Oleh : Abdul Hakim MS.
Beberapa bulan terakhir, bola panas pencalonan capres/cawapres yang diusung partai-partai untuk berlaga pada Pemilu 2009 terus menggelinding. List nama-nama yang dielukan telah dirilis. PDI-P sedang menggodok calon wapres Mega. Partai Demokrat pun telah mengantongi sembilan nama wapres menyandingi SBY. PKS mengelus kandidat-kandidat muda. PMB menyembulkan 13 nama jagoannya. Partai-partai yang lolos pemilu 2009, juga dalam situasi serupa. Ditengah euforia itu, ada wacana penting yang perlu disoroti; yakni pemimpin muda vs pemimpin tua.
Wacana ini sebetulnya bukan hal baru. Namun dalam beberapa minggu terakhir, isu pemimpin Balita (dibawah lima puluh tahun) vs pemimpin tua, kembali menyeruak kepermukaan. Pemicunya, komentar penuh emosi Megawati yang menantang kaum muda tidak hanya berwacana untuk maju menjadi capres. ”Jangan hanya berwacana. Kalau yang muda mau maju, ya maju!”
Blunder kedua
Melihat geliat Megawati saat ini, kita jadi teringat momen-momen sebelum pemilu 2004 lalu. Pada Maret 2004, sebuah media nasional merilis headline dengan judul, ”SBY dikucilkan Mega”. Tak dinyana, artikel itu ditanggapi secara reaktif oleh suami Megawati, Taufik Kiemas (TK). ”Jenderal kok kayak anak-anak” seloroh TK kala itu.
Sepontan, komentar ini menjadi polemik media tanpa henti. Dukungan dan simpati terhadap SBY datang silih berganti. Snowball buruk buat pemerintahan Megawati pun tercipta dan kesan SBY ”dianiaya” menjadi tak terbendung. Dampaknya, popularitas SBY membumbung dan ”sang majikan” harus rela menyerahkan tahtanya kepada ”pembantunya” dalam perhelatan pilpres 2004 lalu itu.
Seolah tak belajar dari pengalaman, Mega kembali mengulangi hal serupa, meski dalam konteks yang berbeda. Hemat saya, reaksi Mega ini akan menyembulkan setidaknya tiga implikasi politik yang cukup signifikan buat Mega sendiri. Pertama, Mega kembali mengulang blunder suaminya saat menghadapi pemilu 2004 lalu. Komentar Mega ini, sekali lagi, menjadi cermin buruk. Secara personal, Mega tak menunjukkan sosok ketokohan yang siap memimpin. Ia reaktif, emosional dan tak pernah berfikir panjang dalam mengambil keputusan. Komentarnya menantang kaum muda untuk maju, sebetulnya tak perlu dilakukan. Toh, pernyataan itu sebenarnya tak ditujukan kepada dirinya.
Kedua, pernyataan Mega ini ibarat ”membangunkan macan tidur”. Tantangan Mega ini pasti membuat para cendekiawan muda tergugah dan merasa ”direndahkan”. Karenanya, para kaum muda akan lebih “berhasrat” untuk mengalahkan para pemimpin tua sebagai bukti bahwa mereka juga bisa berbuat.
Indikasi geliat kaum muda ini telah terlihat. Banyak tokoh-tokoh balita yang mulai memperkenalkan diri kepublik. Sebut saja Rizal Malarangeng misalnya. Dengan modal milayaran rupiah, ia telah memasang iklan di media massa, baik cetak maupun elektronik dengan bungkus “save our nation”. Ketua umum PAN pun melakukan hal serupa. Dengan iklan-iklan soft selling-nya ”hidup adalah perbuatan” telah menggelontor memori publik secara kontinyu. Prabowo Subiyanto juga melakukannya dengan perahu HKTI. Dan banyak lagi tokoh-tokoh muda lainnya seperti Adiyaksa Daud, Fajrul Rahman, Ratna Sarumpaet, Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum serta seabreg pemikir muda yang siap muncul kekalangan publik. Dan dengan adanya tantangan dari Mega, bukan hal mustahil mereka akan terus merangsek mengisi bursa kandidat pada 2009 mendatang.
Ketiga, dengan komentar Mega ini, sangat terlihat betapa rapuhnya tim sukses Mega dalam memanajemen isu-isu yang akan dikeluarkan ke publik. Tidak ada koordinasi, hanya bersifat spontanitas, reaktif dan tak mencerminkan eleganitas pernyataan calon seorang presiden. Dan jika sudah begini, sepertinya kans Mega untuk meraih ”tahta yang hilang” akan lebih sulit, atau bahkan menjadi ”mission imposible”.
