Wednesday, July 18, 2012

Menggugat Survei Politik

Oleh : Abdul Hakim MS


Quick count atau hitung cepat yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei dan media massa terhadap hasil Pilkada DKI Jakarta 11 Juli 2012 lalu menyembulkan kontrovesi. Meski masih harus menunggu pengumuman resmi dari KPU, hasil quick count menyiratkan bahwa pasangan Jokowi-Ahok unggul dalam kontestasi menuju DKI-1.

Hal itu terlihat dari hasil quick count Litbang Kompas, misalnya, yang menempatkan pasangan Jokowi-Ahok pada posisi pertama dengan menggamit suara sebesar 42.59%, disusul pasangan Foke-Nara di urutan kedua dengan perolehan suara sebesar 34.32%. Hasil hitung cepat beberapa lembaga survei lain juga menunjukkan perolehan suara yang tak jauh berbeda dengan Litbang Kompas.

Syahdan, hasil ini menuai polemik. Bukan pada hasil hitung cepatnya, melainkan kenyataan bahwa pasangan incumbent Foke-Nara dikalahkan oleh pasangan Jokowi-Ahok. Padahal, seminggu sebelum hari pemungutan suara, berbagai lembaga survei mengeluarkan prediksi bahwa pasangan Foke-Nara akan memenangi kontestasi. Bahkan, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang juga menjadi konsultan pasangan Foke-Nara, dengan sangat yakin memproyeksi bahwa pasangan yang ia nasehati itu bisa saja memenangi pilkada dengan satu putaran saja.

Kenyataan di atas menyebabkan banyak kalangan menggugat lembaga penyelenggara survei opini publik. Tak akuratnya prediksi yang dilakukan, menyembulkan pertanyaan tentang metodologi yang digunakan. Pun demikian halnya dengan etika pollster yang mempublikasikan hasil risetnya, padahal ia merupakan konsultan politik kandidat yang ikut berkompetisi.

Namun di luar itu, ada pertanyaan yang cukup menggelitik, yakni apa yang terjadi sehingga pasangan Foke-Nara yang dijagokan banyak lembaga survei bisa kalah dalam Pilkada DKI Jakarta? 


Underdog Effect

Melihat fenomena yang terjadi di Pilkada DKI Jakarta ini, saya jadi teringat dengan fenomena yang sama saat pemilihan presiden Amerika Serikat pada tahun 1936. Pada pemilu itu, petahana Franklin Delano Roosevelt berusaha mempertahankan kekuasaanya dalam pemilihan presiden melawan Gubernur Kansas, Alfred M. Landon. Yang paling terkenal dan menjadi perdebatan sengit dalam kampanye keduanya kala itu adalah kebijakan New Deal Roosevelt. 

Sebelum pemilihan, The Literary Digest, sebuah majalah yang cukup terkenal dan selalu berhasil memprediksi kemenangan pemilihan presiden AS sejak 1916, mengeluarkan hasil survei. Majalah mingguan yang didirikan oleh Isaac Kauffman ini memprediksi bahwa Landon sepertinya akan memangi kontestasi dengan selisih 57 : 43 persen. Akan tetapi, saat pemilu berlangsung, prediksi Digest meleset jauh. Roosevelt ternyata memenangi pemilu dengan raihan 62 persen suara. 

Dalam analisis Pierce (1940), kemenangan Roosevelt tak lain disebabkan oleh munculnya underdog effect survei politik. Meski diprediksi kalah, Roosevelt tetap berusaha untuk menunjukkan bahwa dia adalah seorang kandidat yang tangguh, tak dapat ditaklukkan, dan bermental pemenang. Sikap inilah yang kemudian menimbulkan simpati, sentimen positif, dan dukungan yang besar dari masyarakat. Itulah yang disebut Pierce sebagai Underdog Effect dari survei politik.

Apa yang terjadi pada Pilkada DKI beberapa lalu, meski dalam konteks yang berbeda, memiliki kemiripan dengan apa yang terjadi pada pemilu Amerika serikat tersebut. Sebelum pemilihan berlangsung, semua lembaga survei menempatkan pasangan Foke-Nara sebagai pasangan yang sepertinya akan bisa dengan mudah memenangi kontestasi. Berbekal hasil riset, yang salah satunya dilakukan oleh konsultannya sendiri, pasangan Foke-Nara kemudian dengan “pongah” mengkampanyekan pilkada cukup dengan satu putaran saja. Padahal, untuk bisa menang dalam satu putaran, pasangan ini mesti harus menggamit suara 50 persen + 1. Dengan jumlah pasangan calon yang berjumlah enam pasang, untuk mendapatkan suara 50 persen tentu bukanlah perkara mudah.

