Oleh : Abdul Hakim MS
Suara Karya, Sabtu, 30 September 2006
Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 masih tiga tahun lagi digulirkan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang baru pun masih belum dibentuk. Revisi terhadap UU Pemilu juga belum dilakukan. Akan tetapi, isu panas sudah mulai menggelinding terkait dengan pesta demokrasi ini. Sepekan terakhir, partai politik, para pengamat, dan kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM), sibuk berdebat, berdiskusi, dan mencari solusi tentang hak pilih anggota TNI pada Pemilu 2009 mendatang, akan aktif kembali.
Bila mengacu pada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri, memang, anggota kedua institusi ini tidak akan menggunakan hak pilihnya paling lama hingga tahun 2004. Tap MPR ini kemudian dipertegas dengan keluarnya UU Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilu. Dalam pasal 145 UU no. 12 tahun 2003 menyebutkan, anggota TNI dan anggota Polri tidak menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2004 lalu.
Sebagian kalangan khawatir, ketika hak pilih anggota TNI dikembalikan, lambat laun ia akan come back lagi ke dunia politik. Implikasinya, TNI akan berperan ganda seperti masa Orde Baru (Orba). TNI dikhawatirkan akan menjadi alat bagi status quo guna melanggengkan jabatannya.
Bagi yang sepakat dengan diberikannya hak pilih anggota TNI, mereka mempunyai argumentasi tersendiri. Sebagai warga negara, TNI juga memiliki hak untuk menyuarakan aspirasinya. Dan hak yang sudah melekat itu tidak bisa dibatasi hanya karena alasan profesi. Jika ada pembatasan terhadap hak memilih ini, berarti ada pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM). Pro dan kontra sah-sah saja dalam bingkai negara demokrasi.
Memang, secara nominal, jumlah anggota TNI sebenarnya tidak terlalu signifikan untuk memengaruhi hasil pemilu. Personel TNI yang ada di negeri ini tidak sampai 400.000 orang. Jumlah ini sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah pemilih pada Pemilu 2004 misalnya, yang mencapai 113 juta lebih pemilih.
Namun sepertinya bukan masalah jumlah pemilih yang menjadi polemik, melainkan masalah ekses. Sejarah panjang perjalanan TNI dan Polri telah memberikan "stempel hitam" bagi kedua lembaga tersebut. Pengalaman kita sebagai bangsa, telah lengkap menghadirkan potret buram relasi penguasa dengan TNI. Di masa Orde Baru, hubungan antara presiden dan TNI amatlah kolutif.
Melalui peran dwifungsi saat itu, TNI menjadi alat yang efektif bagi penguasa untuk mengukuhkan kekuasaannya. TNI dijadikan "alat gebuk" pemerintah untuk menghantam lawan-lawan politiknya.
Belum lagi, sistem komando yang kuat dalam lingkup TNI. Bisa jadi, TNI nantinya dijadikan sebagai sarana mobilisasi massa untuk mengumpulkan suara. Contoh kasus betapa TNI dan Polri sangat berpengaruh dalam pengumpulan suara, terjadi pada Pemilu 2004 lalu. Seorang anggota Polri bisa memengaruhi pemilih di lingkungan keluarganya yang menggunakan hak pilih. Bahkan, mobil TNI pernah terlibat dalam mobilisasi pengumpulan suara di Pesantren Az Zaitun.
Trauma seperti inilah yang kemudian menjadi landasan kenapa TNI tidak harus diberikan hak memilih dalam pemilu. Bahkan, suara mayoritas masyarakat, yang tercermin dari sebuah hasil poling harian terkemuka di Jakarta mengharap agar hak memilih TNI ditiadakan pada Pemilu 2009 nanti.
Kekhawatiran tentang kembalinya TNI ke pentas politik, bukan berarti menjadikan kita membabi buta dalam membatasi hal-hak anggota TNI. Semangat reformasi internal yang tertuang dalam "paradigma baru peran TNI" yang ditandatangani oleh Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada 5 Oktober 1998, adalah cerminan TNI sudah mulai berubah.
