lebih ironis lagi, penurunan partisipasi itu terjadi saat Pemilu 2004 lalu.

Dalam tiga rangakaian pemilu yang diselenggarakan secara berurutan kala itu, sebanyak 16 persen dari pemilih terdaftar tidak menyumbangkan suaranya untuk pemilu legislatif. Kemudian, angka ini mengalami kenaikan menjadi 21,77 persen pada saat pilpres putaran pertama.

Pada akhirnya, angka ini kembali mengalami kenaikan pada saat pilpres putaran kedua menjadi 23,37 persen. Padahal, dalam Pemilu 2004, sistem pemilu sudah berubah menjadi pemilihan secara langsung dan euforia demokrasi sedang marak-maraknya.

Yang menjadi pertanyaan, kenapa kepercayaan masyarakat terhadap pemilu menjadi rendah?

Kita memang patut miris jika melihat tingkat partisipasi masyarakat yang terus menyusut dari pemilu ke pemilu. Namun, yang dilakukan masyarakat itu, tentu bukan tanpa alasan. Ada latar belakang yang menjadikan mereka kemudian lebih memilih untuk tidak memilih dalam pemilu.

Saya melihat, setidak-tidaknya, ada tiga alasan utama kenapa kepercayaan masyarakat begitu rendah terhadap lembaga pemilu. Pertama, karena publik sudah merasa tidak pernah terwakili oleh partai politik yang dijagokannya.

Harapan besar yang sempat menggenang di dada para pemilik suara ketika memasuki bilik pencoblosan, melayang begitu saja kala aspirasi mereka hanya dipandang sebelah mata oleh partainya.

Publik yang merasa dizalimi oleh partai politik ini, terekam dalam survei LSI yang dipublikasikan pada Maret 2006 yang lalu. Dalam survei itu, lebih dari 50 persen masyarakat menyatakan kecewa dengan kinerja partai politik.

Bahkan, survei yang dilakukan berbarengan dengan isu santer kenaikan BBM dan impor beras kala itu, dibanding lembaga publik lainnya seperti presiden, polisi, tentara, dan DPR, parpol dinilai paling buruk kinerjanya. Hampir semua pemilih tidak tahu sikap dan keputusan partai tentang dua isu penting yaitu kenaikan BBM dan impor beras.

Hubungan psikologis antara masyarakat dan partai politik pun begitu rendah. Dalam survei yang dilakukan oleh LSI di awal 2006, hanya sekitar 25 persen saja dari pemilih yang punya hubungan psikologis secara positif dengan parpol. Selebihnya, pemilih merasa buta dengan kondisi partai politik. Padahal di negara demokrasi seperti AS ataupun negara-negara Eropa Barat, hubungan psikologis antara pemilih dan partai politik rata-rata di atas 60 persen.

Kedua, publik sudah mulai gerah dengan kepongahan para elite politik Tanah Air. Boleh dikatakan, komitmen para elite politik untuk memperbaiki diri, baik dari kinerja, perilaku, maupun keberpihakannya, belum juga terwujud. Manuver dan citra yang mereka munculkan, kebanyakan menerabas keadilan publik.

Ambil sebagai salah satu contoh, tersebarnya video mesum dari kalangan anggota DPR yang banyak dipergunjingkan akhir-akhir ini. Kasus ini adalah cerminan bagaimana perilaku para elite politik memang jauh dari harapan masyarakat. Bisa jadi, kasus yang terungkap ini hanyalah gumpalan gunung es.

Padahal, saat ini masyarakat sedang diresahkan oleh kelangkaan BBM. Mereka harus antre berjam-jam hanya untuk mendapatkan 5-10 liter minyak tanah. Di sisi lain, anggota DPR yang merupakan wakil untuk memperjuangkan aspirasi mereka, sedang terbuai membuat film porno dan "berasik-masyuk" bersama selingkuhannya.

Ketiga, publik sudah mulai pandai menganalisa kondisi politik atau sudah beranjak ke pemilih yang rasional. Ini dilatarbelakangi oleh santernya perkembangan teknologi. Hampir setiap keluarga, sudah memiliki media televisi yang menyalurkan informasi padat tentang kondisi politik nasional. Media televisi telah merubah karkter berpikir mereka kala disuguhkan kejadian dan perilaku para elite politik.

Di samping itu, penyebaran penduduk juga akan menjadi salah satu indikator masyarakat akan lebih pandai dalam menentukan sikapnya. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, konsentrasi penduduk akan beralih ke wilayah perkotaan.

Jika selama ini konsentrasi penduduk lebih banyak di daerah pedesaan, empat tahun ke depan proporsi penduduk kota melesat menjadi 54,2 persen dari total 234 juta jiwa penduduk Indonesia. Angka itu cukup signifikan dibandingkan dengan proporsi penduduk kota tahun 2005 yang hanya 48 persen.

Tentu, pergeseran ini akan menguatkan perubahan perilaku politik masyarakat yang terekam selama ini. Banyak pengamat meyakini bahwa perilaku politik di tengah masyarakat pemilih di Indonesia mulai berubah selama satu dekade terakhir, seiring dengan arus kebebasan dan upaya demokratisasi yang makin gencar. Dan, untuk dapat mengakses arus kebebasan dan upaya demokratisasi ini, daerah perkotaan tentulah lebih bisa memenuhinya dibandingkan daerah pedesaan.

Prospek Suram

Jika melihat ketiga faktor di atas, sepertinya kita akan suram menatap prospek partisipasi masyarakat pada Pemilu 2009 mendatang. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai politik, keresahan masyarakat dengan kepongahan para elite politik plus pemilih yang sudah rasional, akan semakin mereduksi partisipasi pada pemilu mendatang.

Terkait dengan pemilih rasional, yang perlu diwaspadai adalah pemilih pemula. Kelompok ini merupakan pemegang jumlah suara terbanyak dalam pemilu. Dan kelompok ini merupakan sasaran empuk untuk dibidik dalam pemilu mendatang. Para pemilih muda yang menjadi potensi besar dalam Pemilu 2009 adalah pemilih pemula dan yang telah mengikuti satu atau dua pemilu sebelumnya, yaitu mereka yang berusia 18 sampai 30-an tahun.

Catatan proyeksi penduduk Indonesia yang dibuat Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menunjukkan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2009 sebesar 231,3 juta jiwa, 70 persen di antaranya adalah kelompok usia pemilih. Kelompok pemilih muda tercatat merupakan jumlah terbanyak di antara kelompok usia pemilih.

Pada Pemilu 2009, dari sekitar 170 juta penduduk, 59 persen di antaranya adalah pemilih yang berusia 20-40 tahun. Inilah kelompok yang paling berpotensi untuk dirangkul. Namun, kelompok ini juga yang rentan menjadi kelompok golongan putih alias golput. Dalam kelompok ini banyak terangkum pemilih dari kalangan pelajar, mahasiswa, dan pekerja muda yang lebih kritis daripada kelompok usia lain. Meskipun tidak ada angka pasti, sebagian pengamat yakin sebagian besar golput berasal dari kelompok ini.

Melihat fakta di atas, sudah sewajarnya apabila partai politik dan elite politik harus start mulai dari sekarang untuk membenahi diri. Karena jika tidak, maka apatisme masyarakat terhadap lembaga pemilu akan terus menglami penyusutan. Dampaknya, legitimasi terhadap hasil pemilu juga akan dipertanyakan dan pemilu sebagai landasan nilai demokrasi, tidak akan lagi menjadi cerminan suara masyarakat secara utuh.

Baca Selengkapnya...

Thursday, November 30, 2006

Antara Etika Politik Dan “Uang Kehormatan” Anggota KPU

Oleh: Abdul Hakim MS.

Suara Karya, 30 Desember 2006

Berbicara masalah etika politik, Aristoteles pernah menulis, identitas antara manusia yang baik dan warga Negara yang baik, hanya ada apabila negara sendiri baik (Politik III, 1973).

