Oleh : Abdul Hakim MS
Konstelasi dalam kontestasi menuju pemilu 2014 telah dimulai. Meski masih tiga tahun lagi, semua stakeholder yang memiliki kepentingan telah memasang kuda-kuda. Ada yang sibuk melakukan sosialisasi melalui media massa, mencoba ”tes pasar” dengan medeklarasikan pemikiran-pemikirannya, mendeklarasikan calon presidennya secara dini, hingga ”percobaan peruntungan” dengan mendirikan partai politik baru.
Upaya “tes pasar” misalnya telah dilakukan oleh Sri Mulyani. Tokoh ekonomi yang harus ”tersingkir” dari urusan dalam negeri akibat kasus skandal Bank Century ini, telah meluncurkan situs pemikirannya di www.srimulyani.net. Banyak kalangan menduga, peluncuran ini adalah langkah awal penjajakan menuju pemilu 2014. Dugaan ini didasarkan pada argumentasi saat peluncuran situs yang mirip-mirip deklarasi calon presiden. Ada pula “tes pasar” yang dikeluarkan oleh politisi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul. Dengan semangat, politisi sekaligus pemain sinetron ini mengatakan, Ibu Ani Yudhoyono adalah figur yang pas melanjutkan tampuk kepemimpinan SBY. Sementara “percobaan peruntungan” dengan mendirikan partai politik baru dilakukan oleh Surya Paloh dan Tommy Soeharto yang mendirikan Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan Partai Nasional Republik (Nasrep).
Namur akhir-akhir ini yang cukup serius mempersiapkan diri menghadapi pemilu 2014 adalah Partai Golkar dan Aburizal Bakrie. Dengan massif, Partai Golkar “memberondong” masyarakat dengan iklan politik yang cukup massif. Televisi, radio, media online, dan cetak, secara serempak memajang iklan politik yang memuat tagline “Bersama bangkitkan Usaha Kecil dari Aceh Hingga Papua”. Dalam iklan politik tersebut, foto Ical – saapaan akrab Aburizal Bakrie – terpampang dengan besar. Jika kita baca kondisi ini, bagiamanakan peluang Ical dan Partai Golkar pada pemilu 2014?
Pengenalan Publik
Secara pribadi, Ical memang belum resmi mendeklarasikan diri sebagai calon presiden dari Partai Golkar. Ia berkilah masih menunggu hasil survei untuk mengetahui persepsi masyarakat terkait dirinya. Padahal kita tahu, DPD Partai Golkar diseluruh Indonesia telah sepakat mengangkatnya untuk diplot sebagai satu-satunya kandidat presiden pada pemilu 2014.
Apa yang dilakukan Ical dengan tidak secara dini mendeklarasikan diri sebagai capres, meskipun Partai Golkar telah menghendakinya, mungkin dilandasi oleh faktor masih kurang baiknya tingkat pengenalan dan kesukaan publik kepadanya. Pun demikian halnya dengan tingkat elektabilitasnya yang masih kurang memadai. Merujuk hasil survei Indo barometer pada Agustus 2010, ia masih kalah dengan Megawati, Prabowo, dan Wiranto.
Seperti telah dirilis oleh Indo Barometer pada Agustus 2010, tingkat pengenalan Ical baru pada angka 71.8%. Dari masyarakat yang mengenal Ical, ternyata hanya sekitar 50.3% saja yang menyukainya. Hal ini berbeda dengan tingkat pengenalan dan kesukaan megawati, Prabowo, dan Wiranto. Megawati berada pada tingkat pengenalan 99.0% dengan tingkat kesukaan 70.6%. Prabowo angka pengenalannya 85.3% dengan tingkat kesukaan 74.4%. Sementara Wiranto dengan tingkat pengenalan 88.0% dengan tingkat kesukaan 70.4%. Dalam logika pemilihan langsung, tingkat pengenalan dan kesukaan sangat mempengaruhi tingkat elektabilitas seorang kandidat. Logikanya adalah tak kenal maka tak mungkin disuka. Dikenal juga belum tentu disuka. Kalau sudah dikenal dan disuka, tentu pilihan akan jatuh kepadanya.