Niat dan komitmen untuk mereformasi diri tersebut, dituangkan dalam TAP MPR-RI Nomor: VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, dan Tap MPR-RI Nomor: VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Dan dikukuhkan kembali melalui UU Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Dalam kedua Tap MPR ini, TNI bertekad akan menjadi alat pertahanan yang profesional dan menarik diri dari panggung politik. Bahkan sebagai konsekuensinya, TNI harus rela keluar dari gedung wakil rakyat sesuai amanat Tap MPR-RI Nomor: VII/ MPR/2000. Pada pasal 5 ayat (4) menyebutkan, keikutsertaan TNI dalam menentukan arah kebijakan nasional disalurkan melaui MPR paling lama sampai dengan 2009. Dan sebelum tahun itu datang, TNI sudah dengan legowo menyingkir dari gedung wakil rakyat.
Dalam UU Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara -menggantikan UU RI Nomor 20 tahun 1982- disebutkan tentang kewenangan TNI. Kewenangan itu, antara lain, mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah, melindungi kehormatan dan keselamatan bangsa, melaksanakan operasi militer selain perang dan ikut serta secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional.
Implikasi dari kewenangan tersebut, maka TNI harus menghapus Dwi Fungsi ABRI, melikuidasi fungsi kekaryaan serta sosial politik TNI, serta penghapusan keberadaan Fraksi TNI/Polri di lembaga legislatif. Dan, itu semua sudah dilakukan secara baik oleh TNI.
Di negara-negara yang boleh dibilang sudah demokrastis, tidak ada lagi pembatasan terhadap hak pilih anggota TNI. Semua warga negara dianggap sama untuk bisa menyuarakan aspirasinya melalui pemilu. Amerika, sebagai kiblat demokrasi, juga tidak melarang tentaranya mengeluarkan pilihannya dalam pemilu.
Sudah saatnya, TNI diberikan hak pilih pada Pemilu 2009 mendatang. Jika tidak, kita akan memosisikan TNI pada masa transisi yang permanen. Hal itu sangat tidak kondusif bagi TNI untuk bisa mereformasi dirinya sendiri.
Masalah ketakutan TNI akan menyalahgunakan wewenangnya, bisa diatasi dengan memperketat aturan main pada saat pemungutan suara. Misalnya, TNI tidak boleh memakai seragam ketika mencoblos, atau TNI tidak boleh mencoblos di barak, serta aturan-aturan lain yang bisa mengeliminasi kecenderungan penyimpangan. Hal ini bisa dibahas dan dimasukkan dalam revisi UU tentang pemilu mendatang.
Suara Karya, Sabtu, 30 September 2006
Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 masih tiga tahun lagi digulirkan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang baru pun masih belum dibentuk. Revisi terhadap UU Pemilu juga belum dilakukan. Akan tetapi, isu panas sudah mulai menggelinding terkait dengan pesta demokrasi ini. Sepekan terakhir, partai politik, para pengamat, dan kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM), sibuk berdebat, berdiskusi, dan mencari solusi tentang hak pilih anggota TNI pada Pemilu 2009 mendatang, akan aktif kembali.
Bila mengacu pada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri, memang, anggota kedua institusi ini tidak akan menggunakan hak pilihnya paling lama hingga tahun 2004. Tap MPR ini kemudian dipertegas dengan keluarnya UU Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilu. Dalam pasal 145 UU no. 12 tahun 2003 menyebutkan, anggota TNI dan anggota Polri tidak menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2004 lalu.
Sebagian kalangan khawatir, ketika hak pilih anggota TNI dikembalikan, lambat laun ia akan come back lagi ke dunia politik. Implikasinya, TNI akan berperan ganda seperti masa Orde Baru (Orba). TNI dikhawatirkan akan menjadi alat bagi status quo guna melanggengkan jabatannya.
Bagi yang sepakat dengan diberikannya hak pilih anggota TNI, mereka mempunyai argumentasi tersendiri. Sebagai warga negara, TNI juga memiliki hak untuk menyuarakan aspirasinya. Dan hak yang sudah melekat itu tidak bisa dibatasi hanya karena alasan profesi. Jika ada pembatasan terhadap hak memilih ini, berarti ada pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM). Pro dan kontra sah-sah saja dalam bingkai negara demokrasi.
Memang, secara nominal, jumlah anggota TNI sebenarnya tidak terlalu signifikan untuk memengaruhi hasil pemilu. Personel TNI yang ada di negeri ini tidak sampai 400.000 orang. Jumlah ini sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah pemilih pada Pemilu 2004 misalnya, yang mencapai 113 juta lebih pemilih.