Penggalan tulisan itu kemudian dijabarkan oleh Frans Magnis Suseno dengan pengandaian; dalam kondisi sebuah negara yang buruk, seseorang akan akan mendapatkan label sebagai warga negara yang baik apabila mengikuti semua aturan-aturan negara yang buruk itu. Namun ketika seseorang itu tidak mengikuti semua aturan bobroknya negara tersebut, sebagai warga negara mungkin ia akan dicap sebagai pembangkang karena tidak mengikuti semua peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh negara. Akan tetapi sebagai manusia individu, ia merupakan manusia yang baik karena betul-betul bertanggung jawab dengan dirinya sendiri untuk tidak mengikuti kerusakan yang sedang berlangsung. (Etika Politik, 1999)

Lantas, apa hubungannya nukilan tulisan Aristoteles dan Frans Magnis ini dengan lembaga penyelenggara pemilu Komisi Pemilihan Umum (KPU)?

“Uang Kehormatan” Yang Tidak Hormat

Secara langsung, mungkin penggalan tulisan Aristoteles dan Frans Magnis di atas tidak ada kaitannya dengan KPU. Namun jika menilik tentang apa yang terjadi di KPU akhir-akhir ini, pernyataan kedua tokoh di atas, seolah menggiring kita untuk menengadah mencari korelasinya. Apalagi kalau dikaitkan dengan gaji yang diterima oleh penggawa-penggawa KPU saat ini. Gaji, yang diistilahkan sebagai “Uang Kehormatan” --karena KPU bukan pegawai negeri sehingga tidak menerima gaji-- benar-benar mengusik norma kita kala mengetahui duduk persoalannya.

Seperti kita tahu, di luar keberhasilannya menyukseskan penyelenggaraan pemilihan umum pada 2004 yang lalu, KPU dipenuhi dengan berbagai macam skandal korupsi dalam proses pengadaan barang-barang logistik untuk keperluan pesta demokrasi ini. Bahkan, berbagai macam skandal itu telah “melebarkan karpet merah” kepada sang ketua dan salah satu anggotanya ke jeruji besi. Selain itu, praktik kotor yang ada di KPU, masih menyisakan “adu jotos” yang keras antar anggotanya, yang salah satunya kini duduk di kabinet. Sedangkan yang lainnya harus rela menginap di rumah tahanan Mabes Polri.

Nah, disinilah pangkal persoalannya terjadi. Disaat semua anggota KPU ini sedang terjerat masalah hukum, bahkan sudah ada yang menerima keputusan tetap dari proses kasasi di Mahkamah Agung (MA) dan telah dinyatakan bersalah, ternyata “Uang Kehormatan” yang merupakan gaji tiap bulan itu, masih juga mereka terima.

Awalnya, saya juga agak ragu dan merasa tidak percaya ketika mendapatkan informasi ini. Namun saat dikonfirmasi ke bagian keuangan di KPU, ternyata informasi ini valid. “Uang Kehormatan” untuk terhukum masih diberikan. Alasannya, karena belum ada Surat Keputusan (SK) Pemberhentian dari Presiden. Jadi, sang terpidana yang sudah berstatus sebagai terhukum pun, masih berhak dan bisa menikmati “Uang Kehormatan” itu dari balik jeruji penjara. Malah lebih hebat lagi, para terpidana ini juga masih menerima fasilitas sopir pribadi yang menjadi tenaga honorer dari KPU.

Sontak, saya begitu kaget. Dan ketika saya berdiskusi dengan kawan-kawan yang lain, mereka juga tampak mengernyitkan kening kepala. “Apakah itu benar?” tanya salah satu kawan diskusi saya. “Jika memang itu sahih, sungguh tidak punya etika dan malu” lanjut kawan saya lagi. “Itu namanya Uang Kehormatan yang tidak terhormat” cetus kawan saya yang lain dengan ketus.

Pentingnya Etika Politik

Memang, secara hukum formal, sah-sah saja para pejabat KPU ini menerima “Uang Kehormatan” itu. Karena status mereka hingga saat ini masih sebagai anggota KPU. Ditambah lagi, jabatan mereka pun belum berakhir. Dan bagi mereka yang sedang terjerat masalah hukum, SK pemberhentian terhadap mereka pun belum keluar.

Namun bagaimana jika ditilik dari perspektif etika politik? Apakah masih wajar seorang pejabat, tetap menerima upah tatkala ia sudah tidak lagi dapat menjalankan tugas-tugasnya? Apakah etis seorang pejabat yang sudah tidak bisa lagi mengemban amanat kemudian masih menerima honor? Apalagi honor itu diberikan kepada mereka yang bestatus terpidana?

Disinilah kemudian etika politik mempunyai peran penting. Kewajaran yang disandang oleh para anggota KPU dalam menerima honor, menjadi risih karena mencederai rasa keadilan publik. Secara kasat mata, seharusnya, semua terpidana sudah tidak lagi bisa menerima fasilitas negara. Apalagi, gaji mereka dikutip dari perasan keringat pajak yang dibayarkan oleh masyarakat. Seharusnya, ketika seorang pejabat sudah ditetapkan sebagai orang yang bersalah oleh pengadilan, dengan sendirinya semua fasilitas yang menempel kepada dirinya juga harus ditiadakan.

Lebih jauh, Frans Magnis dalam buku Etika Politik 1999, menjelaskan, peran etika politik adalah mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia sebagai manusia. Etika politik, berperan pada keadaan yang seharusnya. Keadaan ideal yang memang bila dilanggar tidak akan menyebaban jatuhnya hukuman fisik, melainkan hanya menghasilkan hukuman moral.

Jika dikorelasikan terhadap kasus “Uang Kehormatan” anggota KPU ini, sangsi fisik, memang tidak akan jatuh ketika para anggota ini tetap menerima honor. Namun secara moral, dimana letak tanggung jawab profesionalitas mereka sebagai manusia? Apakah para pejabat ini tidak merasa malu masih menikmati uang rakyat yang seharusnya tidak lagi mereka kenyam? Apalagi, status mereka sudah menjadi terpidana!


Namun, seperti banyak sudah kita dengar dari para pengamat politik, berbicara tentang etika politik itu seperti berteriak di gurun pasir. Meski telah mengeluarkan suara sekuat urat, tidak akan memberikan dampak apa-apa. Awalnya, mungkin suaranya akan menggema. Akan tetapi, lambat laun suaranya akan memudar perlahan-lahan dan lenyap sama sekali. Jadi, etika politik itu nonsens.

Meski begitu, setidak-tidaknya, hati kecil masih akan menggeliat resah. Seharusnya, negara sudah tidak lagi memberikan fasilitas kepada para terpidana. Seharusnya, para terpidana juga sadar bahwa mereka sudah tidak berhak lagi menerima uang masyarakat. Karena “Uang Kehormatan” itu dapat dialokasikan untuk kepentingan rakyat yang lainnya.

Melihat kondisi ini, Menjadi sebuah kepatutan untuk kita renungkan bersama-sama, dimanakah negara harus meletakkan etika politik sebagai asas untuk menggerakkan kapal besar seperti Indonesia?

Baca Selengkapnya...

Monday, October 02, 2006

Hak Pilih Anggota TNI/Polri

Oleh : Abdul Hakim MS

Suara Karya, Sabtu, 30 September 2006

Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 masih tiga tahun lagi digulirkan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang baru pun masih belum dibentuk. Revisi terhadap UU Pemilu juga belum dilakukan. Akan tetapi, isu panas sudah mulai menggelinding terkait dengan pesta demokrasi ini. Sepekan terakhir, partai politik, para pengamat, dan kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM), sibuk berdebat, berdiskusi, dan mencari solusi tentang hak pilih anggota TNI pada Pemilu 2009 mendatang, akan aktif kembali.

Bila mengacu pada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri, memang, anggota kedua institusi ini tidak akan menggunakan hak pilihnya paling lama hingga tahun 2004. Tap MPR ini kemudian dipertegas dengan keluarnya UU Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilu. Dalam pasal 145 UU no. 12 tahun 2003 menyebutkan, anggota TNI dan anggota Polri tidak menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2004 lalu.