“Kepongahan” incumbent ini, hemat penulis, membuat pemilih Jakarta jengah. Hal itu dikarenakan incumbent dalam lima tahun ini dipandang nyaris tak berbuat apapun untuk mengurai masalah keseharian yang dihadapi warga Jakarta. Macet masih menjadi pemandangan umum setiap hari, pun demikian dengan banjir di beberapa wilayah yang tak juga teratasi. Tak mengherankan apabila kemudian tingkat kepuasan warga jakarta terhadap kepemimpinan Foke dalam lima tahun ini masih di bawah 50 persen.

Dalam situasi seperti ini, pemilih jakarta kemudian mendapati sosok alternatif pemimpin yang “terbukti” mampu memimpin daerah asalnya. Jokowi yang merupakan Wali Kota Solo, merupakan kepala daerah yang dipandang cukup berhasil oleh masyarakatnya. Setidaknya keberhasilan Jokowi tercermin dari survei terhadap warga Solo yang menempatkan tingkat kepuasan masyarakat di atas 90 persen.

Ditambah publikasi reputasi yang cukup baik, seperti gebrakan mobil Esemka dan gaya kepemimpinan yang luwes, membaur, dan dekat dengan masyarakat, sosok Jokowi seolah bisa memberikan harapan baru bagi perubahan di Jakarta. Hal ini sangat kontras dengan gaya kepemimpinan Foke yang terkesan elitis dan eksklusif. Bagi pemilih Jakarta, apa yang tidak ditemui dalam diri Foke ada di dalam sosok Jokowi.

Dari titik inilah kemudian muncul rasa simpati, sentimen positif, dan dukungan yang besar dari masyarakat Jakarta. Kesan tidak “pongah” di tengah “kepongahan” incumbent, membuat posisi Jokowi bisa menuai underdog effect survei politik seperti yang di tuai oleh Roosevelt pada pemilu Amerika Serikat tahun 1936. Dari sosok yang tidak diunggulkan menjadi sosok yang sangat disanjung dan disayang.

Gagalnya Bandwagon Effect 

Dalam konteks yang lain, munculnya underdog effect menjadikan harapan terjadinya bandwagon effect terhadap publikasi hasil survei pilkada DKI Jakarta tak terpenuhi. Bandwagon effect adalah dampak yang diinginkan agar pemilih yang belum punya pilihan bisa mengikuti suara mayoritas. Seperti kita tahu, survei LSI (lingkaran) seminggu sebelum pemilihan masih menempatkan pasangan Foke-Nara pada tingkat elektabilitas 49,1 persen. Sementara pasangan Jokowi-Ahok berada di angka 14,4 persen.

Melihat elektabilitas Foke-Nara yang sudah di atas angin tersebut, maka hasil survei ini pun di publikasi dengan massif. Dengan hanya kekurangan 1 persen suara saja untuk bisa memenangi pilkada satu putaran, pasangan incumbent kemudian dengan yakin memasang jargon pilkada satu putaran ke seluruh pelosok Jakarta. Namun naas, harapan terjadinya badnwagon effect malah berbalik menjadi underdog effect untuk pasangan Jokowi-Ahok.

Pesan yang bisa ditarik dari situasi ini adalah, secara etis, idealnya lembaga pembaca aspirasi publik ketika merilis hasil surveinya tidak memiliki kepentingan langsung dengan kandidat yang sedang berkompetisi. Karena jika hal itu dilakukan, kecurigaan bahwa hasil riset yang dipublikasikan hanya digunakan sebagai alat untuk mempengaruhi opini masyarakat ke arah yang diharapkan (bandwagon effect) tidak bisa dihindari. Akibatnya, akan banyak gugatan terhadap survei politik seperti saat ini.

Baca Selengkapnya...