Namun sepertinya bukan masalah jumlah pemilih yang menjadi polemik, melainkan masalah ekses. Sejarah panjang perjalanan TNI dan Polri telah memberikan "stempel hitam" bagi kedua lembaga tersebut. Pengalaman kita sebagai bangsa, telah lengkap menghadirkan potret buram relasi penguasa dengan TNI. Di masa Orde Baru, hubungan antara presiden dan TNI amatlah kolutif.
Melalui peran dwifungsi saat itu, TNI menjadi alat yang efektif bagi penguasa untuk mengukuhkan kekuasaannya. TNI dijadikan "alat gebuk" pemerintah untuk menghantam lawan-lawan politiknya.
Belum lagi, sistem komando yang kuat dalam lingkup TNI. Bisa jadi, TNI nantinya dijadikan sebagai sarana mobilisasi massa untuk mengumpulkan suara. Contoh kasus betapa TNI dan Polri sangat berpengaruh dalam pengumpulan suara, terjadi pada Pemilu 2004 lalu. Seorang anggota Polri bisa memengaruhi pemilih di lingkungan keluarganya yang menggunakan hak pilih. Bahkan, mobil TNI pernah terlibat dalam mobilisasi pengumpulan suara di Pesantren Az Zaitun.
Trauma seperti inilah yang kemudian menjadi landasan kenapa TNI tidak harus diberikan hak memilih dalam pemilu. Bahkan, suara mayoritas masyarakat, yang tercermin dari sebuah hasil poling harian terkemuka di Jakarta mengharap agar hak memilih TNI ditiadakan pada Pemilu 2009 nanti.
Kekhawatiran tentang kembalinya TNI ke pentas politik, bukan berarti menjadikan kita membabi buta dalam membatasi hal-hak anggota TNI. Semangat reformasi internal yang tertuang dalam "paradigma baru peran TNI" yang ditandatangani oleh Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada 5 Oktober 1998, adalah cerminan TNI sudah mulai berubah.
Niat dan komitmen untuk mereformasi diri tersebut, dituangkan dalam TAP MPR-RI Nomor: VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, dan Tap MPR-RI Nomor: VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Dan dikukuhkan kembali melalui UU Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Dalam kedua Tap MPR ini, TNI bertekad akan menjadi alat pertahanan yang profesional dan menarik diri dari panggung politik. Bahkan sebagai konsekuensinya, TNI harus rela keluar dari gedung wakil rakyat sesuai amanat Tap MPR-RI Nomor: VII/ MPR/2000. Pada pasal 5 ayat (4) menyebutkan, keikutsertaan TNI dalam menentukan arah kebijakan nasional disalurkan melaui MPR paling lama sampai dengan 2009. Dan sebelum tahun itu datang, TNI sudah dengan legowo menyingkir dari gedung wakil rakyat.
Dalam UU Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara -menggantikan UU RI Nomor 20 tahun 1982- disebutkan tentang kewenangan TNI. Kewenangan itu, antara lain, mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah, melindungi kehormatan dan keselamatan bangsa, melaksanakan operasi militer selain perang dan ikut serta secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional.
Implikasi dari kewenangan tersebut, maka TNI harus menghapus Dwi Fungsi ABRI, melikuidasi fungsi kekaryaan serta sosial politik TNI, serta penghapusan keberadaan Fraksi TNI/Polri di lembaga legislatif. Dan, itu semua sudah dilakukan secara baik oleh TNI.
Di negara-negara yang boleh dibilang sudah demokrastis, tidak ada lagi pembatasan terhadap hak pilih anggota TNI. Semua warga negara dianggap sama untuk bisa menyuarakan aspirasinya melalui pemilu. Amerika, sebagai kiblat demokrasi, juga tidak melarang tentaranya mengeluarkan pilihannya dalam pemilu.
Sudah saatnya, TNI diberikan hak pilih pada Pemilu 2009 mendatang. Jika tidak, kita akan memosisikan TNI pada masa transisi yang permanen. Hal itu sangat tidak kondusif bagi TNI untuk bisa mereformasi dirinya sendiri.
Masalah ketakutan TNI akan menyalahgunakan wewenangnya, bisa diatasi dengan memperketat aturan main pada saat pemungutan suara. Misalnya, TNI tidak boleh memakai seragam ketika mencoblos, atau TNI tidak boleh mencoblos di barak, serta aturan-aturan lain yang bisa mengeliminasi kecenderungan penyimpangan. Hal ini bisa dibahas dan dimasukkan dalam revisi UU tentang pemilu mendatang.
No comments:
Post a Comment