Sebagian kalangan khawatir, ketika hak pilih anggota TNI dikembalikan, lambat laun ia akan come back lagi ke dunia politik. Implikasinya, TNI akan berperan ganda seperti masa Orde Baru (Orba). TNI dikhawatirkan akan menjadi alat bagi status quo guna melanggengkan jabatannya.

Bagi yang sepakat dengan diberikannya hak pilih anggota TNI, mereka mempunyai argumentasi tersendiri. Sebagai warga negara, TNI juga memiliki hak untuk menyuarakan aspirasinya. Dan hak yang sudah melekat itu tidak bisa dibatasi hanya karena alasan profesi. Jika ada pembatasan terhadap hak memilih ini, berarti ada pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM). Pro dan kontra sah-sah saja dalam bingkai negara demokrasi.

Memang, secara nominal, jumlah anggota TNI sebenarnya tidak terlalu signifikan untuk memengaruhi hasil pemilu. Personel TNI yang ada di negeri ini tidak sampai 400.000 orang. Jumlah ini sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah pemilih pada Pemilu 2004 misalnya, yang mencapai 113 juta lebih pemilih.

Namun sepertinya bukan masalah jumlah pemilih yang menjadi polemik, melainkan masalah ekses. Sejarah panjang perjalanan TNI dan Polri telah memberikan "stempel hitam" bagi kedua lembaga tersebut. Pengalaman kita sebagai bangsa, telah lengkap menghadirkan potret buram relasi penguasa dengan TNI. Di masa Orde Baru, hubungan antara presiden dan TNI amatlah kolutif.

Melalui peran dwifungsi saat itu, TNI menjadi alat yang efektif bagi penguasa untuk mengukuhkan kekuasaannya. TNI dijadikan "alat gebuk" pemerintah untuk menghantam lawan-lawan politiknya.

Belum lagi, sistem komando yang kuat dalam lingkup TNI. Bisa jadi, TNI nantinya dijadikan sebagai sarana mobilisasi massa untuk mengumpulkan suara. Contoh kasus betapa TNI dan Polri sangat berpengaruh dalam pengumpulan suara, terjadi pada Pemilu 2004 lalu. Seorang anggota Polri bisa memengaruhi pemilih di lingkungan keluarganya yang menggunakan hak pilih. Bahkan, mobil TNI pernah terlibat dalam mobilisasi pengumpulan suara di Pesantren Az Zaitun.

Trauma seperti inilah yang kemudian menjadi landasan kenapa TNI tidak harus diberikan hak memilih dalam pemilu. Bahkan, suara mayoritas masyarakat, yang tercermin dari sebuah hasil poling harian terkemuka di Jakarta mengharap agar hak memilih TNI ditiadakan pada Pemilu 2009 nanti.
Kekhawatiran tentang kembalinya TNI ke pentas politik, bukan berarti menjadikan kita membabi buta dalam membatasi hal-hak anggota TNI. Semangat reformasi internal yang tertuang dalam "paradigma baru peran TNI" yang ditandatangani oleh Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada 5 Oktober 1998, adalah cerminan TNI sudah mulai berubah.

Niat dan komitmen untuk mereformasi diri tersebut, dituangkan dalam TAP MPR-RI Nomor: VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, dan Tap MPR-RI Nomor: VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Dan dikukuhkan kembali melalui UU Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.

Dalam kedua Tap MPR ini, TNI bertekad akan menjadi alat pertahanan yang profesional dan menarik diri dari panggung politik. Bahkan sebagai konsekuensinya, TNI harus rela keluar dari gedung wakil rakyat sesuai amanat Tap MPR-RI Nomor: VII/ MPR/2000. Pada pasal 5 ayat (4) menyebutkan, keikutsertaan TNI dalam menentukan arah kebijakan nasional disalurkan melaui MPR paling lama sampai dengan 2009. Dan sebelum tahun itu datang, TNI sudah dengan legowo menyingkir dari gedung wakil rakyat.

Dalam UU Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara -menggantikan UU RI Nomor 20 tahun 1982- disebutkan tentang kewenangan TNI. Kewenangan itu, antara lain, mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah, melindungi kehormatan dan keselamatan bangsa, melaksanakan operasi militer selain perang dan ikut serta secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional.

Implikasi dari kewenangan tersebut, maka TNI harus menghapus Dwi Fungsi ABRI, melikuidasi fungsi kekaryaan serta sosial politik TNI, serta penghapusan keberadaan Fraksi TNI/Polri di lembaga legislatif. Dan, itu semua sudah dilakukan secara baik oleh TNI.

Di negara-negara yang boleh dibilang sudah demokrastis, tidak ada lagi pembatasan terhadap hak pilih anggota TNI. Semua warga negara dianggap sama untuk bisa menyuarakan aspirasinya melalui pemilu. Amerika, sebagai kiblat demokrasi, juga tidak melarang tentaranya mengeluarkan pilihannya dalam pemilu.

Sudah saatnya, TNI diberikan hak pilih pada Pemilu 2009 mendatang. Jika tidak, kita akan memosisikan TNI pada masa transisi yang permanen. Hal itu sangat tidak kondusif bagi TNI untuk bisa mereformasi dirinya sendiri.

Masalah ketakutan TNI akan menyalahgunakan wewenangnya, bisa diatasi dengan memperketat aturan main pada saat pemungutan suara. Misalnya, TNI tidak boleh memakai seragam ketika mencoblos, atau TNI tidak boleh mencoblos di barak, serta aturan-aturan lain yang bisa mengeliminasi kecenderungan penyimpangan. Hal ini bisa dibahas dan dimasukkan dalam revisi UU tentang pemilu mendatang.

Baca Selengkapnya...

Tuesday, August 22, 2006

Buku Korupsi

Korupsi. Rasanya, tidak ada orang Indonesia yang tak kenal kata ini. Dalam kehidupan sehari-hari, kata ini akrab numpang ketelinga masyarakat. Politisi, akademisi, mahasiswa, pelajar, bahkan sampai kalangan tukang becak pun getol membicarakannya. Ini karena "prestasi" yang selalu nimbrung di ibu pertiwi. Kita nangkring diposisi ketiga negara terkorup didunia menurut majalah The Economies.

Namun, tidak sedikit orang yang harus mengernyitkan dahi ketika ditanya apa itu korupsi. Ini tidak lain karena aspek korupsi memang tidak hanya satu komponen saja. Banyak hal yang yang melingkupinya.

Nah, biar dapat memahami korupsi secara komprehensif, KPK telah menerbitkan sebuah buku saku untuk dijadikan panduan memahami penyakit paling dibenci oleh seluruh negara di dunia ini.

Saya bersukur karena akhirnya bisa menyelesaikan buku yang prosesnya agak lama. banyak hal yang harus menjadi kendala karena bahasa hukum ternyata sangat berbeda dengan bahasa biasa. Dan, kendala itu tertutupi ketika buku ini nantinya bermanfaat buat anda semua.

Akhirny, selamat membaca dan memahami buku kecil ini. Agar, kita semua terhindar dari perilaku yang bisa menghancurkan kehidupan bernegara ini.

Terima Kasih.


Abdul Hakim MS.

Baca Selengkapnya...

Thursday, July 27, 2006

Gagalnya Komunikasi Politik Cendana

Oleh Abdul Hakim MS
Suara Karya Rabu, 12 Juli 2006

Cendana telah "habis". Saat "sang maestro" Soeharto lengser keprabon 21 Mei 2001 dari posisi presiden, orang berpikir Cendana telah "habis". Pak Harto hendak diseret ke pengadilan, tapi prosesnya masih berlarut-larut sampai saat ini. Anak-anaknya juga bernasib serupa. Bahkan, Tommy pun harus meringkuk di dalam jeruji besi hingga kini.