Thursday, July 12, 2012

SBY dan Ceruk Resistensi Ical


Meski pilpres 2014 masih dua tahun lagi, namun Partai Golkar sudah sejak dini mendeklarasikan calon presidennya. Adalah Aburizal Bakrie yang didaulat oleh Partai Beringin untuk meretas jalan ke istana. Pendaulatan itu sendiri secara resmi dilakukan dalam forum Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) III Partai Golkar pada tanggal 29-30 Juni lalu di Bogor.

Dalam konteks penguatan demokrasi, pencapresan dini Ical –sapaan akrab Aburizal bakrie- sebenarnya merupakan hal positif. Hal ini menjadi tradisi baru dalam konteks politik Indonesia. Bagi pemilih, pendeklarasian lebih awal ini bisa memberikan ruang yang cukup untuk menilai calon pemimpin yang diusung oleh partai politik secara lebih cermat. Sehingga kehawatiran istilah “membeli kucing dalam karung” bisa dihindarkan. Karena ketika pemilih memutuskan memberi suaranya ke Partai Golkar, rujukan pemimpin yang akan diusung sudah sangat jelas, yakni Ical.


Namun dalam konteks kontestasi politik, pencapresan dini Ical ini akan menghadirkan dua hal penting yang bisa menjadi pengganjal langkahnya menuju istana. Pertama, Ical akan menerima banyak “intrik” dari internal Partai Golkar sendiri. Kedua, Ical akan menerima banyak resistensi dari kalangan pemilih terkait record buram yang melekat pada dirinya. Merujuk pada dua hal ini, pertanyaan menariknya adalah bagaimana kira-kira prospek Ical di Pemilu 2014?



Menguruk Ceruk


Seperti kita tahu, diinternal Partai Golkar, Ical harus dihadapkan pada penolakan pencapresan dirinya dari salah satu tokoh senior berpengaruh, yakni Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Akbar Tandjung. Akbar dalam berbagai kesempatan sudah dengan lantang menolak pencapresan dini Ical ini. Meski sempat kompak menyingkirkan Surya Paloh di arena Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar tahun 2009 lalu di Riau, Akbar sepertinya lebih sreg mencalonkan Jusuf Kalla (JK) di Pemilu 2014. Penyebabnya, Kalla dipandang memiliki tingkat elektabilitas yang lebih baik dibanding Ical. Rekam jejak wakil presiden SBY periode 2004 – 2009 ini juga dinilai jauh mengungguli Ical.

Dengan peresmian pencapresan Ical pada akhir Juni lalu oleh Partai Golkar, bukan berarti Akbar dan JK akan memendam “hasrat” begitu saja untuk menuai mandat dari partai kuning. Gerbong keduanya pasti akan terus “bergerilya” mencari cara “mengkudeta” Ical jadi calon presiden. Jika tingkat elektabilitas Ical tak kunjung kompetitif dengan calon lain, sepertinya kans Akbar dan JK akan terus terbuka.

Selain tantangan resistensi dari internal Partai Golkar sendiri, Ical juga dihadapkan pada catatan buram yang melekat pada dirinya. Setidaknya, saat ini ada dua catatan suram yang siap mereduksi tingkat elektabilitasnya di kalangan pemilih. Pertama adalah terkait bencana luapan Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Bencana tersebut ditengarai akibat kesalahan pengeboran yang dilakukan PT Lapindo Brantas yang merupakan anak perusahaan kelompok usaha Bakrie. Bencana ini telah menyebabkan lebih dari ratusan hektare wilayah pemukiman tenggelam dan puluhan ribu orang mengungsi. Namun, meski sudah hampir enam tahun berlalu, mekanisme penyerahan ganti rugi lahan masih terkatung-katung. 

Naasnya, kejadian ini berada di Pulau Jawa yang jumlah pemilihnya pada pemilu 2009 lalu mencapai 59 persen. Sementara khusus untuk daerah Jawa Timur yang merupakan tempat kejadian bencana luapan lumpur Lapindo, adalah wilayah dengan jumlah pemilih terbesar di Indonesia. 

