Oleh : Abdul Hakim MS
Di tengah situasi perekonomian global yang sedang menghadapi tantangan berat, penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Los Cabos, Mexico, Juni ini menjadi menarik untuk disimak. Selain akan membahas krisis di Eropa yang tak kunjung mereda, KTT G20 juga harus menjawab dinamika perekonomian yang sedang dihadapi oleh negara-negara berkembang.
Seperti kita tahu, perekonomian dunia saat ini sedang dihantui ancaman krisis sebagai efek dari krisis yang melanda Eropa. Walaupun telah terjadi banyak perbaikan dibeberapa negara maju seperti Amerika Serikat misalnya, kondisi ekonomi di negara benua biru ternyata masih belum mampu keluar dari kemelut.
Tak heran jika kemudian International Monetary Fund (IMF) memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi di Eropa pada tahun 2012 akan negatif. Sementara pertumbuhan ekonomi global ditaksir (hanya) berada pada kisaran 3,3%. Untuk kawasan Asia, pertumbuhan ekonomi diperkirakan berada di level 7,3%, turun dari angka pertumbuhan ekonomi tahun lalu. Hal ini disebabkan oleh landainya pertumbuhan ekonomi di negara-negara utama Asia, seperti China dan India.
Ditengah situasi seperti ini, keberadaan G20 tentu strategis. Lembaga yang didirikan 13 tahun lalu sebagai langkah antisipasi terjadinya krisis 1998, diharapkan mampu memberi solusi konkrit. Saat ini, G20 merupakan representasi dari 90 persen Gross National Product (GNP) dunia, 85 persen perdagangan dunia, dan memiliki jumlah penduduk dua pertiga dari penduduk dunia.
G20 sendiri merupakan forum resmi kerja sama ekonomi global pengganti forum Kelompok 8 (G8). Forum ini dibentuk untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dunia dengan memperkokoh fondasi keuangan internasional. Peresmian G20 sebagai pengganti G8 sendiri dideklarasikan di Pittsburg, Pennsylvania, Amerika Serikat (AS), September 2009. Keputusan itu didasarkan pada realitas bahwa krisis ekonomi global telah mempercepat perubahan tatanan ekonomi dunia.
Ketimpangan Ekonomi
Digantikannya G8 dengan G20 tak bisa dilepaskan dari realitas ekonomi-politik kontemporer. Selama puluhan tahun, arah ekonomi dunia sangat ditentukan oleh kelompok 8 (G8). Himpunan negara ekonomi maju yang meliputi AS, Inggris, Jerman, Perancis, Italia, Rusia, Kanada, dan Jepang ini menjadi lokomotif kebijakan ekonomi dunia. Itu sebabnya, banyak harapan dibebankan kepada kelompok elit ini untuk bisa memperbaiki kondisi negara-bangsa dunia.
Naasnya, harapan itu tak sepenuhnya terwujud. Alih-alih bisa menjadi lokomotif peningkatan ekonomi negara-bangsa dunia, negara-negara anggota G8 sendiri malah kerapkali dihadapkan pada kesulitan untuk menyelesaikan persoalan besar di internal mereka sendiri.
Begitu pula dengan regulasi global yang dilahirkan oleh kelompok elit ini. G8 cenderung menampilkan diri sebagai kelompok yang eksklusif dan proteksionis. Sejak masih bernama G6 dan G7, memang belum terlihat itikad baik yang ditunjukkan oleh negara-negara maju ini untuk memperjuangkan ekonomi dunia menuju tatanan yang lebih baik dan adil.
Bisa dibilang, perhatian G8 terhadap negara-negara berkembang hanya sebuah kamuflase belaka untuk dapat mengeruk keuntungan semata. Hal itu bisa dilihat dari regulasi yang dikeluarkan yang lebih banyak memihak kepentingan para anggotanya. Tak heran jika kemudian jumlah negara miskin makin bertambah karena hak-haknya kerap kali diabaikan dan dikebiri.