Namun, Cendana tetaplah Cendana. Ia memiliki sejuta jurus untuk terus memperbaiki citranya. Pada mulanya, Mbak Tutut yang selalu diplot menjadi juru bicara. Dengan kerudung yang tak pernah lepas dan senyum yang selalu mengembang, istri Indra Rukmana ini selalu lekat di mata masyarakat.

Belum lama ini, gebrakan baru dibuat oleh Cendana. Strategi baru, dirancang oleh keluarga "Orde Baru" ini untuk kembali bersentuhan dengan publik. Sosok yang ditampilkan ke masyarakat, bukan lagi Bbak Tutut, melainkan Siti Hediati Hariadi atau yang lebih akrab disapa Mbak Titik Soeharto.

Selama ini, mungkin masyarakat awam tidak sadar akan skenario ini. Namun ketika secara tiba-tiba Mbak Titik muncul di layar SCTV --dengan menjadi host tayangan Piala Dunia-- publik pun mulai menerka-nerka. Masyarakat terkaget-kaget dan banyak yang tidak mengenalnya. Mungkin yang ada di benak mereka, sebuah pertanyaan, "Siapa wanita yang tidak bisa memandu acara Piala Dunia ini?"

Padahal, sebenarnya sosok Titik Soeharto sudah menjadi representasi Cendana beberapa bulan terakhir ini. Ia pertama kali muncul ke kalangan masyarakat ketika menyambangi para pengungsi Merapi di Desa Tanjung, Kecamatan Muntilan, Magelang, 20 Mei 2006 lalu. Saat ayahnya masih terkulai lemas di rumah sakit Pertamina, Mbak Titik meminta masyarakat untuk dapat memaafkan Soeharto. Bersama itu pula, Titik menyerahkan bantuan Rp 100 juta atas nama sang ayah melalui Yayasan Gotong Royong Kemanusiaan.

Tidak hanya itu, putri keempat Soeharto itu kembali tampil ke publik ketika gempa Yogyakarta dan Jawa Tengah melanda. Ia menyerahkan bantuan sebesar Rp 1 miliar kepada Sri Sultan Hamengkubuwono X untuk para korban bencana, 2 Juni 2006 lalu.

Tidak berselang lama, ia pun muncul kembali ke permukaan. Kali ini lebih dahsyat dari yang sebelumnya: ia langsung menjadi pemandu program pembukaan Piala Dunia yang mempertemukan tim tuan rumah Jerman melawan Kostarika (9/06/2006).

Mungkin, seandainya ia terampil, tidak akan menjadi persoalan yang besar. Publik pun akan menaruh simpati. Sialnya, Mbak Titik malah gagap dan hambar memberi informasi sekitar si kulit bundar itu.

Sebenarnya, misi yang diemban oleh Titik Soeharto dengan tampil di kalangan publik sudah bisa di terka dengan logika awam: ingin mengembalikan kejayaan Cendana di ranah publik. Titik seolah-olah ingin mengatakan bahwa Cendana "belum habis". Namun kenapa harus dengan sepak bola?

Memang, sah-sah saja jika Titik Soeharto menjadi host acara televisi. Apalagi, Titik punya saham mayoritas di televisi yang digawangi oleh Wisnu Hadi ini. Cuma persoalannya, apakah Titik harus menjadi host acara seperti Piala Dunia? Padahal, seperti yang bisa kita lihat, ia tidak mempunyai kapabilitas di bidang tersebut. Mungkin ia bisa menggelar acara nonton bareng, atau hal yang masih terkait dengan masalah bola?

Jika ditilik dari sisi komunikasi publik, memang acara sekaliber Piala Dunia bisa dengan cepat membuat orang populer. Olah raga yang sudah menjadi "candu" bagi penduduk bumi ini, bisa dengan mudah mengenalkan seseorang kepada khalayak ramai. Dan, sepertinya, inilah yang ingin digaet oleh Titik Soeharto. Menjadi tersohor dalam waktu yang singkat, menjadi tujuan utamanya.

Naasnya, Titik tidak bisa menjadi demagog yang ulung. Ia tidak bisa memilih sarana yang pas untuk mengembangkan potensi dirinya. Ia tidak bisa menempatkan di mana dia harus bicara dan di mana dia harus tidak bicara. Hasilnya, seperti yang terjadi sekarang, cemoohan di kalangan masyarakat. Dan ia pun harus rela "mundur" dari cercaan publik dengan menghentikan siarannya di SCTV.

Menurut pakar komunikasi politik dari UI Efendi Ghozali, komunikasi yang coba dilakukan Titik Soeharto adalah langkah yang salah dalam menggunakan media komunikasi. Seharusnya ia bisa memilah-milah media apa yang tepat untuk menjalin keakraban dengan grass root.

Kegagalan Titik Soeharto, masih dalam kaca mata Efendi, terletak pada media sarana yang digunakan. Titik yang tidak excellence perihal olah raga kulit bundar malah menjadi gunjingan masyarakat. Ketika pembawa acaranya tidak mengerti bola, acara itu jadi hambar.

Mungkin, yang ada di benak Titik Soeharto ketika pertama kali memutuskan untuk menjadi host di ajang Piala Dunia, adalah logika pasar. Logika pasar yang dimaksud di sini adalah langkah Titik "menjual" dirinya ke kalangan publik. Sarana promosi yang paling tepat tentulah media yang mempunyai daya jangkau luas di tengah masyarakat.

Saat ini, berita tentang ranah politik sudah menjadi hal yang membosankan bagi masyarakat. Berita politik harus bersaing dengan program-program lain yang tidak kalah menariknya, seperti program hiburan, olahraga, infotainment, selebriti, mode, dan life style.

Bentuk-bentuk jurnalisme seperti ini semakin dikemas secara menarik sehingga jurnalisme politik harus sedikit "minggir" dari arena publik. Dan, tentunya, Titik tahu betul situasi ini. Media apa yang sedang digandrungi publik saat ini? Jawabannya Piala Dunia.

Itulah alasan kenapa Titik memilih untuk menjadi host di Piala Dunia. Jaringan yang ada, posisi yang menguntungkan, dan pengaruh yang luas di SCTV, membuatnya dengan mudah menggelindingkan kebijakan keredaksian. Dan, tidak sulit bagi Titik untuk "meminta jatah" untuk menjadi (hanya) seorang pemandu acara TV.

Namun, logika pasar Titik ternyata tidak sesuai dengan harapan. Hak publik untuk menerima informasi mendalam tentang ulasan bola, diterabas oleh Titik yang berpengatahuan minim masalah bola. Dampaknya, bukan elu-eluan yang ia terima, malah ejekan dan bahkan makian yang harus ditanggungnya.

Sepertinya, Titik Soeharto harus belajar lebih baik lagi untuk menjadi seorang demagog yang baik. Karena jika tidak, misinya untuk "mengembalikan kejayaan rezim Cendana" hanya akan menjadi impian.***

Baca Selengkapnya...

Friday, April 07, 2006

Mimpi Itu Jalan

Maluhkah kita kalau mendapatkan prediksi pemimpi? sepertinya pertanyaan ini layak untuk kita renungkan untuk dicarikan sebuah jawabannya. Kadang predikat ini memberi kesan negatif kepada sang empunya mimpi. Ia dipandang sebgai orang yang "tidak menginjak bumi". Apalagi kalau mimpinya terbilang konyol dan mustahil untuk bisa terwujud. Misalnya saya mimpi untuk bisa naik kendaraan yang kecepatanya bisa melebihi kecepatan waktu. mungkinkah?