Catatan buram kedua Ical adalah terkait kasus skandal tunggakan pajak kelompok usaha Bakrie, yaitu PT Kaltim Prima Coal, PT Bumi Resources, dan PT Arutmin. Di berbagai kesempatan persidangan, terdakwa kasus pajak Gayus H. Tambunan berulang kali mengungkapkan bahwa kelompok usaha Bakrie memberikan uang senilai Rp100 miliar kepada dirinya guna memperlancar urusan tunggakan pajak. Namun hingga detik ini, kasus ini tak ada kabar beritanya, meski Gayus sendiri sudah mendekam di balik jeruji penjara.

Dengan dua catatan buram ini, Ical sepertinya harus bekerja ekstra keras untuk menutup ceruk curam resistensi dirinya. Untuk bisa mengendarai Partai Golkar, Ical sudah selangkah lebih maju, yakni mencapreskan diri secara dini. Meskipun kemungkinan manuver internal Partai Golkar tetap akan bisa mengancam kapan saja. Namun untuk bisa mereduksi resistensi pemilih, khususnya di wilayah Jawa, apa upaya yang bisa dilakukan Ical?

Mengipas SBY

Resistensi dari pemilih Jawa memang sepertinya sudah disadari betul oleh Ical. Itu sebabnya, Ical tak segan beriklan dengan membawa simbol-simbol kebudayaan suku Jawa. Misalnya, dalam salah satu iklan di media massa Jawa Timur, Ical berkata "Matur Nuwun" dengan menampilkan Ki Anom Suroto, dalang wayang kulit tersohor dari Solo sebagai bintang tamu. Ical juga memberikan penghargaan terhadap tokoh seniman Jawa. Bahkan, Ical sampai harus rela mencium keris, salah satu simbol perilaku kejawen yang sangat kental, untuk bisa dekat dengan pemilih Jawa.

Trik lain yang digunakan Ical untuk menutup ceruk resistensi dirinya dari pemilih Jawa adalah dengan mencoba menarik perhatian dan dukungan SBY. Caranya, dengan “mengiming-imingi” Ipar dan anak SBY, Pramono Edhie Wibowo dan Edhi Baskoro Yudhoyono, untuk digandeng sebagai wakil presiden mendampingi dirinya di pemilu 2014. Berkali-kali, Ical mengeluarkan statemen bahwa Pramono dan Ibas adalah sosok yang pas untuk mendampingi dirinya sebagai calon wakil presiden.

Apa yang dilakukan Ical ini bukan tanpa alasan. Presiden SBY merupakan tokoh yang masih diagung-agungkan oleh pemilih Jawa. Dengan citra santun, bersih, dan bersahaja, SBY tetap akan menjadi magnet baik dalam pemilu 2014 nanti. Selain itu, Partai Demokrat yang saat ini sedang mengalami krisis calon pemimpin, membuat Ical berfikir masih punya peluang untuk menjadi tokoh alternatif. SBY yang tak bisa lagi mencalonkan diri pada pemilu 2014, tentu membutuhkan tokoh alternatif untuk bisa terus menjaga trah Yudhoyono di lingkaran kekuasaan. Dengan mengipas Pramono dan Ibas, Ical berharap popularitas dan elektabilitasnya bisa naik, meskipun catatan buram tetap melekat didirinya.

Meski demikian, apa yang dilakukan Ical dengan memasang iklan massif dan mencoba merangkul tokoh-tokoh Jawa, hemat saya, tak akan terlalu banyak membantu tingkat elektabilitasnya. Dalam skala kecil, upaya Ical dengan iklan politik yang telah menelan banyak biaya ini, mungkin akan memiliki dampak. Akan tetapi dalam skala massif, harapan untuk merangkul pemilih jawa dengan berbagai macam upaya seperti itu tak akan menjadi faktor dominan.

Sejatinya, yang paling penting menurut saya untuk dilakukan Ical saat ini adalah dengan cepat menyelesaikan persoalan yang secara nyata dihadapi masyarakat, khususnya terkait catatan buram dirinya. Pertama, selesaikan dengan segera persoalan ganti rugi lahan korban Lumpur Lapindo yang terus dirundung derita. Dari pada menghabiskan bermilyar-milyar uang untuk iklan politik, akan lebih bermanfaat dengan beriklan menyelesaikan ganti rugi lahan korban lumpur lapindo. Kedua, segera selesaikan tuduhan Gayus terkait pengemplangan pajak oleh tiga perusahaan yang disebut menyogok Gayus. Karena jika hal itu tidak dilakukan, rasanya cukup sulit buat Ical untuk menandingi calon-calon lain seperti Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa yang memiliki rekam jejak lebih baik.