Kendala Kaum Muda
Pernyataan Mega di atas, seolah menjadi air yang menyirami recup (tunas) pemimpin muda. Sengatan berupa tantangan untuk membuktikan diri bisa melakukan sesuatu, pasti menjadi pendorong guna terus melaju. Seiring dengan itu, semangat ini juga mendapatkan legitimasi kala kita sedikit melongok hasil survei tentang pemimpin muda.
Indo Barometer merilis data, bahwa mayoritas publik Indonesia sebetulnya mendambakan sosok pemimpin muda. Hasil survei yang dilkukan pada Juni 2008 menunjukkan, 62,8 persen publik Indonesia setuju dipimpin oleh kaum muda. Hanya 22,4 persen yang tak setuju kaum muda menjadi yang terdepan.
Alasan publik untuk memilih pemimpin muda juga cukup menjanjikan. Masyarakat memandang bahwa pemimpin muda, mempunyai semangat lebih besar (36,8%). Kemudian, dalam hal kemampuan, pemimpin muda juga tak kalah dengan pemimpin tua (29,4%). Alasan berikutnya adalah pemimpin muda punya gagasan lebih banyak (24,1%), lebih mungkin terbebas dari korupsi (8,1%) serta alasan lainnya (1,2%). Sedangkan Keunggulan pemimpin tua menurut publik hanya ada pada lebih berpengalaman dalam memimpin (82,0%) dan punya kepribadian yang lebih matang (12,5%).
Meski semangat sedang berkibar dan publik menghendaki, namun kendala besar telah menghadang kaum muda untuk dapat membuktikan diri bisa ”mengalahkan” tokoh-tokoh tua. Lemahnya popularitas dan tingkat kesukaan publik, menjadi momok besar yang harus segera mereka pecahkan.
Lihatlah tingkat popularutas dan kesukaan publik terhadap tokoh-tokoh muda partai politik, misalnya. Tokoh muda PAN macam Zulkifli Hasan dan Drajad Wibowo, tingkat pengenalan mereka hanya 6,6 persen dan 7,6 persen. Tokoh muda Demokrat Anas Urbaningrum dan Andi Malarangeng angkanya masih di 13,0 persen dan 65 persen. Tokoh muda PDIP Pramono Anung dan Puan Maharani masih di angka 26,1 persen dan 19,1 persen. Tokoh muda Golkar Priyo Budi Santoso dan Yuddy Chrisnandi masih di angka 8,3 persen dan 4,0 persen. Tokoh muda PKB Muhaimin Iskandar dan Yenny Zannubah Wahid masih di angka 37,3 persen dan 34,9 persen. Tokoh muda PPP Irgan Chairul Mahfiz dan Lukman H. Saifuddin masih di angka 3,4 persen dan 8,2 persen. Tokoh muda PKS Tifatul Sembiring dan Anis Matta masih diangka 9,5 persen dan 4,8 persen.
Dari kalangan aktivis LSM, pengamat, akademisi dan pengusaha pun menghadapi hal serupa. Teten Masduki dan Usman Hamid misalnya, tingkat pengenalan publik hanya berkisar 14,9 persen dan 6,2 persen. Pengamat dan akademisi macam Faisal Basri dan Sukardi Rinakit juga masih dikisaran angka 21,9 persen dan 3,9 persen. Sedangkan kalangan pengusaha seperti Erick Tohir dan Sandiaga S. Uno juga masih diangka 3,8 persen dan 3,2 persen.
Angka-angka di atas, barulah tingkat pengenalan saja. Uniknya, tingkat kesukaan publik terhadap tokoh-tokoh ini juga masih cukup rendah.
Melihat kondisi ini, sepertinya masih cukup sulit bagi kaum muda bisa bersaing dengan tokoh tua. Proses sosialisasi agar mereka lebih dikenal publik, pasti membutuhkan dana yang tak sedikit. Memang persoalan dana, bagi ketua umum PAN Soetrisni Bachir dan Rizal Malarangeng yang disupport oleh Bakrie, mungkin tak menjadi persoalan. Tapi, bagaimana dengan tokoh muda lainnya?
Nampaknya (mungkin) Megawati memahami hal ini. Jadi dengan berani ia mempersilahkan kaum muda untuk bertarung dengan dirinya. Cuma yang menjadi catatan, bisa jadi tantangan Mega ini akan kontarproduktif yang nantinya bisa ”memalukan” dirinya. Alih-alih memenangkan pilpres, bisa jadi nanti Mega malah menunduk dihadapan kaum muda yang berkibar menuju istana. Sekali lagi, Mega telah menggelar karpet merah istana bukan untuk dirinya.