Mimpi seperti ini, saat ini mustahil untuk diwujudkan. Hanya, kadang terbercik di pemikiran saya, mimpi seperti ini layak untuk selalu kita pelihara. kenapa?

pertama, dengan mimpi seperti ini, orang akan cenderung selalu mencari jalan agar bisa membuatnya jadi kenyataan. akal akan terus diperas sehingga akan mendekati mimpi yang sebenarnya. dengan begitu, inovasi akan selalu tercipta berangkat dari obsesi seperti mimpi diatas.

kedua, dengan mimpi seperti diatas, manusia akan terarah untuk mengejar apa yang dia inginkan. manusia akan tahu kemana dan bagaimana ia harus menggapainya. sehingga, gerak dinamis manusia akan selalu terjaga untuk bisa mengejar MIMPI-nya.

ketiga, dengan bermimpi, manusia akan bisa menggali apa dan bagaimana alam anugerah tuhan ini bisa digalih. banyak misteri yang bisa terungkap, hanya gara-gara mimpi. bukankah lahirnya komputer, handphone, dan alat teknologi yang lain itu berawal dari mimpi?

oleh karena itu, jagalah mimpi kita. teruslah bermimpi. dengan begitu kita akan punya arah untuk menggerakkan seluruh anggota badan kita untuk menuju mimpi.

JANGAN PERNAH MEMBATASI MIMPI...

Baca Selengkapnya...

Monday, March 27, 2006

Malu Aku Jadi orang Indonesia..!!!

Indonesia Pun Terperangah
Banyak orang terperangah atas pemberian visa tinggal sementara oleh Australia kepada 42 dari 43 pencari suaka Indonesia asal Papua.


Bahkan, ada yang bergumam, rupanya Indonesia sudah tidak diperhitungkan lagi! Perasaan disepelekan, diremehkan, bahkan dilecehkan mendominasi reaksi pemerintah dan rakyat Indonesia atas pemberian visa oleh Australia kepada 42 pencari suaka Papua.

Segala upaya diplomatik Indonesia bagi pemulangan para pencari suaka tampaknya tidak dihargai dan hanya dipandang sebelah mata. Timbul kesan kuat pula, Australia tidak mau tahu atas kerumitan yang sedang dihadapi Indonesia di Papua.

Pemberian visa tinggal sementara kepada 42 pencari suaka hanya menambah kekisruhan persoalan Papua. Juga memberikan sensasi tinggi untuk menarik perhatian masyarakat internasional bahwa di Papua ada masalah.

Indonesia tentu saja terkecoh oleh buaian pernyataan Australia yang menegaskan pentingnya kerja sama dan pengakuan kedaulatan Indonesia atas Papua. Perasaan terkecoh itu sebenarnya sudah ada presedennya dalam kasus Timor Timur. Semula Australia melambung-lambungkan integrasi Timtim dengan Indonesia, tetapi pada ujungnya mendukung perpisahan Timtim.

Perilaku penuh percaya diri Australia merefleksikan penilaian negara itu terhadap Indonesia. Ekspresi percaya diri serupa diperlihatkan Malaysia dalam kasus Ambalat setelah berhasil mendapatkan Sipadan dan Ligitan tahun 2002.

Terkesan sudah tidak ada lagi rasa segan, hormat, dan takut. Padahal, di masa lalu, kawan atau lawan segan atas kewibawaan Indonesia. Tidak ada yang berani mempermainkan kepentingan Indonesia. Namun sekarang Indonesia diremehkan karena kerapuhannya.

Berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia memang sedang kedodoran. Kaum elite tidak kompak dalam menyelesaikan berbagai persoalan strategis bangsa, seperti menghentikan praktik korupsi, mengatasi kesenjangan ekonomi, mengakhiri konflik secara bermartabat seperti di Papua.

Selama berbagai persoalan dalam negeri tidak dibereskan, Indonesia akan tetap diremehkan dan dilecehkan. Negara-negara yang maju secara sosial, ekonomi, dan politik, sekalipun kecil dalam ukuran wilayah dan penduduk, akan disegani, bahkan ditakuti.

Tantangan bagi Indonesia tentu saja bagaimana membangun kewibawaannya, yang bertumpu pada birokrasi yang tidak korup, dan peningkatan kesejahteraan kehidupan rakyat dari Sabang sampai Merauke. (tajuk rencana Kompas, 25-03-2006)

Baca Selengkapnya...

Friday, March 10, 2006

Interpelasi Setengah Hati

Ada hal menarik apabila kita menengok pelaksanaan Rapat Paripurna DPR dengan agenda penyampaian jawaban pemerintah atas hak interpelasi masalah busung lapar dan polio selasa (7/3) kemarin. Atraksi para politisi parlemen begitu kental menghiasi jalannya persidangan. Sesaat setelah dibuka, hujan interupsi dilontarkan para anggota dewan kepada pimpinan sidang. Mereka mempertanyakan, kenapa presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak hadir dalam rapat tersebut. Padahal, Menko Kesra Aburizal Bakrie, Menkes Siti Fadila Supari dan Mensesneg Yusril Ihza Mahendra sudah datang untuk mewakili presiden memenuhi undangan DPR untuk memberikan keterangan.

Anggota DPR lagi berantem

Sangat disayangkan, kesempatan interpelasi yang jarang diperoleh ini disia-siakan oleh “bapak-bapak” di parlemen. Seharusnya, kesempatan ini menjadi “ajang” menunjukkan integritas lembaga yang sangat “terhormat” ini, bahwa mereka peduli kepada masyarakat. Namun kenapa setelah keterangan selesai di perdengarkan, tidak ada pertanyaan yang bersifat substansial tentang masalah yang mengiris hati nurani rakyat Indonesia ini? Kenapa harus memaksa presiden yang datang, padahal delegasi dari istana sudah hadir? Ada apa dibalik hak interpelasi ini?


Pertanyaan-pertanyaan ini patut untuk dikeluarkan. Mengingat, masalah busung lapar dan polio merupakan kasus “biadab” yang muncul dalam kondisi negara seperti sekarang. Masih ada saudara-saudara kita yang kelaparan dan kekurangan gizi ditengah pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat. Sebuah ironi yang menyedihkan!


Kepentingan Politik Sesaat


Melihat kondisi ini, setidaknya ada dua hal yang bisa kita simpulkan. Pertama, hak interpelasi yang sudah digalang oleh fraksi-fraksi di DPR sejak awal tahun lalu ini, merupakan komoditas politik sesaat. Ada keinginan untuk melakukan “black campaign” terhadap pemerintahan sekarang dengan menggunakan isu polio dan busung lapar sebagai instrumen.


Analisa sederhana ini muncul, didasarkan pada kenyataan tidak antusiasnya para wakil rakyat ketika mengetahui presiden tidak bisa hadir untuk memberikan keterangan. Padahal, seandainya para “koboi” parlemen ini jeli, dengan mengusut tuntas masalah buruk gizi dan polio kepada delegasi yang hadir, toh imbasnya juga pasti akan ke presiden.


Namun sayang, setelah Menko Kesra Aburizal Bakrie selesai memberikan keterangan, tidak ada pertanyaan sama sekali dari fraksi-fraksi yang sudah menggalang bergulirnya hak interpelasi ini selama hampir 3 bulan. Sebuah perjuangan yang sia-sia! para “wakil” kita terjebak pada hal-hal teknis, bukan substansi.


Kedua, dengan tidak dibahasnya masalah substansi persoalan yang menjadi agenda, yakni busung lapar dan polio, semakin memperparah citra lembaga yang dikatakan oleh Gus Dur sebagai “taman kanak-kanak” ini. Setelah sekian panjang daftar “borok parlemen” yang sudah terungkap ke publik, kini ditambah satu lagi dengan “borok” gagalnya hak interpelasi. Anggota parlemen lebih asik bertanya kenapa presiden tidak datang daripada kenapa masalah busung lapar dan polio masih terjadi ditengah kondisi perekonomian yang terus membaik.


Dewan Perwakilan Partai


Sekali lagi, hati masyarakat terluka. Dewan Perwakilan Rakyat yang diharpakan bisa memperjuangkan kepentingan masyarakat, jauh panggang dari api. Anggota DPR, malah menjadikan penderitaan masyarakat sebagai komoditi politik untuk memperoleh keuntungan sesaat. Gagalnya hak interpelasi, dengan tidak menyentuh masalah substansi sama sekali, lagi-lagi menjadi bukti bahwa DPR bukan merupakan Dewan Perwakilan Rakyat. Melainkan, Dewan Perwakilan Partai.