Logika tersebut terbukti pada pertanyaan tingkat elektabilitas Ical. Ia masih berada dibawah SBY, 40.3%, Megawati 15.6%, Prabowo Subianto 8.0%, Wiranto 3.8%. Tingkat elektabilitas Ical sendiri baru pada angka 3.3%. Pun demikian halnya ketika nama SBY dihilangkan dan menggantinya dengan nama Anas Urbaningrum tau Ani Yudhoyoni. Lagi-lagi, Ical masih kalah dan berada dibawah Megawati, Prabowo Subianto, dan Wiranto. Kelemahan inilah yang cukup dipahami oleh Ical. Tak mengherankan apabila kemudian ia dan Partai Golkar begitu gencar melakukan sosialisasi dengan eskalasi tinggi untuk mengejar tingkat elektabilitas yang masih minim.
Pembelahan Partai
Problem lain yang dihadapi Ical adalah terkait Partai Golkar sendiri. Seperti kita tahu, Partai Golkar terus “membelah diri” menjadi parpol-parpol kecil lainnya sehingga suaranya terus menyusut. Pada pemilu 2009, sempalan Partai Golkar seperti Hanura, PKPB, dan gerindra telah mereduksi suara cukup signifikan. Dari pemenang pemilu legislatif dengan perolehan suara sebesar 21.58% pada pemilu 2004, menjadi hanya posisi runner up dengan perolehan suara 14.45% pada pemilu 2009. Naasnya, pada pemilu 2014 hal serupa kembali terjadi. Partai Nasional Demokrat (Nasdem) yang digawangi tokoh gaek Partai Golkar, Surya paloh dan Sri Sultan HB X, diprediksi akan kembali mereduksi suara Partai Beringin. Pun demikian dengan Partai Nasional republik (Nasrep) besutan Tommy Soeharto. Karena petinggi-petinggi kedua partai baru tersebut banyak dari kader matang Partai penyangga utama Orde Baru ini.
Belum lagi bicara soal reputasi grup usaha keluarga bakrie yang banyak mendapat sorotan. Semburan lumpur lapindo di Sidoarjo selalu dilekatkan dengan “kesalahan” keluarga bakrie. Hingga kini, mekanisme penyerahan ganti rugi lahan masih terkatung-katung. Pun demikian halnya dengan kasus gagal bayarnya salah satu perusahaan asuransi keluarga Bakrie, Bakrie Life, terhadap para nasabahnya. Torehan citra kurang sedap yang menimpa grup usaha Bakrie ini tentunya akan menjadi amunisi baik buat lawan-lawan politik pada pemilu 2014 mendatang.
Melihat geliat Partai Golkar yang “menggelontor” masyarakat dengan iklan politik dengan intensitas yang cukup tinggi, sepertinya Partai Golkar dan Ical menyadari hal tersebut. Masih kecilnya tingkat elektabilitas Ical, banyaknya reputasi miring, plus ditambah dengan ancaman pembelahan partai adalah kelemahan-kelemahan yang akan dihadapi menuju pomilu 2014. Meski demikian, kekuatan utama Partai Golkar adalah kemampuan para politisinya yang tak lekang dimakan zaman. Tak mengherankan apabila kemudian ancang-ancang menghadapi pemilu 2014 telah dicanangkan ketika partai lain masih adem-ayem. Partai Golkar dan Ical sepertinya ingin memperbaharui citra yang diharapkan berujung pada terkerekanya elektabilitas partai secara umum, dan Ical secara khusus. Keberhasilan pada pemilu 1999 sepertinya ingin diulangi, yakni ketika buruknya persepsi Partai Golkar sebagai parpol Orde Baru, namun masih dapat bertahan diposisi ke-2 setelah PDI-Perjuangan.
Melihat kondisi pemilu 2014 yang tidak akan melibatkan kembali sosok SBY dipanggung pemilihan presiden, peluang tokoh baru muncul kepermukaan memang cukup terbuka. Namun untuk saat ini, nama-nama yang telah tersebut di atas lah yang paling punya potensi untuk menjadi pemenang. Khusus untuk Ical dan Partai Golkar, dengan pertimbangan faktor-faktor di atas, sepertinya peluangnya cukup berat. Sosok seperti megawati yang memiliki basis pemilih loyal, Prabowo Subianto yang telah memiliki citra baik, dan Wiranto yang elektabilitasnya masih di atas Ical, menjadi pengganjal serius. Langkah yang telah dilakukan sejak dini ini, akan sia-sia jika tak ada terobosan kongkrit yang diberikan kepada masyarakat, misalnya menyelesaikan dengan segera problem lumpur Lapindo atau memperbaiki citra usaha Grup bakrie.
No comments:
Post a Comment