Beberapa bulan terakhir, bola panas pencalonan capres/cawapres yang diusung partai-partai untuk berlaga pada Pemilu 2009 terus menggelinding. List nama-nama yang dielukan telah dirilis. PDI-P sedang menggodok calon wapres Mega. Partai Demokrat pun telah mengantongi sembilan nama wapres menyandingi SBY. PKS mengelus kandidat-kandidat muda. PMB menyembulkan 13 nama jagoannya. Partai-partai yang lolos pemilu 2009, juga dalam situasi serupa. Ditengah euforia itu, ada wacana penting yang perlu disoroti; yakni pemimpin muda vs pemimpin tua.
Wacana ini sebetulnya bukan hal baru. Namun dalam beberapa minggu terakhir, isu pemimpin Balita (dibawah lima puluh tahun) vs pemimpin tua, kembali menyeruak kepermukaan. Pemicunya, komentar penuh emosi Megawati yang menantang kaum muda tidak hanya berwacana untuk maju menjadi capres. ”Jangan hanya berwacana. Kalau yang muda mau maju, ya maju!”
Blunder kedua
Melihat geliat Megawati saat ini, kita jadi teringat momen-momen sebelum pemilu 2004 lalu. Pada Maret 2004, sebuah media nasional merilis headline dengan judul, ”SBY dikucilkan Mega”. Tak dinyana, artikel itu ditanggapi secara reaktif oleh suami Megawati, Taufik Kiemas (TK). ”Jenderal kok kayak anak-anak” seloroh TK kala itu.
Sepontan, komentar ini menjadi polemik media tanpa henti. Dukungan dan simpati terhadap SBY datang silih berganti. Snowball buruk buat pemerintahan Megawati pun tercipta dan kesan SBY ”dianiaya” menjadi tak terbendung. Dampaknya, popularitas SBY membumbung dan ”sang majikan” harus rela menyerahkan tahtanya kepada ”pembantunya” dalam perhelatan pilpres 2004 lalu itu.
Seolah tak belajar dari pengalaman, Mega kembali mengulangi hal serupa, meski dalam konteks yang berbeda. Hemat saya, reaksi Mega ini akan menyembulkan setidaknya tiga implikasi politik yang cukup signifikan buat Mega sendiri. Pertama, Mega kembali mengulang blunder suaminya saat menghadapi pemilu 2004 lalu. Komentar Mega ini, sekali lagi, menjadi cermin buruk. Secara personal, Mega tak menunjukkan sosok ketokohan yang siap memimpin. Ia reaktif, emosional dan tak pernah berfikir panjang dalam mengambil keputusan. Komentarnya menantang kaum muda untuk maju, sebetulnya tak perlu dilakukan. Toh, pernyataan itu sebenarnya tak ditujukan kepada dirinya.
Kedua, pernyataan Mega ini ibarat ”membangunkan macan tidur”. Tantangan Mega ini pasti membuat para cendekiawan muda tergugah dan merasa ”direndahkan”. Karenanya, para kaum muda akan lebih “berhasrat” untuk mengalahkan para pemimpin tua sebagai bukti bahwa mereka juga bisa berbuat.
Indikasi geliat kaum muda ini telah terlihat. Banyak tokoh-tokoh balita yang mulai memperkenalkan diri kepublik. Sebut saja Rizal Malarangeng misalnya. Dengan modal milayaran rupiah, ia telah memasang iklan di media massa, baik cetak maupun elektronik dengan bungkus “save our nation”. Ketua umum PAN pun melakukan hal serupa. Dengan iklan-iklan soft selling-nya ”hidup adalah perbuatan” telah menggelontor memori publik secara kontinyu. Prabowo Subiyanto juga melakukannya dengan perahu HKTI. Dan banyak lagi tokoh-tokoh muda lainnya seperti Adiyaksa Daud, Fajrul Rahman, Ratna Sarumpaet, Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum serta seabreg pemikir muda yang siap muncul kekalangan publik. Dan dengan adanya tantangan dari Mega, bukan hal mustahil mereka akan terus merangsek mengisi bursa kandidat pada 2009 mendatang.
Ketiga, dengan komentar Mega ini, sangat terlihat betapa rapuhnya tim sukses Mega dalam memanajemen isu-isu yang akan dikeluarkan ke publik. Tidak ada koordinasi, hanya bersifat spontanitas, reaktif dan tak mencerminkan eleganitas pernyataan calon seorang presiden. Dan jika sudah begini, sepertinya kans Mega untuk meraih ”tahta yang hilang” akan lebih sulit, atau bahkan menjadi ”mission imposible”.