Parlemen yang seharusnya bisa menjadi kekuatan penyeimbang pemerintah (check and balance) guna memperjuangkan kepentingan masyarakat, malah terjebak oleh kepentingannya sendiri. Kekuatan oposisi yang ada diparlemen selama ini, hanya bertujuan untuk “menjatuhkan”, bukan mencari jalan keluar!


Sebenarnya, kampanye yang dilakukan oleh para “wakil partai” ini sudah tepat. Yakni, melakukan koreksi terhadap kinerja pemerintah tentang masalah sosial kemasyarakatan yang menimpa negeri ini. Hanya, sekali lagi, cara yang mereka tempuh kurang elegan. Seandainya mereka bisa “mempercantik kampanye terselubung” ini, maka hati masayarakat, ke depan, akan jatuh kepangkuan partai-partai yang ada.


Namun lagi-lagi, “permainan kasar” ditunjukkan oleh DPR kita. Kepentingan untuk mencari popularitas, ditempuh dengan cara-cara yang salah. Yang mereka pikirkan bukan bagaimana cara memberantas busung lapar dan polio di negeri ini. Melainkan, hanya ingin menunjukkan bahwa partai mereka, seolah-olah, peduli kepada masyarakat. Padahal, mereka hanya “mencari muka” dan “menjilat” simpati rakyat.


Memang, eksistensi partai politik tetap diperlukan. Tetapi, kita semua tidak perlu atau tidak boleh terlalu menggantungkan harapan. Karena fungsi partai saat ini yang mereka jalankan, masih pada batas bagaimana cara memperoleh dan mempertahankan kekuasaan politik semata.


Karena itu, dalam menghadapi kehidupan sehari-hari yang makin sulit saat ini, rakyat sudah tidak bisa terlalu banyak berharap kepada DPR. Rakyat harus memperjuangkan kepentingannya sendiri. Oleh karena itu, jika DPR ingin memperbaiki citranya, maka sudah waktunya mereka “bermain” secara elegan untuk mengambil hati masyarakat. Agar, pada pemilu berikutnya, kepercayaan masyarakat kepada mereka menjadi lebih baik. Dan stempel DPR sebagai Dewan perwakilan Partai bisa diperbaiki menjadi Dewan Perwakilan Rakyat yang sebenarnya. Aab

Baca Selengkapnya...

Menimbang Hak Pilih Anggota TNI

Oleh : Abdul Hakim MS.

Sinar Harapan, 13 Oktober 2006

Pemilihan umum 2009 masih tiga tahun lagi digulirkan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang baru pun masih belum dibentuk. Revisi terhadap UU Pemilu juga belum dilakukan. Akan tetapi, isu panas sudah mulai menggelinding terkait dengan pesta demokrasi ini. Sepekan terakhir, partai politik, para pengamat, dan kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM), sibuk berdebat, berdiskusi, dan mencari solusi tentang hak pilih anggota TNI yang pada pemilu 2009 mendatang, akan aktif kembali.

Mengacu pada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri, memang, anggota kedua institusi ini tidak akan menggunakan hak pilihnya paling lama hingga tahun 2004. Tap MPR ini kemudian dipertegas dengan keluarnya UU Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilu. Dalam pasal 145 UU no. 12 tahun 2003 menyebutkan, anggota TNI dan anggota Polri tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu 2004 lalu. Itu artinya, besar kemungkinan, atau bahkan pasti, hak pilih TNI akan pulih pada pemilu 2009 mendatang.

Kondisi ini kemudian menyulut pro dan kontra di tengah masyarakat. Sebagian kalangan khawatir, ketika hak pilih anggota TNI dikembalikan, secara lambat laun, ia akan come back lagi ke dunia politik. Implikasinya, TNI akan berperan ganda seperti masa Orde Baru (Orba). Lebih ekstrem lagi, TNI ditakutkan hanya akan menjadi alat kekuasaan bagi status quo guna melanggengkan jabatannya.

Bagi yang sepakat dengan diberikannya hak pilih anggota TNI, mereka mempunyai argumentasi tersendiri. sebagai warga negara, TNI juga memiliki hak untuk menyuarakan aspirasinya. Dan hak yang sudah melekat itu tidak bisa dibatasi hanya karena alasan profesi. Sebagai negara demokrasi, tidak dibenarkan ada diskriminasi. Dan jika ada pembatasan terhadap hak memilih ini, berarti ada pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).
Pro dan kontra seperti ini, sah-sah saja dalam bingkai negara demokrasi. Namun yang menggelitik untuk dicari jawabannya, kenapa hak pilih TNI ini begitu sensitif? Padahal secara nominal, sebenarnya jumlah TNI tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan jumlah pemilih yang lain?

Trauma berkepanjangan

Memang, secara nominal, jumlah anggota TNI sebenarnya tidak terlalu signifikan untuk mempengaruhi hasil pemilu. Personil TNI yang ada di negeri ini tidak sampai pada angka 400.000 orang. Jumlah ini sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah pemilih pada pemilu tahun 2004 misalnya, yang mencapai 113 juta lebih pemilih. Jumlah TNI ini hanya sekitar 0,35 persennya!

Namun sepertinya bukan masalah jumlah pemilih yang menjadi polemik, melainkan masalah ekses. Sejarah panjang perjalanan TNI dan Polri, telah memberikan ”stempel hitam” bagi kedua lembaga ini. Pengalaman kita sebagai bangsa, telah lengkap menghadirkan potret buram relasi penguasa dengan TNI. Di masa Orde Baru, hubungan antara Presiden dan TNI amatlah kolutif. Keduanya tidak lebih bagai seorang tuan dan budak. Apa pun kebijakan yang dikeluarkan oleh Soeharto, akan disambut dengan baik oleh TNI. Bahkan bila perlu, akan dilakukan dengan berbagai cara. Akibatnya, Soeharto dapat bertahan hingga lebih dari 32 tahun.

Melalui peran dwifungsi saat itu, TNI menjadi alat yang efektif bagi penguasa untuk mengukuhkan kekuasaanya. TNI dijadikan ”alat gebuk” pemerintah untuk menghantam lawan-lawan politiknya. Masih hangat dalam ingatan kita tentang kasus yang menimpa salah satu partai nasionalis ”pembangkang” pemerintah pada 1996 lalu. partai ini harus rela menerima kenyataan kantornya diobrak-abrik. Disinyalir, pelakunya adalah kalangan anggota TNI.
Belum lagi, sistem komando yang kuat dalam lingkup TNI. Bisa jadi, TNI nantinya dijadikan sebagai sarana mobilisasi massa untuk mengumpulkan suara. Contoh kasus betapa TNI dan Polri sangat berpengaruh dalam pengumpulan suara, terjadi pada pemilu 2004 lalu. Seorang anggota Polri bisa mempengaruhi pemilih dilingkungan keluarga besar Polri yang menggunakan hak pilih, baik anak, mertua, istri, veteran dan lainnya. Bahkan, mobil TNI pernah terlibat dalam mobilisasi pengumpulan suara di pesantren Az Zaitun.

Trauma seperti inilah yang kemudian menjadi landasan kenapa TNI tidak harus diberikan hak memilih dalam pemilu. Bahkan, suara mayoritas masyarakat, yang tercermin dari sebuah hasil poling harian terkemuka di jakarta, mengharap agar hak memilih TNI ditiadakan pada pemilu 2009 nanti. Mengingat, reformasi internal TNI belum selesai dilakukan.

Reformasi internal TNI

Sejatinya, kehawatiran memang perlu ada agar kita selalu waspada. Namun, kehati-hatian jangan sampai memotong hak-hak orang lain, termasuk hak anggota TNI untuk menentukan pilihannya dalam pemilu. Siapapun ia, apapun profesinya, sebagai warga negara, seharusnya diberikan kesempatan untuk bisa menentukan siapa yang akan memimpinnya, tidak terkecuali TNI.