Dalam aspek political will, keberadaan G8 untuk menjadikan tatanan ekonomi dunia yang lebih baik dan adil juga diragukan. Harapan agar G-8 mampu merumuskan format perekonomian global yang berorientasi pada proses pencerahan dan kebangkitan ekonomi dunia, termasuk di dalamnya bagaimana memberikan kontribusi yang optimal bagi negara-negara miskin, hanya menggantung di awang-awang.
Itu sebabnya, banyak kalangan yang kemudian kecewa terhadap kelompok elit ini. Hal itu tercermin dari maraknya demonstrasi kala pertemuan tahunan mereka gelar. Keberadaan G8 dianggap tidak mampu membuat pemerataan kesejahteraan ekonomi negara-bangsa dunia, akan tetapi malah dituding berkontribusi besar terhadap makin curamnya ketimpangan ekonomi yang ada.
Padahal, jika kita amati, realitas ekonomi dunia dewasa ini sudah berubah. Dunia tak lagi hanya dikuasai oleh delapan negara industri kaya yang dimotori oleh AS dan negara-negara Eropa. Arus barang dan jasa juga banyak mengalir dari negara-negara berkembang yang dahulu dipandang sebelah mata oleh negara-negara industri. Itulah sebabnya, kelahiran G8 patut di apresiasi.
Peranan Indonesia
Dari situasi di atas memuncul sebuah pertanyaan yang yang krusial untuk dijawab, bagaimana peranan Indonesia dalam G20 khususnya, dan tatanan baru ekonomi dunia pada umumnya?
Jika kita telisik, keberadaan Indonesia dalam G20 sebetulnya berada dalam posisi strategis untuk turut dalam menentukan arah dan kebijakan perekonomian global. Saat ini, Indonesia merupakan satu-satunya negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang tergabung dalam G20. Tak hanya itu, Indonesia juga dinilai sangat layak masuk dalam kelompok negara berkembang dan berpengaruh di percaturan perekonomian global (Brazil, Rusia, India, China/BRIC).
Layaknya Indonesia masuk dalam BRIC seperti diungkapkan oleh Goldman Sachs sekitar empat tahun lalu. Goldman Sachs membuat daftar sejumlah negara, seperti Bangladesh, Mesir, Indonesia, Iran, Meksiko, Nigeria, Pakistan, Filipina, Korea Selatan, Turki, dan Vietnam dalam rangka mencari BRIC baru. Kriteria yang ia gunakan adalah negara dengan stabilitas ekonomi makro, kematangan politik, keterbukaan perdagangan dan kebijakan investasi, dan kualitas pendidikan.
Terkait pertumbuhan ekonomi, Indonesia saat ini juga cukup diperhitungkan oleh dunia internasional. Ekonomi Indonesia berpotensi melakukan akselerasi disaat sebagian besar negara dunia mengalami pertumbuhan ekonomi yang cenderung negatif. Bersama China dan India, Indonesia merupakan negara yang memiliki pertumbuhan positif di tengah krisis melanda ekonomi global selama rentang waktu tahun 2008-2009.
Selain itu, dengan status sebagai negara dengan ekonomi nomor 16 dunia, membuat keberadaan Indonesia di G20 lebih diperhitungkan. Pendapat dan pemikiran Indonesia akan lebih banyak diakomodasi. Posisi tawar Indonesia juga akan menjadi lebih kuat ketimbang dulu ketika hanya menjadi 'penggembira' di forum G8.
Dengan demikian, Indonesia memiliki peluang besar untuk secara lebih aktif mengutarakan pandangan-pandangan alternatif di luar dominasi negara-negara besar. Isu-isu yang dapat disuarakan Indonesia dalam forum G20 antara lain tentang reformasi struktural dan stabilisasi ekonomi dunia, utang, ketahanan pangan, ketenagakerjaan, dan perdagangan.
Di samping itu, partisipasi aktif Indonesia pada setiap pertemuan G20 memiliki potensi besar bagi peningkatan kapasitas ekonomi domestik, terutama jika ditinjau dari perspektif perdagangan dan investasi. Singkat kata, G20 ibarat sebuah amunisi bagi Indonesia untuk mengarahkan sumber daya global bagai kepentingan ekonomi dalam negeri secara lebih optimal.
No comments:
Post a Comment