Baca Selengkapnya...

Monday, July 02, 2012

Indonesia Dipusaran G20

Oleh : Abdul Hakim MS 


Di tengah situasi perekonomian global yang sedang menghadapi tantangan berat, penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Los Cabos, Mexico, Juni ini menjadi menarik untuk disimak. Selain akan membahas krisis di Eropa yang tak kunjung mereda, KTT G20 juga harus menjawab dinamika perekonomian yang sedang dihadapi oleh negara-negara berkembang. 

Seperti kita tahu, perekonomian dunia saat ini sedang dihantui ancaman krisis sebagai efek dari krisis yang melanda Eropa. Walaupun telah terjadi banyak perbaikan dibeberapa negara maju seperti Amerika Serikat misalnya, kondisi ekonomi di negara benua biru ternyata masih belum mampu keluar dari kemelut. 

Tak heran jika kemudian International Monetary Fund (IMF) memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi di Eropa pada tahun 2012 akan negatif. Sementara pertumbuhan ekonomi global ditaksir (hanya) berada pada kisaran 3,3%. Untuk kawasan Asia, pertumbuhan ekonomi diperkirakan berada di level 7,3%, turun dari angka pertumbuhan ekonomi tahun lalu. Hal ini disebabkan oleh landainya pertumbuhan ekonomi di negara-negara utama Asia, seperti China dan India. 

Ditengah situasi seperti ini, keberadaan G20 tentu strategis. Lembaga yang didirikan 13 tahun lalu sebagai langkah antisipasi terjadinya krisis 1998, diharapkan mampu memberi solusi konkrit. Saat ini, G20 merupakan representasi dari 90 persen Gross National Product (GNP) dunia, 85 persen perdagangan dunia, dan memiliki jumlah penduduk dua pertiga dari penduduk dunia. G20 sendiri merupakan forum resmi kerja sama ekonomi global pengganti forum Kelompok 8 (G8). Forum ini dibentuk untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dunia dengan memperkokoh fondasi keuangan internasional. Peresmian G20 sebagai pengganti G8 sendiri dideklarasikan di Pittsburg, Pennsylvania, Amerika Serikat (AS), September 2009. Keputusan itu didasarkan pada realitas bahwa krisis ekonomi global telah mempercepat perubahan tatanan ekonomi dunia. 

Ketimpangan Ekonomi 

Digantikannya G8 dengan G20 tak bisa dilepaskan dari realitas ekonomi-politik kontemporer. Selama puluhan tahun, arah ekonomi dunia sangat ditentukan oleh kelompok 8 (G8). Himpunan negara ekonomi maju yang meliputi AS, Inggris, Jerman, Perancis, Italia, Rusia, Kanada, dan Jepang ini menjadi lokomotif kebijakan ekonomi dunia. Itu sebabnya, banyak harapan dibebankan kepada kelompok elit ini untuk bisa memperbaiki kondisi negara-bangsa dunia. 

Naasnya, harapan itu tak sepenuhnya terwujud. Alih-alih bisa menjadi lokomotif peningkatan ekonomi negara-bangsa dunia, negara-negara anggota G8 sendiri malah kerapkali dihadapkan pada kesulitan untuk menyelesaikan persoalan besar di internal mereka sendiri. 

Begitu pula dengan regulasi global yang dilahirkan oleh kelompok elit ini. G8 cenderung menampilkan diri sebagai kelompok yang eksklusif dan proteksionis. Sejak masih bernama G6 dan G7, memang belum terlihat itikad baik yang ditunjukkan oleh negara-negara maju ini untuk memperjuangkan ekonomi dunia menuju tatanan yang lebih baik dan adil. 

Bisa dibilang, perhatian G8 terhadap negara-negara berkembang hanya sebuah kamuflase belaka untuk dapat mengeruk keuntungan semata. Hal itu bisa dilihat dari regulasi yang dikeluarkan yang lebih banyak memihak kepentingan para anggotanya. Tak heran jika kemudian jumlah negara miskin makin bertambah karena hak-haknya kerap kali diabaikan dan dikebiri. 