Terkait dengan kehawatiran tentang kembalinya TNI ke pentas politik, bukan berarti menjadikan kita membabi buta dalam membatasi hal-hak anggota TNI. Semangat reformasi internal yang tertuang dalam ”paradigma Baru Peran TNI” yang ditandatangani oleh Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada 5 Oktober 1998, adalah cerminan TNI sudah mulai berubah.

Niat dan komitmen untuk mereformasi diri tersebut, kemudian diwadahi secara formal oleh wakil-wakil rakyat melalui TAP MPR-RI Nomor : VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, dan Tap MPR-RI Nomor : VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Dan dikukuhkan kembali melalui UU Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.

Dalam kedua Tap MPR ini, TNI bertekad akan menjadi alat pertahanan yang profesional dan menarik diri dari panggung politik. Bahkan sebagai konsekwensinya, TNI harus rela keluar dari gedung wakil rakyat sesuai amanat Tap MPR-RI Nomor : VII/MPR/2000. Pada pasal 5 ayat (4) disebutkan, keikutsertaan TNI dalam menentukan arah kebijakan nasional disalurkan melaui MPR paling lama sampai dengan 2009. Dan sebelum tahun itu datang, TNI sudah dengan ”legowo” menyingkir dari gedung wakil rakyat.

Dalam UU Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara –menggantikan UU RI Nomor 20 tahun 1982— menyebutkan, kewenangan TNI antara lain, mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah, melindungi kehormatan dan keselamatan bangsa, melaksanakan Operasi Militer selain perang dan ikut serta secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional.

Implikasi dari kewenangan tersebut, maka TNI harus menghapus Dwi Fungsi ABRI, melikuidasi fungsi kekaryaan serta sosial politik TNI, serta penghapusan keberadaan Fraksi TNI/Polri di lembaga legislatif. Dan itu semua sudah dilakukan secara baik oleh TNI. Akankah kita masih membatasi haknya untuk memilih dalam pemilu?

Perketat aturan

Di negara-negara yang boleh dibilang sudah demokrastis, tidak ada lagi pembatasan terhadap hak pilih anggota TNI. Semua warga negara dianggap sama untuk bisa menyuarakan aspirasinya melalui pemilu. Amerika, sebagai kiblat demokrasi, juga tidak melarang tentaranya mengeluarkan pilihannya dalam pemilu.

Sudah saatnya, TNI diberikan hak pilih pada pemilu 2009 mendatang. Karena jika tidak, kita akan memposisikan TNI pada masa transisi yang permanen. Dan hal itu sangat tidak kondusif bagi TNI untuk bisa mereformasi dirinya sendiri.

Masalah ketakutan TNI akan menyalahgunakan wewenangnya, bisa diatasi dengan memperketat aturan main pada saat pemungutan suara. Misalnya, TNI tidak boleh memakai seragam ketika mencoblos, atau TNI tidak boleh mencoblos dibarak, serta aturan-aturan lain yang bisa mengeliminasi kecenderungan penyimpangan. Dan ini bisa dibahas dan dimasukkan dalam revisi UU tentang Pemilu mendatang.

Baca Selengkapnya...

Monday, February 27, 2006

Garuda Kita Bisa Mati Karena Terlalu Lama Terserang Flu...

Masih ingat dengan guyonan burung Garuda yang lagi terserang flu? Sangat tragis! Isu itu kini bukan merupakan sebuah 'joke' lagi. Melainkan, burung Garuda kita memang benar-benar sedang dalam keadaan sakit berat!

Terkait dengan flu burung, Menteri Pertanian Anton Apriyantono menegaskan, Indonesia sudah dalam kondisi darurat. Keadaan ini menuntut sebuah penanganan yang cepat untuk memutus mata rantai penyebaran penyakit tersebut. “Indonesia sudah dalam kondisi mengkhawatirkan, tidak bisa ditangani secara biasa lagi,” ungkap Pak Menteri kemarin (26/02/2006).

Namun anehnya, keadaan darurat ini dibantah oleh “Ibu” Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari. Ia mengatakan, Indonesia tidak dalam keadaan darurat flu burung. “Untuk penyerangan flu burung terhadap unggas mungkin bisa dikatakan darurat. Tapi untuk manusia belum, karena sampai hari ini belum terbukti sudah terjadi penularan dari manusia ke manusia. Yang ada baru dari hewan ke manusia,” kata Ibu menteri kepada TEMPO di Ternate.

Padahal, jumlah korban manusia akibat flu burung ini sudah mencapai 20 orang meningal dunia. Dan 28 orang yang sedang terjangkit. Apakah jumlah 20 nyawa manusia ini bukan keadaan darurat? Apa harus menunggu ratusan atau ribuan korban meninggal lagi baru dikatakan keadaan darurat? Mungkin kalau ibu menteri, atau anak bu menteri, atau suami bu menteri yang terserang, baru dikatakan keadaan darurat kali ya? Nyawa 20 orang dianggap tidak penting sebelum keluarganya sendiri yang terkena!

Nah, kalau sudah begini, gimana? Bisa-bisa, Burung Garuda kita juga ikut meninggal. Karena flu yang diidapnya sudah cukup lama. Garuda sudah letih membentangkan sayap karena penyakitnya tidak sembuh-sembuh. Masalah sosial, politik, ekonomi, keamanan, dan segunung masalah lainnya, sudah cukup berat dipanggulnya.

Tapi tenang burung Garuda. Bapak-bapak kita yang ada di atas, sudah menganggarkan 2,1 triliun untuk bisa menyembuhkanmu. 2,1 triliun hanya untuk penanganan flu burung, yang salah satunya sekarang kamu idap. Cepat sembuh ya Garuda! Biar sayapmu tidak lunglai lagi!

Baca Selengkapnya...

Friday, February 24, 2006

"Meja Politik" Panglima TNI

Oleh : Abdul Hakim MS

Koran Sindo, 02 Februari 2006

Setelah menunggu sekian lama, pertanyaan publik tentang siapa yang akan diajukan presiden untuk menjadi panglima TNI, akhirnya terjawab. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyodorkan nama Marsekal (Udara) Djoko Suyanto kepada DPR untuk menggantikan Jenderal Edriartono Sutarto. Dan, ini pun mengakhiri sekian banyak spekulasi tentang siapa yang akan mengisi jabatan tertinggi di tentara ini.

Namun, masalah timbul ketika Djoko Suyanto harus menjalani feat and proper test di DPR. Sebagian kalangan merisaukan hal ini karena rentan nuansa politis. Oleh karena itu perlu untuk ditinjau kembali. Namun pendapat di pihak lain, persetujuan DPR mutlak dibutuhkan agar TNI tidak disalahgunakan menjadi alat penguasa seperti di zaman Orde Baru.

Seperti diketahui, ide bahwa jabatan panglima TNI tidak harus melalui persetujuan DPR, meluncur dari panglma TNI Jenderal Endriartono Sutarto. Dua hari kemudian, Menteri Pertahanan (Menhan) Juwono Sudarsono pun mengeluarkan gagasan yang sama. Alasannya, panglima TNI merupakan jabatan profesional, bukan jabatan politik. Ketika harus melalui persetujuan DPR, tarik ulur kepentingan politik tidak akan bisa dihindarkan.

Spontan, gagasan ini mendapat kritik dari kalangan anggota DPR. Lukman Hakim Saifudin dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (Jawa Tengah VI), menghawatirkan bahwa gagasan yang muncul ini akan menggiring institusi TNI kembali menjadi alat kekuasan seperti zaman Orba. Oleh karenanya, uji kelayakan dari DPR, masih harus dilakukan untuk melakukan kontrol terhadap kinerja lembaga yang sah secara UU dalam menggunakan senjata ini.

Pro dan kontra dari kedua pendapat ini, sah-sah saja dalam bingkai negara demokrasi. Politisasi jabatan panglima TNI, adalah bagian proses dari transparansi dalam mengambil sebuah kebijakan. Apalagi, TNI tidak hanya berhubungan dengan presiden, melainkan juga dengan Menteri Pertahanan, DPR, dan Dewan Pertahanan Nasional.