Kendala Kaum Muda
Pernyataan Mega di atas, seolah menjadi air yang menyirami recup (tunas) pemimpin muda. Sengatan berupa tantangan untuk membuktikan diri bisa melakukan sesuatu, pasti menjadi pendorong guna terus melaju. Seiring dengan itu, semangat ini juga mendapatkan legitimasi kala kita sedikit melongok hasil survei tentang pemimpin muda.
Indo Barometer merilis data, bahwa mayoritas publik Indonesia sebetulnya mendambakan sosok pemimpin muda. Hasil survei yang dilkukan pada Juni 2008 menunjukkan, 62,8 persen publik Indonesia setuju dipimpin oleh kaum muda. Hanya 22,4 persen yang tak setuju kaum muda menjadi yang terdepan.
Alasan publik untuk memilih pemimpin muda juga cukup menjanjikan. Masyarakat memandang bahwa pemimpin muda, mempunyai semangat lebih besar (36,8%). Kemudian, dalam hal kemampuan, pemimpin muda juga tak kalah dengan pemimpin tua (29,4%). Alasan berikutnya adalah pemimpin muda punya gagasan lebih banyak (24,1%), lebih mungkin terbebas dari korupsi (8,1%) serta alasan lainnya (1,2%). Sedangkan Keunggulan pemimpin tua menurut publik hanya ada pada lebih berpengalaman dalam memimpin (82,0%) dan punya kepribadian yang lebih matang (12,5%).
Meski semangat sedang berkibar dan publik menghendaki, namun kendala besar telah menghadang kaum muda untuk dapat membuktikan diri bisa ”mengalahkan” tokoh-tokoh tua. Lemahnya popularitas dan tingkat kesukaan publik, menjadi momok besar yang harus segera mereka pecahkan.
Lihatlah tingkat popularutas dan kesukaan publik terhadap tokoh-tokoh muda partai politik, misalnya. Tokoh muda PAN macam Zulkifli Hasan dan Drajad Wibowo, tingkat pengenalan mereka hanya 6,6 persen dan 7,6 persen. Tokoh muda Demokrat Anas Urbaningrum dan Andi Malarangeng angkanya masih di 13,0 persen dan 65 persen. Tokoh muda PDIP Pramono Anung dan Puan Maharani masih di angka 26,1 persen dan 19,1 persen. Tokoh muda Golkar Priyo Budi Santoso dan Yuddy Chrisnandi masih di angka 8,3 persen dan 4,0 persen. Tokoh muda PKB Muhaimin Iskandar dan Yenny Zannubah Wahid masih di angka 37,3 persen dan 34,9 persen. Tokoh muda PPP Irgan Chairul Mahfiz dan Lukman H. Saifuddin masih di angka 3,4 persen dan 8,2 persen. Tokoh muda PKS Tifatul Sembiring dan Anis Matta masih diangka 9,5 persen dan 4,8 persen.
Dari kalangan aktivis LSM, pengamat, akademisi dan pengusaha pun menghadapi hal serupa. Teten Masduki dan Usman Hamid misalnya, tingkat pengenalan publik hanya berkisar 14,9 persen dan 6,2 persen. Pengamat dan akademisi macam Faisal Basri dan Sukardi Rinakit juga masih dikisaran angka 21,9 persen dan 3,9 persen. Sedangkan kalangan pengusaha seperti Erick Tohir dan Sandiaga S. Uno juga masih diangka 3,8 persen dan 3,2 persen.
Angka-angka di atas, barulah tingkat pengenalan saja. Uniknya, tingkat kesukaan publik terhadap tokoh-tokoh ini juga masih cukup rendah.
Melihat kondisi ini, sepertinya masih cukup sulit bagi kaum muda bisa bersaing dengan tokoh tua. Proses sosialisasi agar mereka lebih dikenal publik, pasti membutuhkan dana yang tak sedikit. Memang persoalan dana, bagi ketua umum PAN Soetrisni Bachir dan Rizal Malarangeng yang disupport oleh Bakrie, mungkin tak menjadi persoalan. Tapi, bagaimana dengan tokoh muda lainnya?
Nampaknya (mungkin) Megawati memahami hal ini. Jadi dengan berani ia mempersilahkan kaum muda untuk bertarung dengan dirinya. Cuma yang menjadi catatan, bisa jadi tantangan Mega ini akan kontarproduktif yang nantinya bisa ”memalukan” dirinya. Alih-alih memenangkan pilpres, bisa jadi nanti Mega malah menunduk dihadapan kaum muda yang berkibar menuju istana. Sekali lagi, Mega telah menggelar karpet merah istana bukan untuk dirinya.
No comments:
Post a Comment