Dalam aspek political will, keberadaan G8 untuk menjadikan tatanan ekonomi dunia yang lebih baik dan adil juga diragukan. Harapan agar G-8 mampu merumuskan format perekonomian global yang berorientasi pada proses pencerahan dan kebangkitan ekonomi dunia, termasuk di dalamnya bagaimana memberikan kontribusi yang optimal bagi negara-negara miskin, hanya menggantung di awang-awang. 

Itu sebabnya, banyak kalangan yang kemudian kecewa terhadap kelompok elit ini. Hal itu tercermin dari maraknya demonstrasi kala pertemuan tahunan mereka gelar. Keberadaan G8 dianggap tidak mampu membuat pemerataan kesejahteraan ekonomi negara-bangsa dunia, akan tetapi malah dituding berkontribusi besar terhadap makin curamnya ketimpangan ekonomi yang ada. 

Padahal, jika kita amati, realitas ekonomi dunia dewasa ini sudah berubah. Dunia tak lagi hanya dikuasai oleh delapan negara industri kaya yang dimotori oleh AS dan negara-negara Eropa. Arus barang dan jasa juga banyak mengalir dari negara-negara berkembang yang dahulu dipandang sebelah mata oleh negara-negara industri. Itulah sebabnya, kelahiran G8 patut di apresiasi. 

Peranan Indonesia 

Dari situasi di atas memuncul sebuah pertanyaan yang yang krusial untuk dijawab, bagaimana peranan Indonesia dalam G20 khususnya, dan tatanan baru ekonomi dunia pada umumnya? 

Jika kita telisik, keberadaan Indonesia dalam G20 sebetulnya berada dalam posisi strategis untuk turut dalam menentukan arah dan kebijakan perekonomian global. Saat ini, Indonesia merupakan satu-satunya negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang tergabung dalam G20. Tak hanya itu, Indonesia juga dinilai sangat layak masuk dalam kelompok negara berkembang dan berpengaruh di percaturan perekonomian global (Brazil, Rusia, India, China/BRIC). 

Layaknya Indonesia masuk dalam BRIC seperti diungkapkan oleh Goldman Sachs sekitar empat tahun lalu. Goldman Sachs membuat daftar sejumlah negara, seperti Bangladesh, Mesir, Indonesia, Iran, Meksiko, Nigeria, Pakistan, Filipina, Korea Selatan, Turki, dan Vietnam dalam rangka mencari BRIC baru. Kriteria yang ia gunakan adalah negara dengan stabilitas ekonomi makro, kematangan politik, keterbukaan perdagangan dan kebijakan investasi, dan kualitas pendidikan. 

Terkait pertumbuhan ekonomi, Indonesia saat ini juga cukup diperhitungkan oleh dunia internasional. Ekonomi Indonesia berpotensi melakukan akselerasi disaat sebagian besar negara dunia mengalami pertumbuhan ekonomi yang cenderung negatif. Bersama China dan India, Indonesia merupakan negara yang memiliki pertumbuhan positif di tengah krisis melanda ekonomi global selama rentang waktu tahun 2008-2009. 

Selain itu, dengan status sebagai negara dengan ekonomi nomor 16 dunia, membuat keberadaan Indonesia di G20 lebih diperhitungkan. Pendapat dan pemikiran Indonesia akan lebih banyak diakomodasi. Posisi tawar Indonesia juga akan menjadi lebih kuat ketimbang dulu ketika hanya menjadi 'penggembira' di forum G8. 

Dengan demikian, Indonesia memiliki peluang besar untuk secara lebih aktif mengutarakan pandangan-pandangan alternatif di luar dominasi negara-negara besar. Isu-isu yang dapat disuarakan Indonesia dalam forum G20 antara lain tentang reformasi struktural dan stabilisasi ekonomi dunia, utang, ketahanan pangan, ketenagakerjaan, dan perdagangan. 

Di samping itu, partisipasi aktif Indonesia pada setiap pertemuan G20 memiliki potensi besar bagi peningkatan kapasitas ekonomi domestik, terutama jika ditinjau dari perspektif perdagangan dan investasi. Singkat kata, G20 ibarat sebuah amunisi bagi Indonesia untuk mengarahkan sumber daya global bagai kepentingan ekonomi dalam negeri secara lebih optimal.

Baca Selengkapnya...