Namun ada hal yang menggelitik. Kebanyakan, yang menentang dihilangkannya ‘kewajiban’ calon panglima TNI untuk ‘sowan’ ke DPR, datang dari kalangan partai politik. Yang menjadi pertanyaan, mengapa jabatan panglima TNI ini sangat diinginkan oleh partai politik?

Hak Pilih dalam Pemilu

Jika ditelisik dari sisi manapun, Djoko Suyanto adalah orang yang layak untuk diberikan giliran menjadi panglima TNI. Selama ini, kedudukan panglima TNI selalu diisi oleh angkatan darat. Namun angkatan laut juga pernah merasakan jabatan ini ketika Abdurrahman Wahid memberikan kepercayaan kepada Laksamana (laut) Widodo AS.

Lalu kenapa PDI-P masih ngotot untuk mencalonkan Jenderal Ryamizard Ryacudu untuk menjadi calon panglima TNI? Ini tidak lain dilatarbelakangi oleh strategisnya posisi panglima TNI untuk kepentingan komoditas pada pemilu 2009 nanti.

Sebagai pihak yang kemungkinan maju dalam pemilu 2009 nanti, megawati pasti sudah memperhitungkan secara matang tentang besarnya jumlah pemilih di kalangan TNI. Apalagi ditambah dengan organisasi-organisasi dibawah TNI --baik secara langsung maupun yang tidak-- akan menjanjikan dulangan suara yang cukup meyakinkan.

Memang, pada pemilu 2004 lalu, TNI kehilangan hak istimewanya. Mereka harus rela menanggalkan keinginan untuk menyampaikan aspirasi politiknya melalui pemilu. Bahkan, mereka juga harus rela tersingkir dari jatah kursi parlemen sebagai implikasi derasnya tuntutan agar TNI back to barrac dan menjadi tentara yang profesional.

Namun akan berbeda menjelang pemilu 2009 nanti. Hak memilih TNI dalam pemilu akan kembali ada. Hal ini mengacu pada pasal 145 UU no. 12/2003 yang menyebutkan bahwa pada pemilu 2004, anggota TNI dan anggota Polri tidak menggunakan hak pilihnya. Artinya, pada pemilu 2009 nanti, besar kemungkinan anggota TNI dan anggota Polri sudah bisa menggunakan hak pilihnya lagi.

Meskipun TNI dan Polri masih banyak mendapatkan pembatasan peran politik, namun posisi strategis TNI dan Polri pada pemilu 2009 ini, mengundang partai politik untuk bisa menuai berkah darinya. Partai politik akan berusaha maksimal agar dapat “menempatkan orangnya” menjadi panglima TNI. Karena dengan begitu, TNI bisa dimobilisasi untuk mengumpulkan suara melalui sistem komando yang kuat.

Contoh kasus betapa TNI dan Polri sangat berpengaruh dalam pengumpulan suara, terjadi pada pemilu 2004 lalu. Seorang anggota Polri bisa mempengaruhi pemilih dilingkungan keluarga besar Polri yang menggunakan hak pilih, baik anak, mertua, istri, veteran dan lainnya. Bahkan, mobil TNI pernah terlibat dalam mobilisasi pengumpulan suara di pesantren Az Zaitun.

Memotong ”Meja politik” Panglima TNI

Jabatan Panglima TNI memang sangat rentan untuk bisa diselewengkan. Kasus mobilisasi pengumpulan suara di Pondok pesantren Az Zaitun pada pemilu 2004 lalu, adalah salah satunya. Oleh karena itu, masihkan proses pengangkatan Panglima TNI ini harus melalui DPR yang rentan dengan kepentingan partai politik?

Ada dua persoalan ketika jabatan Panglima TNI ini masih melalui DPR. Pertama, apabila Panglima TNI dalam pengangkatannya harus melalui parlemen, mau tidak mau, proses politisasi partai politik akan ikut mewarnai. Hal ini dikarenakan posisi TNI yang sangat strategis dalam pemilu atau dalam persoalan lainnya. Padahal, ini tidak lazim karena Panglima TNI adalah jabatan teknis-operasional untuk mengembangkan perencanaan, strategi, dan doktrin operasi militer gabungan, bukan jabatan publik yang mempunyai pertanggungjawaban politik.

Kedua, apabila pengangkatan Panglima TNI masih melalui proses politik DPR, dapat melahirkan politisasi jabatan Panglima TNI. Hal ini sangat rentan karena dapat mengakibatkan dilema jabatan. Bisa saja, Panglima TNI merasa mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada seorang Menteri pertahanan. Karena Menteri pertahanan dalam proses pengangkatanya tidak melalui DPR. Keadaan ini bisa menyulitkan hubungan institusional Dephan dan Mabes TNI. Otoritas politik Dephan sedikit luntur atas institusi militer.

Selain dua persoalan diatas, masih banyak yang menjadi rentetatan masalah lain ketika seorang Panglima TNI masih harus melalui ”meja politik” DPR. Utang budi politik kepada parpol, pasti akan terjadi. Oleh karena itu, UU No. 34 tahun 2004 tentang pengngkatan Panglima TNI perlu untuk diamandemen. Harus ditegaskan, bahwa dalam pemilihan Panglima TNI menjadi hak prerogatif presiden. TNI hanya memegang pertanggungjawaban operasional, bukan pertanggungjawaban politik yang sudah menjadi bagian Menteri pertahanan.

Dengan begitu, seorang Panglima TNI bisa melaksankan tugasnya secara profesional. Semangat yang sudah dibangun dengan mengsampingkan dunia politik, selalu dapat dijaga. Karena seperti orang inggris bilang ”tidak ada makan siang gratis”. Pun dalam dunia politik, ”tidak ada yang gratis bagi partai politik untuk mendorong seseorang menduduki jabatan tertentu”.

Baca Selengkapnya...

Untuk Sebuah Pembuka...

Ide dan inspirasi manusia memang tidak pernah ada batasnya. Ia selalu bergerak maju, melalui suatu proses yang disebut oleh Hegel, sebagai dialektika. Proses pergerakan maju itu tidak akan pernah berhenti dan terhenti. Mungkin, hanya kebinasaan manusia yang dapat mengakhirinya!

Gerak maju ide itu berawal dari sebuah tesis. Dalam perjalanannya, tesis itu akan memunculkan kontra tesis yang disebut Hegel sebagai anti-tesis. Dan dari keduanya, muncul sebuah benturan yang akan melahirkan sintesis. Sintesis ini, lama kelamaan akan berubah menjadi tesis yang kemudian memunculkan anti-tesis baru dan akan berubah lagi menjadi sintesis. Dan gerak ini terus melaju hingga ditemukan tesis yang dianggap sempurna.

Dengan mengutip teori yang biasa disebut dengan dialektika ini, saya hanya ingin mengatakan bahwa inspirasi manusia itu akan terus mengembara hingga tanpa batas (unlimited). Itu artinya, harus banyak wahana yang bisa menjadi instrumental bagi manusia sebagai tempat aktualisasi ide-ide tersebut.

Selain itu, sudah menjadi fitrah dan kodrati manusia --sebagai makhluk sosial dan zone politikon-- ingin mendapatkan apresiasi dari pemikiran-pemikirannya. Manusia selalu berusaha menularkan, mendapatkan kritikan, mendapatkan masukan, dan berbagi informasi serta ide untuk dapat bersosialisai diantara sesamanya.

Oleh karena itu, untuk menjembatani ide dan gagasan yang tanpa batas dari manusia itu, serta keinginan untuk berbagi antar sesama, Blog http://abdul-hakim.blogspot.com/ ini berkeinginan mendapatkan apreseasi dari kawan-kawan yang rela berkunjung untuk memberi komentar. kita bebas-bebas saja berbicara. Asalkan, semuanya bisa dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya, semoga ide yang diberikan Tuhan, bisa selalu mengalir dan memberi kemaslahatan bagi manusia dan alam semesta.

Salam kebebasan bersuara...


Aab Saja

Baca Selengkapnya...